Anda di halaman 1dari 17

A.

Konsep Dasar Eliminasi Fekal


1. Pengertian
Eliminasi fekal adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisa
metabolisme berupa feses yang berasal dari saluran pencernaan melalui
anus. Eliminasi fekal adalah suatu tindakan atau proses makhluk hidup
untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengah padat yang
berasal dari sistem pencernaan makhluk hidup (Sutanto dan Fitriana, 2017 :
10-11).
Menurut Vaughans (2011 : 324), eliminasi fekal merupakan kotoran
padat yang dikeluarkan dari tubuh melalui saluran gastrointestinal (GI).
Struktur utama dari sistem GI meliputi mulut, esofagus, perut, usus
halus,dan usus besar.
2. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi
Menurut Mubarak, Indrawati dan Susanto (2015:340), anatomi saluran
pencernaan terdiri atas mulut, esofagus, lambung, usus halus, dan
usus besar.
1) Mulut
Saluran gatrointestinal secara mekanis dan kimiawi memecah
nutrisi ke ukuran dan bentuk yang sesuai. Semua organ
pencernaan bekerja sama untuk memastikan bahwa masa atau
bolus makanan mencapai daerah absorpsi nutrisi dengan aman
dan efektif. Gigi mengunyah makanan, memecahkan menjadi
berukuran yag dapat ditelan. Sekresi saliva mengandung enzim,
seperti ptialin, yang mengawali pencernaan unsur-unsur makanan
tertentu. Saliva mencairkan dan melunakkan bolus makanan
didalam mulut sehingga lebih mudah ditelan.
2) Esofagus
Begitu makanan memasuki bagian atas esofagus, makanan
berjalan melalui otot sirkular, yang mencegah udara memasuki
esofagus dan makanan mengalami refluks (bergerak ke belakang)
kembali ke tenggorokan. Bolus makanan menelusuri esofagus
yang panjangnya kira-kira 25 cm. Makanan didorong oleh gerakan
peristaltik lambat yang dihasilkan oleh kontaksi involunter dan
relaksasi otot halus secara bergantian. Pada saat bagian esofagus
berkontraksi di atas bolus makanan, otot sirkular di bawah (atau di
depan) bolus berelaksasi. Kontraksi-kontraksi otot halus yang
saling bergantian ini mendorong makanan menuju gelombang
berikutnya. Dalam 15 detik, bolus makanan bergerak menuruni
esofagus dan mencapai sfingter esofagus bagian bawah.

1
2

3) Lambung
Di dalam lambung, makanan disimpan untuk sementara dan
secara mekanis dan kimiawi dipecahkan untuk dicerna dan
diabsorpsi. Lambung menyekresi asam hidroklorida (HCI), lendir,
enzim pepsin, dan faktor intrinsik. Konsentrasi HCl mempengaruhi
keasaman lambung dan keseimbangan asam-basa tubuh. HCI
membantu mencampur dan memecahkan makanan di lambung.
Lendir melindungi mukosa lambung dari keasaman dan aktivitas
enzim. Pepsin mencerna protein, walaupun tidak banyak
pencernaan yang berlangsung dilambung. Faktor intrinsik adalah
komponen penting yang dibutuhkan untuk absorpsi vitamin B12 di
dalam usus dan selanjutkan untuk pembentukan sel darah merah
normal. Kekurangan faktor intrinsik ini mengakibatkan anemia dan
pernisiosa. Sebelum makanan meninggalkan lambung, makanan
diubah menjadi materi semi cair yang disebut kimus. Kimus lebih
mudah dicerna dan diabsorpsi daripada makanan padat. Klien
yang sebagian lambungnya diangkat atau yang memiliki
pengosongan lambung yang cepat (seperti pada gastritis) dapat
mengalami masalah pencernaan yang serius karena makanan
tidak dipecah menjadi kimus.
4) Usus halus
Selama proses pencernaan normal, kimus meninggalkan lambung
dan memasuki usus. Usus halus merupakan sebuah saluran
dengan panjang kira-kira 6 meter, dengan diameter 2,5 cm. Usus
merupakan lumen muskular yang dilapisi membran mukosa yang
terletak di antara lambung dan usus besar. Serat ototnya
berbentuk sirkular dan longitudinal, yang memungkinkan terjadinya
segmentasi (motilitas usus dalam mencampur dan mendorong
kimus). Kimus bercampur dengan enzim-enzim pencernaan (misal
empedu dan amilase) saat berjalan melalui usus halus. Usus halus
terdiri atas tiga bagian, yaitu duodenum, jejunum, dan ileum.
a) Duodenum adalah saluran berbentuk C dengan panjang sekitar
25 cm yang terletak dibagian belakang abdomen, mengitari
kaput pankreas. Duodenum digambarkan dalam empat bagian,
yaitu bagian l mengarah ke kanan, bagian ll mengarah ke
bawah, bagian lll mendatar ke kiri dn ke depan vena kava
inferior dan aorta, bagian lV mengarah ke atas dan
bersambungan dengan jejunum.
b) Jejunum dan ileum setelah duodenum, bagian usus halus
berikutnya dalah jejunum yang diikuti oleh ileum. Panjang
3

keduanya bervariasi antara 300 dan 900 cm. Tidak ada


perbedaan yang jelas di antaranya. Jejunum berukuran agak
besar, memiliki dinding yang tebal, lipatan membran mukosa
yang lebih banyak, dan plak peyeri yang lebih sedikit. Jejunum
daan ileum terletak di dalam rongga peritoneum, kecuali
sepanjang garis perlekatannya. Usus halus diperdarahi oleh
percabangan arteri mesenterika superior (cabang dari aorta).
Fungsi usus adalah untuk menyekresi cairan usus, menerima
getah empedu dan getah pankreas, mencerna makanan,
mengabsorpsi air, garam dan mineral, serta menggerakan isi
usus melalui kontraksi segmen pendek dan peristaltik rush
(gelombng peristaltik usus yang kuat) yang menggerakan isi
usus lebih cepat.
5) Usus besar
Saluran gastrointestinal bagian bawah disebut usus besar (kolon)
karena ukuran diameternya lebih besar daipada usus halus. Usus
besar, atau intestinum memiliki panjang ±1,5 m dan diameter 5-6
cm. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Usus
besar merupakan bagian utama dalam eliminasi alvi. Usus
menerima makanan yang sudah berbentuk kimus (makanan
setengah padat) dari lambung untuk mengabsorpsi air, nutrien dan
elektrolit. Usus menyekresi mukus, kalium, bikabonat, dan enzim.
Fungsi usus besar adalah untuk menyerap air dan makanan,
sebagai tempat tinggal bakteri koli, dan tempat penampungan
feses. Bagian-bagian usus besar meliputi sekum, apendiks, kolon
(asendens, transversus, desendens, sigmoid), rektum, dan anus.
a) Sekum. Kimus yang tidak diabsorpsi memasuki sekum melalui
katup ileosekal. Katup ini merupakan lapisan otot sirkular yang
mencegah regurgitasi dan kembalinya isi kolon ke usus halus
b) Kolon. Panjang kolon dewasa ± 125-150 cm. Walaupun kimus
yang berair memasuki kolon, volume air menurun saat kimus
bergerak di sepanjang kolon. Kolon dibagi menjadi kolon
asedens, kolon transversal, kolon desenden, dan kolon
sigmoid. Kolon dibangun oleh jaringan otot, yang
memungkinkannya menampung dan mengeliminasi produk
buangan dalam jumlah besar. Kolon memiliki empat fungsi
yang saling berkaitan yaitu absorpsi, proteksi, sekresi, dan
eliminasi.
c) Rektum. Produk buangan yang mencapai bagian kolon
sigmoid disebut feses. Sigmoid menyimpan feses sampai
4

beberapa saat sebekum defekasi. Rektum merupakan bagian


akhir pada saluran gastrointestinal.
b. Fisiologi
Menurut Potter dan Perry (2013 : 1089), faktor fisiologis yang
berhubungan dengan fungsi usus dan defekasi meliputi fungsi sistem
pencernaan yang normal, kewaspadaan sensorik pada distensi rektum
dan isi rektum, kontrol volunter pada sfingter, secara keadekuatan
kapasitas dan komplains rektal. Defekasi normal dimulai dengan
adanya gerakan pada kolon kiri, yang menggerakan feses menuju
anus, saat feses mencapai rektum, distensi menyebabkan relaksasi
sfingter eksternal dan kontraksi otot abdominal, yang meningkatkan
tekanan intrarektal dan mendorong feses keluar. Tekanan dapat di
tingkatkan untuk mengeluarkan feses melalui kontraksi volunter otot
abdominal sambil menahan ekspirasi yang menutup jalan masuk udara.
Keadaan ini disebut dengan Valsalva maneuver, yang membantu jalan
keluar feses. Klien dengan penyakit kardiovaskuler, glukoma,
peningkatan tekanan intrakranial, atau memiliki luka baru akibat
pembedahan memiliki resiko yang lebih besar seperti ketidakteraturan
jantung dan tekanan darah yang meningkat, tidak boleh melakukan
manuver ini dan mengejan mengeluarkan feses. Buang air besar
biasanya tidak menimbulkan rasa nyeri karena bentuk feses yang
lembut.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Menurut Potter dan Perry (2013 : 1089-1091), faktor-faktor yang
mempengaruhi proses eliminasi fekal adalah sebagai berikut :
a. Umur
Tahap perkembangan mempengaruhi eliminasi di sepanjang
kehidupan. Bayi memiliki kapasitas lambung yang kecil dan
mengeluarkan enzim pencernaan yang lebih sedikit. Makanan akan
lebih cepat melewati sistem pencernaan bayi karena gerakan peristaltik
yang cepat. Bayi tidak dapat mengontrol buang air besar karena masih
belum berkembangnya neuromuskular. Perkembangan ini biasanya
belum berkembang hingga usianya 2-3 tahun.
b. Diet
Asupan makanan harian yang teratur dapat membantu
mempertahankan pola peristaltik pada kolon. Serat, makanan yang
tidak dicerna membentuk bungkal sebagian fekal. Makanan yang
membentuk bungkal adalah seluruh makanan yang terbuat dari
gandum, buah segar, dan sayur membantu membuang lemak dan
produk sisa dari tubuh secara efisien. Dinding usus menegang
5

membentuk peristaltik, dan memulai reflek defekasi dengan


menstimulasi gerakan peristaltik, makanan yang membentuk bungkal
akan keluar cepat melalui usus, dan mempertahankan feses tetap
lembek. Memakan makanan tinggi serat dapat meningkatkan pola
eliminasi yang normal jika faktor lainnya jaga dalam kondisi normal.
Diet tinggi sayur dan buah-buahan telah dikaitkan dengan penurunan
risiko kanker kolorektal
c. Asupan cairan
Asupan cairan yang adekuat atau gangguan yang dapat menyebabkan
kehilangan cairan (seperti muntah) mempengaruhi kerakteristik feses.
Cairan mengencerkan isi usus, mempermudah gerakan melalui kolon.
Berkurangnya asupan cairan dapat memperlambat gerakan makanan
melalui usus dan menyebabkan feses mengeras.
d. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik dapat meningkatkan gerakan peristaltik, sedangkan
imobilisasi dapat menurunkan gerakan peristaltik. Dukung ambulasi
segera saat penyakit mulai sembuh atau sesegera mungkin setelah
pembedahan, untuk mempertahankan gerakan peristaltik dan eliminasi
normal. Mempertahankan tonus otot harus dilakukan selama defekasi.
Melemahnya otot abdomen dan dinding pelvis dapat menggangu
kemampuan untuk meningkatkan tekanan intraabdomen dan untuk
mengontrol sfingter eksternal. Tonus otot terkadang melemah atau
hilang karena menderita penyakit jangka panjang atau penyakit
neurologis yang dapat menggangu transmisi saraf. Perubahan yang
terjadi pada otot abdomen dan dinding pelvis tersebut akan
meningkatkan resiko konstipasi.
e. Faktor psikologis
Stres emosional mengganggu fungsi hampir seluruh sistem pencenaan
tubuh. Selama stres emosional, proses digestif terjadi dengan cepat
dan gerakan peristaltik meningkat. Efek samping meningkatnya
gerakan peristaltik adalah diare dan distensi abdomen oleh adanya
gas. Sejumlah penyakit yang di temukan pada sistem pencernaan
dihubungkan dengan stres. Penyakit tersebut meliputi ulkus kolitis,
sindrom iritabilitas usus, ulkus lambung dan ulkus usus halus, serta
penyakit crohn. Jika seseorang menjadi depresi, maka saraf otonom
sistem pencernaan akan mempelambat penyampaian impuls dan
menurunkan gerakan peristaltik yang selanjutnya akan menyebabkan
konstipasi.
f. Kebiasaan diri
6

Kebiasaan eliminasi seseorang akan mempengaruhi fungsi usus. Klien


dengan penyakit kronis atau dirawat di rumah sakit tidak selalu mampu
mempertahankan privasi selama buang air besar. Dirumah sakit atau
ditatanan perawatan jangka panjang, klien sering kali harus berbagi
fasilitas kamar mandi dengan pasien lain yang memiliki kebiasaan
higienis yang berbeda. Penyakit kronis juga membatasi kemampuan
seseorang, toleransi aktivitas atau aktivitas fisik, sehingga klien perlu
menggunakan pispot maupun pispot duduk. Penglihatan, suara, dan
bau yang dihubungkan dengan fasilitas toilet yang digunakan bersama
orang lain atau penggunaan pispot terkadang merupakan hal yang
memalukan. Rasa malu ini dapat membuat klien menolak untuk
melakukan buang air besar, yang akan memulai siklus konstipasi dan
ketidaknyamanan.
g. Posisi selama buang air besar
Duduk adalah posisi normal selama buang air besar. Toilet modern
memfasilitasi posisi ini, memungkinkan seseorang bersandar ke depan,
meningkatkan tekanan intra abdomen, dan mengontraksikan otot paha.
Bagi klien yang tidak melakukan mobilisasi dan berbaring ditempat
tidur, buang air besar terkadang sulit dilakukan posisi telentang tidak
memungkinkan pasien untuk mengontraksi otot yang diperlukan saat
buang air besar. Jika keadaan klien memungkinkan, tinggikan kepala
tempat tidur, bantu klien berada pada posisi duduk normal di pispot,
sehingga dapat meningkatkan kemampuan buang air besar.
h. Nyeri
Umumnya kegiatan buang air besar tidak menyebabkan nyeri. Namun
sejumlah keadaan dapat menyebabkan ketidaknyamanan, misalnya
seperti hemoroid, pembedahan rectum, fistula rectum dan pembedahan
abdomen. Pada keadaan tersebut klien menekan keinginan untuk
buang air besar untuk menghindari rasa nyeri, dan kemudian akan
menyebabkan konstipasi.
i. Kehamilan
Pada saat kehamilan berkembang, ukuran janin bertambah dan
menimbulkan tekanan pada rectum. Obstruksi yang sementara ini
disebabkan karena janin menghambat jalan keluar feses, gerakan
peristaltic yang lambat selama trimester ketiga sering menyebabkan
konstipasi. Ibu hamil yang sering mengejan saat buang air besar atau
melahirkan akan menyebabkan pembentukan hemoroid permanen.
j. Pembedahan dan anestesi
Agen anastesi general yang digunakan selama pembedahan dapat
menghentikan gerakan peristaltik secara temporer. Agen anastesi
7

inhalasi akan menghalang impuls parasimpatis ke otot intestinal. Aksi


anastesi ini akan memperlambat dan menghentikan gelombang
peristaltik. Klien yang menerima anastesi lokal dan regional memiliki
resiko rendah untuk mengalami gangguan eliminasi, karena anastesi
tersebut mempengaruhi aktivitas usus secara minimal atau tidak sama
sekali.
Beberapa pembedahan yang memanipulasi usus besar secara
langsung akan menghentikan sementara gerakan peristaltik. Keadaan
ini disebut dengan ileus paralisis, biasanya terjadi 24-48 jam. Jika klien
tetap tidak aktif atau tidak mampu makan setelah pembedahan, berarti
fungsi fungsi normal usus mengalami hambatan.
k. Medikasi
Beberapa obat-obatan memiliki reaksi tertentu pada usus, misalnya
obat-obatan untuk memperlancar defekasi atau mengontrol diare.
Obat-obatan yang digunakan untuk keadaan akut dan kronis sering
memiliki efek sekunder terhadap pola eliminasi fekal.
Laksatif dan katartik melembekkan konsistensi feses dan mendukung
gerakan peristaltik. Meskipun sama, efek laksatif lebih ringan dari pada
reaksi yang di berikan oleh katartik. Jika digunakan dengan tepat,
laksatif dan katartik dapat mempertahankan pola eliminasi normal.
Namun, penggunaan katartik yang memanjang dapat menyebabkan
usus besar kehilangan tonus ototnya, sehingga menjadi kurang
responsive terhadap stimulasi laksatif. Penggunaan yang berlebih juga
dapat menyebabkan dehidrasi dan penurunan elektrolit. Minyak
mineral, laksatif, mengurangi absorpsi vitamin yang larut dalam lemak.
Laksatif juga mempengaruhi efikasi obat-obatan lain dengan
mengganggu waktu transitnya (misalnya waktu di butuhkan obat-
obatan agar tetap berada di sistem pencernaan dan dapat diabsorpsi).
4. Tanda dan Gejala
Menurut Potter dan Perry (2013 : 1098), tanda dan gejalanya adalah :
a. Mual atau muntah
b. Gangguan pencernaan
c. Diare
d. Konstipasi
5. Klasifikasi/Jenis Gangguan
Menurut Vaughans (2011 : 329-331), kebutuhan dasar yang tergangu
adalah :
a. Konstipasi
8

Konstipasi terjadi ketikan feses masih berada di dalam kolon untuk


periode waktu berkepanjangan, sehinga banyak air yang di serap dari
feses.

b. Impaction
Jika konstipasi tidak di atasi maka akan terjadi penupukan (impaction)
dan kemungkinan perlu pengeluaran secara manual karena pasien
tidak akan dapat mengeluarkan feses dengan kekuatan sendiri.
c. Diare
Diare merupakan perjalanan keluarnya feses berair biasanya dalam
frekuensi sering. Hal ini terjadi karena makanan melewati saluran
gastro intestinal terlalu cepat sehingga sari makanan dan air tidak
dapat di serap memadai. Penyebabnya karena beberapa alasan,
diantaranya, intoleransi makanan, stres dan cemas, penyalahgunaan
laksatif dan kelainan radang saluran gastro intestinaI.
d. Inkontinensia fekal
Inkontinensia fekal berbeda dengan diare. Ini merupakan pengeluaran
feses nonfakultatif dan kadang di sertai adanya ganguan saraf atau
mental (misal stroke, paralysis, kebingungan, disorientasi).
e. Gas dalam perut
Gas dalam perut merupakan akumulasi gas di seluran gastro intestinaI.
Gas yang berakumulasi di saluran gastro intestinaI selain di keluarkan
dari mulut (sendawa) juga dari anus (kentut). Jika gas dalam perut tidak
di keluarkan dari saluran Gastro intestinaI, hal ini akan menyebapkan
perut kembung, sakit dan kram.
f. Pengalihan usus besar
Beberapa kelainan saluran gastro intestinaI memerlukan pengalihan
bagian usus halus atau usus besar (atau keduanya). Dalam kasus
tertentu pengalihan usus besar secara temporer atau permanen akan
di buat. Pengalihan usus besar, juga disebut pengalihan fekal,
membutuhkan satu bagian usus halus atau usus besar yang diarahkan
kedinding perut, membuat rute alternatif untuk mengevakuasi material
fekal dari saluran usus.
6. Proses keperawatan
a. Pengkajian
Menurut Mubarak, Indrawati dan Susanto (2015 : 357-358), pengkajian
keperawatan pada klien dengan gangguan eliminasi fekal adalah :
1) Riwayat keperawatan
9

a) Pola defekasi
(1) Frekuensi (berapa kali per hari/minggu)
Sebagian orang BAB secara normal satu kali sehari,
sedangkan lainya hanya 3-4 kali seminggu, sebagian lagi
BAB setelah sarapan pagi, yang lainnya juga pada sore
hari, sering pola BAB individu pada waktu yang sempat.
Sebagian besar orang membiasakan BAB setelah
sarapan pagi, ketika reflek gastrokolon dan duodenokolon
menyebabkan massa pada usus besar. Frekuensi buang
air besar pada bayi sebanyak 4-6 kali sehari, sedangkan
orang dewasa adalah 2-3 kali per hari dengan jumlah rata-
rata pembuangan per hari adalah 150 gram.
(2) Apakah frekuensi tersebut pernah berubah ?
Waktu BAB dan jumlahnya serta frekuensinya bersifat
individu.
(3) Adanya flatus juga dikaji
(4) Jika iya, apakah klien mengetahui faktor-faktor
penyebabnya ?
b) Perilaku defekasi
(1) Apakah klien menggunakan laksatif ?
(2) Bagaimana cara klien mempertahankan pola defekasi ?
(3) Apa rutinitas yang dilakukan klien untuk mempertahankan
pola defekasi yang biasa (contoh segelas jus lemon panas
ketika sarapan pagi atau jalan pagi sebelum sarapan).
c) Deskripsi feses
(1) Warna, hitam atau merah
(2) Tekstur, konsistensi cair
(3) Bau, berbau tidak sedap
(4) Bentuk kecil seperti pensil terdapat darah
d) Diet
(1) Makanan apa yang mempengaruhi perubahan pola
defekasi klien ?
(2) Makanan apa yang biasa klien makan ?
(3) Makanan apa yang klien hindari/ pantang ?
(4) Apakah klien makan secara teratur ?
e) Cairan, jumlah dan jenis minuman yang dikonsumsi setiap hari
(contoh enam gelas air,lima cangkir kopi).
f) Aktivitas
(1) Kegiatan sehari-hari (misal olahraga)
10

(2) Kegiatan spesifik yang dilakukan klien (misal penggunaan


laksatif, enema, atau kebiasaan mengonsumsi sesuatu
sebelum defekasi)
g) Penggunaan medikasi
(1) Apakah klien bergantung pada obat-obatan yang dapat
mempengaruhi pola defekasinya ?
(2) Apakah klien mengonsumsi obat-obatan yang dapat
mempengaruhi saluran intestinal (contoh zat besi,
antibiotika)?
h) Stres
(1) Apakah klien mengalami stres yang berkepanjangan atau
singkat ?
(2) Tetapkan stres seperti apa yang dialami klien dan
bagaimana dia menerimanya ?
(3) Koping apa yang klien gunakan dalam menghadapi
stres ?
(4) Bagaimana respons klien terhadap stres ?positif atau
negatif ?
i) Pembedahan atau penyakit menetap
(1) Apakah klien pernah menjalani tindakan bedah yang
dapat menganggu pola defekasinya ?
(2) Apakah klien pernah menderita penyakit yang
mempengaruhi sistem gastrointestinalnya ?keberadaan
ostomi harus diperhatikan
2) Pemeriksaan fisik
a) Abdomen
Pemeriksaan dilakukan pada posisi terlentang, hanya bagian
abdomen saja yang tampak. Selama pengkajian pada
abdomen, dengan rujukan khusus pada saluran intestinal,klien
dianjurkan dalam posisi supinasi dan diselimuti sehingga
hanya bagian abdomen yang terlihat. Perawat harus
mengidentifikasi batasan-batasan yang digunakan sebagai
nilai-nilai rujukan untuk mendeskripsikan hasil yang dijumpai.
(1) Inspeksi : amati abdomen untuk melihat bentuknya,
kesimetrisannya, adanya distensi atau gerak peristaltik.
(2) Auskultasi : dengarkan bising usus, lalu perhatikan
intensitas, frekuensi, dan kualitasnya.
(3) Perkusi : lakukan perkusi pada abdomen untuk
mengetahui adanya distensi berupa cairan, massa, atau
udara. Mulailah pada bagian atas dan seterusnya.
11

(4) Palpasi : lakukan palpasi untuk mengetahui konsistensi


abdomen serta adanya nyeri tekan atau massa
dipermukaan abdomen.
b) Rektum dan anus
Pemeriksaan anorektal klien biasanya dianjurkan dalam posisi
sim ke kiri atau genupectoral. Klien wanita juga disarankan
dalam posisi litotomi.
(1) Inspeksi : amati daerah perianal untuk melihat adanya
tanda-tanda inflamasi, luka parut, perubahan warna, lesi,
lecet, fistula, konsistensi, hemoroid, warna, ukuran, lokasi,
dan kepadatan dari lesi dicacat.
(2) Palpasi : palpasi dinding rectum dan rasakan adanya
nodul, massa, nyeri tekan. Tentukan lokasi dan
ukurannya.
c) Feses
Amati feses pasien dan catat kosistensi, bentuk, warna, dan
jumlahnya. Amati pula unsur abnormal yang terdapat pada
feses.
b. Perencanaan keperawatan
1) Diagnosa keperawatan
Menurut Potter dan Perry (2013 : 1101), diagnosa yang dapat
muncul pada masalah eliminasi fekal, meliputi:
a) Inkontinensia usus
b) Konstipasi
c) Risiko konstipasi
d) Konstipasi yang dipersepsikan
e) Diare
f) Defisit perawatan diri akan kebutuhan untuk ke kamar mandi
Diagnosa yang ditegakkan menurut Kamitsuru, Herdman (2018 :
195) adalah : konstipasi.
a) Definisi
Penurunan frekuensi normal defekasi yang disertai kesulitan
atau pengeluaran feses tidak tuntas dan/atau feses yang
keras,kering,dan banyak.
b) Batasan karakteristik
(1) Nyeri abdomen
(2) Nyeri tekan abdomen dengan teraba resistensi otot
(3) Nyeri tekan abdomen tanpa teraba resistensi otot
(4) Anoreksia
(5) Penampilan tidak khas pada lansia
12

(6) Borborigmi
(7) Darah merah pada feses
(8) Perubahan pada pola defekasi
(9) Penurunan frekuensi defekasi
(10) Penurunan volume feses
(11) Distensi abdomen
(12) Keletihan
(13) Feses keras dan berbentuk
(14) Sakit kepala
(15) Bising usus hiperaktif
(16) Bising usus hipoaktif
(17) Tidak dapat defeksi
(18) Peningkatan tekanan intraabdomen
(19) Tidak dapat makan
(20) Feses cair
(21) Nyeri pada saat defekasi
(22) Massa abdomen yang dapat diraba
(23) Perkusi abdomen pekak
(24) Rasa penuh rektal
(25) Rasa tekanan rektal
(26) Sering flatus
(27) Adanya feses lunak, seperti pasta di dalam rektum
(28) Mengejan pada saat defekasi
(29) Muntah
c) Faktor yang berhubungan
(1) Kelemahan otot abdomen
(2) Rata-rata aktivitas fisik harian kurang dari yang dianjurkan
menurut gender dan usia
(3) Konfusi
(4) Penurunan motilitas traktus gastrointestinal
(5) Dehidrasi
(6) Depresi
(7) Perubahan kebiasaan makan
(8) Gangguan emosi
(9) Kebiasaan menekan dorongan defekasi
(10) Kebiasaan makan buruk
(11) Higiene oral tidak adekuat
(12) Kebiasaan toileting tidak adekuat
(13) Asupan serat kurang
(14) Asupan cairan kurang
13

(15) Kebiasaan defekasi tidak teratur


(16) Penyalahgunaan laksatif
(17) Obesitas
(18) Perubahan lingkungan baru
2) Perencanaan dan aktivitas
a) NOC (Nursing Outcomes Classification)
Menurut Moorhead, et. al., ed.(2018 : 101), NOC yang cocok
untuk diagnosa keperawatan konstipasi adalah : eliminasi
usus.
(1) Definisi
Pembentukan dan pengeluaran feses
(2) Tujuan
Klien mampu mencapai eliminasi usus secara optimal
setelah tindakan keperawatan sampai tanggal ....
(3) Indikator
No Indikator
Pola Eliminasi
2 Warna Feses
3 Kemudahan BAB
4 Pengeluaran feses tanpa
bantuan
5 Suara bising usus

Keterangan skala :
1 = Sangat terganggu
2 = Banyak terganggu
3 = Cukup terganggu
4 = Sedikit terganggu
5 = Tidak terganggu
b) NIC (Nursing Interventions Classification)
Menurut Bulechek (2018 : 191 dan 206), NIC yang cocok
untuk diagnosa keperawatan konstipasi adalah : manajemen
konstipasi/impaksi dan manajemen saluran cerna.
(1) NIC 1 : manajemen konstipasi/impaksi
Definisi : Pencegahan dan menghilangkan konstipasi/
impaksi.
Aktivitas :
(a) Konsultasikan dengan dokter mengenai
penurunan/peningkatan frekuensi bising usus
(b) Jelaskan penyebab dari masalah dan rasionalisasi
tindakan
14

(c) Buatlah jadwal untuk BAB, dengan cara yang tepat


(d) Ajarkan pasien/keluarga untuk tetap memiliki diari
terkait dengan makanan
(e) Instruksikan pasien/keluarga akan penggunaan
laksatif yang tepat
(f) Evaluasi catatan asupan untuk apa saja nutrisi yang
telah di konsumsi
(g) Berikan petunjuk pada pasien untuk dapat
berkonsultasi dengan dokter jika konstipasi atau
impaksi masih tetap terjadi
(h) Timbang berat badan pasien secara teratur
(i) Ajarkan pasien/keluarga mengenai kurun waktu
dalam menyelesaikan terjadinya konstipasi
(j) Evaluasi jenis pengobatan yang memiliki efek
samping pada gastrointestinal
(2) NIC 2 : manajemen saluran cerna
Definisi : pembentukan dan pemeliharaan pola yang
teratur dalam hal eliminasi saluran cerna.
Aktivitas :
(a) Monitor buang air besar termasuk frekuensi,
konsistensi, bentuk, volume, dan warna, dengan cara
yang tepat
(b) Monitor bising usus
(c) Monitor adanya tanda dan gejala diare, konstipasi,
dan impaksi
(d) Berikan cairan hangat setelah makan, dengan cara
yang tepat
(e) Instruksikan pasien mengenai makanan tinggi serat,
dengan cara yang tepat
(f) Ajarkan pasien mengenai makanan-makanan tertentu
yang membantu mendukung keteraturan [aktivitas]
usus
(g) Anjurkan anggota pasien/keluarga untuk mencatat
warna, volume, frekuensi, dan konsistensi tinja
(h) Masukkan supositoria rektal, sesuai dengan
kebutuhan
(i) Lapor berkurangnya bising usus
(j) Lapor peningkatan frekuensi dan/atau bising usus
bernada tinggi
15

B. Konsep Dasar Atresia Anal


1. Pengertian
Menurut Mendri dan Prayogi (2017 : 39), atresia anal adalah cacat
yang terjadi dalam perkembangan janin. Penyebab penyakit ini tidak
diketahui secara jelas, tetapi faktor genetik tidak menjadi penyebab dari
timbulnya penyakit ini
Menurut Ridha (2017 : 230), imperforate ani (atresia ani) adalah tidak
komplitnya perkembangan embrionik pada distal (anus) atau tertutupnya
anus secara abnormal.
2. Etiologi
Etiologi atresia anal menurut Noordiati (2018 : 114) adalah :
a. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubru sehingga
bayi lahir tanpa lubang dubur.
b. Gangguan organogenesis dalam kandungan kegagalan pertumbuhan
saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan.
3. Patofisiologis
Menurut Ridha (2017 : 230), patofisiologi atresia anal adalah :
a. Terdapat dua tipe yaitu letak tinggi, yang mana terdapat penghalang
diatas otot leverator ani. Tipe letak rendah adalah adanya penghalang
dibawah otot leverator ani.
b. Anus dan rectum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung
ekor dari bagian belakang berkembang jadi kloaka yang merupakan
bakat genitourinary dan struktur anorektal.
c. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal
anorektal.
d. Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan migrasi dan
perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 minggu dalam
perkembangan fetal.
e. Gangguan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agrenesisi
sakral dan abnormalitas pada urethra dan vagina.
f. Tidak ada perkembangan usus besar yang keluar anus menyebabkan
fecal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi.
16

4. Tanda dan Gejala


Menurut Dewi (2012 : 112), tanda dan gejala dari atresia anal adalah :
a. Selama 24-48 jam pertama kelahiran, bayi mengalami muntah-muntah
dan tidak ada defekasi mekonium. Selain itu anus tampak merah.
b. Perut kembung baru kemudian disusul muntah.
c. Tampak gambaran gerak khusus dan bising usus meningkat
(hiperperistaltik) pada alkulturasi.
d. Tidak ada lubang anus.
e. Invertogram dilakukan setelah bayi berusia 12 jam untuk menentukan
tingginya atresia.
f. Terkadang tampak ileus obstruktif.
g. Dapat terjadi fistel. Pada bayi perempuan sering terjadi fistel
rektovaginal, sedangkan pada bayi laki-laki sering terjadi fistel
rektourinal.
Untuk mengetahui kelainan pada bayi baru lahir dilakukan colok dubur
dengan menggunakan jari kelingking atau dengan keluarnya mekonium
dalam 24 jam sesudah lahir.
5. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Dewi (2012 : 112), pada atresia anal pemeriksaan penunjang
dilakukan dengan pemeriksaan radiologis, pada pemeriksaan ini akan
ditemukan beberapa hal berikut :
a. Udara dalam usus terhenti tiba-tiba hal ini menandakan adanya
obstruksi di daerah tersebut.
b. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bayi baru lahir.
c. Dibuat foto antero-posterior dan lateral, bayi diangkat dengan kepala di
bawah dan kaki di atas (Wangen Steen dan Rice) pada anus diletakkan
radio-opak, sehingga pada foto, daerah antara benda radio-opak
dengan bayangan udara yang tertinggi dapat diukur.
6. Penatalaksanaan
Menurut Dewi (2012 : 112), penatalaksanaan atresia anal adalah :
a. Puasakan bayi dan ganti dengan pemberian cairan intravena sesuai
dengan kebutuhan, misalnya glukosa 5-10% atau Na-bikarbonat 1,5%.
b. Pembedahan segera dilakukan setelah tinggi atresia ditentukan.
c. Eksisi membran anak.
d. Kolostomi sementara dan melakukan perbaikan total setelah 3 bulan.
7. Komplikasi
Menurut Ngastiyah (2014), Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien
dengan atresia ani, antara lain :
a. Asidosis hiperkloremia
b. Kelambatan anak pada toilet training
17

c. Komplikasi jangka panjang :


1) Eversi mukosa anal
2) Stenosis
3) Infeksi saluran kemih
4) Impaksi dan konstipasi (akibat dilatasi sigmoid)
5) Inkontinensia akibat stenosis awal atau impaksi
6) Prolapse mukosa anorectal (penyebab inkontinensia)

Anda mungkin juga menyukai