Anda di halaman 1dari 15

PERAN MEDIA MASSA DALAM KOMUNIKASI POLITIK

Oleh Fadlan, S. ST

A. PENDAHULUAN
Transformasi politik menjadi bagian dari kontribusi media. Kini media memiliki
kontribusi besar dalam membangun pemahaman masyarakat hingga prilaku poolitikya.
Dalam merespons perubahan politik pasca orde baru, sebagian pekerja media menghadapi
realitas politik yang penuh dinamika. Kondisi demikian melahirkan perubahan prilaku
politik di kalangan masyarakat. Salah satu faktor determinan adalah publikasi media yang
memberitakan transformasi politik dan pers memiliki kebebasan berekspresi sehingga
dalam pemberitannya cenderungn independen. Hal inilah yang melatari terjadinyay
perubahan prilaku politik masyarakat di sejumlah daerah di Indonesia.
Berbagai persoalan yang mengiringi pola dan intensitas berpolitik di kalangan yang
dilatari dari besarnya pengaruh media massa. Hal ini menarik dicermati dalam paradigma
akademik. Justru aspek yang cukup menarik namun belum mendapat perhatian akademik
yang baik, adalah pada dimensi media.
Dalam perspektif media komunikasi Indonesia kontemporer, kehadiran media
massa menghadapi dilema terkait dengan tuntutan reformasi media massa. Terutama
terkait dengan komunikasi politik, Idy Subandy Ibrahim mencermati komunikasi politik
pasca reformasi ditandai dengan meleburnya politik dalam budaya pop.1
Salah satu elemen demokrasi adalah kebebasan pers yang kelak membangun
kesadaran politik masyarkat. Kontribusi media cukup signifikan terhadap konstruk
kesadaran, pemahaman dan perilaku politik masyarakat, termasuk kehadiran media yang
turut mempengaruhi perilaku politik. Masyarakat memasuki era baru yang dikenal era
reformasi, yang ditandai mundurnya Soeharto sebagai presiden 21 Mei 1998 melahirkan
liberalisasi dan relaksasi politik. Pada era ini, konstelasi politik di tanah air mengalami
transformasi paradigma dan sistem cukup signifikan.2

1
Idy Subandy Ibrahim, Budaya Populer sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di
Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Jalasutra, 2007), h. 189
2
Bachtiar Effendi, Repolitisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik? (Bandung: Mizan, 2000),
h.195
Berbagai persoalan yang mengiringi pola dan intensitas berpolitik di kalangan yang
dilatari dari besarnya pengaruh media massa. Hal ini menarik dicermati dalam paradigma
akademik. Justru aspek yang cukup menarik namun belum mendapat perhatian akademik
yang baik, adalah pada dimensi media. Hal ini dianggap unik sebab pola politik media
terkadang sulit diukur melalui pendekatan media dan kaitannya dengan perilaku politik
secara normatif bahkan empiris.
Berdasarkan latar belakang persoalan ini, maka tulisan ini berusaha mencari
rumusan bagaimana peran media membentuk kesadaran politik masyarakat, apakah
pemberitaan politik media massa mendukung kegiatan politik masyarakat dan bagaimana
politikus membentuk pencitraan dirinya melalui media dalam kegiatan politik dalam
masyarakat.
1. Media Massa sebagai Sumber Pengaruh Politik
Dari berbagai literatur yang dikaji mengenai komunikasi politik, umumnya
dikaitkan dengan peranan media massa dalam proses komunikasi yang dilaluinya. Hal ini
mencerminkan adanya kecenderungan makalah dan karya tulis yang terkait komunikasi
politik masih didominasi mengenai kampanye politik untuk mendulang suara atau
membangun kekuatan politik yang diorientasikan pada kekuasaan.
Kampanye politik tersebut tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh media massa,
baik media cetak maupun elektronik. Konsekuensinya, pendekatan analisis yang
digunakannyapun pada gilirannya lebih banyak menggunakan analisis media massa,
terutama berkaitan dengan teori-teori hubungan antara media dan masyarakat, seperti teori
tentang pesan, mekanisme penyebaran informasi yang terjadi, serta efek-efek psikologis
dan sosiologis yang ditimbulkannya. Terkait dengan hal ini, Kraus dan Davis dalam
bukunya The Effects of Mass Communication on Political Behaviour menegaskan tema
komunikasi politik telah dilakukan dan dipublikasikan sejak 1959, memberikan informasi
bahwa media juga melakukan konstruksi realitas politik dalam masyarakat. Di samping itu,
juga mengungkap masalah-masalah posisi komunikasi politik dalam kasus-kasus kegiatan
politik praktis dalam proses transformasi dan pembentukan komunikasi politik
masyarakat.3

3
Kraus dan Davis, The Effects of Mass Communication on Political Behaviour. New York: Hasting
House Publiahers, 1975. h, 19-59.
Sementara itu, Graber memandang bahwa komunikasi politik merupakan proses
pembelajaran, penerimaan dan persetujuan atas kebiasaan-kebiasaan (customs) atau
aturan-aturan (rules), struktur, dan faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
kehidupan politik. Sementara itu, Dan D. Nimmo dan Keith Sanders dalam Handbook of
Political Communication (1981), juga mengungkap masalah-masalah komunikasi politik
dalam kasus-kasus kegiatan politik praktis yang dikaitkan dengan peran media massa.
Dalam konteks komunikasi politik, Dan Nimmo menjelaskan pengaruh-pengaruh politik
dimobilisasi dan ditransmisikan antara institusi pemerintahan formal di satu sisi dan
komunikasi memilih masyarakat pasa sisi lain.
Pada prinsipnya, komunikasi politik tidak hanya terbatas pada even-even politik
seperti pemilu saja, tetapi komunikasi politik mencakup segala bentuk komunikasi yang
dilakukan dengan maksud menyebarkan pesan-pesan politik dari pihak-pihak tertentu
untuk memperoleh dukungan massa. Secara teoritis fenomena komunikasi politik yang
berlangsung dalam suatu masyarakat, seperti telah diuraikan sebelumnya, merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari dinamika politik, tempat komunikasi itu berlangsung.
Karena itu, kegiatan komunikasi politik di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari proses
politik nasional yang menjadi latar kehidupannya.
Untuk memahami kerangka konseptual pergumulan politik di Indonesia, dikenal
konsep "revolusi partisipasi" akan dicoba diadaptasi. Partisipasi politik ormas yang
mengawali ledakannya pada awal 1990-an dan kemudian semakin tidak terbendung lagi
pada saat menjelang suksesi 1997. Tulisan itu pun sesungguhnya diadaptasi dari konsep
"revolusi partisipasi" Perkembangan teoretis dalam studi ilmu politik yang menyangkut
lahirnya konsep partisipasi politik dan ciri-ciri teori partisipasi politik yang berorientasi
Barat. Hal ini sulit dihindari, karena menurutnya, sifat-sifat yang biased dan western-
oriented merupakan ciri pertarna dan teori partisipasi politik Barat. Apa yang dapat
diadaptasi dan teori-teori tersebut dalam konteks ini adalah bahwa partisipasi politik.4
Blake dan Haroldaen dalam A Taxonomy of Concepts in Communication
menyatakan bahwa "komunikasi politik adalah komunikasi yang memiliki pengaruh aktual

4
Samuel C Patterson, A More Perfect Union: Introduction to American Government. New York: Hasting House
Publiahers, 1975.
dan potensial mengenai fungsi dari pernyataan politik atau entitas politik lainnya".5
Sedangkan Dan Nimmo mendefinisikan "komunikasi politik sebagai kegiatan komunikasi
yang berdasarkan konsekuensinya (aktual maupun potensial) mengatur kegiatan manusia
di dalam situasi konflik.6 Jika kita mengambil definisi komunikasi politik Blake di atas
maka jelas bahwa untuk mengetahui "pernyataan politik" dan fungsi atau pengaruhnya
maka media massa merupakan salah satu saluran komunikasi yang paling penting, selain
komunikator dan isi pesan itu sendiri.
Adapun prinsip-prinsip komunikasi politik: pertama, konsistensi. Dalam
melakukan komunikasi politik, informasi yang disampaikan harus konsisten dengan
substansi platform partai dan konsisten terhadap paradigma partai dan solusi atas problem-
problem yang dihadapi oleh konstituen dan publik. Kedua, replikasi. Dalam melakukan
komunikasi politik, informasi harus disampaikan berulang kali, sehingga konstituen dan
publik paham betul dengan content/isi platform partai dan apa yang sedang diperjuangkan
oleh partai. Ketiga, evidence. Dalam komunikasi politik informasi yang disampaikan oleh
partai harus ada dan dapat dibuktikan kebenaran dan eksistensinya.
Begitu pula partai harus memberikan bukti-bukti konkrit atas apa yang telah dan
sedang mereka kerjakan. Kebanyakan makalah komunikasi, menurut Halloran, tidak
seimbang antara makalah mengenai akibat yang ditimbulkan oleh komunikasi di satu sisi
dan peran komunikator itu dalam mendisain isi pesan di sisi lain. Dalam komunikasi massa,
misalnya, makalah lebih banyak menitikberatkan pada masalah efek atau pengaruh media
terhadap khalayak daripada apa yang sebenarnya mempengaruhi isi media. Keadaan ini
juga berlaku pada makalah media dan politik.
Pentingnya media massa dalam penyebaran politik diuraikan Reese dan Shoemaker
telah coba membuka tabir tentang faktor-faktor yang sangat mempengaruhi isi media.
Menurutnya, terdapat sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap isi suatu media, di
antaranya adalah pengaruh pekerja media (penyiar atau jurnalis), pengaruh organisasi
media, pengaruh ekstramedia, dan pengaruh ideologi.7 Makalah Reese dan Shoemaker

5
Blake Reed H. and Edwin 0. Haroldaen, A Taxonomy of Concepts in Communication, (New York: Hasting House
Publiahers, 1975), h. 44.
6
Dan Nimmo, Political Communication and Publik Opinion and America, diterbitkan Goodyear Pubhlising, edisi
Indonesianya, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, Bandung; Rosda Karya, 2000.
7
Lihat Pamela J. Shoemaker and Stephen D. Reese, Mediating the Massage: Theories of Influences on
Mass Media Content, 2nd edition, (New York: Longman, 1996).
tersebut menunjukkan bahwa pengaruh "siapa" (menurut taksonomi Lasswell) atau
"kelompok yang mempengaruhi isi media" (menurut Reese dan Sheomaker) atau juga
"komunikator politik" (yang oleh Nimmo disebut sebagai komunikator profesional) dalam
menyampaikan "isi pesan" ternyata tidak kalah pentingnya dari pengaruh lainnya, seperti
"media", "khalayak", dan "efek atau akibat komunikasi" yang dilakukan.
Berkaitan dengan posisi penting komunikator dalam menentukan isi media, Nimmo
secara detil membagi komunikator politik ke dalam tiga kelompok, yaitu politikus,
profesional, dan aktivis. Politikus sebagai komunikator politik dalam pelaksanaannya
terkadang bertindak sebagai wakil partisan dan terkadang pula bertindak sebagai ideolog.
sebagai wakil partisipan, komunikator politik mewakili kelompok tertentu dalam tawar-
menawar dan mencari kompromi pada masalahmasalah politik. Mereka bertindak dengan
tujuan mempengaruhi opini orang lain, mengejar perubahan atau mencegah perubahan
opini. Mereka adalah makelar yang membujuk orang lain agar ikut dan setuju dengan ide
yang ditawarkannya.8
Salah satu karya yang mengungkap landasan teoritis tentang komunikasi politik
terungkap dalam buku Political Communication, Issues and Strategies for Research. Buku
yang disunting Steven H. Chaffee (1975) ini juga mengungkap kasus di lapangan yang
masih terbatas pada kegiatan-kegiatan politik praktis.
Dalam operasionalisasinya, komunikasi politik dikembangkan berdasarkan
sejumlah teori tindakan komunikatif terkait rasio dan rasionalisasi masyarakat
dikembangkan para ilmuan komunikasi. Di antaranya, Jurgen Habermas menulis Theori
des Kommunikativen Handelns, secara umum menerangkan bahwa; the theory of
communicative action memiliki tiga tujuan yang terkait satu sama lain: 1) Mengembangkan
konsep rasionalitas yang tidak lagi terikat pada dan dibatasi oleh premis-premis subjektif
filsafat modern dan teori sosial. 2) Merekonstruksi konsep masyarakat dua-level yang
mengintegrasikan dunia kehidupan dan paradigma sistem. 3) Mensketsakan, berdasarkan
latar belakang di atas, teori kritis tentang modernitas yang menganalisis dan membahas

8
Anwar Arifin, Komunikasi Politik: Paradigma, Teori, Aplikasi, Strategi dan Komunikasi Politik
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003.
patalogi-patalogi dengan suatu cara yang lebih menyarankan adanya perubahan arah
daripada pengabaian proyek pencerahan.9

Dalam perspektif Allan G. Johnson yang menegaskan bahwa sistem sosial dalam
struktur organisasi sebagai alternatif menguatnya pengaruh individu.10 Jika perspektif ini
diadopsi, maka tampaknya rasionalitas masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya
banyak dipengaruhi dari akses berita politik media. Dalam realitasnya, aspek rasionalitas
masyarakat dalam menentukan pilihan-pilihan politiknya pada umumnya masih
dipengaruhi pemberitaan media. Pilihan politik yang mengedepankan rasionalitas,
sejatinya diputuskan berdasarkan hati nurani atau pilihannya secara personal tanpa
intervensi siapapun. Menurut Allan G. Johnson, pilihan rasional ditentukan pada
kepentingan diri yang tetap dipertautkan dengan sistem sosial.11
Selain itu, media juga mengembangkan pengkajian wacana politik dengan
menggunakan analisis wacana. Wacana (discourse) tidak hanya mencakup ucapan-ucapan
dan bentuk-bentuk komunikasi nonverbal, tetapi juga mencakup segala macam "teks"
dalam pengertiannya yang luas. Bila dilihat dari perspektif extra linguistic, kata "text"
dapat diperlebar pemakaiannya meliputi pesan-pesan yang dirumuskan melalui sistem
tanda, seperti tanda lampu lalu lintas, upacara-upacara ritual keagamaan, atau adat
masyarakat tertentu, gaya-gaya pakaian, gerak tubuh, atau juga kode indikator yang
bersifat elektronik.12

9
Jurgen Habermas, Theori des Kommunikativen Handelns, Bab I: Handlungsrationalitat und
gesellschaftliche Rationalisierung, Suhrkamp Verlag, 1981. 10Allan G. Johnson, The Blackwell
Dictionary of Sociology: A User's Guide to Sosiological Language, (First Publiseh, USA, 1995), h. 225.
10
Allan G. Johnson, The Blackwell Dictionary of Sociology: A User's Guide to Sosiological Language,
(First Publiseh, USA, 1995), h. 225.
11
Ibid
12
Anthony C. Thiselton, New Horizon In Hermeneutics, (Michigan: Zondervan Publikation House,
1992), h. 55. Bandingkan Jorge J. E. Gracia, A Theory of Textuality: The Logic and Epistemology, (New
York: State University of New York Press, 1995), h. 4.Jorge J. E. Gracia memaknai, kata "text" berasal
dari bahasa Latin textus yang berarti texture, tissue, structure, in relation to language, construction,
combination, dan connection. Sedangkan secara terminologi, Gracia memberikan pengertian sebagai
berikut: A text is a group of entities. Used as sign, which are selected, arranged, and inteoried by an
author in certain context to convey some spesific meaning to an audience. Dari definisi yang
dikemukakan di atas, terdapat enam unsur dalam pengertian teks, yakni (1) adanya entitas yang
menempati teks. Sebuah teks pasti, setidaknya, terdiri atas goresan pena, baik berupa titik, garis, maupun
polesan tinta yang membentuk sebuah teks, (2) setiap teks digunakan sebagai tanda (sign) yang ingin
dipesankan, (3) setiap teks memiliki arti yang khusus, (4) setiap teks bersifat disengaja (intentional)
Kebanyakan komunikasi, baik lisan maupun tertulis, dari yang biasa sampai yang
terinci, terdiri atas aksi-aksi yang kompleks yang membentuk "pesan-pesan" atau "wacana"
(discourse). Sedangkan studi tentang struktur pesan disebut sebagai analisis wacana
(discourse analysis). Menurut Scott Jacobs, ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian
dalam studi ini: pertama, analisis wacana disusun oleh para komunikator dengan cara dan
prinsip tertentu agar seseorang mengetahui arti yang ingin disampaikan. Kedua, analisis
wacana dipandang sebagai masalah aksi. Sehingga, pengguna bahasa mengetahui bukan
hanya aturan-aturan tata bahasa, melainkan jugs aturan-aturan untuk menggunakan unit-
unit yang lebih besar untuk mencapai tujuan pragmatik dalam situasi sosial tertentu.
Ketiga, analisis wacana dipandang sebagai suatu pencarian prinsip-prinsip yang digunakan
oleh komunikator aktual dari prespektif mereka, atau dengan kata lain, analisis wacana
tertarik pada aturan-aturan transaksi pesan.13
Menurut Van Dijk (1997), kerangka teoretis yang mendasari perbincangan kita
mengenai wacana politik (political discourse) selalu tidak bisa terlepas dari kesadaran
politik (political cognition) masyarakatnya. Hal ini sangat terkait dengan berbagai level
dan dimensi dari wilayah politik (political domain). Level yang paling dasar adalah aktor
politik yang di dalamnya terdiri atas dimensi gagasan, pandangan, wacana, dan interaksi
dalam situasi politik tertentu. Level tengah adalah institusi atau kelompok politik, termasuk
di dalamnya adalah keterwakilannya (shared representations) di dalam pergumulan politik,
wacana kolektif, hubungan, dan interaksi yang dibangun. Sedangkan level yang paling
tinggi adalah sistem politik, termasuk di dalamnya adalah dimensi keterwakilan yang
abstrak, aturan wacana (orders of discourse), dimensi sosial politik, budaya, dan proses
sejarah.
Pandangan-pandangan di atas menggambarkan kepada kita bahwa makalah tentang
wacana politik, baik langsung maupun tidak langsung, baik melalui media, seperti analisis
isi, melalui survei, maupun melalui wawancara, merupakan analisis multilevel. Artinya,

dibuat oleh si pembuat (author) atau dengan kata lain, setiap teks tidak dengan sendirinya berwujud,
setiap teks muncul melalui pemilihan dan penyusunan, dan setiap teks selalu didasarkan pada konteks
tertentu.
13
Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, 6th edition, (California: Wadawort
Publishing Company, 1999), h. 83-84.
analisis wacana politik tidak semata-mata membicarakan hal-hal yang diucapkan atau
dituliskan (talk and text), tetapi juga mencakup semua konteks yang melingkupinya.
Analisis terhadap wacana media biasanya menggunakan pendekatan analisis ragam
tingkat (multilevel analysis). Dalam konteks ini, Fairdough menyatakan bahwa seorang
peneliti, di samping memperhatikan hal-hal yang bersifat tekstual, ia juga harus
memperhatikan hal-hal yang bersifat kontekstual dan ekstramedia. Ia mengemukakan
konsep analisis antarteks (intertextuality analysis) dengan istilah "Analisis Wacana Kritis"
(Critical Discourse Analysis). Pendekatan ini disebut "wacana" (discourse) karena
merupakan konsep yang digunakan oleh para ahli dan peneliti ilmu sosial dan ahli bahasa.
Sedangkan disebut "kritis" (critical) karena keberadaannya diakui, baik dalam praktik
sosial secara umum maupun dalam penggunaan bahasa secara khusus, memiliki hubungan
sebab-akibat yang telah disadari sekalipun dalam kondisi yang normal. Wacana ini selalu
merujuk pada penggunaan bahasa, baik lisan maupun tulisan.14
Menurut Van Dijk, Critical Discourse Analysis lebih menekankan pada aspek
sosiohistoris yang melingkupi struktur teks. Dengan demikian, tujuan analisis ini adalah
untuk mengetahui lebih dalam mengenai aspek-aspek sosiokultural yang melingkupi
seluruh teks, termasuk juga memahami berbagai hal menyangkut struktur organisasi dan
cara kerja dalam produksi teks. Sementara itu, media kini mengubah kehidupan masyarakat
sehingga membentuk hiper realitas yang menjadi bagian fungsional dalam berbagai
struktur masyarakat, terutama hadirnya televisi dan internet yang mengambil alih fungsi
sosial manusia.15 Dalam kajian ini dinicayakan bahwa media perlu dikontrol untuk
memberikan pendidikan politik, berupa membangun kesadaran masyarakat melalui saluran
informasi media. Dengan demikian jelas bahwa media memiliki peran penting dalam
sirkulasi pesan-pesan politik kepada masyarakat. Melalui media, seorang politisi dapat
membangun pencitraan dirinya sehingga memiliki tingkat keterpilihan tinggi.
B. Pengaruh Televisi
Pada saat ini hampir seluruh keluarga di negara kita memiliki pesawat televisi
sebagai salah satu media penghibur keluarga yang dapat memberikan hiburan hampir 24

14
Norman Fairdough, Media Discourse, (New York: Edward Arnold, 1995), h. 54
15
Burhan Bungin, Pornomedia: SosiologiMedia, Konstruksi Sosial Tekhnologi Telematika dan Perayaan
Seks di Media Massa, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 5
jam terus menerus baik yang disiarkan oleh stasiun televisi pemerintah maupun stasiun
televisi swasta. Orang tua menyediakan televisi di rumah bahkan di kamar dengan tujuan
agar anak merasa betah tinggal di rumah atau tidak mengganggu orang tua yang sedang
sibuk bekerja atau sekedar istirahat melepaskan lelah setelah seharian bekerja di luar
rumah. Bahkan tidak jarang para orang tua menambahkan fasilitas program televisi satelit
atau DVD di rumahnya agar anak merasa semakin nyaman berada di rumah.
Anak yang sudah kecanduan televisi, cenderung malas untuk berinteraksi sosial dan
menjadi pasif. Interaksi dengan teman dan keluarga digantikan dengan keasyikan
menonton suguhan di layar kaca. Begitu pula kesempatan mengembangkan minat akan
hilang, sebab minatnya hanya tertuju pada televisi. Hal ini tentu tidak baik terhadap
perkembangan sosial, motorik maupun emosionalnya. Anak akan lebih sulit bekerjasama,
mengendalikan emosinya.
Ironisnya, di tengah-tengah peran vitalnya selaku media hiburan keluarga, dunia
pertelevisian kini telah mengalami disorientasi dalam ikut mendidik penontonnya. Dunia
pertelevisian kini terancam oleh unsur-unsur vulgarisme, kekerasan, dan pornografi.
Ketiga unsur tersebut hampirhampir menjadi sajian rutin di sejumlah stasiun televisi serta
dapat ditonton secara bebas bahkan oleh kalangan anak-anak. Padahal ketiga unsur itu
mestinya dicegah agar tidak ditonton oleh anak-anak mengingat kondisi psikologi mereka
yang belum mampu membedakan mana hal-hal yang positif dan mana hal-hal yang negatif
dari sebuah tayangan televisi.
Kita akui, tayangan televisi seperti sinetron hanya sebatas rekaan sutradara yang
tak mesti sejalan dengan realitas pergaulan remaja kita sehari-hari. Tetapi, karena televisi
telah menjadi media publik yang ditonton secara luas, termasuk kalangan anak-anak, maka
akan memberi dampak kurang positif jika isinya bersifat vulgar. Di samping itu, judul
sinetron yang selalu mengambil topik-topik tentang percintaan dan pacaran sedikit banyak
akan mengajari anak-anak untuk berpacaran, tampil sexy, bergaya hidup trendi dan
berorentasi dengan gaya hidup “yang penting happy”. Walaupun tayangan ini belum tentu
ditiru namun tetap akan mengontaminasi pikiran polosnya. Karena efek tayangan televisi
selama ini terbukti cukup ampuh bagi mereka. Simak saja, tingkah laku sebagian anak-
anak remaja kita yang sangat mengidolakan tokoh-tokoh film percintaan dan sejenisnya.
Bertolak dari sini, dapat digarisbawahi bahwa penayangan bertemakan remaja yang
kental nuasa percintaannya serta mengambil latar belakang anak sekolah seperti berseragan
putih biru untuk SLTP maupun berseragan putih abu-abu untu SLTA justru kurang
memberikan pengaruh positif bagi tumbuhnya remaja yang cerdas, berakhlak mulia,
kreatif, disiplin dan lain-lain. Hal inilah yang membuat orang tua menjadi khawatir dan
sangat menyayangkan pemutranan sinetron yang miskin kandungan nilainya seperti itu.

1. Media Massa Elektronik

Media massa adalah (dalam bahasa Inggris: Mass Media) singkatan yang
berasal dari Media Komunikasi Massa dalam bahasa Inggris Mass Communication
Media, yang berarti media massa yaitu sarana penyampaian pesan-pesan, aspirasi
masyarakat, sebagai alat komunikasi untuk menyebarkan berita ataupun pesan
kepada masyarakat langsung secara luas. Dengan kata lain media massa elektronik
adalah media massa yang dalam menyampaikan informasinya menggunakan jasa
listrik.Tanpa adanya listrik media massa ini tidak akan dapat berfungsi misalnya
radio dan televisi.

Televisi adalah media massa yang memancarkan gambar atau secara mudah
dapat disebut dengan radio “with picture” atau “movie at home”. Televisi
merupakan media yang paling efektif dan efisien dalam penyampaian pesan-pesan
atau ide-ide dari si penyampai pesan, karena media televisi tidak hanya
mengeluarkan suara saja tetapi juga disertai dengan gambar dan warna. Televisi
adalah sebuah media telekomunikasi terkenal yang digunakan untuk memancarkan
dan menerima siaran gambar bergerak, baik itu yang monokrom (hitam putih)
maupun warna, biasanya dilengkapi oleh suara. Televisi juga dapat diartikan
sebagai kotak televisi, rangkaian televisi atau pancaran televisi. Kata “televisi”
merupakan gabungan dari kata tele yang berarti jauh dari bahasa Yunani dan visio
berarti penglihatan dari bahasa Latin. Sehingga televisi dapat diartikan sebagai
telekomunikasi yang dapat dilihat dari jarak jauh. Di Indonesia televisi secara tidak
formal disebut dengan TV, tivi, teve atau tipi.

A) Pengertian media massa menurut para ahli:


- Menurut (Cangara, 2002) – Media massa adalah alat yang
digunakan dalam penyampaian pesan-pesan dari sumber kepada
khalayak (menerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi
mekanis seperti surat kabar, film, radio, TV.
- Sedangkan menurut (Rakhmat, 2001) – Media massa adalah faktor
lingkungan yang mengubah perilaku khalayak melalui proses
pelaziman klasik, pelaziman operan atau proses imitasi (belajar
sosial). Dua fungsi dari media massa adalah media massa memenuhi
kebutuhan akan fantasi dan informasi.

B) Jenis-jenis media massa:


- Media Cetak, misalnya seperti: Majalah, Koran, Surat Kabar dll.
- Media Elektronik, misalnya seperti: Radio, TV, Film atau Video,
dll.
- Media Siber, misalnya seperti: Media Sosial, Website, Portal Berita,
Blog, dll
C) Adapun fungsi media massa, diantaranya sebagai berikut ini:
- Sebagai pemberi informasi – pemberi informasi kepada masyarakan
umum, secara tepat waktu.
- Sebagai pengambilan keputusan – Berperan dalam menghantarkan
informasi untuk mengambil keputusan.
- Sebagai bahan untuk diskusi, memperjelas permasalahan yang
dihadapi serta menyampaikan pesan-pesan para pemuka
masyarakat.
- Sebagai pendidik – Sebagai pemberi pendidikan kepada masyarakat
melalui berbagai macam informasi.
C. Pengaruh Surat Kabar
Pengaruh dapat dikatakan sebagai dampak, pengaruh dalam penulisan ini dapat
diartikan sebagai adanya suatu hubungan yang sangat signifikan antara sesuatu yang
terkait, yang dilakukan atau dapat dikatakan bahwa pengaruh adalah suatu perubahan
dalam suatu variabel yang dapat berakibat terhadap variabel lainnya.
Menurut Chilcote, (2003:307) menyatakan bahwa: ”Pengaruh merupakan
kemampuan untuk membuat pihak-pihak lain bertindak, dan agregasi kepentingan dapat
mempengaruhi beberapa tindakan politik, opini publik, juga dapat memberikan pengaruh
yang menentukan”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa; Pengaruh adalah daya
yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak,
kepercayaan, atau perbuatan seseorang (Depdiknas Edisi ke Tiga 2003: 849). Selain itu
pengaruh juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk membuat pihak-pihak lain
bertindak.
Surat kabar sebagai pemberi informasi karena dengan pemberitaan-pemberitaan
yang menggambarkan segala sesuatu yang sedang berlangsung disekitarnya ini akan
memberikan titik terang kepada para pembaca tentang apa yang terjadi atau peristiwa yang
sedang berlangsung disekitarnya.
Surat kabar merupakan sinonim dari Koran, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
dinyatakan bahwa surat kabar merupakan lembaran-lembaran kertas yang bertuliskan
kabar atau berita yang terbagi-bagi atas kolom-kolom, terbit setiap hari atau secara periodik
(Depdiknas Edisi Ke tiga, 2003: 595).
Menurut Abidin, (2006: 32) menyatakan bahwa: “Berita merupakan laporan
tentang suatu peristiwa yang telah ataupun sedang terjadi, yang memerhatikan dan
mengedepankan sisi kemanusiaan serta menarik perhatian sebagian besar pembaca/
pendengar/ penontonnya”.
Salah satu media yang sifatnya statis dan mengutamakan pesan-pesan visual adalah
media cetak. Media cetak terdiri dari dua macam yaitu surat kabar dan majalah. Surat kabar
dinilai lebih up to date dalam menyajikan berita yang akan disampaikan kepada khalayak
jika dibandingkan dengan majalah.
Media secara harfiah dapat diartikan sebagai perantara, penyampai, atau penyalur.
Pada zaman lampau atau bahkan pada zaman sekarang dikampung-kampung pelosok tanah
air inipun “Media” banyak digunakan orang.
Dalam mewujudkan proses politik tentunya adanya rasa politik individu dan
kelompok masyarakat dalam berbagai kegiatan politik. Kesadaran politik ini sudah barang
tentu ditopang dengan pemahaman yang tinggi melalui sosialisasi kepada individu dan
kelompok masyarakat sehingga dengan demikian timbulnya orientasi psikologi politik
yang ideal, dimana anggota masyarakat berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan politik
Oleh karena itu, kesadaran dan pemahaman politik merupakan penunjang

dalam mewujudkan stabilitas politik masyarakat dengan kesadaran dan pemahaman


politik pula setiap sikap dan perilaku masyarakat secara partisipasi dapat terwujud
sebagaimana mestinya. Salah satu media yang dapat mempengaruhi perilaku masyarakat
antara lain adanya surat kabar yang dapat dibaca berulang-ulang dimana saja dan kapan
saja. Dengan berlangganan surat kabar dan membaca surat kabar khususnya berita-berita
mengenai bidang politik, kesadaran masyarakat akan arti pentingnya partisipasi dapat kian
terwujud, masyarakat yang cerdas pasti senantiasa ikut andil dan aktif dalam setiap
kebijakan yang diambil pemerintah. Dan semakin banyak masyarakat yang berlangganan
surat kabar maka pengetahuan masyarakat akan semakin meluas dalam segala hal dan
menjadikan masyarakat semakin tanggap mengenai permasalahan-permasalahan yang ada
di Negara ini. Meskipun pada dasarnya membuat seseorang untuk berpartisipasi itu
tidaklah mudah, ada saja masyarakat yang enggan untuk berpartisipasi, padahal
keikutsertaan masyarakat dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah berdampak bagi
masyarakat itu sendiri, apabila masyarakat menentukan kebijakan yang positif, yang
didukung oleh pelaksanaan dan pengawasan yang baik, maka yang dihasilkan pun akan
menjadi baik. Namun apabila masyarakat atau warga Negara memilih seorang pemimpin
yang salah dalam artian pemimpin yang tidak jujur, maka yang dirugikan adalah
masyarakat itu sendiri, jadi, pilihan itu sebenarnya ada ditangan masyarkat kita sendiri, jika
memilih yang baik, maka hasilnya pun akan baik mengingat Indonesia adalah Negara
Demokrasi yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Surat kabar
sebagai media penyampaian informasi politik memberikan pengaruh yang cukup
signifikan terhadap partisipasi politik masyarakat.
D. Teori Kultivasi

Pencetus Teori kultivasi, George Gerbner, menganggap televisi sebagai sebuah


kekuatan yang dominan di zaman modern ini. Argumen Gerbner didasarkan pada kenyataan
bahwa televisi telah menjadi ‘anggota keluarga baru’ dimana ia memiliki akses terbatas
terhadap setiap anggota keluarga. Dalam bahasa yang lebih ekstrim, Gerbner bahkan menuding
televisi sebagai agama baru, karena menonton televisi tidak ubahnya bagaikan ritual
keagamaan seperti pergi ke gereja bagi pemeluk Kristiani.

Lantas, apa yang paling mrngasyikkan yang ditonton pemirsa televisi setiap harinya?
Gerbner menunjuk tayangan-tayangan kekerasan-lah yang merekan sukai. Pendapat Gerbner
tentang efek negatif televisi hanya salah satu dari banyak teori yang menghubungkan efek
media dengan kekerasan. Ditengarai bahwa selain televisi, jenis-jenis media lain semacam
buku komik, atau video game juga mengakibatkan efek negatif, tapi bagi Gerbner televisi
‘tersangka utama’. Keyakinannya itu berdasrakan pada penelitian yang telah dilakukannya.
Selama hapir dua dekade, Gerbner telah memelopori riset yang intensif tentang hubungan
taynagn (program) televisi dengan tingkat kekerasan, ia juga mengategorisasikan atau
mengelompokkan penonton berdasrakan intensitas (lamanya) mereka menonton televisi, serta
prilaku-prilaku lainnya.

1. Efek Kultivasi
Menilik pada keunkan dan pada peran sentralnya dalam kehidupan kita,
Gerbner dkk mengemukakan bahwa televisi akan ‘menanamkan’ cara
pandangterhadap dunia. Gagasannya terletak pada efek penanaman realitas yang
meyakini bahwa televisi dapat menciptakan seperangkat kepercayaan atau nilai-
nilai baru tentang realitas yang di sosialisasikannya dalam jangka waktu yang lama.
E. Kesimpulan
Dalam konteks politik modern, media massa tidak hanya menjadi bagian integral
dari politik, tetapi juga memiliki posisi yang sentral dalam politik. Rancangan kebijakan
harus disebarluaskan agar rakyat mengetahui dan ikut mendiskusikannya dalam berbagai
bentuk forum diskusi publik. Tuntutan atau aspirasi msyarakat yang beraneka ragam harus
diartikulasikan. Semuanya membutuhkan saluran atau media untuk menyampaikannya.
Media massa merupakan saluran komunikasi politik yang banyak digunakan untuk
kepentingan-kepentingan seperti ini. Hal tersebut dikarenakan sifat media massa yang
dapat mengangkat pesanpesan (informasi dan pencitraan) secara massif dan menjangkau
khalayak atau publik yang beragam, jauh, dan terpencar luas. Pesan politik melalu media
massa akan sangat kuat mempengaruhi perilaku politik masyarakat. Pentingnya perilaku
politk dalam menunjang keberhasilan pembangunan politik tampak dari perhatian ilmuwan
politik yang tetap besar terhadap masalah ini. Asumsi umum menunjukkan bahwa
demokrasi dapat dipelihara dan dipertahankan karena terdapat partisipasi warga negara
yang aktif dalam urusan kewarganegaraan. Partisipasi aktif mereka dalam kehidupan
politik tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan informasi, dan saluran atau media yang
paling efektif untuk penyebaran informasi adalah media massa.

Anda mungkin juga menyukai