Anda di halaman 1dari 8

Terapi farmakologis

Terapi nonfarmakologi harus menjadi bagian integral dari pengobatan osteoartritis,


tetapi terapi yang optimal membutuhkan kombinasi terapi farmakologi. Secara garis
besar, ACR( American College Of Rheumatology) 2012 merekomendasikan terapi
farmakologis untuk OA lutut sebagai berikut.

As
etaminofen, atau yang lebih dikenal dengan nama parasetamol dengan merupakan
analgesik pertama yang diberikan pada penderita OA karena cenderung aman dan
dapat ditoleransi dengan baik, terutama pada pasien usia tua. Dengan dosis maksimal
4 gram/hari, pasien perlu diberi penjelasan untuk tidak mengonsumsi obat-obat lain
yang mengandung asetaminofen, termasuk obat flu serta produk kombinasi dengan
analgesik opioid. Asetaminofen harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan
gangguan hati, demikian juga pada pasien yang menggunakan warfarin. Apabila
penggunaan asetaminofen hingga dosis maksimal tidak memberikan respon klinis
yang memuaskan, golongan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) atau injeksi
kortikosteroid intraartikuler dapat digunakan. OAINS bekerja dengan cara
menghambat enzim siklooksigenase (COX) sehingga mengganggu konversi asam
arakidonat menjadi prostaglandin, yang berperan dalam inflamasi dan nyeri. Terdapat
2 macam enzim COX, yaitu COX-1 (bersifat fisiologis, terdapat pada lambung, ginjal
dan trombosit) dan COX-2 (berperan pada proses inflamasi). OAINS yang bekerja
dengan cara menghambat COX-1 dan COX-2 (non selektif) dapat mengakibatkan
perdarahan lambung, gangguan fungsi ginjal, retensi cairan dan hiperkalemia.
Sedangkan OAINS yang bersifat inhibitor COX-2 selektif akan memberikan efek
gastrointestinal yang lebih kecil dibandingkan penggunaan OAINS yang non selektif.
Pada penggunaan OAINS jangka panjang perlu dipertimbangkan pemberian proton-
pump inhibitor untuk mengurangi risiko komplikasi traktus gastrointestinal. Untuk
pasien berusia >75 tahun, penggunaan OAINS topikal lebih dianjurkan dibanding
OAINS oral. Pada kasus ini, penggunaan tramadol atau injeksi kortikosteroid
intraartikuler dapat dianjurkan. Tramadol sama efektif dengan morfin atau meperidin
untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri berat atau kronik lebih lemah.
Dosis maksimum per hari yang dianjurkan untuk tramadol adalah 400 mg. Injeksi
kortikosteroid intraartikuler dapat diberikan bila terdapat infeksi lokal atau efusi
sendi.

Pedoman American College of Rheumatology. American College of


Rheumatology (ACR) telah mengeluarkan panduan untuk pengobatan farmakologis
osteoartritis pada tangan, pinggul, dan lutut. Untuk osteoartritis tangan, ACR
merekomendasikan kondisi menggunakan satu atau beberapa hal berikut: Capsaicin
topical, Obat antiinflamasi nonsteroid topikal (NSAID), NSAID oral atau Tramadol.
ACR merekomendasikan secara kondisional untuk tidak menggunakan terapi intra-
artikular atau analgesik opioid untuk osteoarthritis tangan. Untuk pasien berusia di
atas 75 tahun, ACR merekomendasikan penggunaan NSAID topikal dan bukan oral.
Untuk osteoarthritis lutut, ACR merekomendasikan kondisi menggunakan salah satu
dari berikut ini: Asetaminofen, NSAID oral, NSAID topical, Tramadol atau Injeksi
kortikosteroid intra-articular. Acuan ACR merekomendasikan penggunaan kondroitin
sulfat, glukosamin, atau capsaisin topikal untuk osteoartritis lutut. ACR tidak
memiliki rekomendasi mengenai penggunaan hyaluronates intra-artikular, duloxetine,
dan analgesik opioid. Rasa nyeri yang diderita oleh penderita penyakit ini dapat
dikurangi dengan berbagai macam cara seperti pengompresan atau penyuntikan
cairan sinovial ke bagian sendi. Penyuntikan cairan sinovial sintetis, walaupun cukup
mahal harus segera dilakukan, jika diperlukan untuk mencegah keadaan yang lebih
parah dimana harus dilakukan penggantian dengan sendi sintetis yang lebih mahal
lagi, kadang-kadang perlu istirahat beberapa bulan dan hasilnya tidak lebih baik
daripada jika hanya dilakukan penyuntikan cairan sinovial sintetis. Sayangnya,
penyuntikan cairan sinovial sintetis harus dilakukan berkala sekitar setahun sekali.
Berikut Obat-obat OA (Osteoartritis) :
1.    Acetaminophen
The American College of Rheumatology merekomendasikan
acetaminophen sebagai terapi obat lini pertama untuk manajemen nyeri dalam
OA karena relatif aman, efektif, dan lebih murah dibandingkan dengan
NSAIDs. Aktivitas analgesik acetaminophen telah dilaporkan mirip dengan
aktivitas yang dihasilkan oleh aspirin , naproxen , ibuprofen, dan NSAID
lainnya , meskipun banyak pasien menunjukkan respon yang lebih baik
terhadap penggunaan NSAIDs (Dipiro et al., 2008).
·      Farmakologi dan Mekanisme Aksi
Farmakologi dan mekanisme aksi dari Acetaminophen adalah
berhubungan dengan aktivitas terhadap sistem saraf pusat dengan
menghambat sintesis prostaglandin, agen yang meningkatkan sensasi rasa
sakit. Acetaminophen mencegah sintesis prostaglandin dengan menghalangi
aksi siklooksigenase pusat. Acetaminophen diserap dengan baik setelah
pemberian oral, dengan bioavailabilitas 60 % sampai 98 %. Acetaminophen
mencapai konsentrasi puncak dalam waktu 1 sampai 2 jam, diinaktivasi dalam
hati melalui konjugasi dengan sulfat atau glukuronida, dan metabolitnya yang
diekskresi melalui ginjal (Dipiro et al., 2008).
2.    NSAID
The American College of Rheumatology merekomendasikan
pertimbangan NSAID untuk pasien OA di antaranya apabila acetaminophen
tidak efektif. NSAID memiliki sifat analgesik pada dosis yang lebih rendah
dan efek antiinflamasi pada dosis yang lebih tinggi.
·      Farmakologi dan Mekanisme Aksi
Blokade sintesis prostaglandin dengan menghambat enzim
siklooksigenase (COX-1 dan COX-2) diperkirakan berkaitan dengan
kemampuan NSAID untuk mengurangi rasa sakit dan peradangan. Karena
NSAID nonspesifik dan COX-2 inhibitor selektif memiliki khasiat yang sama,
pemilihan obat sering tergantung pada toksisitas dan biaya. Enzim COX-1
berpartisipasi dalam menjaga homeostasis atau fungsi fisiologis rutin seperti
generasi prostaglandin gastroprotektif untuk mempromosikan aliran darah
lambung dan generasi bikarbonat. COX-1 diekspresikan secara konstitutif
tidak hanya di mukosa lambung, tetapi juga di sel-sel endotel vaskular,
trombosit, dan tubulus pengumpul di ginjal, sehingga prostaglandin COX-1
yang dihasilkan dan tromboksan juga berpartisipasi dalam hemostasis dan
aliran darah ginjal. Sebaliknya, enzim COX-2 tidak banyak ditemukan dalam
sebagian jaringan tubuh, namun dengan cepat diinduksi oleh mediator
inflamasi, cedera lokal, dan sitokin, termasuk interleukin, interferon,
dan tumor necrosis factor. Prostaglandin dihasilkan oleh COX-2 dan
berkontribusi terhadap sensasi nyeri pada OA dan kondisi lainnya.
Prostaglandin dibuat oleh enzim COX-2, termasuk prostasiklin (prostaglandin
I2) juga terlibat dalam beberapa proses fisiologis, termasuk fungsi ginjal,
perbaikan jaringan, reproduksi, dan pembangunan (Dipiro et al., 2008).
3.    Glucosamine dan Chondroitin
Glukosamin diyakini berfungsi sebagai agen chondroprotective, yang
merangsang matriks tulang rawan dan melindungi dari kerusakan kimia
oksidatif. Chondroitin diberikan sering dalam kombinasi dengan glukosamin,
yang diduga dapat menghambat enzim degradatif dan berfungsi sebagai
substrat untuk produksi proteoglikan (Burns et al., 2008). Dosis yang
dianjurkan setidaknya 1.500 mg/hari untuk glukosamin dan 1.200 mg/hari
untuk kondroitin. Komponen glukosamin harus berupa garam sulfat karena
keberhasilan hampir semua studi positif menggunakan garam sulfat yang lebih
baik diserap dibandingkan garam klorida (Dipiro et al., 2008).
4.    Kortikosteroid
Injeksi glukokortikoid secara intraartikular dapat memberikan efek
analgesik yang sangat baik, terutama ketika ditemukan adanya efusi sendi.
Aspirasi efusi dan injeksi glukokortikoid dilakukan secara aseptik, dengan
pemeriksaan aspirasi yang direkomendasikan sebagai pengecualian untuk
kristal arthritis atau infeksi. Setelah injeksi, pasien harus meminimalkan
aktivitas dan stres pada sendi selama beberapa hari. Pengatasan nyeri awal
dapat dilihat dalam waktu 24-72 jam setelah injeksi, dengan puncak nyeri
sekitar 1 minggu setelah injeksi dan berlangsung hingga 4-8 minggu
(Dipiro et al., 2008).
5.    Hyaluronan (Hyaluronic Acid)
Mekanisme kerja dari Hyaluronan tidak sepenuhnya dipahami. Tulang
rawan sehat mengandung asam hyaluronic kental yang merupakan substansi
untuk memfasilitasi pelumasan dan penyerapan shock dalam berbagai kondisi
bantalan beban. Pasien dengan OA menunjukkan penurunan asam hyaluronic
yang mutlak dan fungsional, sehingga diperlukan administrasi eksogen yang
disebut sebagai viscosupplementation. Pada responden, manfaat administrasi
hyaluronan berlangsung selama periode yang melebihi waktu tinggal di
sinovium, menunjukkan bahwa manfaat viscoelasticity luar juga terlibat.
Penghambatan mediator inflamasi dan degradasi tulang rawan, stimulasi dari
matriks tulang rawan, tindakan saraf, dan kemampuan hyaluronan untuk
menginduksi sintesis sendiri dapat menjelaskan mekanisme dari hyaluronan
sebagai viscosupplementation (Burns et al., 2008).
6.    Analgesik Opioid
Dosis rendah analgesik opioid dapat berguna pada pasien yang tidak
menunjukkan perbaikan dengan acetaminophen, NSAID, injeksi
intraartikular, atau terapi topikal. Agen ini sangat berguna pada pasien yang
tidak bisa mengkonsumsi NSAID karena gagal ginjal, pasien yang telah
melakukan pilihan pengobatan lain dan gagal, serta pasien yang berada
dengan risiko tinggi terhadap bedah. Opioid dosis rendah adalah intervensi
awal yang biasanya diberikan dalam kombinasi dengan asetaminofen.
Komponen lepas lambat biasanya menawarkan kontrol nyeri yang lebih baik
sepanjang hari, dan digunakan ketika opioid sederhana tidak efektif. Jika rasa
sakit tak tertahankan dan membatasi aktivitas hidup sehari-hari, dan pasien
memiliki kesehatan cardiopulmonary yang cukup baik untuk menjalani
operasi besar, penggantian sendi lebih baik dibandingkan ketergantungan pada
opioid.
7.    Tramadol
Tramadol dengan atau tanpa acetaminophen memiliki efek analgesik
sederhana pada pasien dengan OA jika dibandingkan dengan placebo.
Tramadol adalah juga cukup efektif sebagai terapi tambahan pada pasien yang
memakai bersamaan NSAID atau COX-2 selektif inhibitors. Seperti analgesik
opioid, tramadol dapat berguna bagi pasien yang tidak bisa mengkonsumsi
NSAID atau COX-2 inhibitor selektif. Tramadol harus dimulai pada dosis
rendah (100 mg/hari) dan dapat dititrasi sesuai kebutuhan untuk mengontrol
rasa sakit dengan dosis 200 mg/hari. Tramadol tersedia dalam tablet
kombinasi dengan acetaminophen dan sebagai tablet lepas lambat. Efek
samping opioid seperti seperti mual, muntah, pusing, sembelit, sakit kepala,
dan mengantuk umum terjadi pada penggunaan tramadol. Hal ini terjadi pada
60-70 % dari pasien yang diobati, dan 40% pasien menghentikan tramadol
karena adanya efek merugikan tersebut. Meskipun frekuensi efek samping
yang tinggi, tingkat keparahan efek samping adalah kurang jika dibandingkan
dengan NSAID, seperti penggunaan tramadol tidak terkait dengan life
threatening perdarahan gastrointestinal atau dengan gagal ginjal (Dipiro et al.,
2008).
8.    Terapi Topikal
Produk topikal dapat digunakan secara tunggal atau kombinasi dengan
analgesik oral atau NSAID. Capsaicin yang diisolasi dari cabai dan
diformulasikan dalam bentuk krim telah terbukti dalam empat studi placebo
controlleddapat mengatasi nyeri pada OA bila diterapkan di sendi. Kejadian
buruk terkait penggunaan capsaicin terutama lokal, yaitu pada 1 dari 3 pasien
mengalami terbakar, menyengat, dan / atau eritema yang biasanya reda
dengan aplikasi berulang-ulang. Capsaicin adalah
produk nonprescription yang tersedia dalam bentuk krim, gel, atau lotion pada
konsentrasi mulai dari 0,025 % - 0,075 %. Agar efektif capsaicin harus
digunakan secara teratur, dan diperlukan sekitar 2 minggu untuk
menimbulkan efek. Meskipun penggunaannya dianjurkan empat kali sehari,
aplikasi dua kali sehari dapat meningkatkan kepatuhan jangka panjang dan
tetap memberikan pengatasan rasa sakit pasien (Dipiro et al., 2008).

ALGORITMA TERAPI
DAPUS

ACR. (2012). American College of Radiology Appropriateness Criteria. Reston :


ACR

Dipiro et al., 2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 7 th Edition,


2085-2117, TheMcGraw-Hill Companies, Inc., USA

Elin Y. S., dkk. 2008. Iso Farmakoterapi. Jakarta : PT. ISFI. 349-353

Anda mungkin juga menyukai