Anda di halaman 1dari 17

Trauma

TEXTBOOK READING

TRAUMA
(Ralph. L. Slepian. Yao & Artusio’s Anesthesiology Problem – Oriented Patient management,
4 th Edition. Yao Fun – Sun (ED). Lippincott-Raven Publisher. Philadelphia – New York )

SEORANG LAKI-LAKI UMUR 31 TAHUN


Datang dengan sebuah luka tembak pada kuadran kiri atas abdomennya. Tanda vital : tekanan
darah 85/60 mmHg, Denyut Jantung (HR) 130 kali/menit, pernapasan 32 kali/menit, suhu
34,5oC. Hematokrit tinggal 27 %. Pasien tersebut dibawa ke kamar operasi untuk dilakukan
operasi laparatomi eksplorasi.

A. Penyakit Klinis dan Diagnosa Banding


1. Apa klasifikasi trauma ?
2. Organ apa yang umumnya cidera pada trauma tumpul abdomen ?
3. Apa yang dimaksud dengan peritoneal lavage/ kumbah peritoneum ?
4. Mengapa tidak dilakukan peritoneal lavage pada pasien ini ?
5. Defenisi syok
6. Apa saja keempat tipe syok ?
7. Tanda-tanda dan gejala-gejala syok
8. Bagaimana patofisiologi syok hipovolemik ?
9. Apa klasifikasi perdarahan ?
10. Apa terapi pertama syok hemoragik ?
11. Apakah anda memilih kristaloid atau koloid untuk penanganan syok hipovolemik ?
12. Adakah manfaat pemberian dextran atau hetastarch (hespan) pada terapi syok
hipovolemik ?
13. Adakah manfaat penggunaan hipertonik saline dalam penanganan syok hipovolemik ?

B. Evaluasi Preoperasi dan Persiapan Operasi


1. Obat premedikasi apa yang akan anda diberikan ?

C. Penatalaksanaan Intaoperasi
1. Apa yang anda monitor dari pasien ini ?
2. Bagaimana cara anda untuk induksi anestesi ?
3. Zat apa yang anda gunakan untuk rumatan anestesi?
4. Jenis pelumpuh otot apa yang anda pilih ?
5. Lima menit setelah intubasi, peak airway pressure meningkat dari 20 cmH 2O menjadi
40 cmH20. Apa saja penyebab yang mungkin ?
6. Bagaimana cara menegakkan diagnosis tension pneumothoraks ?
7. Apa penatalaksanaan tension pneumothorax ?
8. Pasien kehilangan darah terus-menerus dan hematokrit tinggal 18 %. Jenis darah apa
yang anda berikan jika tipe dan reaksi silang tidak lengkap ?
9. Tindakan pencegahan apa yang diambil jika diberikan > 2 U Whole Blood Tipe O Rh
negatif tanpa reaksi silang?
10.Komplikasi apa yang berhubungan dengan transfusi darah ?
11.Apa yang penting diperhatikan dalam transfusi masif ?
12.Komplikasi apa yang berhubungan dengan transfusi masif ?
13.Dapatkah diketahui jumlah pergeseran kurva disosiasi oksigen-hemoglobin ?
14.Apa defenisi hipotermia ?

1
Trauma

15.Apa efek samping dari hipotermia ?


16.Apa terapi hipotermia ?
17.Apa efek transfusi darah terhadap sistem imun ?
18.Apa pedoman untuk transfusi produk darah ?
19.Jika pasien ini merupakan anggota sekte keagamanaan saksi Jehovah, apakah anda
akan memberikan transfusi darah ?
20.Apakah terdapat pengganti darah artifisial ?
21.Jika seorang anak anggota saksi Jehovah menderita syok hemoragik, apa yang akan
anda lakukan ?

D. Penatalaksanaan Setelah Operasi


1. Apa yang dimaksud dengan Adult Respiratory Distress
Syndrome (ARDS) ?
2. Bagaimana terapi ARDS ?
3. Dalam ruang pemulihan, anda dipanggil untuk melihat pasien
ini karena oligouria. Apa yang anda evaluasi dan terapi apa yang akan anda berikan
untuk pasien ini ?

A. Penyakit Kinik Dan Diagnosa Banding


A.1. Apa klasifikasi trauma ?
Trauma biasanya dibagi dalam 2 kategori yang berbeda : Penetrasi/tembus dan trauma
tumpul. Keduanya dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah, organ visceral,
musculoskeletal dan sistem saraf.

A.2. Organ apa yang umumnya cidera pada trauma tumpul abdomen ?
Pada trauma tumpul abdomen, organ yang umumnya cidera adalah lien, hepar, ginjal dan
usus. Umumnya, trauma tumpul abdomen menempati angka kematian tertinggi dibanding
trauma penetrasi/tembus. Alasannya multifaktor dan termasuk didalamnya kesulitan
dalam menegakkan diagnosis dan sering berhubungan dengan trauma organ lain seperti
trauma kepala, trauma dada dan fraktur.

Schwartz SI (ed): Principles of Surgery, 6 th ed, p193. New York, McGraw-Hill, 1994
Siegel JH (ed): Trauma: Emergency Surgey and Critical Care, p 889. New York, Churchill
Livingstone, 1987

A.3. Apa yang dimaksud dengan peritoneal lavage/ kumbah peritoneum ?


Peritoneal lavage/kumbah peritoneum adalah suatu tindakan yang dilakukan dalam kamar
operasi untuk membantu memutuskan apakah seorang pasien dengan perdarahan
internal memerlukan suatu laparatomi eksplorasi. Dilakukan minilaparatomi dengan
anestesi lokal. Sebuah kateter ditempatkan dalam abdomen untuk mengaspirasi darah
yang banyak. Jika < 20 ml darah teraspirasi, maka 1 liter Ringer laktat atau normal saline
dimasukkan melalui drain ke dalam abdomen. Cairan bilasan akan keluar akibat gaya berat
dan cairan tersebut dikirim ke laboratorium untuk dianalisa. Kriteria peritoneal
lavage/kumbah peritoneum dikatakan positif jika jumlah eritrosit ≥ 100.000/mm 3, jumlah
leukosit ≥ 500/mm3, terdapat empedu atau partikel makanan, dan cairan konsentrasi
amilase ≥ 175 U/dl. Jika hasil peritoneal lavage memenuhi satu atau lebih dari kriteria
tersebut, maka pasien dibawa ke ruang operasi untuk dilakukan laparatomi eksplorasi.

Feliciano DV, Moore EE, Mattox KL (eds): Trauma, 3rd ed, p 133. Stamford, CT, Appleton &
Lange, 1996
Schwartz SI (ed): Principles of Surgery, 6 th ed, p195-196. New York, McGraw-Hill, 1994

2
Trauma

A.4. Mengapa tidak dilakukan peritoneal lavage pada pasien ini ?


Peritoneal lavage tidak dilakukan karena dua alasan. Pertama, karena dianggap bahwa
setiap luka tembak di abdomen memerlukan tindakan bedah. Kedua, pada pasien ini
terdapat tanda-tanda syok dan dengan segera harus di bawa ke kamar operasi.

Moylan Ja (ed): Trauma Surgery, p 22-24. Philadelphia, JB Lippincott, 1988


Schwartz SI (ed): Principles of Surgery, 6 th ed, p197-198. New York, McGraw-Hill, 1994

A.5. Defenisi syok


Syok dapat didefenisikan sebagai suatu kondisi klinis berupa tanda-tanda dan gejala-gejala
tertentu yang tampak apabila curah jantung tidak cukup untuk mengisi arteri dengan
darah dibawah tekanan yang cukup untuk mengalirkan darah yang adekuat terhadap
organ dan jaringan. Semua bentuk syok selalu berhubungan dengan perfusi jaringan yang
tidak adekuat. Berkurangnya aliran darah ke organ vital merupakan keadaan yang sama
dijumpai pada semua bentuk syok.

Schwartz SI (ed): Principles of Surgery, 6 th ed, p193. New York, McGraw-Hill, 1994

A.6. Apa saja keempat tipe syok ?


Untuk penerapan klinik, klasifikasi berikut yang diperkenalkan oleh Blalock tahun 1934
tetap digunakan dan fungsional :
 Syok Hematogenik (hipovolemik, hemoragik), ditandai dengan hilangnya
volume darah sirkulasi
 Syok Kardiogenik, ditandai dengan ketidakmampuan miokardium untuk
memompa darah
 Syok Vasogenik (septik), ditandai dengan adanya infeksi yang menurunkan
tahanan vaskular perifer
 Syok Neurogenik ditandai dengan kerusakan sistem saraf sentral yang
mengontrol vaskular.

Moylan Ja (ed): Trauma Surgery, p 27-42. Philadelphia, JB Lippincott, 1988


Schwartz SI (ed): Principles of Surgery, 6 th ed, p119. New York, McGraw-Hill, 1994

A.7. Tanda-tanda dan gejala-gejala syok


Tanda-tanda dan gejala-gejala syok meliputi takikardi, hipotensi, akral dingin, pucat,
oligouri, takipnea, penurunan capillary refill, cemas, gelisah, dan penurunan keadaran.

Moylan Ja (ed): Trauma Surgery, p 30. Philadelphia, JB Lippincott, 1988

A.8. Bagaimana patofisiologi syok hipovolemik ?


Gangguan Kardiovaskuler
Penurunan mendadak volume darah dalam sirkulasi menyebabkan peningkatan aktivitas
simpatis melalui pelepasan epinefrin dan norepinefrin dari kelenjar adrenal. Rangsangan
terhadap -adrenergik menyebabkan vasokonstriksi, yang mengakibatkan berkurangnya
darah ke kulit, organ visceral dan otot untuk mempertahankan sirkulasi ke coroner dan
cerebral.
Akibat kontriksi pada sfingter pre dan postkapiler, terjadi penurunan tekanan hidrostatik
kapiler sehingga memungkinkan tekanan osmotik menarik cairan interstitial masuk ke
dalam vaskular. Proses hemodilusi ini cenderung untuk menambah volume darah pasien.

3
Trauma

Sebagai tambahan, timbul takikardi sebagai respon terhadap vasokonstriksi dan


hemodilusi.
Myocardial Depressant Factor (MDP) adalah peptida yang dilepaskan oleh
pankreas bila aliran darah rendah. Peptida ini berperan dalam penurunan fungsi jantung
yang tampak pada pasien trauma.

Gangguan Asam-Basa
Asidosis metabolik hampir selalu berhubungan dengan suatu syok. Sebagai akibat dari
penurunan aliran darah atau perfusi yang rendah, pengangkutan oksigen ke organ vital
menurun dan akhirnya terjadi perubahan metabolisme dari aerob ke anaerob. Hal ini akan
menyebabkan produksi asam laktat sebagai produk akhir dari metabolisme
karbondioksida. Peningkatan asam laktat menyebabkan asidosis metabolik.

Capan LM, Miller SM, Tumdorf h (es): Anesthesia and Intensive Care, pp 84-89.
Philadelphia. JB Lippincott, 1991
Schwartz SI (ed): Principles of Surgery, 6 th ed, p120. New York, McGraw-Hill, 1994
Stene JK, Gerarde CM (eds): Trauma: Anesthesia, pp 100-110. Baltimore, Williams &
Wilkins, 1991

A.9. Apa klasifikasi perdarahan ?


The American College of Surgeons mengklasifikasikan perdarahan berdasarkan jumlah
darah yang hilang, tampak pada tabel 52-1.
Dari pengalaman tampak bahwa pada pasien usia muda yang sehat, dapat digunakan
kristaloid untuk mengatasi kehilangan darah sampai 30 %. Pengangkutan oksigen tetap
adekuat pada kadar Hemoglobin yang rendah sampai 7 gr/dl.

Kelas Kehilangan Darah Tanda dan Gejala Terapi


I < 15 % Takikardi sedang, vasokon- 1-2 liter cairan
striksi
II 15 %-30 % Takikardia, penurunan teka- 2 liter cairan
nan nadi, cemas, gelisah

III 30 %-40 % Takikardia jelas, takipnea, 3 x cairan yang hilang


hipotensi, perubahan status Periksa hematokrit PRBC
mental untuk meningkatkan
transpor O2
IV >40 % Mengancam jiwa, takikardi PRBC, kristaloid dan koloid
berat, takipnea, hipotensi, untuk meningkatkan
jumlah urin sedikit, penurunan transpor O2
status mental

American College of Surgeons, Committee on Trauma: Advanced Trauma Life Support


Course manual. Chicago, American College of Surgeons, 1989.
Grande CM: Textbook of trauma, Anesthesiology and Critical Care, pp 400-401. ST louis,
Mosby, 1993.
Practice guidelines for blood component therapy: A reort by the ASA Task Force on Blood
Component Therapy, Anesthesiology 84:732-747,1996

A.10. Apa terapi pertama syok hemoragik ?

4
Trauma

Terapi pertama syok hemoragik adalah usaha untuk menstabilisasi hemodinamik melalui
pemberian cairan dan darah yang diperlukan untuk meningkatkan perfusi jaringan dan
pengangkutan oksigen.

Kruskall MS, Mintz PD, Bergin JJ et al: Transfusion therapy in emergency room medicine.
Ann Emerg Med 17:327-335,1988

A.11. Apakah anda memilih kristaloid atau koloid untuk penanganan syok hipovolemik ?
Larutan dengan hemoglobin bebas dapat mempertahankan hemodinamik dan transpor
oksigen yang adekuat pada pasien sehat yang kehilangan darah sebanyak 30 % dari
volume darah total. Sekarang, timbul beberapa kontroversi mengenai penggunaan
kristaloid atau koloid untuk terapi syok hipovolemik.
Yang menganjurkan penggunaan kristaloid menganggap bahwa pada syok
hipovolemik terjadi kehilangan cairan baik di intravaskuler maupun di interstitial dan
dapat digantikan oleh kristaloid. Manfaat lain kristaloid adalah menurunkan viskositas
darah sehingga dapat meningkatkan perfusi. Manfaat khusus dari Ringer laktat adalah
laktat dimetabolisme menjadi bikarbonat yang dapat berfungsi sebagai buffer pada
keadaan asidosis. Terakhir, secara ekonomi, harga kristaloid lebih murah dibandingkan
dengan koloid. Karena kristaloid akan keluar dari intravascular dan masuk ke interstisial,
maka diperlukan jumlah yang lebih banyak sehingga timbul kekhawatiran terjadinya
edema pulmonum maupun perifer meskipun dari penelitian tidak membuktikannya.
Yang menganjurkan penggunaan koloid menganggap bahwa sangat sedikit cairan
yang diperlukan untuk mengatasi syok hipovolemik. Koloid dapat meningkatkan tekanan
onkotik, yang menahan masuknya cairan interstitiel ke intravaskular sehingga dapat
mencegah terjadinya edema pulmonum. Akan tetapi, jika terjadi kebocoran membran
kapiler alveolus di paru, maka koloid dapat memperburuk edema pulmonum. Kerugian
lain koloid adalah dapat terjadi disfungsi tubulus ginjal setelah resusitasi.
Sebagai kesimpulan, kristaloid memiliki lebih banyak manfaat dibandingkan koloid
sehingga kami menggunakan kristaloid untuk resusitasi pada syok hipovolemik.

Churchill WH, Kaitz SR (eds): Ytransfusin Medicine, pp 172-175. Boston, Blackwell


Scientific,1988
Kruskall MS, Mintz PD, Bergin JJ et al: Transfusion therapy in emergency room medicine.
Ann emerg Med 17:327-335,1988
Miller RD (ed): Anesthesia, 4th ed, p 1642. New York, Churlchill-Livingstone, 1994
Richardson JD (ed): Trauma: Clinical Care and Pathophysiology, pp 29-34. chicago, Year
Book Medical Publisher, 1987

A.12. Adakah manfaat pemberian dextran atau hetastarch (hespan) pada terapi syok
hipovolemik ?
Dextran dan hetastarch adalah larutan polisakarida sintetik dengan berbagai berat
molekul. Dextran 40, dextran 70, dan hetastarch telah digunakan sebagai volume
ekspander. Dextran relatif murah, dapat meningkatkan volume darah secara efektif dan
menurunkan viskositas darah. Akan tetapi, kekurangannya perlu untuk dipertimbangkan.
Dextran mengganggu proses pembekuan melalui coating platelets dan menghalangi
typing dan reaksi silang melalui coating eritrosit. Sebagai tambahan, insidens reaksi
anafilaktik dilaporkan sekitar 0,07 %-1,1 % dengan penggunaan dextran.
Saat ini cairan tersebut kurang digunakan dalam penanganan syok hipovolemik.

Churchill WH, Kaitz SR (eds): Ytransfusin Medicine, pp 172-175. Boston, Blackwell


Scientific,1988

5
Trauma

Richardson JD (ed): Trauma: Clinical Care and Pathophysiology, pp 29-34. chicago, Year
Book Medical Publisher, 1987
Rossi EC, Simon TL, moss GS et al (eds): Principiles of Transfusion Medicine, pp 628-629.
Baltimore.Williams & Wilkins, 1996

A.13. Adakah manfaat penggunaan hipertonik saline dalam penanganan syok hipovolemik ?
Hipertonik saline saat ini digunakan untuk resusitasi pada beberapa rumah sakit Karena
efeknya yang singkat maka tidak dapat digunakan secara tunggal. Akan tetapi, jika
hipertonik saline 7,5 % dikombinasikan dengan dextran 70, maka akan tercapai
keberhasilan resusitasi. Dosis optimal yang dianjurkan adalah 4 ml/kg saline 7,5 % dalam
12 % dextran 70.
Keuntungan hipertonik saline adalah konsentrasi natriumnya besar, sehingga
sedikit total volume yang digunakan untuk resusitasi. Bahaya utama yang timbul adalah
hipernatremia yang menyebabkan dehidrasi otak. Namun, pada pasien dengan tekanan
intrakranial tinggi, dehidrasi otak dapat menurunkan TIK.
Pada saat ini, terlalu banyak kontrovesi yang muncul untuk merekomendasikan
penggantian regimen ini. Lebih lanjut, diperlukan uji klinik yang memperlihatkan fungsi
hipertonik saline dalam resusitasi.

Miller RD (ed): Anesthesia, 4th ed, pp 1643; 2166. New York, Curchill Livingstone, 1994
Rossi EC, Simon TL, moss GS et al (eds): Principiles of Transfusion Medicine, pp 628-629.
Baltimore.Williams & Wilkins, 1996

B. Evaluasi preoperasi dan Persiapan Operasi


B.1. Obat premedikasi apa yang akan anda berikan ?
Tidak ada. Pasien ini dalam kondisi kritis yang masuk ke kamar operasi untuk dilakukan
operasi darurat. Narkotik dan sedatif merupakan kontraindikasi karena dapat
memperburuk hemodinamik yang sudah lemah.

C. Penatalaksanaan Intraoperatif
C.1. Apa yang anda monitor dari pasien ini ?
Pemasangan monitor noninvasif rutin antara lain elektrokardiogram (EKG), tekanan darah,
monitor oksigen, pulse oksimeter, end-tidal CO 2, stetoskop esofageal, suhu, dan kateter
Foley.
Monitor noninvasif pada pasien ini juga meliputi pemasangan jalur arteri dan
kateter vena sentralis. Jalur arteri digunakan untuk pengambilan contoh darah dan
monitor tekanan darah secara langsung. Jalur vena sentralis membantu menentukan
status volume cairan pasien. Kateter Swan-Ganz dapat sebagai indikator jika pasien
memperlihatkan tanda-tanda gagal jantung.

C.2. Bagaimana cara anda untuk induksi anestesi ?


Karena semua pasien trauma dianggap perutnya terisi penuh, maka jalan terbaik untuk
menjaga jalur napas pasien adalah dengan intubasi. Untuk pasien yang tidak kooperatif,
dapat diberikan rangkaian induksi cepat. Pertama, pemberian preoksigenasi selama 3-5
menit. Lalu diberikan pelumpuh otot nondepolarisasi seperti curare (3 mg) dengan dosis
defasikulasi. Kemudian, dapat diberikan ketamin (0,5-1,0 mg/kg), diikuti dengan
suksinilkolin (1,5 mg/kg) sambil menekan krikoid. Pada kasus ini digunakan ketamin karena
efek stimulasi kardiovaskularnya dan pasien dalam keadaan hemodinamik yang tidak
stabil. Jika pasien mendapat resusitasi yang adekuat dalam ruang gawat darurat, maka
digunakan thiopental atau midazolam dosis kecil untuk induksi.

6
Trauma

C.3. Zat apa yang anda gunakan untuk rumatan anestesi?


Jika pasien stabil dan hemodinamik membaik, zat anestesi lain dapat secara hati-hati
dititrasi untuk mencegah hipotensi, zat tersebut antara lain :
 Sedatif atau amnestik harus ditambahkan dalam zat anestesi selama bisa
ditoleransi. Ingat untuk memulainya dengan dosis kecil dan memeriksa respon pasien
tiap dosisnya.
 Narkotik harus dititrasi untuk mengontrol respon hemodinamik terhadap
pembedahan.
 Nitrous oxide harus dipertimbangkan dengan hati-hati, karena dapat terakumulasi
pada rongga udara dalam tubuh (contohnya pleura, usus)
 Anestesi inhalasi dapat digunakan dalam konsentrasi rendah selama tidak
mengganggu hemodiamik pasien. Zat–zat inhalasi adalah tambahan untuk sedatif dan
narkotik.

C.4. Jenis pelumpuh otot apa yang anda pilih ?


Dapat digunakan obat dengan masa kerja lama dan tanpa efek samping kardiovaskular
seperti doxacurium atau pipecuronium. Juga dapat dipilih vecuronium, rocuronium atau
cisatracurium yang tidak mempunyai efek samping kardiovaskular dengan masa kerja
sedang.
Pancuronium adalah pelumpuh dengan masa kerja lama namun bersifat vagolitik
dan dapat mengganggu pasien.
Curare, metocurine dan atracurium dapat menyebabkan hipotensi sehingga tidak
dipilih dalam kasus ini.

C.5. Lima menit setelah intubasi, peak airway pressure meningkat dari 20 cmH 2O menjadi 40
cmH20. Apa saja penyebab yang mungkin ?
 Tension pneumothorax
 Bronchospame
 Intubasi endobronchial
 Edema pulmonum
 Sekret
 Kerusakan dalam sirkuit anestesi atau endotracheal tube

Capan LM, Miller SM, Turndorf H (eds): Trauma: Anesthesia and Intensive Care, p
&1.Philadelphia. JB Lippincott, 1991
Stene JK, Gerarde CM (eds): trauma: Anesthesia, pp 79-81. Baltimore, William&Wilkins,
1991

C.6. Bagaimana cara menegakkan diagnosis tension pneumothoraks ?


Tension pneumothorax dapat didefenisikan sebagai hilangnya suara napas pada sisi yang
sakit. Gerakan dada asimetris. Vena-vena leher tampak, dapat terjadi hipotensi sistemik
pada tension pneumothorax berat. Perlu ditegaskan bahwa setiap pasien dengan luka
pada abdomen atas, leher bawah atau tulang rusuk yang keadaannya memburuk setelah
pemberian anestesi harus dianggap mengalami tension pneumothorax sampai terbukti
tidak.

Capan LM, Miller SM, Turndorf H (eds): Trauma: Anesthesia and Intensive Care, p32.
Philadelphia. JB Lippincott, 1991
Moylan Ja (ed): trauma Surgery, p 130. Philadelphia, Jb Lippincott, 1988
Stene JK, Gerarde CM (eds): trauma: Anesthesia, pp 209. Baltimore, William&Wilkins, 1991

7
Trauma

C.7. Apa penatalaksanaan tension pneumothorax ?


Pada tension pneumothorax harus segera dilakukan dekompresi dada karena
hemodinamik pasien ini terganggu. Dengan menggunakan sebuah angiocatheter 18-gauge
yang ditusukkan pada ruang interkostal kedua sejajar mid clavicula. Setelah udara keluar
melalui kateter dan paru dekompresi, maka dapat dipasang chest tube.
Ingat bahwa tension pneumothorax cukup mengancam jiwa dan harus selalu
diperhatikan ketika menangani pasien trauma.

Capan LM, Miller SM, Turndorf H (eds): Trauma: Anesthesia and Intensive Care, p32.
Philadelphia. JB Lippincott, 1991
Stene JK, Gerarde CM (eds): trauma: Anesthesia, pp 210. Baltimore, William&Wilkins, 1991

C.8. Pasien kehilangan darah terus-menerus dan hematokrit tinggal 18 %. Jenis darah apa
yang anda berikan jika tipe dan reaksi silang tidak lengkap ?
Pasien ini harus diberikan transfusi darah secepat mungkin. Packed Cell Tipe O Rh negatif
merupakan donor universal. Jenis darah ini dapat diberikan sementara disiapkan tipe
darah yang spesifik untuk pasien. Kapan saja tipe darah spesifik siap, maka darah tersebut
dapat diganti. Akan tetapi, jika transfusi awalnya menggunakan Whole Blood Tipe O Rh
negatif dan telah > 2 U diinfuskan, maka hanya darah Tipe O Rh negatif yang dapat
diberikan selanjutnya. Biasanya sebelum pasien masuk ke kamar operasi, telah dilakukan
pemeriksaan reaksi silang golongan darah di ruang gawat darurat yang memerlukan waktu
5-10 menit dalam mempersiapkan darah tipe spesifik untuk ditransfusikan.

Huestis DW, Bove JR, Case J: Practical Blood Transfusion, 4 th ed, pp 218-220. Boston, Little
Brown, 1988
Kruskall MS, Mintz PD, Bergin JJ et al: Transfusion therapy in emergency room medicine.
Ann emerg Med 17:331-333,1988

C.9. Tindakan pencegahan apa yang diambil jika diberikan > 2 U Whole Blood Tipe O Rh
negatif tanpa reaksi silang?
Plasma dari Whole Blood Tipe O Rh negatif mengandung antibodi anti A dan anti B yang
dapat menyebabkan reaksi hemolitik dengan sel darah tipe A dan tipe B jika diberikan
dalam jumlah yang signifikan. Sehingga, hanya darah tipe O Rh negatif yang dapat terus
diberikan, meskipun hal ini dapat menyebabkan hemolisis minimal terhadap eritrosit
pasien sendiri. Pasien tidak boleh menerima tipe darah spesifik sampai ditetapkan bahwa
level anti A dan anti B turun cukup rendah dan aman untuk transfusi darah tipe spesifik.
Biasanya memerlukan waktu 2 minggu.

Churchill WH, Kaitz SR (eds): Transfusin Medicine, pp 212-214. Boston, Blackwell


Scientific,1988
Huestis DW, Bove JR, Case J: Practical Blood Transfusion, 4 th ed, pp 218-220. Boston, Little
Brown, 1988
Kruskall MS, Mintz PD, Bergin JJ et al: Transfusion therapy in emergency room medicine.
Ann emerg Med 17:331-333,1988
Miller RD (ed): Anesthesia, 4th ed, p 1623. New York, Churlchill-Livingstone, 1994

C.10. Komplikasi apa yang berhubungan dengan transfusi darah ?


Berikut dijelaskan komplikasi akibat transfusi hanya 1 U darah. Yaitu reaksi transfusi,
penularan penyakirt dan mikroembolisasi.

8
Trauma

Reaksi transfusi
 Demam terjadi sekitar 1,0 % pada semua tranfusi. Pada pasien yang sadar, hal ini
biasanya tidak menjadi halangan untuk mengurangi laju infus.
 Reaksi alergi dengan akibat reaksi silang darah yang tepat berupa peningkatan suhu,
pruritus dan urtikaria. Hal ini sulit didiagnosa pada pasien yang teranestesi. Terapi
meliputi pemberian antihistamin dan penghentian tranfusi.
 Reaksi hemolitik terjadi jika diberikan darah yang tidak cocok. Disebabkan oleh aktivasi
sistem komplemen, dan dapat mengancam jiwa. Pada pasien yang sadar tampak
demam, menggigil, dyspnea dan nyeri substernal dan lumbar, sampai hipotensi.
Dibawah pengaruh general anestesi tanda satu-satunya yang dapat dilihat adalah
hipotensi. Juga, jika hemoglobin bebas tidak terdapat dalam plasma atau urine, hal ini
juga menjadi indikasi suatu reaksi transfusi. Pelepasan substansi oleh sel hemolisa
dapat memicu terjadi Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan gagal ginjal
akut. Terapi berupa penghentian transfusi segera. Hipotensi ditangani dengan hidrasi,
dan jika diperlukan dapat diberikan obat-obat vasopressor dan inotropik.
Volume urine harus ditingkatkan melalui hidrasi, loop diuretik, dan atau mannitol.
Meskipun kegunaannya belum jelas, natrium bikarbonat dapat digunakan untuk
alkalinisasi urine untuk meningkatkan kelarutan dari produk degradasi hemoglobin.
Resiko terjadinya reaksi hemolitik pada transfusi dengan golongan darah (ABO) yang
tidak cocok adalah 1 : 33.000 dari seluruh transfusi eritrosit. Kemungkinan timbulnya
reaksi hemolitik yang fatal tidak dapat ditentukan, tapi diperkirakan sekitar 1: 500.000
sampai 1: 800.000.

Penularan Penyakit
 Penularan penyakit melalui transfusi merupakan masalah yang serius. Human
Immunodeficiency Virus (HIV), Virus Hepatitis B, Virus Hepatitis C (non-A, non-B), dan
Cytomegalovirus dapat ditularkan melalui transfusi. Karena tingginya resiko penularan
penyakit melalui tiap unit darah atau komponen darah yang diberikan, maka harus
diteliti dengan hati-hati sebelum diberikan. Insiden terinfeksi HIV post transfusi adalah
antara 1:450.000 – 1:600.000 tiap unit darah. Resiko penularan hepatitis B post
transfusi adalah kira-kira 1:200.000 unit. Resiko hepatitis C serokonversi post transfusi
adalah 0,03 % (1 : 3.300) per unit darah transfusi. Malaria, sipilis, penyakit Lyme,
penyakit Cagas, dan penyakit yang lain juga dapat ditularkan melalui transfusi. Dengan
adanya suatu larutan baru nonhemoglobin yang beredar, maka darah akan sedikit
digunakan untuk transfusi dan penularan penyakit melalui transfusi dapat dikurangi.

Mikroembolisasi
 Mikroembolisasi dapat timbul dari transfusi darah atau komponennya. Darah simpan
akan membentuk mikoragregasi yang terlalu kecil untuk dikeluarkan melalui filter
darah standar 170 . Sedang dikembangkan filter yang lebih kecil untuk mengeluarkan
partikel-partikel tersebut. Akan tetapi, jika menggunakan filter darah ukuran 20-40 ,
maka angka transfusi akan menurun drastis karena meningkatnya resistensi filter.
Beberapa laporan awal menyebutkan bahwa mikroagregasi ini dapat menyebabkan
disfungsi pulmonum, tetapi hal ini tidak dapat dibuktikan.

Churchill WH, Kaitz SR (eds): Transfusin Medicine, pp 91-126. Boston, Blackwell


Scientific,1988
The Greater New York Program Pamphlet, May 1990

9
Trauma

Kruskall MS, Mintz PD, Bergin JJ et al: Transfusion therapy in emergency room medicine.
Ann emerg Med 17:329-331,1988
Miller RD (ed): Anesthesia, 4th ed, p 1633. New York, Churlchill-Livingstone, 1994
Practice guidelines for blood component therapy: A report by ASA Task Force on Blood
Component Therapy. Anesthesiology 84:732-734, 1996

C.11. Apa yang penting diperhatikan dalam transfusi masif ?


Suatu transfusi masif didefenisikan sebagai penggantian total volume darah pasien
dalam waktu 24 jam. Biasanya menggunakan 8-10 U Packed Red Blood Cell (PRC).
Banyak kasus trauma yang jauh melebihi jumlah ini dan memerlukan komponen darah
yang lain sebagai tambahan untuk eritrosit.

Churchill WH, Kaitz SR (eds): Transfusin Medicine, pp 211. Boston, Blackwell


Scientific,1988
Kruskall MS, Mintz PD, Bergin JJ et al: Transfusion therapy in emergency room medicine.
Ann emerg Med 17:329,1988

C.12. Komplikasi apa yang berhubungan dengan transfusi masif ?


Komplikasi transfusi masif meliputi koagulopati dilusional, Disseminated Intravascular
Coagulopathy (DIC), fibrinolisis, keracunan sitrat, hiperkalemi, hipokalemia, ketidak-
seimbangan asam-basa, kegagalan fungsi hemoglobin, dan hipotermia.
Koagulopati dilusional biasanya menjadi masalah selama transfusi masif. Pada
pasien trauma, baik trombosit maupun faktor-faktor pembekuan jelas menurun yang
dikonfirmasi melalui pemeriksaan laboratorium sehingga perlu diganti. Tidak lagi
diberikan Fesh-Frozen Plasma (FFP) setelah transfusi 5 U PRBC, maupun pemberian
trombosit setelah diberikan 10 U PRBC. Sekarang, jarang terjadi koagulopati dilusional,
bahkan pada transfusi 1 volume darah saja. Rata-rata 40 % dari faktor pembekuan akan
tersisa setelah pemberian satu volume darah dan hal ini cukup untuk proses koagulasi
normal. Jumlah trombosit dapat menurun sekitar 30-40 % dari normal setelah transfusi
satu volume darah. Penurunan ini biasanya sekitar < 100.000/mm 3 dan dapat
menyebabkan waktu perdarahan memanjang.
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan fibrinolisis dapat terjadi
setelah transfusi masif. Akibat utama DIC dan fibrinolisis adalah syok, yang disertai
iskemik jaringan, asidemia, dan akumulasi produk sisa. Sehingga sangat diperlukan
terapi yang segera dan tepat untuk hipoperfusinya.
Toksisitas sitrat sering dibahas, namun hal ini jarang terjadi pada transfusi masif.
Sitrat merupakan zat yang ditambahkan ke dalam darah simpan untuk mengikat calsium
sehingga dapat mencegah pembekuan. Antikoagulan sitrat berada di dalam plasma
sehingga pada Fresh–Frozen Plasma mengandung lebih banyak citrat dibandingkan
packed cell. Sitrat mengikat kalsium dan menurunkan kadar ion kalsium. Sehingga dapat
terjadi hipokalemia yang tampak sebagai perpanjangan QT interval dengan sedikit
pengaruh terhadap kinerja jantung. Pada beberapa kasus, kerja ventrikular dipengaruhi.
Akan tetapi kerja jantung juga dapat menurun akibat asidemia, hiperkalemia dan
hipotermia yang semuanya menyertai syok. Sehingga, tidak dianjurkan pemberian
tambahan kalsium yang rutin. Satu hal yang sering diabaikan adalah sitrat
dimetabolisme menjadi bikarbonat dan hal ini dapat menimbulkan alkalosis metabolik
setelah transfusi.
Hiperkalemia jarang terjadi pada pasien dengan transfusi masif. Kadar kalium
plasma pada darah simpan sekitar 12-32 mEq/liter. Kadar kalium meningkat kira-kira 1
mEq/liter tiap hari pada darah simpan. Satu unit darah lengkap mengandung 4-8 mEq
kalium, dan cukup untuk menyebabkan hiperkalemia. Satu unit PRCB mengandung

10
Trauma

jumlah kalium yang sedikit karena kebanyakan plasma telah dikeluarkan. Akan tetapi,
pada syok dengan hipoperfusi dan asidemia, dapat timbul hiperkalemia.
Hipokalemia juga dapat terjadi setelah transfusi masif. Sitrat yang
dimetabolisme menjadi bikarbonat, menghasilkan alkalosis metabolik yang dapat
menyebabkan hipokalemia. Sebagai tambahan, transfusi eritrosit yang mengikat kalium
juga dapat menimbulkan hipokalemia.
Ketidakseimbangan asam-basa menjadi masalah setelah transfusi masif. Darah
simpan bersifat asidosis dengan pH 6,8 dan hal ini dapat memperberat asidosis yang
menyertai syok. Akan tetapi, asidosis ini mudah reversibel jika disimpan dalam perfusi
normal, sehingga tidak diperlukan pemberian tambahan bikarbonat dengan jumlah
yang berbeda untuk tiap unit transfusi. Akan tetapi, jika asidosis metabolik menetap,
maka diperlukan pemberian sodium bikarbonat. Seperti halnya, sitrat dari darah simpan
dan laktat dari Ringer laktat juga dimetabolisme menjadi bikarbonat dan dapat
menyebabkan alkalosis metabolik.
Kerusakan fungsi hemoglobin secara teori mungkin dapat timbul akibat transfusi
masif. Kadar 2,3–Diphosphoglycerate (2,3-DPG) menurun dalam darah simpan. Hal ini
akan menyebabkan kurva disosiasi oksigen-hemoglobin bergeser ke kiri dan oksigen
akan terikat kuat dengan molekul hemoglobin. Akan tetapi, tidak ada penelitian yang
memperlihatkan efek samping akibat hal ini.
Hipotemia terjadi akibat transfusi darah simpan yang bersuhu dingin. Sehingga,
dianjurkan pemberian normal saline hangat sebelum darah ditransfusikan. Sebagai
tambahan, semua cairan yang diberikan seharusnya melalui alat pemanas untuk
membantu mencegah hipotermia.

Churchill WH, Kaitz SR (eds): Transfusin Medicine, pp 216-226. Boston, Blackwell


Scientific,1988
Kruskall MS, Mintz PD, Bergin JJ et al: Transfusion therapy in emergency room medicine.
Ann emerg Med 17:329-331,1988
Miller RD (ed): Anesthesia, 4th ed, p1624-1632. New York, Churlchill-Livingstone, 1994

C.13. Dapatkah diketahui jumlah pergeseran kurva disosiasi oksigen-hemoglobin ?


Dapat, jumlah pergeseran kurva disosiasi oksigen–hemoblogin dapat diketahui melalui
nilai P 50. P 50 menunjukkan tekanan parsial oksigen di mana saturasi oksigen
hemoglobin 50 %. Pergeseran kurva ke kiri mengindikasikan nilai P 50 yang rendah. Nilai
normal P 50 dalam darah adalah 27 mmHg, dan kadar normal 2,3-DPG dalam eritrosit
adalah 4,8 mmol/ml.

Miller RD (ed): Anesthesia, 4th ed, p1624-1632. New York, Churlchill-Livingstone, 1994

C.14. Apa defenisi hipotermia ?


Hipotermia didefenisikan sebagai suhu tubuh < 35 oC. Hipotermia dapat terjadi pada
pasien trauma sebelum masuk ke ruang gawat darurat. Dan dalam ruang gawat darurat,
pasien ini akan diberikan cairan intravena dan dapat terpapar dengan suhu ruangan,
sehingga kedua kondisi tersebut dapat menurunkan suhu tubuhnya. Dalam ruang
operasi, pasien ini dapat kehilangan panas melalui konduksi, konveksi, dan evaporasi.

Feliciano DV, Moore EE, Mattox KL (eds): Trauma, 3 rd, pp717-718, 955. Stamford, CT,
Appleton & Lange, 1996
Stene JK, Gerarde CM (eds): trauma: Anesthesia, pp 340-341. Baltimore,
William&Wilkins, 1991

11
Trauma

C.15. Apa efek samping dari hipotermia ?


 Menggigil, dan hal ini dapat meningkatkan konsumsi O 2 sebanyak > 400 %
 Kurva disosiasi oksigen-hemoglobin akan bergeser ke kiri
 Fungsi pembekuan darah menurun
 Kadar epinefrin dan norepinefrin meningkat, menyebabkan vasokonstriksi perifer.
Jika hipotermia semakin berat, dapat terjadi penurunan denyut jantung dan tekanan
darah. Akhirnya dapat timbul fibrilasi ventrikel.

Feliciano DV, Moore EE, Mattox KL (eds): Trauma, 3 rd, pp717-718, 955. Stamford, CT,
Appleton & Lange, 1996

C.16. Apa terapi hipotermia ?


Respon normal terhadap hipotermia adalah menggigil, yang dapat dihambat dengan
pemberian anestesi umum. Oleh karena itu, penting untuk mencegah dan mengatasi
hipotermia. Hal yang dianjurkan berupa :
 Meningkatkan suhu ruangan operasi
 Menggunakan selimut penghangat
 Menghangatkan cairan intravena sebelum diberikan
 Semua cairan yang diberikan melewati suatu alat penghangat
 Memberikan anestesi secara perlahan
 Menambah alat penghangat kelembaban udara atau suatu Artificial Heatmoisture
Exchanger (HME) dalam sirkuit anestesi.

Feliciano DV, Moore EE, Mattox KL (eds): Trauma, 3 rd, pp 957-958. Stamford, CT,
Appleton & Lange, 1996
Stene JK, Gerarde CM (eds): trauma: Anesthesia, pp 343-347. Baltimore,
William&Wilkins, 1991

C.17. Apa efek transfusi darah terhadap sistem imun ?


Transfusi darah menyebabkan perubahan imunologi yang hal ini dapat merugikan pada
beberapa pasien dan menguntungkan pada pasien lain. Immunomodulasi ini terjadi
akibat supresi sistem imun. Pada tingkat sel terlihat stimulasi sel supresor imunologi dan
inhibisi sel efektor imunologik. Komponen darah yang berperan pada perubahan
imunologi ini adalah leukosit atau plasma.
Sebagai contoh efek yang menguntungkan dari perubahan imunologi adalah
dapat meningkatkan angka harapan hidup pada pasien cangkok ginjal allograft yang
sebelumnya diberikan transfusi darah. Efek yang merugikan dari imunosupresi ini adalah
meningkatnya angka rekurensi pada pasien kanker yang menerima transfusi
sebelumnya. Terakhir, sebuah penelitian klinik memperlihatkan bahwa transfusi
perioperatif berhubungan dengan meningkatnya insiden infeksi dan sepsis.

Landers DF, Hill GE, Wong KC, Fox IJ: Blood transfusion-induced immunomodulation.
Anesth Analg 82:187-204,1996

C.18. Apa pedoman untuk transfusi produk darah ?


Dengan berdasarkan New York Hospital Guideliner sebagai kriteria penggunaan produk
darah, antara lain;

12
Trauma

Kriteria Transfusi Eritrosit


 Hemoglobin (Hgb) < 8 g/dl (Hct < 26 %) dan Mean Red Cell Volume (MCV) dalam batas
normal (WNL) (81-100 fl, 70-125 fl usia  14 tahun)
 Hgb < 8 g/dl (Hct < 26 %) dan pasien resiko tinggi/ perdarahan akut 1
 Hgb < 11 g/dl (Hct < 36 %) dengan gejala klinik 2
 Hgb < 11 g/dl (Hct < 36 %) dengan perdarahan > 1 U/24 jam
 Sejumlah Hbg dengan resiko tinggi1 dan perdarahan akut
 Sejumlah Hgb dengan gejala anemia2 dan perdarahan akut
 Sejumlah Hgb dengan perdarahan > 2 U/24 jam, atau > 15 % dari total volume
darah/24 jam
1
Resiko tinggi : Pasien dengan penyakit arteri koroner, penyakit paru kronik, penyakit
kardiovaskuler, atau penyakit anemia kongenital atau yang didapat.
2
Gejala : pasien dengan tanda dan gejala anemia seperti takikardi, angina, kelainan
EKG atau kegagalan pernapasan pada neonatus, hemoglobinopati dan
sebagainya.

Kriteria Transfusi Trombosit


 Jumlah trombosit < 20.000/mm 3 tanpa Thrombotic Thrombocytopenic Purpura (TTP),
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP), purpura post transfusi, atau sindrom
hemouremik.
 Jumlah trombosit < 50.000/mm 3 dengan perdarahan minimal, preoperatif pada
tindakan bedah minor atau prematuritas
 Jumlah trombosit < 90.000/mm3 dengan perdarahan yang memerlukan transfusi
eritrosit (RBC) atau preoperatif pada tindakan bedah mayor
 Transfusi RBC masif ( > 8 U/24 jam)
 Waktu perdarahan > 10 menit
 Tranfusi lebih dari rata-rata jumlah unit RBC (6)/kasus pada tindakan bedah jantung
terbuka.

Kriteria Transfusi Fresh-Frozen Plasma


 Transfusi masif > 8 U RBC/24 jam ( > 1 volume darah bayi/anak)
 Hasil tes koagulasi abnormal (Prothrombin Time (PT) > 15 detik atau Partial
Thromboplastin Time (PTT) > 45 detik) dalam waktu 24 jam atau diketahui menderita
kelainan faktor pembekuan kongenital (faktor II, V, VII, IX, X, XI, XII) dan perdarahan
atau pencegahan perdarahan pada tindakan bedah mayor.
 Bukti klinik adanya perdarahan abnormal di daerah tusukan pada vena atau tampak
terlihat
 Pasien dengan diagnosa TTP
 Transfusi lebih dari jumlah rata-rata unit RBC (6)/ kasus pada bedah jantung terbuka

Kriteria Transfusi Kriopresipitat


 Transfusi masif > 8 U/ 24 jam
 Transfusi lebih dari jumlah rata-rata unit RBC (6)/kasus pada bedah jantung terbuka
 Perdarahan atau tindakan invasif pada pasien dengan hipofibrinogemia atau DIC
 Defisiensi faktor VIII atau faktor Von Willebrand atau fibrinogen abnormal dan
preoperasi atau perdarahan.

Practice guidelines for blood component therapy: A report by ASA Task Force on Blood
Component Therapy. Anesthesiology 84:732-747, 1996

13
Trauma

New York Hospital Protocols, 1997

C.19 Jika pasien ini merupakan anggota sekte keagamanaan saksi Jehovah, apakah anda
akan memberikan transfusi darah ?
Para saksi Jehovah dikenal sangat menolak transfusi darah dan produknya. Mereka
percaya bahwa harapan untuk hidup abadi akan hilang jika mereka menerima transfusi
darah. Oleh karena ini tindakan transfusi darah merupakan suatu pelanggaran fisik.
Mereka akan menolak transfusi darah lengkap, packed red cells, leukosit, plasma dan
trombosit. Akan tetapi, mereka membolehkan penggunakan kardiopulmonar bypass,
dialisis, atau peralatan lain seperti halnya pemberian darah selama operasi di mana
peredaran ekstrakorporeal tidak dihentikan. Dalam kepercayaan mereka sama sekali
tidak melarang penggunaan albumin, imunoglobulin atau preparat hemofilia ; di mana
produk tersebut harus diputuskan sendiri oleh yang bersangkutan. Mereka dapat
menerima semua cairan pengganti selain darah, seperti koloid, kristaloid, dextrans, atau
pengangkut oksigen pengganti darah.
Hak seorang saksi Jehovah untuk menolak transfusi darah adalah mutlak.
Pengadilan telah menegakkan hak-hak mereka untuk menolak transfusi darah.
Kebanyakan saksi Jehovah mengambil langkah legal untuk membebastugaskan
kewajiban personil medis. Kebanyakan membawa kartu siaga medis yang berisi berbagai
keinginan mereka dan biasanya mereka telah menunjuk wakil atau pengganti sebagai
pembuat keputusan. Sebagai tambahan, komunikasi yang terbuka dan terus terang
harus terbentuk antara pasien, ahli bedah dan ahli anestesi.
Seorang ahli anestesi dapat menolak untuk menanganani pasien jika
tindakannya bersifat elektif. Pada situasi darurat, dibutuhkan tindakan yang legal dan
etis. Dan sebaliknya, setiap orang dewasa yang cakap juga mempunyai hak untuk
menolak setiap terapi dan diterapi sesuai dengan keinginannya.

C.20. Jika seorang anak anggota saksi Jehovah menderita syok hemoragik, apa yang akan
anda lakukan ?
Merawat seorang anak membutuhkan perhatian yang lebih besar dan sering diperlukan
suatu tindakan legal yang berlawanan dengan keinginan orang tua dari anak tersebut.
Tindakan tersebut dipertanyakan oleh para saksi Jehovah yang mencari perawatan
medis yang baik untuk anak mereka, saat menuntut bahwa setiap tindakan tersebut
harus mempertimbangkan kepercayaan dalam keluarga mereka. Seorang dokter dapat
mengajukan izin ke pengadilan untuk memberikan transfusi darah terhadap anak di
bawah umur dari sekte ini. Pada keadaan yang sangat darurat, dapat diberikan darah
tanpa pemberitahuan ke pengadilan.

C.21. Apakah terdapat pengganti darah artifisial ?


Terdapat tiga tipe darah artifisial yang sedang diteliti : solusio hemoglobin, liposome-
encapsulated hemoglobin, dan perflurocarbons

Solusio Hemoglobin
Saat ini hemoglobin dapat dibuat dari darah manusia yang tidak segar. Dalam vaskular,
hemoglobin bebas mempunyai afinitas yang tinggi terhadap oksigen dan cepat
dilepaskan ke jaringan. Hemoglobin dapat dibuat dan dilarutkan dalam suatu media
isotonik dengan filtrasi di renal yang rendah, waktu yang lama di dalam intramuskular
dan menjaga P50 oksigen tetap normal. Cairan hemoglobin dapat menambah volume
darah sirkulasi dan menyediakan oksigen jaringan yang adekuat pada binatang

14
Trauma

percobaan. Efek yang merugikan dari solusio hemoglobin ini antara lain bersifat toksik
terhadap ginjal dan meningkatkan tekanan darah sistemik dan pulmonal. Sebagai
catatan, pada tahun 1992 telah dirancang pengganti human recombinant hemoglobin
yang berfungsi seperti hemoglobin normal, tapi tidak memerlukan reaksi silang, tidak
menularkan penyakit dan tidak cepat kadaluarsa.

Liposome-Encapsulated Hemoglobin
Hemoglobin ini dibuat bermembran dan berkapsul yang memungkinkan untuk
menambah 2,3 – DPG atau inositol hexafosfat pada membran sehingga dapat mengatur
P 50 sesuai dengan sel darah merah. Secara teori, hemoglobin berkapsul memiliki waktu
dalam intravaskular lebih lama dan kapasitas untuk mengangkut oksigen lebih besar.
Membran hemoglobin ini dicoba dimodifikasi agar dapat mengurangi terbentuknya
endapan hemoglobin dalam sistem retikuloendotelial sehingga meningkatkan waktu di
intravaskular.

Perflurocarbons
Perflurocarbons merupakan bahan sintetik yang mempunyai kemampuan memecah
oksigen. Perfluorocarbons tidak lagi digunakan karena diperlukan Pa O 2 yang tinggi agar
perluorocarbons dapat membawa sejumlah kecil oksigen yang telah dipecah.

Selanjutnya pengganti darah ini akan meningkatkan kapasitas angkut oksigen dengan
efek samping yang minimal. Dengan manfaat yang lebih banyak maka bahan-bahan
tersebut dapat menggantikan transfusi sel darah merah. Saat ini tidak dianjurkan
pemberian pengganti darah artifisial.

Biro GP: Perflurocarbon-based red blood cell substitutes. Transfusion Medicine Reviews
7:84-85. 1993
Dietz NM, Joyner MJ, Warner MA: Blood Substitutes: Fluid,drugs, or miracle solutions?
Anesth analg 82:390-405, 1996
Miller RD (ed): Anesthesia, 4th ed, p 1643. New York, Churlchill-Livingstone, 1994
Rudolph AS: Encapsulated hemoglobin: current issues dan future goals. Ant Cells Blood
Substitues Immobilization Biotechnol 2:347-360, 1994

D. Penatalaksanaan Post Operasi


D.1. Apa yang dimaksud dengan Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS) ?
Adult Respiratory Distress Syndrome adalah gagal napas akut akibat syok, trauma,
sepsis, aspirasi, transfusi atau kondisi jarang lainnya yang terjadi pada pasien dengan
paru yang sehat. Awalnya, jika paru mengalami trauma akan terjadi insufisiensi napas
akut yang berhubungan dengan kondisi syok dan resusitasinya, dan dikenal dengan
“shock lung” dan “traumatic wet lung”. Berbagai macam keadaan kerusakan paru
tersebut menyebabkan kerusakan membran kapiler alveolar, yang mengakibatkan
kebocoran cairan protein dari intravaskuler ke interstitial dan ke dalam alveolar.
Trauma ini menyebabkan edema interstisial dan alveolar yang memberikan gambaran
klinis disfungsi pulmonal dari sedang sampai berat yang dapat berakibat fatal.

ARDS mempunyai ciri sebagai berikut :


 Hipoksemia – tidak berespon terhadap peningkatkan konsentrasi oksigen melalui
udara inspirasi
 Penurunan kompliens paru – secara klinik tampak sebagai “stiff lungs”
 Pada awalnya gambaran x-ray normal namun secara progresif terdapat infiltrat yang
difus atau berkumpul di suatu area dari paru

15
Trauma

 Penurunan volume residual paru, khususnya, kapasitas residual fungsional

Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK (eds): Clinical Anesthesia, 3 rd ed, pp 1371-1372.
Philadelphia, JB Lippincott, 1997
Feliciano DV, Moore EE, Mattox KL (eds): Trauma, 3 rd ed, p 1107-1109. Stamford, CT,
Appleton & Lange, 1996
Schwartz SI (ed): Principles of Surgery, 6 th ed, p123-126. New York, McGraw-Hill, 1994

D.2. Bagaimana terapi ARDS ?


Penanganan ARDS merupakan terapi utama dan terdiri atas :
 Mengatasi penyebab utama, seperti sepsis
 Pemberian Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) dan konsentrasi oksigen tinggi
pada inspirasi untuk menjamin oksigenasi adekuat
 Jika pasein dalam keadaan anemia berat maka diberikan transfusi PRBC untuk
meningkatkan konsentrasi hemoglobin sehingga meningkatkan daya angkut oksigen.
 Memonitor hemodinamik sebagai petunjuk untuk terapi cairan dan menyokong
kardiovaskular
Terapi ini merupakan langkah utama dalam penanganan ARDS. ARDS merupakan suatu
proses yang terjadi perlahan-lahan dan kebanyakan pasien dapat ditangani sebelum
terjadi kegagalan respirasi. Akan tetapi, sekitar 50 % pasien dengan ARDS meninggal
akibat sepsis atau komplikasi dari traumanya.

Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK (eds): Clinical Anesthesia, 3 rd ed, pp 1371-1372.
Philadelphia, JB Lippincott, 1997
Feliciano DV, Moore EE, Mattox KL (eds): Trauma, 3 rd ed, p 1107-1109. Stamford, CT,
Appleton & Lange, 1996
Schwartz SI (ed): Principles of Surgery, 6 th ed, p123-126. New York, McGraw-Hill, 1994

D.3. Dalam ruang pemulihan, anda dipanggil untuk melihat pasien ini karena oligouria. Apa
yang anda evaluasi dan terapi apa yang akan anda berikan untuk pasien ini ?
Oligouria adalah penurunan produksi urine < 0,5 ml/kgBB/jam.
Gagal ginjal dapat dibagi dalam 3 kategori :
Prerenal
Gagal ginjal prerenal biasanya disebabkan oleh curah jantung yang rendah akibat
hipovolemia atau gagal jantung. Dapat diketahui melalui pemeriksaan denyut jantung,
tekanan darah, tekanan vena sentralis, tekanan kapiler pulmonal, dan curah jantung.
Jika penyebabnya hipovolemi maka diberikan cairan secara bolus. Jika penyebabnya
karena gagal jantung, maka diberikan obat inotropik dan diuretik.

Renal
Gagal ginjal intrarenal umumnya berhubungan dengan trauma toksik atau iskemia.
Trauma toksik disebabkan oleh penurunan tekanan perfusi yang mengakibatkan
disfungsi sel-sel ginjal. Trauma toksik juga disebabkan oleh bahan/zat yang
mempengaruhi fungsi tubulus ginjal berpengaruh terhadap aliran darah ginjal. Pada
pemeriksaan urinalisis terdapat sel-sel dan atau silinder yang menjadi indikasi gagal
ginjal akut. Pasien dengan gagal ginjal intrarenal dapat berumur pendek atau berlanjut
ke gagal ginjal kronik tergantung dari beratnya akibat yang ditimbulkan. Saat ini,
dopamin (2-3 g/kg/menit) dapat digunakan untuk dilatasi arteriole afferent renalis.
Diuretik, obat dari golongan lain sering digunakan untuk meningkatkan produksi urine.
Sebelum pemberian diuretik, pastikan pasien dalam keadaan normovolemik.
Furosemide, obat loop diuretik, dan mannitol, cairan diuresis osmotik, keduanya

16
Trauma

mempunyai kemampuan untuk meningkatkan volume urine. Sebagai tambahan, dari


penelitian didapatkan kedua zat ini dapat menyebabkan dilatasi arterioles afferent
ginjal. Jika pada pemberian diuretik berhasil meningkatkan volume urine, segala
kekhawatiran teratasi. Akan tetapi, jika volume urine tidak meningkat, maka akan
terjadi gagal ginjal akut dan mungkin diperlukan dialisis.

Postrenal
Terjadinya oligouria postrenal mungkin disebabkan adanya obstruksi pada traktus
urinarius sehingga penyebab obstruksi harus dihilangkan. Biasanya diperlukan irigasi
atau mengganti Kateter Foley dengan yang baru. Pertimbangkan kemungkinan terjadi
kecelakaan intraoperasi yang menyebabkan obstruksi postrenal.

Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK (eds): Clinical Anesthesia, 3 rd ed, pp 1376-1378.
Philadelphia, JB Lippincott, 1997
Feliciano DV, Moore EE, Mattox KL (eds): Trauma, 3 rd ed, p 1141-1145. Stamford, CT,
Appleton & Lange, 1996

17

Anda mungkin juga menyukai