Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Kanker atau disebut juga dengan karsinoma, merupakan penyakit yang
disebabkan rusaknya mekanisme pengaturan dasar perilaku sel, khususnya
mekanisme pertumbuhan dan diferensiasi sel yang diatur oleh gen; sehingga
faktor genetik diduga kuat sebagai pencetus utama terjadinya kanker. Salah satu
jenis kanker adalah kanker leher rahim (serviks). Kanker serviks merupakan salah
satu ancaman malignansi terbesar bagi wanita. Di negara sedang berkembang,
kanker serviks menduduki urutan teratas bagi kanker ginekologi wanita dan
mencakup 20-30% dari keseluruhan kanker yang menginfeksi wanita (Edianto,
2006; Rosai, 2004). Sel kanker serviks atau disebut juga sel HeLa terjadi akibat
infeksi Human Papillomavirus (HPV 18) sehingga mempunyai sifat yang berbeda
dengan sel serviks normal. Sel kanker serviks yang diinfeksi HPV diketahui
mengekspresikan 2 onkogen, yaitu E6 dan E7. Protein E6 dan E7 terbukti dapat
menyebabkan sifat imortal pada kultur primer keratinosit manusia, namun sel
yang imortal ini tidak bersifat tumorigenik hingga suatu proses genetik terjadi.
Jadi, viral onkogen tersebut tidak secara langsung menginduksi pembentukan
tumor, tetapi menginduksi serangkaian proses yang pada akhirnya dapat
menyebabkan sifat kanker (Goodwin dan DiMaio, 2000). Sifat immortal tersebut
disebabkan karena kedua viral onkogen tersebut dapat menghambat ekspresi gen
p53 (Prayitno et al., 2005). Gen p53 adalah gen yang mengendalikan apoptosis
(Kumar et al., 2003).
Berbagai macam senyawa telah dikembangkan melawan kanker yang
meliputi senyawa-senyawa pengalkilasi, antimetabolit, obat-obat radiomimetik,
hormon dan senyawa antagonis. Akan tetapi tak satupun jenis senyawa-senyawa
ini menghasilkan efek yang memuaskan dan tanpa efek samping yang merugikan
(Astuti et al., 2005). Oleh karena itu mulai banyak dilakukan penelitian tentang
bahan obat antikanker yang berasal dari alam. Keunggulan obat bahan alam

ii
adalah memiliki efek samping yang relatif kecil bila digunakan dengan benar dan
tepat (Ixora, 2007).
Keanekaragaman hayati perairan laut Indonesia memberi peluang untuk
memanfaatkan biota laut untuk pencarian senyawa bioaktif yang baru, salah
satunya adalah spons. Penelitian yang telah ada terhadap spons menghasilkan
senyawa-senyawa baru dengan struktur yang unik dan memiliki aktivitas
farmakologis (Astuti et al., 2005). Salah satu senyawa yang dihasilkan oleh spons
genus Aaptos adalah aaptamin yang berpotensi sebagai senyawa antikanker (Aoki
et al., 2006), yang bekerja dengan mekanisme apoptosis (Mayer, 2008).
Sebelum diaplikasikan kepada manusia, senyawa bioaktif yang akan
digunakan sebagai produk farmasi harus diujikan terlebih dahulu. kepada hewan
percobaan (Doyle dan Griffiths, 2000). Uji sitotoksisitas untuk skrining senyawa
antikanker adalah metode BST (Brine Shrimp Test) (Astuti et al., 2005). Hasil
dari uji BST dari spons yang ditemukan di perairan Situbondo menunjukkan
bahwa A. suberitoides memiliki tingkat toksisitas yang paling tinggi dengan nilai
LC50 134.14 ± 36.61 ppm (Nurhayati et al, 2008). Selain uji BST juga perlu
dilakukan uji sitotoksisitas secara in vitro, yaitu mendeteksi aktivitas suatu
senyawa dengan menggunakan kultur sel (Meyer, 1982). Uji sitotoksisitas ini
merupakan uji kualitatif dan kuantitatif dengan cara menetapkan kematian sel
(Freshney, 2000).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana deskripsi Spons Aaptos suberitoides ?
2. Apa yang dimaksud dengan kanker He la ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui tentang Spons Aaptos suberitoides
2. Untuk mengetahui tentang kanker He la

ii
BAB II

KERANGKA TEORI

2.1 Deskripsi Spons Aaptos Suberitoides

Spons Aaptos suberitoides merupakan jenis spons yang membentuk massa


lobus globular (Voogd, 2004), lebih lanjut Brondsted (1934) dalam Van Soest
(1989) menjelaskan struktur dari A. suberitoides adalah kumpulan dari lobus
globular osculiferus, berwana orange kecoklatan, memiliki permukaan kasar
(gambar 2.1) dan berwarna hitam apabila dimasukkan ke dalam alkohol. Spikula
dari kelas Demospongia berbentuk monaxon atau tetraxon yang mengandung
silikat (Amir dan Agus, 1996). Berikut merupakan klasifikasi dari Aaptos
suberitoides menurut Schmidt (1964) :

Domain : Eukariota
Kingdom : Animalia
Phylum : Porifera
Class : Demospongiae
Ordo : Hadromerida
Family : Suberitidae
Genus : Aaptos
Species : Aaptos suberitoides

Gambar 2.1

ii
2.2 Kanker

Menurut Franks L. M. dan Teich N. M. (1998), sel kanker itu timbul dari sel
normal tubuh kita sendiri yang mengalami transformasi menjadi ganas, karena
adanya mutasi spontan atau induksi karsinogen (bahan/agen pencetus terjadinya
kanker). Transformasi sel itu terjadi karena mutasi gen yang mengatur
pertumbuhan dan diferensiasi sel, yaitu proto-onkogen dan atau suppressor gen
(anti onkogen). Sedangkan paparan karsinogen antara lain berbagai jenis virus,
bahan kimia dan radiasi, ultraviolet. Sebagian besar karsinogen tersebut memiliki
sifat biologis yang sama yaitu dapat mengakibatkan kerusakan pada DNA.
Kesamaan sifat ini menimbulkan dugaan bahwa DNA sel merupakan sasaran
utama semua bahan karsinogenik dan bahwa kanker disebabkan perubahan DNA
sel (Kresno, 2003).

Apabila perbaikan DNA karena adanya perubahan DNA tersebut gagal,


maka terjadi mutasi genom. Adanya mutasi mengakibatkan pengaktifan onkogen
pendorong pertumbuhan, perubahan gen yang mengendalikan pertumbuhan, serta
penonaktifan gen supresor kanker. Ketiga hal tersebut mengakibatkan timbulnya
neoplasma ganas atau lebih dikenal dengan kanker (Kumar et al., 2003).

2.3 Sel Kanker HeLa

Sel Hela adalah sel yang berasal dari sel-sel kanker serviks yang diambil
dari seorang penderita kanker serviks bernama Henrietta Lacks. Sel ini bersifat
imortal dan produktif sehingga banyak digunakan dalam penelitian ilmiah
(Rahbari et al., 2009; Capes et al., 2010; Watts and Denise, 2010). Sel HeLa
melakukan proliferasi dengan sangat cepat dibandingkan dengan sel kanker
lainnya. Rebecca Skloot’s dalam The Immortal Life of Henrietta Lacks
menjelaskan bahwa sel HeLa mempunyai telomerase aktif selama pembelahan sel,
sehingga mencegah pemendekan telomere yang menyangkut penuaan dan
kematian sel (Sharrer, 2006). Transfer gen horizontal dari human papillomavirus
18 (HPV18) ke sel serviks manusia menghasilkan genom HeLa yang berbeda dari

ii
genom induk dengan berbagai cara termasuk jumlah kromosomnya (Macville et
al., 1999).

Sel kanker serviks yang diinfeksi HPV diketahui mengekspresikan 2


onkogen, yaitu E6 dan E7. Protein E6 dan E7 dari HPV memodulasi protein
seluler yang mengatur daur sel. Protein E6 berikatan dengan tumor suppressor
protein p53 dan mempercepat degradasi p53 yang diperantarai ubiquitin. Protein
E6 juga menstimulasi aktivitas enzim telomerase. Sedangkan protein E7 dapat
mengikat bentuk aktif terhipofosforilasi dari p105Rb dan anggota lain dari famili
Rb. Ikatan ini menyebabkan destabilisasi Rb dan pecahnya kompleks Rb/E2F
yang berperan menekan transkripsi gen yang diperlukan untuk cell cycle
progression (DeFilippis, et al., 2003). Sebagian besar sel kanker serviks, termasuk
sel HeLa, mempunyai gen p53 dan p105Rb dalam bentuk wild type. Jadi, gen
pengatur pertumbuhan yang aktif dalam sel normal ini juga terdapat dalam sel
kanker serviks. Namun, aktivitasnya dihambat oleh ekspresi protein E6 dan E7
dari HPV (Goodwin dan DiMaio, 2000).

2.4 Siklus Sel

Siklus sel terdiri dari beberapa fase yaitu fase Gap 1 (G1), S (Sintesa), Gap
2 (G2), dan M (Mitosis) (gambar 2.4) (Rang et al., 2003). Lamanya siklus tersebut
berbeda-beda pada berbagai macam organisme. Pada sel normal manusia sekitar
20-24 jam. Fase G1 membutuhkan waktu 8-10 jam, fase S 6-8 jam, fase G2 5 jam
dan fase M 1 jam. Waktu generasi untuk kultur sel pada umumnya sama dengan
sel normal (Freshney, 2000).

Masuk dan berkembangnya sel melalui siklus sel dikendalikan melalui


perubahan pada kadar dan aktivitas suatu kelompok protein yang disebut siklin.
Pada tahapan tertentu siklus sel,kadar berbagai siklin meningkat setelah
didegradasi dengan cepat saat sel bergerak melalui siklus tersebut. Siklin
menjalankan fungsi regulasinya melalui pembentukan kompleks dengan (sehingga
akan mengaktivasi) protein yang disintesis secara konstitutif yang disebut kinase
bergantung siklin (CDK, cyclindependent kinase). Kombinasi yang berbeda dari

ii
siklin dan CDK berkaitan dengan setiap transisi penting dalam siklus sel, dan
kombinasi ini menggunakan efeknya dengan memfosforilasi sekelompok substrat
protein tertentu (Kumar et al., 2003).

1. Fase G1
Pada fase G1 terutama disintesis asam ribonukleat, sel akan tumbuh,
struktur sitoplasma tertentu akan berdiferensiasi (Mutschler, 1999). Selama
fase ini nukleus membesar dan volume sitoplasma meningkat dengan cepat
sehingga disebut fase sintesis, protein yang dapat memacu pembelahan sel,
tubulin dan protein yang akan membentuk spindel (Suryo, 2007).
2. Fase-S
Pada fase-S ini dibentuk untai DNA baru melalui proses replikasi.
Replikasi DNA terjadi dengan bantuan enzim DNA-polimerase. Dengan
dibentuknya DNA baru maka rantai tunggal DNA menjadi rantai ganda
(Sukardja, 2000). Pada fase S dengan pembentukan asam deoksiribonukleat
baru, jumlah kromosom akan berlipat dua dan dengan ini pembelahan sel
akan dipersiapkan (Mutschler, 1999). Suryo (2007) menyebutkan bahwa pada
akhir fase ini terbentuk 2 kromatid.
3. Fase-G2
Pada fase ini dibentuk RNA, protein, enzim, dan sebagainya untuk
persiapan fase berikutnya yaitu fase-M (Sukardja, 2000). Fase ini disebut juga
fase pramitosis dengan ciri sel berbentuk tetraploid, mengandung DNA dua
kali lebih banyak daripada sel fase lain dan masih berlangsungnya sintesis
DNA dan protein (Nafrialdi dan Gan, 1995). Selain itu, pada fase G2
kromosom sudah ada dalam bentuk kromatida (Mutschler, 1999).
Apabila terjadi kerusakan DNA dan DNA tidak bereplikasi dengan
sempurna, maka proliferasi sel manuju fase M diblok dan dihentikan pada
fase G2. Kontrol siklus sel ini dilakukan oleh protein kinase ChkI yang
memicu fosforilasi protein fosfate Cdc25 sehingga menjadi tidak aktif. Hal ini
menyebabkan fase M diblok karena tidak terbentuknya cdk1/siklin B sebagai
regulator menuju fase M (Cooper, 2000). Penghentian pada fase G2

ii
dilakukan untuk perbaikan DNA, tetapi jika perbaikan DNA tidak dapat
dilakukan maka terjadi apoptosis (Freshney, 2000)
4. Fase-M
Pada fase ini sintesis protein dan RNA berkurang secara tiba-tiba dan
terjadi pembelahan menjadi dua sel (Nafrialdi dan Gan, 1995). Pembelahan
menjadi dua sel ini terdiri dari empat tahap, yaitu profase, metaphase,
anaphase, dan telofase. Pada awal fase mitosis ditandai dengan terbentuknya
benang spindel dan pada akhirnya terjadi pemisahan kromosom (pusztai et
al., 1996).

2.5 Apoptosis
Apoptosis adalah program kematian sel sebagai respon fisiologis sel untuk
mengeliminasi sel-sel yang tidak dibutuhkan tubuh. Apoptosis berperan secara
esensial dalam embryogenesis dengan mengeliminasi sel-sel yang jumlahnya
berlebihan. Apoptosis juga berperan dalam memantau perubahan pada selsel
kanker. Apoptosis menjadi garis pertahanan pertama untuk melawan mutasi
dengan membersihkan sel-sel DNA abnormal yang dapat menjadi ganas. Dengan
demikian apoptosis merupakan bagian dari system imun dan juga untuk
mengontrol populasi sel normal dalam tubuh (Rang et al., 2003 dalam Meye,
2009).
Proses apoptosis diawali dengan terkondensasinya kromatin di dalam
nukleus menjadi suatu massa yang padat dan DNA terfragmentasi kemudian
sitoplasmanya menyusut (gambar 2.5). Selanjutnya terjadi pelekukan (blebbing)
pada membran sel. Organel sel dan DNA yang telah terfragmentasi menyebar
menuju ke lekukan-lekukan membran sel membentuk badan apoptosis yang akan
difagosit oleh makrofag (Doyle & Ggriffiths, 2000; King, 2000).
Proses apoptosis dikendalikan oleh berbagai tingkat sinyal sel, yang dapat
berasal dari pencetus ekstrinsik maupun intrinsik. Yang termasuk pada sinyal
ekstrinsik antara lain hormon, faktor pertumbuhan, dan cytokine. Semua sinyal
tersebut harus dapat menembus membran plasma ataupun transduksi untuk dapat
menimbulkan respon (Lumongga, 2008).

ii
gambar 2.5
Sinyal intrinsik apoptosis merupakan suatu respon yang diinisiasi oleh sel
sebagai respon terhadap stress dan akhirnya dapat mengakibatkan kematian sel.
Pengikatan reseptor nuclear oleh glukokortikoid, panas, radiasi, kekurangan
nutrisi, infeksi virus dan hipoksia merupakan kedaan yang dapat menimbulkan
pelepasan sinyal apoptosis intrinsic melalui kerusakan sel (Lumongga, 2008)
1. Extrinsic Pathway (di inisiasi oleh kematian receptor)
Pathway ini diinisiasi oleh pengikatan receptor kematian pada
permukaan sel pada berbagai sel. Reseptor kematian merupakan bagian dari
reseptor tumor nekrosis faktor yang terdiri dari cytoplasmic domain,
berfungsi untuk mengirim sinyal apoptotis. Reseptor kematian yang diketahui
antara lain TNF reseptor tipe 1 yang dihubungkan dengan protein Fas
(CD95). Pada saat Fas berikatan dengan ligandnya, membran menuju ligand
(FasL). Tiga atau lebih molekul Fas bergabung dan cytoplasmic death domain
membentuk binding site untuk adapter protein FADD (Fas-associated death
domain). FADD ini melekat pada reseptor kematian dan mulai berikatan
dengan bentuk inaktif dari caspase 8. Molekul procaspase ini kemudian
dibawa ke atas dan kemudian pecah menjadi caspase 8 aktif. Enzym ini
kemudian mencetuskan cascade aktifasi caspase dan kemudian mengaktifkan
procaspase lainnya dan mengaktifkan enzym untuk mediator pada fase
eksekusi. Pathway ini dapat dihambat oleh protein FLIP, tidak menyebabkan
pecahnya enzym procaspase 8 dan tidak menjadi aktif (Lumongga, 2008).

ii
2. Intrinsic pathway (Mitokondrial)
Pathway ini terjadi oleh karena adanya permeabilitas mitokondria dan
pelepasan mollekul pro-apoptosis ke dalam sitoplasma,tanpa memerlukan
reseptor kematian. Faktor pertumbuhan dan sinyal lainnya dapat merangsang
pembentukan protein antiapoptosis Bcl2,yang berfungsi sebagai regulasi
apoptosis. Protein apoptosis yang utama adalah : Bcl-2 dan Bcl-x, yang pada
keadaan normal terdapat pada membran mitokondria dan sitoplasma. Pada
saat sel mengalami stress, Bcl-2 dan Bcl-x menghilang dari membran
mitokondria dan digantikan oleh pro-apoptosis protein, seperti Bak, Bax.
Bim. Sewaktu kadar Bcl-2, Bcl-x menurun, permeabilitas membran
mitokondria meningkat, beberapa protein dapat mengaktifkan cascade
caspase. Salah satu protein tersebut adalah cytochrom-c yang diperlukan
untuk proses respirasi pada motokondria. Di dalam sitosol, cytochrom c
berikatan dengan protein Apaf-1 (apoptosis activating factor-1) dan
mengaktifasi caspase-9. Protein mitokondria lainnya, seperti Apoptosis
Including Factor (AIF) memasuki sitoplasma dengan berbagai inhibitor
apoptosis yang pada keadaan normal untuk menghambat aktivasi caspase
(Lumongga, 2008)

2.6 Hipotesis

Senyawa antikanker dari spons laut Aaptos suberitoides memiliki pengaruh


terhadap siklus sel HeLa.

ii
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian dan pengujian


Terpadu (LPPT) dan laboratorium patologi klinik fakultas kedokteran Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta pada bulan Januari – September 2021

3.2 Alat dan Bahan


1. Alat

Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah ekstraktor soxhlet,
rotary evaporator, autoclave, cawan porselin, inkubator CO2, tangki nitrogen
cair, tabung conical steril, sentrifuge, timbangan analitik, lemari pendingin,
vorteks, laminar air flow cabinet, tissue culture flask, mikropipet, blue tip,
yellow tip, cell counter, haemacytometer, 6-well plate, tabung eppendorf,
coverslip, gelas benda Poly-LLysine, gelas penutup, mikroskop inverted,
aluminium foil, tabung flowcyto, flowcytometer FACS Calibur dan kamera.

2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak spons Aaptos
suberitoides koleksi Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA ITS yang
diperoleh dari Perairan Pesisir Situbondo Jawa Timur. Sel kanker HeLa
diperoleh dari Laboratorium Parasitologi Kedokteran UGM Yogyakarta. Bahan
lain yang diperlukan adalah medium RPMI (Rosewell Park Memorial Institute)
1640 (Sigma), medium kultur (penumbuh) RPMI 1640 yang mengandung Fetal
Bovin Serum (FBS) 10%, Fungizon 0.5% (v/v) dan antibiotik Penisilin-
Streptomisin 1% (v/v), phosphate buffered saline (PBS) 20%, dan Cisplatin
sebagai kontrol positif. Pada uji apoptosis bahan yang digunakan adalah PBS,
tripsin-EDTA 0,25%, dan reagen flow cytometry.

ii
3.3 Cara Kerja
1. Ekstraksi Spons Laut

Ekstraksi spons dilakukan dengan metode yang dilakukan oleh Harada


dan Kamei (1997) dan Horikawa et al (1999). Spons diambil dan dipotong-
potong menggunakan pisau, selanjutnya ditambahkan alkohol. Potongan
spons dikeringanginkan selama 1 minggu hingga kering. Selanjutnya
potongan spons yang telah kering dihaluskan dengan menggunakan blender
sehingga terbentuk ekstrak kasar. Ekstrak kasar yang telah didapat kemudian
dimaserasi. Ekstrak kasar spons dimasukkan ke dalam maserator dengan
kapasitas 2,5 kg. Ekstrak kasar spons direndam dalam etanol sampai seluruh
ekstrak spon terendam, campuran disaring dan dihasilkan ekstrak spons.
Filtrat spons yang telah didapat dievaporasi. Proses selanjutnya yaitu
pengadukan filtrat dengan stiring magnetic mulai dari pelarut polar hingga
pelarut non polar. Filtrat diaduk dengan pelarut kloroform dengan
perbandingan 1:5. Pengadukan dilakukan dengan replikasi 3 kali selama 2
jam untuk tiap kali replikasi. Dari proses tersebut akan didapatkan filtrat dan
supernatan. Filtrat yang diperoleh dievaporasi untuk menghilangkan etanol.

2. Propagasi Sel HeLa

Kultur sel HeLa diambil dari stok yang disimpan dalam tangki cair
yang diletakkan dalam lokator pada suhu -196°C. Ampul yang berisi sel
dicairkan dalam air ± 37.7 °C, kemudian ampul disemprot dengan alkohol
70%. Ampul dibuka dan sel dipindahkan ke dalam tabung conical steril yang
berisi 10 ml medium RPMI 1640. Suspensi sel disentrifuge dengan kecepatan
1500 rpm selama ± 5 menit. Supernatan dibuang, pellet ditambah 1 ml
medium penumbuh RPMI 1640 yang mengandung FBS 10%. Lalu
diresuspensikan perlahan sampai homogen. Selanjutnya sel ditumbuhkan
dalam beberapa (2-3) buah tissue culture flask kecil dan diinkubasi dalam
inkubator pada suhu 37°C dengan aliran 5% CO2 dan 95% O2. Setelah 24

ii
jam, media diganti dan sel ditumbuhkan sampai konfluen dan jumlahnya
cukup untuk penelitian (Ola et al., 2008; Mae et al., 2000 dalam Meye, 2009).

3.4 Analisis Data

Analisa data dilakukan secara deskriptif, yaitu dengan membandingkan


antara perlakuan dengan kontrol. Analisis siklus sel dilakukan pada fase siklus sel
dimana terjadi akumulasi sel terbesar pada masing-masing perlakuan.

ii
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kultur sel HeLa sering digunakan sebagai model dalam penelitian karena
tumbuh lebih cepat sehingga mampu memproduksi lebih banyak sel dalam satu
flask dan merupakan sel manusia yang umum digunakan untuk kepentingan kultur
sel. Kultur sel HeLa memiliki sifat semi melekat. Hal ini disebabkan karena sel
kultur melepas suatu protein matriks ekstraseluler sehingga menyebabkan sel–sel
tersebut menempel satu sama lain dan menempel pada dasar microplate
(Syaifuddin, 2007).

Uji sitotoksisitas diawali dengan menumbuhkan sel HeLa hingga konfluen


(70- 80% memenuhi dinding flask) pada medium RPMI 1640-serum. Menurut
Freshney (2000) dalam medium ini terkandung nutrisi yang cukup untuk
pertumbuhan, yaitu asam amino, vitamin, garam-garam anorganik, dan glukosa.
Serum yang ditambahkan mengandung hormon- hormon yang mampu memacu
pertumbuhan sel. Albumin berfungsi sebagai protein transport, lipid diperlukan
untuk pertumbuhan sel, dan mineral berfungsi sebagai kofaktor enzim.

Setelah sel yang akan digunakan sebagai model uji jumlahnya cukup
kemudian dilakukan pemanenan sel yang dilanjutkan dengan pencucian
menggunakan PBS. Hal ini bertujuan untuk membersihkan serum yang
terkandung dalam medium RPMI karena serum ini dapat menghambat kerja
tripsin. Selanjutnya dilakukan penambahan tripsin untuk melepas sel dari dasar
tabung dan dilanjutkan dengan penambahan medium RPMI sehingga diperoleh
suspensi sel yang dapat langsung dipindahkan ke dalam microplate.

ii
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Ekstrak A. suberitoides 38,25 µg/mL menyebabkan terjadinya apoptosis


sebesar 10% dan akumulasi sel terbesar pada fase G1 yaitu sebesar 50,22%,
sedangkan ekstrak A. suberitoides 15,3 µg/mL menyebabkan terjadinya apoptosis
sebesar 7,45% dan akumulasi sel terbesar juga pada fase G1 sebesar 48,50%.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan ekstrak Aaptos


suberitoides dengan konsentrasi yang lebih tinggi agar pengaruh ekstrak terhadap
siklus sel HeLa dapat terlihat dengan lebih jelas. Selain itu ekstrak spons A.
suberitoides yang digunakan untuk penelitian perlu dimurnikan terlebih dahulu
menjadi bentuk senyawa murni sehingga memiliki aktivitas biologi yang lebih
tinggi.

ii
DAFTAR PUSTAKA

Abeloff, M., Arnitage J., Niederhuber J., Kastan M., dan McKenna W. 2004.
Clinical Oncology 3rd ed. Elsevier Churchill Livingstone:
Philadelphia.

American Type Culture Collection (ATTC). 2001. MTT Proliferation Assay.


Instruction. P.O.Bx 1549, Manasan USA.

Amir, I. dan Agus B. 1996. “ Mengenal Spons Laut (Demospongia) Secara


Umum”. Oseana 21 (2) : 15-31.

Fadjri, H. T. 2010. Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides


Terhadap Sel Kanker HeLa Secara In Vitro. Prodi Biologi ITS :
Surabaya.

ii
Proposal Penelitian

SITOTOKSISITAS EKSTRAK SPONS LAUT AAPTOS


SUBERITOIDES TERHADAP SIKLUS SEL KANKER HELA

Proposal Penelitian ini Disusun untuk Melengkapi Tugas

Mata Pelajaran Biologi

Oleh

DITA AURELIA RAHMADHANI


KELAS X MIPA 1

PEMERINTAH PROVINSI ACEH


SMA NEGERI 1 MEULABOH
TAHUN 2021

ii
Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah senyawa antikanker dari spons
laut Aaptos suberitoides memiliki pengaruh terhadap siklus sel HeLa.
Penghambatan siklus sel dilihat dengan menggunakan metode flowcytometry.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak A. suberitoides 38,25 µg/mL
menyebabkan terjadinya apoptosis sebesar 10% dan akumulasi sel terbesar pada
fase G1 yaitu sebesar50,22%, sedangkan ekstrak A. suberitoides 15,3 µg/mL
menyebabkan terjadinya apoptosis sebesar 7,45% dan akumulasi sel terbesar juga
pada fase G1 sebesar 48,50%. Setelah dikombinasi dengan cisplatin, akumulasi
sel terbesar terjadi pada fase S, yaitu sebesar 25,13%

Kata Kunci : Ekstrak Spons Aaptos suberitoides, sel HeLa, Siklus Sel

ii
DAFTAR ISI

Abstrak ........................................................................................................ i
Daftar isi ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 2
1.3 Tujuan ...................................................................................... 2

BAB II KERANGKA TEORI

2.1 Deskripsi spons aaptos suberitoides ......................................... 3


2.2 Kanker ...................................................................................... 4
2.3 Sel kanker hela.......................................................................... 4
2.4 Siklus sel................................................................................... 5
2.5 Apotosis .................................................................................... 7
2.6 Hipotesis ................................................................................... 9

BAB IIIMETODE PENELITIAN

1.1 Tempat dan waktu penelitian ................................................... 10


1.2 Bahan dan alat .......................................................................... 10
1.3 Cara kerja ................................................................................ 10
1.4 Analis data ................................................................................ 12

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 13

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan .............................................................................. 14


5.2 Saran ......................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 15

ii
ii

Anda mungkin juga menyukai