Anda di halaman 1dari 5

BUDAYA PATRIARKI MASYARAKAT JAWA

PADAERA KOLONIAL: TINJAUAN HISTORIS

Afifatul Faizah (A92218083)

UIN Sunan Ampel Surabaya

afifahfz29@gmail.com

Abstrak

Patriarki pada praktiknya, sangat sulit untuk dihilangkan sepenuhnya karena sudah
menjadi sesuatu yang melekat pada masyarakat terutama era kolonial. Sadar dan tanpa sadar,
masyarakat juga mendukung praktik patriarki. Sejalan dengan hal tersebut, tulisan ini selain
untuk mengetahui tentang bagaimana budaya patriarki bisa melekat dengan masyarakat Jawa
juga memfokuskan penelitiannya pada bentuk diskriminasi yang dialami perempuan pada era
kolonial dan kajian historis mengenai patriarki dalam novel-novel Indonesia. Tulisan ini
didasarkan pada data yang diperoleh dari hasil studi pustaka. Hasil penelitian memperlihatkan
bahwa budaya patriarki pada masyarakat Jawa sangat melekat karena sudah turun temurun
semenjak zaman dahulu, bahkan dianggap sebagai takdir dan kodrat. Perempuan didiskriminasi
dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari kehilangan hak atas tubuh dan dibatasi perihal
pemikirannya. Praktik patriarki tersebut bahkan digambarkan dengan jelas dalam novel-novel
Indonesia. Patrik patriarki sudah sangat melekat pada masyarakat Jawa terutama pada era
kolonial yang didukung keadaan masyarakatnya. Tulisan ini menyarankan pembahasan yang
lebih dalam dan luas mengenai patriarki terutama bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami
perempuan.

Kata Kunci: Patriarki, Perempuan, Kolonial, Karya Sastra.


INTRODUCTION

Patriarki merupakan suatu persoalan penting yang dari dulu hingga saat ini sangat
melekat dengan kehidupan sosial masyarakat. Perempuan menempati kelas kedua di sistem
masyarakat patriarki di mana laki-laki mendominasi berbagai aspek kehidupan. Perempuan tidak
memperoleh kebebasan, selalu terbelenggu dan dianggap sebagai makhluk lemah. Parahnya,
perempuan selalu dibebani dengan berbagai pekerjaan rumah, sementara gerak tubuh dan
pikirannya dibatasi. Tubuh perempuan seolah bukan sepenuya milik perempuan, namun
dikendalikan oleh berbagai aturan dan budaya. Sedang hanya perempuan-perempuan dari
kalangan bangsawan yang diperbolehkan mengenyam pendidikan. Dalam hal ini, Sugiharti
menjelaskan bahwa sadar atau tidak sadar perempuan menerima dan menyetujuinya sebagai
sesuatu yang sudah semestinya terjadi. Perempuan tidak memiliki hak untuk menyingkirkan
kekuasan itu. Posisinya dalam masyarakat yang ibaratnya tertindas secara idiologis itu, bahkan
oleh wanita dianggap sebagai takdir. Ideologi inilah yang sudah tertanam lama pada masyarakat
(Sugihastuti, 2000).

Budaya patriarki ini seolah sudah mandarah daging di masyarakat Indonesia, seperti yang
terjadi di era kolonial yang diantaranya tergambar melalui karya-karya sastra. Karya sastra
merupakan hasil perenungan, pengamatan dan penggambaran para sastrawan dari keadaaan
sosial di lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, karya sastra seringkali dilibatkan dalam
berbagai kajian sejarah, karena dalam karya sastra biasanya tergambar perasaan dan pelukisan
suasana yang dalam. Seperti dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, yang
menjelaskan kehidupan seorang perempuan Jawa yang tinggal di kampung nelayan Rembang.
Dalam novel ini digambarkan berbagai tindak ketidakadian kepada perempuan, terlebih jika
perempuan tersebut merupakan rakyat biasa. Pada masa kolonial, seperti yang tergambar dalam
novel Gadis Pantai ini perempuan dijadikan sebagai “konco wingking” dan diperlakukan secara
semena-mena bahkan dipandang rendah oleh kalangan priyayi. Sangat jelas bahwa budaya
patriarki dan sistem feodalisme benar terhjadi pada masyarakat Jawa di era kolonial.

Menurut Dwi Susanto, permasalahan yang sering muncul dalam sastra terkait dengan
perempuan diantaranya adalah (1) dalam sejarah sastra, perempuan jarang atau bahkan hampir
tidak pernah disebutkan; (2) perempuan pada umumnya dihadirkan dengan berbagai cara yang
merugikan perempuan dalam karya sastra, dan (3) penulis perempuan selalu dipandang sebagai
kelas minor atau kelompok kedua dalam tradisi sastra (Susanto, 2016). Dalam sistem budaya dan
sosial sebagian masyarakat Indonesia, perempuan dipersepsikan dan ditempatkan sebagai fungsi
reproduktif. Budaya dan ideologi patriarki ini tersosialisasi dalam masyarakat karena legitimasi
dari berbagai aspek kehidupan. Karena itu, sekalipun dalam sejarah banyak perempuan yang
berperan penting dalam masyarkat dan negara, mereka tidak selalu mendapat apresiasi mengenai
peran dan kemampuannya (Palulungan et. al, 2020). Pada era kolonial, perempuan Indonesia
dijadikan budak seks untuk para tentara asing yang menjajah Indonesia. Dalam buku “Nyai dan
Pergundikan di Hindia Belanda” karya Reggie Baay diungkap sejarah pergundikan sepanjang
era kolonial di Indonesia. Para perempuan yang disini sebagai Nyai ini ditindas secara belapis-
lapis. Mereka didiskrimasi karena jenis kelaminnya perempuan, karena ras kulit yang berwarna,
ditindas dari kelas karena status sosial mereka rendah, sebagai seorang yang miskin.

Tujuan tulisan ini adalah untuk melengkapi penelitian-penilitian terdahulu mengenai


budaya patriarki pada masyarakat Jawa yang kurang lengkap. Tulisan ini secara khusus
membahas mengenai budaya patriarki masyarakat Jawa pada era kolonial Sejalan dengan itu,
dalam tulisan ini dijawab tiga pertanyaan: (a) bagaimana budaya petriarki melekat pada
masyarakat Jawa?; (b) Apa saja diskriminasi yang dialami perempuan Jawa pada pada era
kolonial?; (c) Bagaimana kajian hsitoris mengenai patriarki dalam novel-novel Indonesia?.
Jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut memungkinkan dipahaminya budaya patriarki
masyarakat Jawa pada era kolonial dalam tinjauan historis.

Tulisan tentang budaya masyarakat Jawa pada era kolonial: tinjauan historis ini
didasarkan pada argument bahwa masyarakat Jawa memang terkenal dengan budaya
patriarkinya. Terdapat pembatasan tertentu dalam relasi gender yang memperlihatkan lelaki lebih
dominan daripada perempuan. Dalam budaya Jawa pun, banyak istilah yang menempatkan posisi
perempuan lebih rendah dari laki-laki. Diskriminasi yang dialami perempuan Jawa pada era
kolonial, di antaranya: ketika menikah dengan lelaki Eropa, atas catatan hukum pernikahan
tersebut dikatakan tidak sah. Perempuan sehingga sangat sulit untuk mendapatkan pendidikan,
perempuan dipaksa menikah muda, bahkan dijual untuk dijadikan gundik orang-orang Eropa.
Dalam dunia kerja, upah perempuan selalu lebih rendah dari upah laki-laki dan julukan-julukan
jelek kerap kali dilontarkan kepada perempuan pribumi. Budaya patrairki juga tergambar dalam
karya sastra, perempuan seringkali dijadikan objek pornografi atau kekerasan. Seperti dalam
novel Ronggeng Dukuh Paruk, Bumi Manusia, Gadis Pantai, Tanah Tabu dan karya sastra
lainnya

Anda mungkin juga menyukai