Anda di halaman 1dari 7

TUGAS MK Pelayanan Publik

Nama : Nur Abidin

Nim : 20.11.256P

Dosen : Despita, S.Pd, M.Pd

BAB XI

PERAN PEMERINTAH, DUNIA USAHA, DAN PERAN MASYARAKAT DALAM


KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK

A. Peran Pemerintah Dalam Pelayanan Publik

Keterlibatan pemerintah dalam menyelenggarakan fungsi pelayanan public


berkembang seiring dengan munculnya paham atau pandangan tentang filasafat
Negara. Hal ini diungkapkan oleh Prawirohardjo dengan mengatakan bahwa:

‘Semenjak dilaksanakannya cita-cita Negara kesejahteraan, maka pemerintah


semakin intensif melakukan campur tangan terhadap interkasi kekuatan-kekuatan
kemasyarakatan dengan tujuan agar setiap warga dapat terjamin kepastian hidup
minimalnya. Oleh karena itu, secara berangsur-angsur, fungsi awal dari
pemerintahan yang bersifat represif (polisi dan peradilan) kemudian bertambah
dengan fungsi lainnya yang bersifat melayani”.

Disadari atau tidak, setiap warga selalu berhubungan dengan aktivitas birokrasi
pemerintah, sehingga keberadaannya menjadi suatu yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi. Pelayanan birokrasi akan menyentuh ke berbagai segi kehidupan masyarakat,
demikian luasnya cakupan pelayanan masyarakat yang harus dilaksanakan
pemerintah maka mau tidak mau pemerintah harus berupaya semaksimal mungkin
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan public.

Fungsi pelayanan yang dijalankan oleh pemerintah modern saat ini terkait erat
dengan tujuan dibentuknya pemerintah, seperti yang dikemukakan oleh Rasyid
(1997:11) bahwa: Tujuan utama dibentuknya pemerintah adalah untuk menjaga
suatu system ketertiban di mana masyarakat bisa menjalani kehidupannya secara
wajar.
Lebih lanjut Rasyid (1997:48) mengemukakan bahwa pelayanan pada hakekatnya
adalah:

“salah satu dari tiga fungsi hakiki pemerintah, disamping fungsi pemberdayaan dan
pembangunan. Keberhasilan seseorang dalam menjalankan misi pemerintahan
dapat dilihat dari kemampuannya mengemban tiga fungsi tersebut”.

Berkaitan dengan hal tersebut “Pemerintah adalah segenap alat perlengkapan


Negara atau lembaga-lembaga kenegaraan yang berfungsi sebagai alat untuk
mencapai tujuan Negara” (Ndraha, 1990: 1) Tugas Negara atau pemerintah
tercermin dalam struktur serta proses pelaksanaan kegiatan yang tekanannya pada
kegiatan organisasi yaitu untuk mencapai tujuan dan dikerjakan oleh beberapa
orang dengan pembagian tugas tertentu.

Tugas mengorganisasi pekerjaan ini dilakuka oleh birokrasi. Menurut Parson (dalam
Supriatna, 1996: 58) mengatakan bahwa: “Birokrasi adalah instrument yang terbaik
untuk dapat mencapai tujuan Negara kesejahteraan yaitu dengan memberikan
pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat”.

Pertanyaan-pertanyaan etis yang muncul akibat kurangnya perhatian pemerintah


terhadap kebutuhan masyarakat. Untuk memperoleh pelayanan yang sederhana
saja, masyarakat dihadapkan dengan berbagai kesulitan yang sengaja dibuat-buat.
Pemandangan tentang pelayanan yang tidak memuaskan ini dapat dilihat hampir
disemua instansi pemerintah.

Dalam kaitan ini Kumorotomo (1996:129) mengatakan: “Rutinitas tugas-tugas


pelayanan yang berlebihan kepada pertanggungjawaban formal telah
mengakibatkan adanya prosedur yang kaku dan lamban”.

Apabila dicermati, kelambanan pelayanan birokrasi tidak hanya disebabkan oleh


kurang baiknya cara pelayanan ditingkat bawah, factor lain yang juga
mempengaruhi belum baiknya pelayanan antara lain adalah prinsip dari organisasi
pemerintah yang berorientasi kepada pelaksanaan dan pertanggungjawaban formal
saja, tanpa memperimbangkan aspek kualitas.

Menurut Ndraha (1997: 60) produk-produk yang dibutuhkan oleh masyarakat


adalah “Berkisar pada barang (barang modal dan barang pakai) sampai pada jasa
(jasa pasar dan jasa public) dan layanan civil, dimaksudkan untuk melindungi dan
memenuhi kepentingan masyarakat”.

Hal ini sejalan dengan konsep Ilmu Pemerintahan Modern (dalam Kybernan No.3,
1998: 6) yang menyatakan bahwa:
“Ilmu pemerintahan modern adalah ilmu yang mempelajari bagaimana struktur
puncak unit kerja public/pemerintahan (eksekutif) bekerja dalam rangka memenuhi
(memproduksi, mentransfer, mendistribusikan) sebagai shareholder dan consumer,
akan jasa public dan layanan civil, dalam hubungan pemerintahan”.

Berbeda dengan jasa public yang dapat diperjualbeli dan diprivatisasikan, maka
layanan civil dimonopoli oleh pemerintahan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa:
Layanan civil tidak dijual beli, dimonopoli oleh badan-badan public (Pemerintah,
Negara) dan tidak boleh diprivatisasikan (diswastakan), sedangkan layanan public
dapat dijual beli di bawah control legislative.

Dari hasil penelitian Ulbert Silalahi (dalam Zulkarnaen, 1996: 55) terungkap bahwa:
Pelayanan yang diberikan oleh aparatur Negara masih berada dalam peringkat
present and accounted, artinya organisasi atau pegawai menyadari dan mengetahui
kedudukan mereka untuk memberikan pelayanan yang berkualitas, namun untuk
usaha kearah yang sampai pada kualitas pelayanan belum serius untuk
dilaksanakan. Berkaitan dengan hal tersebut, Hidayat dan Sucherly (1956: 87)
mengemukakan bahwa: Pada umumnya organisasi pemerintah sering menghadapi
tiga masalah yang meliputi kurang efektif, kurang efisien dan mutu pelayanan yang
kurang. Budaya yang berorientasi kepada pencapaian target merupakan salah satu
ciri dari organisasi birokrasi.

Dapat dikemukakan dari berbagai jenis pengelolaan pelayanan public yang


disediakan pemerintah, timbul beberapa persoalan dalam hal penyediaan pelayanan
public. Persoalan-persoalan tersebut diidentifikasi Wright (dalam LAN, 2003: 16)
sbb:

1. Kelemahan yang berasal dari sulitnya menentukan atau mengukur output


maupun kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.
2. Pelayanan yang diberikan pemerintah memiliki ketidakpastian tinggi dalam
hal teknologi produksi sehingga hubungan antara output dan input tidak
dapat ditentukan dengan jelas.
3. Pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line” artinya seburuk apapun
kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut.
4. Berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam
memecahkan masalah eksternalitas, organisasi pelayanan pemerintah
menghadapi masalah berupa internalities. Artinya, organisasi pemerintah
sangat sulit mencegah pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat
dari kepentingan umum masyarakat yang seharusnya dilayaninya.
Dengan demikian peran pemerintah dalam pelayanan public sangat penting dan
strategis.

B. Peranan Dunia Usaha Dalam Pelayanan Umum

Di Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, kesejahteraan masyarakat


sangat tergantung pada kemampuan mereka dalam mengakses dan menggunakan
pelayanan public. Akan tetapi permintaan akan pelayanan tersebut, umumnya jauh
melebihi kemampuan pemerintah untuk dapat memenuhinya. Sebaliknya,
pemusatan segala urusan public kepada Negara, pada kenyataannya hanya sebuah
retorika. Sebab urusan pelayanan public yang demikian kompleks, mustahil dapat
dikerjakan semua hanya oleh pemerintah.

Menurut Miftah Thoha, Pelayanan public dapat dipahami sebagai suatu usaha oleh
seorang/kelompok orang, atau institusi tertentu untuk memberi kemudahan dan
bantuan kepada masyarakat, dalam rangka mencapai tujuan tertentu (1991).

Keterlibatan swasta dalam optimalisasi pelayanan public, sangat mendukung dalam


pencapaian tujuan besar yaitu Good Governance. Dalam konsep Good Governance,
peran masyarakat dan sector swasta menjadi sangat penting karena adanya
perubahan paradigma pembangunan dengan meninjau ulang peran pemerintah
dalam pembangunan, yang semula berperan sebagai regulator dan pelaku pasar,
menjadi bagaimana menciptakan iklim yang kondusif dan melakukan investasi
prasarana yang mendukung dunia usaha.

Hal ini kemudian bisa dipahami bahwa pemerintah, khususnya di Negara-negara


ketiga, kini tak lagi mendominasi/monopoli peran penyediaan pelayanan public
yang bermutu. Maka konsep ini tentu saja berbeda dengan kondisi yang terjadi
pada era sebelumnya tahun 1970-an dimana pada masa itu konsep demokrasi yang
berlaku di berbagai Negara masih terkesan otoriter. Beberapa contohnya adalah
yang terjadi di Argentina, Brazil, Chile, Filiphina, Korea Selatan, Nigeria, Pakistan,
Thailand, Uruguay, Yunani dan sebagainya pada dasawarsa 1960 dan awal 1970-
an. (Mas’oed, 2003).

Lain halnya di Indonesia, aroma otoriterianisme sangat kental terasa pada masa
pemerintahan orde baru. Penataan gerakan buruh Indonesia pada masa orde baru
dibagi ke dalam 3 fase.
Fase pertama, fase 1966 hingga 1970-an sebagai fase pelarangan terhadap segala
bentuk pengorganisasian serikat buruh karena hampir semua serikat buruh adalah
produk afiliasi partai politik sayap kiri atau yang beraliran komunis.

Fase kedua yang terjadi pada awal 1970-an hingga 1990-an adalah
pengambilalihan terhadap seluruh kekuatan serikat buruh di bawah kendali Golkar
dan militer.

Fase ketiga berlangsung tahun 1990 hingga 1998 dimana kebijakan ekonomi pasar
menjadi kedok pemerintah untuk melanjutkan eksploitasi atas buruh dengan
memperkenalkan konsep hubungan industrial Pancasila.

Berakhirnya orde baru pada tahun 1998 yang kemudian digantikan ole horde
reformasi, menyebabkan lahirnya banyak organisasi buruh yang menampung
kepentingan buruh. Hal ini didukung oleh berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh
pemerintahan Habibie maupun Gus Dur melalui produk perundang-undangan.
Keberadaan organisasi-organisasi buruh inilah yang selanjutnya bisa diartikan
sebagai salah satu elemen swasta (non government) yang berdiri secara
independen untuk mewujudkan kesejahteraan kaum buruh dan pekerja melalui
kemampuan mengakses pelayanan public yang ada.

Sektor swasta berperan dalam hal penyediaan barang dan jasa yang bersifat privat.
Situasi persaingan selalu timbul dalam penyelenggaraan penyediaan barang dan
jasa oleh sector swasta. Ada kalanya pemerintah juga menyediakan layanan barang
privat. Untuk menghindari crowding out effect, dimana pemerintah lebih berperan
sebagai competitor pemain pasar lainnya, perlu diatur secara jelas, mana barang
dan jasa yang harus diserahkan ke swasta, mana yang dapat dikerjakan secara
bersama-sama, dan mana yang murni dikerjakan oleh pemerintah.

Ada lima karakteristik yang membedakan jenis pelayanan public dengan pelayanan
lainnya, yaitu:

1. Adaptif
2. Derajat perubahan layanan sesuai dengan tuntutan perubahan yang diminta
oleh pengguna.
3. Posisi tawar pengguna/konsumen
4. Semakin tinggi posisi tawar pengguna maka akan semakin tinggi pula
peluang untuk permintaan pelayanan yang lebih.
5. Tipe pasar
6. Menggambarkan jumlah penyelenggara pelayanan yang ada dan
hubungannya dengan pengguna lain.
7. Lokus control
8. Menjelaskan siapa yang memegang control atas transaksi, apakah pengguna
atau penyelenggara pelayanan.
9. Sifat pelayanan
10. Menunjukan kepentingan pengguna atau penyelenggara pelayanan yang
lebih dominan.

C. Peran Masyarakat dalam Pelayanan Publik

Didalam kehidupan bernegara masyarakat sejatinya adalah pemegang kedaulatan


tertiggi, partisipasi masyarakat telah berada dalam posisi yang semakin penting. Ini
terjadi sebagai konsekuensi logis dari terbukanya, kran kebebasan berekspresi
masyarakat buah dari proses reformasi, dampaknya masyarakat menjadi lebih kritis
dan terbuka mengkaji serta mengkritisi kebijakan-kebijakan yang akan dan tengah
dilakukan pemerintah. Masyarakat selaku penyumbang anggaran terbesar bagi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pajak dan retribusi yang akan digunakan
untuk pembangunan sudah semestinya dilibatkan dalam pengawasan. Masyarakat
memiliki hak berperan dalam berbagai kebijakan public dan bukan hanya berposisi
sebagai pengguna atau objek belaka, masyarakat juga berhak dalam proses
pengambilan kebijakan public dan diposisikan sebagai pemangku kepentingan yang
dimintai pendapat, dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan Negara yang baik,
transparan, efektif, efisien, dan akuntabel, demokratis serta dapat
dipertanggungjawabkan.

Didalam Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan ‘kedaulatan berada ditangan rakyat


dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar (Bab I pasal 1) dan juga, setiap
orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat bangsa dan Negara’ (UUD 1945 pasal 28C).

Menurut Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 1999 peran serta masyarakat dalam


penyelenggaraan Negara untuk mewujudkan penyelenggaraan Negara yang bersih
dilaksanakan dalam bentuk hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi
mengenai penyelenggaraan Negara, hak memperoleh pelayanan yang sama dan
adil, hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap
kebijakan penyelenggaraan Negara (Bab II Pasal 2 butir a, b, dan c). sebagai mana
pula didalam UU RI no 28 Tahun 1999, peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan Negara merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk
ikut mewujudkan penyelenggaraan Negara yang bersih (Bab VI pasal 8 ayat 1).
Peran serta masyarakat menjadi penting sebab masyarakat harus mengetahui
secara pasti kemana sumbangan mereka melalui pajak dan retribusi digunakan oleh
pemerintah selaku pengelola keuangan. Dalam hal peran serta masyarakat
membantu upaya pencegahan tindak pidana korupsi juga dituangkan dalam pasal
41 dan 42 UU RI no 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang
diwujudkan dalam bentuk hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi
adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi, sebagaimana telah
diimplementasikan ke dalam PP 71 Tahun 2000 yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari pasal 41 dan 42 UU No 31/1999 tentang tatacara pelaksanaan
peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi.

Penyedia pelayanan public, lembaga pengawas, legislative dan institusi hokum


sejatinya juga tidak bisa lepas dari peran serta masyarakat terlibat dalam kebijakan
public dan pengawasan sebab masyarakat selaku penyumbang anggaran terbesar
bagi PAD lewat pajak dan retribusi untuk pembangunan yang telah, sedang dan
akan dilaksanakan.

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai