MATERI : PUASA
A. HAKEKAT PUASA
Hakikat Makna Puasa Menurut Imam Ghazali Ahad 25 Maret 2018 20:40 WIB Ilustrasi (ist.)
Di zaman sekarang ini, kita melihat banyak orang yang mengenakan simbol agama, namun
tidak menghidupi makna simbol tersebut. Banyak orang berpeci dan berbaju koko, namun
tidak mencerminkan akhlak Nabi yang diutus sebagai pendidik, penyempurna akhlak. orang
berjilbab namun tidak mencerminkan sikap yang diteladankan para ummul mukminin. Salah
satu simbol agama yang juga rawan disalah gunakan adalah puasa. Tentang hal ini, Imam Al
Ghazali memberikan beberapa penjelasan yang menuntun kita untuk mendapatkan keutamaan
puasa seutuhnya. Hal yang paling awal beliau sampaikan adalah peringatan agar kita tidak
membatasi puasa hanya sebatas puasa wajib di bulan Ramadan. Jika kita memiliki
pemahaman yang demikian, kita akan kehilangan kesempatan untuk memperindah masa
depan akhirat dengan berbagai hal sunah, termasuk puasa sunah. Jarak kita dengan mereka
yang ahli berpuasa sunah diibaratkan seperti penduduk bumi dan bintang yang berpendar
indah di langit. Berpuasa tidaklah sebatas menjaga nafsu dan syahwat. Namun lebih dari itu
berpuasa adalah menjaga diri agar tidak melakukan berbagai hal yang dibenci oleh Allah,
baik yang bisa dilakukan oleh mata, lisan, telinga, atau bagian tubuh yang lain. Menjaga diri
agar tidak berkata hal-hal yang sia-sia, juga agar tidak mendengar apa yang diharamkan oleh
Allah untuk dilakukan termasuk dalam makna luas puasa. Menjaga nafsu dan syahwat
memang sudah cukup bagi ulama fiqh untuk memenuhi syarat sah puasa. Namun ulama ahli
hikmah memaknai sahnya puasa lebih dari itu. Puasa yang sah adalah puasa yang diterima.
Puasa yang diterima adalah puasa yang maksudnya tercapai. Lalu apa maksud dari berpuasa?
Adalah berakhlak dengan akhlak terbaik, akhlak malaikat, akhlak para nabi, terutama Nabi
Muhammad SAW. Sejalan dengan makna ini ada sebuah hadits dimana Rasulullah SAW
bersabda “Lima hal ini bisa membuat puasa seseorang tidak sah: berbohong, menggunjing,
mengadu domba, sumpah palsu, dan melihat dengan syahwat”. Tidak satu pun dari lima hal
ini menunjukkan perilaku makan, minum, atau berhubungan suami istri. Namun mengapa
kelimanya bisa membuat puasa seseorang tidak sah? Ini tentu berkaitan dengan makna sah itu
sendiri; terwujudnya maksud puasa, untuk berakhlak mulia, dalam diri sang sa’im (orang
yang berpuasa). Jika seseorang telah melakukan puasa dengan sah, maka ketika ia
menghadapi orang lain yang mengajaknya bercekcok atau sekedar menghinanya, ia hanya
akan mengatakan pada dirinya “aku sedang berpuasa”. Selanjutnya, ia akan menunjukkan
akhlak mulia pada orang tersebut. Sebagaimana dikatakan dalam Al Qur’an : Wa iza
khatabahumul jahilu qalu salama (dan ketika seorang bodoh berbicara pada mereka, kaum
beriman, mereka hanya mengatakan ‘damai’, menunjukkan sikap-sikap/respon-respon yang
mendamaikan). Imam Al Ghazali juga mengingatkan kita tentang hadits-hadits yang
menunjukkan betapa Allah memperlakukan puasa secara spesial. Dalam beberapa versi hadits
dikatakan bahwa puasa adalah tameng, dan puasa adalah milik Allah sendiri, serta Allah
sendiri lah yang nanti akan secara langsung membalasnya. Nabi juga pernah bersumpah
bahwa bau mulut seorang yang berpuasa beraroma jauh lebih wangi di sisi Allah
dibandingkan dengan minyak misik. Satu hal menarik disampaikan oleh beliau terkait tata
krama berbuka bagi orang yang berpuasa. Beliau mengatakan bahwa wadah yang paling
dibenci oleh Allah adalah perut yang diisi oleh hal-hal halal, sampai tidak muat. Imam Al
Ghazali kemudian menjelaskan beberapa waktu yang diutamakan untuk berpuasa, dari level
minggu, bulan, hingga tahun. Di antara sekian hari dalam seminggu, hari Senin, Kamis, dan
Jum’at adalah hari yang diutamakan untuk berpuasa. Di antara sekian hari dalam sebulan,
tanggal pertama, tanggal terakhir dan ayyamul bid (hari-hari putih yaitu tanggal 13, 14, dan
15) adalah hari-hari yang diutamakan untuk berpuasa. Di antara sekian banyak bulan dalam
setahun, empat bulan mulia (Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab) adalah bulan yang
diutamakan untuk berpuasa di dalamnya. Waktu-waktu utama ini dijelaskan akan menjadi
kaffarah (pembebas dosa) yang dilakukan selama seminggu, sebulan, dan setahun. Selain itu,
ada beberapa hari yang disaksikan oleh hadits sebagai waktu yang memiliki keutamaan
khusus. Waktu-waktu itu adalah hari Arafah, hari Asyura, sepuluh hari pertama bulan
Zulhijjah, sepuluh hari pertama bulan Muharram, Rajab, dan Sya’ban. Tidak cukup sampai di
situ. Dijelaskan pula oleh Imam Al Ghazali bahwa Allah telah menyediakan satu tempat
khusus di surga, yang pintunya bertuliskan Al-Rayyan (kesegaran, kedamaian) dan hanya
bisa dimasuki oleh mereka yang ahli berpuasa. Setelah semua ahli berpuasa telah masuk,
pintu itu akan tertutup, dikunci, dan tidak membiarkan selain orang yang ahli berpuasa
memasukinya. Semoga Allah membukakan pintu hidayah-Nya pada kita, sehingga kita
digolongkan sebagai orang-orang yang ahli berpuasa. Muhammad Nur Hayid, Pengurus
LDNU PBNU dan Pengasuh Pondok pesantren Skill Jagakarsa, Jakarta
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/87713/hakikat-makna-puasa-menurut-imam-ghazali
D. KEUTAMAAN PUASA