Antropoli - Rezcky Aditya P Laeto - f22116105
Antropoli - Rezcky Aditya P Laeto - f22116105
ARSITEKTUR
REZCKY ADITYA PRATAMA LAETO
F 221 16 105
B. Cabang Antropologi
Ilmu antropologi memiliki dua cabang ilmu, yaitu antropologi fisik dan antropologi
budaya. Antropologi fisik adalah bagian dari antropologi yang memusatkan
perhatiannya kepada manusia sebagai organisme biologis, dan salah satu yang
menjadi perhatiannya ialah evolusi manusia. Melalui analisis terhadap fosil-fosil
dan pengamatan terhadap primat-primat yang hidup, ahli antropologi fisik
berusaha melacak nenek moyang jenis manusia untuk mengetahui bagaimana,
kapan, dan mengapa kita menjadi jenis makhluk seperti sekarang ini. Dalam kaitan
ini ahli antropologi fisik akan bersinggungan dengan ahli paleontologi manusia.
Bidang lain yang digeluti oleh ahli antropologi fisik adalah studi tentang variasi
umat manusia.
Secara etimologi, arsitektur berasal dari kata dalam bahasa Yunani “arche” dan
“tektoon”. Arche berarti: yang asli, yang utama, yang awal; sedangkan tektoon
menunjuk pada sesuatu yang berdiri kokoh, tidak roboh, stabil. Architectoon
berarti tukang ahli bangunan yang utama. [Mangunwijaya, 1995: 327].
Dari sejak dulu arsitektur adalah gedung, tetapi tidak semua gedung dapat
atau boleh disebut arsitektur. Banyak gedung tidak diakui sebagai arsitektur,
kalaupun diakui, ia dinista sebagai arsitektur gombal. Asal katanya sendiri
menunjukkan kaitan antara wujud dan pembuatnya.
Hukum ini menunjukkan bahwa ruang hanya dapat dialami sebagai suatu
sintesa dari indera-indera manusia: penglihatan, rabaan, pendengaran, gerakan
dan penciuman.
Pada periode arsitektur modern, yang dinamakan ruang arsitektur adalah ruang
geometri tiga dimensional, yang meliputi: bidang pelingkup bawah, yang berupa
bidang lantai, bidang pelingkup samping, yang berupa bidang dinding, dan bidang
pelingkup atas, yang berupa bidang atap atau plafon. Ketiga elemen ini
membentuk sebuah ruang arsitektur yang teraba dan kasat mata (touchable dan
visible). Sejak menjelang tahun 1970-an, lahirlah pemahaman-pemahaman
tentang konsepsi ruang yang melibatkan dimensi budaya. Amos Rapoport dalam
Human Aspects of Urban Form, menjelaskan, ruang tidak sekedar berurusan
dengan ruang fisik tiga dimensional, sebab pada waktu dan konteks yang berbeda,
seseorang, sebenarnya sedang berurusan dengan macam ruang yang berbeda.
Orang-orang dari kebudayaan yang berlainan akan berbeda di dalam bagaimana
mereka membagi-bagi dunia mereka, memberikan nilai kepada bagian-bagiannya,
dan mengukurnya. Ruang adalah penjabaran dari dunia sekitar kita dalam tiga
dimensi, yaitu penjabaran interval-interval, hubungan-hubungan dan jarak-jarak
antara manusia dan manusia, manusia dan benda, benda dan benda. Rapoport
menambahkan, sesungguhnya perencanaan dan perancangan pada semua skala,
mulai dari wilayah yang sangat luas sampai pengaturan perabot rumah, dapat
dianggap sebagai pengaturan ruang untuk berbagai kegunaan, menurut ketentuan
yang mencerminkan kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai, dan hasrat-hasrat
kelompok atau pribadi yang melakukan pengaturan tersebut. Pengaturan ruang
itu sendiri mengekspresikan makna dan mempunyai sifat-sifat komunikatif.
[Rapoport, 1977]. Makna sering terwujud dalam tanda, bahan, bentuk, ukuran,
perlengkapan perabot, pertamanan, dan sebagainya. Pada hakekatnya, arsitektur
adalah lingkungan yang utuh hasil dari upaya manusia untuk menampung
kebutuhan manusia bertempat tinggal, berusaha, dan bersosial-budaya. Sasaran
utama arsitektur adalah ruang yang dapat menampung kegiatan manusia dan
sekaligus memiliki makna, baik pada skala elemen bangunan, suatu ruang sebagai
bagian dari bangunan, sebuah bangunan, suatu kelompok bangunan, suatu
lingkungan, dan bahkan suatu kota. Agar dapat memenuhi tuntutan kemajuan
budaya yang terus meningkat, maka kualitas ruang arsitektur yang dihasilkan
secara umum harus dapat memenuhi fungsinya sebagai wadah yang layak bagi
manusia berkegiatan (livable), berjati-diri (imageable), mendorong produktivitas,
tahan lama dan berkelanjutan (sustainable), terjangkau, dan dapat secara mudah
dikelola dengan baik.
Oleh karena itu, ruang arsitektur harus memenuhi kriteria pokok sebagai
berikut [Budihardjo, 1997: 6-7]:
[1]. Ruang arsitektur yang diciptakan harus dapat memberikan keleluasaan gerak,
berinteraksi, dan berkegiatan kepada pengguna ruang secara mudah sesuai
dengan fungsi ruang, serta memberikan rasa aman. Elemen dan perlengakapan
(amenity) dibangun pada skala yang manusiawi, baik dari segi ketinggian, detail,
pertamanan, pagar, ornamen bangunan, sampai dengan ruang-ruang terbuka
yang bersifat positif.
[2] Ruang arsitektur yang diciptakan harus memberi bentuk yang bermakna
kepada pengguna ruangnya, memberikan kejelasan, keindahan, dan kecerahan,
kepada lingkungannya, serta harmonis dari sudut pandang pengguna ruang. Kesan
yang tercipta baik secara visual maupun dari segi visi ruang, bersifat sederhana,
tidak harus megah sesuai dengan bangsa yang sedang membangun, dan dapat
memberi kemudahan-kemudahan bila dihubungkan ke dalam pola ruang yang
koheren.
[3] Jati diri arsitektur yang berkaitan dengan identitas ruang arsitektur yang
tercipta, harus dapat dibedakan menurut peran sertanya dalam budaya, yakni
dalam memberikan ciri yang bersifat universal, spesifik, dan alternatif. Universal,
artinya ia berperan sama dengan elemen-elemen budaya yang dimiliki oleh
sebagian besar budaya di dunia, misalnya identitas arsitetur tropis. Spesifik,
artinya ia sebagai elemen-elemen budaya yang hanya dimiliki oleh suatu
kelompok suku bangsa atau tipe tertentu dari individu, misalnya arsitektur yang
spesifik dari Bali, Jawa, dan sebagainya. Alternatif, artinya ia menampilkan
elemen-elemen yang terbuka karena adanya pilihan-pilihan, seperti gaya-gaya
yang berkembang dalam arsitektur.
[4] Ruang yang diciptakan mampu bertahan lama, tidak tertelan zaman, permanen
mewadahi hasrat dan kegiatan manusia, dan cukup intim dalam konteks
masyarakat yang mekanis dan industrial. Ruang arsitektur yang tidak menyulitkan
pengelolanya, namun masih terjangkau dan menghemat dalam pemakaian enerji.
Dalam periode arsitektur posmodern, keterlibatan dimensi budaya, telah
menghadirkan ruang arsitektur yang memungkinkan terbentuk oleh elemen-
elemen yang tak teraba dan tak kasat mata (untouchable dan invisible). Dari ketiga
elemen bidang pelingkup ruang arsitektur tersebut, bidang pelingkup bawah
(lantai) tetap selalu hadir, artinya ia teraba dan kasat mata, sebagai tempat
kedudukan manusia melakukan kegiatannya. Sementara dua elemen bidang
pelingkup lainnya (dinding dan atap) bisa jadi tidak hadir, artinya ia tak teraba dan
tak kasat mata. Sebagai contoh, sekelompok orang yang melakukan kegiatan di
ruang terbuka, mereka melakukannya di suatu ruang yang dinding dan atapnya
berupa pelingkup tak teraba dan tak terlihat, namun mereka tetap berpijak di
permukaan tanah sebagai bidang lantainya. Ruang berpelingkup: bawah, samping,
dan atas, merupakan sebuah bentuk arsitektur. Bentuk arsitektur ini dibutuhkan
manusia sebagai wadah kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan bentuk arsitektur yang dibutuhkan
manusia untuk mewadahi kegiatan-kegiatannya, dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya, maka kebutuhan-kebutuhan manusia tersebut dapat
dibedakan atas lima tingkatan.
Dari uraian di atas, dalam istilah arsitektur terdapat dua aspek yang satu
dan lainnya saling berhubungan erat, tidak dapat dipisahkan, yaitu:
bentuk dan fungsi. Bentuk arsitektur adalah ruang berpelingkup (yang terdiri atas
pelingkup bawah, samping, dan atas) yang mewadahi kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh manusia dalam rangka memenuhi kehidupan dasar hidupnya.
Fungsi arsitektur adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh manusia dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.