Topik 7
Topik 7
• Aliran Hukum Alam tidak memisahkan antara hukum dan moral. Ini berarti semua hukum harus mengandung moral, yaitu keadilan
yang dijunjung tinggi oleh semua bangsa beradab dan berlaku kekal sepanjang masa.
• Pelopornya: THOMAS AQUINAS (1226-1274) [Rasionalis], THOMAS HOBBES (1588-1679) [Voluntaris], LON FULLER (abad ke-20)
[Teknologi].
Aliran Hukum Alam / Aliran Hukum Kodrat
• Ketiga pelopor yang merupakan wakil dari aliran hukum alam mempunyai persamaan dalam memandang hukum, yaitu:
esensi dari ‘alam’ (dalam hukum alam) adalah ‘alam pikiran manusia’. Hakekat manusia sebagai pemikir yang dianugerahi
akal oleh Sang Pencipta.
1. Memandang hukum alam terdiri atas: kepatutan, keadilan, kebijakan susila lain yang
merupakan asas-asas moral.
2. Sesudah terbentuk negara, maka melalui ‘perjanjian masyarakat’ (factum subyectionis) rakyat
menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada negara.
3. Thomas Hobbes, dalam bukunya Leviathan (1651), karena pengalaman hidupnya melihat pada
hakikatnya homo homini lupus (L: manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) yang
mengakibatkan bellum omnium contra omnes (L: keadaan perang permanen antara semua
lawan semua).
4. Untuk mengatasinya, manusia harus mengadakan perjanjian, di mana mereka menyerahkan
semua kekuasaan (hak) alamiah mereka kepada negara à akibatnya: negara berkuasa secara
mutlak dan dengan kedaulatan yang tidak terbagi (Monarki absolut).
5. Hukum yang dibentuk atas dasar keadaulatan negara berdampingan dengan hukum alam.
6. Hukum yang dibentuk oleh negara bentuknya tertulis, sedangkan hukum alam bentuknya tidak
tertulis.
7. Hukum alam dapat dihapuskan oleh kehendak negara à para voluntaris ini dapat dikatakan
lebih dekat dengan positivisme hukum.
Aliran Hukum Alam / Aliran Hukum Kodrat
• LON FULLER (abad ke-20) [Teknologi].
• Pandangan JOHN AUSTIN terhadap jurisprudence hanyalah mengenai hukum positif yang dibagi:
1. Hukum yang sebenarnya (law strictly so called), mencakup: Hukum Tuhan, Hukum Manusia
yang dibedakan: dibentuk oleh penguasa dan dibuat dalam hubungan antar individu;
2. Hukum yang tidak sebenarnya (law No. strictly so callde) yang ditegakkan semata-mata
karena opini, seperti peraturan yang mengandung kewajiban moral, ditetapkan
berdasarkan kebiasaan, beraspek moral positif.
Positivisme Hukum
(Pemikiran Begriffen Jurisprudence / Kontrukstionsjurisprudenz)
• Tokoh lain: RUDOLF VON JHERING:
• Hukum identik dengan hukum positif, tiada hukum lain selain hukum positif;
• Hukum positif berlaku bukan karena kenyataan (das Sein) bahwa hukum tersebut memang berlaku
di dalam masyarakat, tetapi memang seharusnya (das Sollen) berlaku;
• Dasar berlakunya hukum adalah hukum lain yang lebih tinggi peringkatnya (Stufen bau des Recht
Theorie);
• Usaha mencari hukum yang lebih tinggi pada akhirnya harus sampai pada suatu batas, yaitu
hukum yang tertinggi atau terakhir;
• Hukum yang tertinggi tersebut tidak ditetapkan (gesetzt) oleh suatu kekuasaan atau hukum
tertentu; tetapi dengan sendirinya (vorausgezetzt), yang disebut sebagai Grundnorm.
• Kelsen menolak tuduhan bahwa dirinya hendak membangun positivisme hukum; tetapi lebih tepat
: membangun hukum positif yang bersumber pada hukum yang murni.
Positivisme Hukum
(Pemikiran Neo-Kantian)
• Dipelopori: GUSTAV RADBRUCH (1878 - 1949)
• Tidak ada gunanya kita membuat hukum yang di atas kertas sangat adil dan pasti,
apabila dalam praktiknya tidak bermanfaat bagi masyarakat.
• Jadi ukuran hukum yang baik adalah kemanfaatan, dan kemanfaatan itu harus diuji
melalui pengalaman (empiris).
• “The said truth is that it is the greatest happiness of the greatest number
that is the measure of right and wrong.”
Mazhab Sejarah
• Hukum yang baik menurut aliran Mazhab Sejarah adalah hukum yang sesuai dengan jiwa
bangsa (Volkgeist) yang bersangkutan. Setiap bangsa memiliki kesadaran hukum (baca: budaya
hukum) sendiri-sendiri, dan nilai yang menjadi sumber utama dalam hukum. Tentu saja
kesadaran hukum tersebut berangkat dari pengalaman (empiris) juga, yang telah dipraktikkan
secara turun temurun (karena diyakini paling baik dan adil) dan telah mempunyai daya berlaku
secara sosiologis, sehingga tidak perlu diragukan efektifitasnya di masyarakat.
• Cara berpikirnya adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, harus diperhatikan dan
diakomodasikan dalam undang-undang yang dibuat.
§ Inti pemikirannya:
1. Memandang hukum dari aspek psikologis; karenanya suatu peraturan
hukum yang sudah ditentukan sebagai kenyataan, menjadi motif
kejiwaan manusia bertingkah laku sesuai dengan aturan, aspek
normatif dinafikan.
2. Mengemukakan tipologi perkembangan hukum dari irrasional ke
rasional.
• Cara berpikir Sosiological Jurisprudence merupakan sintesis dari konsep yang dikembangkan
oleh Positivisme Hukum dan Mazhab Sejarah.
• Memandang hukum sebagai institusi sosial dan eksistensi hukum diperlukan untuk memajukan
kepentingan umum dan mendamaikan konflik.
• Tokoh lain: BENJAMIN NATHAN CARDOZO. Dipengaruhi oleh pandangan HOLMES, tetapi
memaknainya dengan menyatakan: “…but Holmes did not tell us that logic is to be ignored when
experience is silent” = intinya bila pengalaman yang diputuskan sebagai hukum oleh hakim, tidak
jelas, tidak ditemukan (silent); maka logika hukum pembentuk undang-undang yang diatur dalam
“statute law” (peraturan perundang-undangan) merupakan hukum.
Realisme Hukum / Hukum Realis / Legal Realist
REALISME HUKUM SKANDINAVIA:
• Persamaan REALIST AMERIKA dan SKANDINAVIA adalah pada sikap mental: menolak
pandangan bahwa “studi hukum” itu mengenai “hukum yang seharusnya” (ought to be) dan
penolakan terhadap filsafat metafisika yang berfokus pada “perilaku pengadilan” (behavioral
aspect of court).
• REALIST SKANDINAVIA menekankan aspek psikologi, yaitu: ekspresi verbal terhadap fakta dan
keadaan.
• Tokohnya:
1. HAGERSTORM, pemikirannya: hak milik tidak mempunyai arti jika dipisahkan dari ganti
rugi dan penegakan hukum, keadilan bersifat personal, patuh hukum karena kondisi
psikologis bukan karena kualitas hukumnya, ritual sangat fundamental bagi hukum.
2. LUNSTED, pemikirannya: hak dan kewajiban adalah hasil dari bekerjanya hukum,
perasaan keadilan bukan berasal langsung dari hukum, tetapi reaksi dari kepentingan
ekonomi, dalam perkembangan budaya, peraturan perundang-undangan dan peradilan
tidak dapat dispisahkan dari aspirasi masyarakat.
3. OLIVER CONA, pemikirannya: sistem aturan hukum bukanlah sistem tertutup;
mengikatkan hukum lahir dari validitas hukum; aturan hukum adalah pola perilaku yang
mengendalikan kekuasaan.
Freirechtslehre (Ajaran Hukum Bebas)
• Inti pemikirannya:
1. Ada 3 isu hukum: coercion (isu paksaan), authority (isu norma yang terkait
dengan otoritas), dan moral duty (isu moral).
2. Mengembangkan konsep aturan hukum dalam konsep elemen eksternal dan
internal hukum.
3. Hukum sebagai aturan merupakan kesatuan antara norma primer (primary
rules) yang merupakan kebiasaan masyarakat yang menekankan pada
kewajiban seseorang dan norma sekunder (secondary rules) yangmana
kebiasaan masyarakat dapat menjadi norma hukum dan suatu sistem hukum.
Neopositivisme
• Tokoh lainnya: JULIUS STONE
• Menggunakan metode penelitian yang digunakan oleh John Austin (y/ Analytical
Jurisprudence / metoda analitis-logis), yang kemudian mengembangkan ajarannya
sendiri yang dinamakan “ajaran keadilan” sebagai ukuran bagi “tata hukum”.
• Inti pemikirannya:
1. Ilmu hukum mendapatkan pengetahuan yang berasal dari pengetahuan lain
(logika, ilmu sejarah, psikologi, dan sosiologi) untuk dapat memecahkan
persoalan hukum;
2. Memandang hukum erat dengan moral (vide Positivisme hukum: hukum positif
tetap berlaku meskipun bertentangan dengan moral);
3. Mencari norma hukum pada ‘rasa keadilan’ yang bersifat sosial-psikologis
(bukan sosial-etis), yangmana merupakan hasil dari interaksi antara orang
dengan orang lain dalam masyarakat yang ditentukan oleh keadaan kejiwaan
masyarakat.
4. Mengemukakan mengenai 7 sifat khas hukum: kesatuan yang kompleks,
terdapat norma-norma sebagai pedoman pengambilan keputusan, terdapat
norma sosial, aturan hukum meruapakn tertib hukum, bersifat memaksa,
paksaannya bersifat institusional, dan norma harus efektif.
Economic Jurisprudence School (Mazhab Hukum Ekonomi)
• Mempelajari tentang pengaruh fenomena ekonomi kontemporer, contoh: hak milik pribadi dan
monopoli, yang berkaitan dengan putusan pengadilan.
• Tokohnya: KARL MARX (1818 - 1883), yang membedakan antara ‘struktur ekonomi masyarakat’
sebagai basis / infrastruktur dari suprastruktur yang posisinya ditentukan oleh struktur ekonomi
sebagai pondasinya.
• Inti pemikirannya:
1. Wujud / karakter hukum sebagai ‘suprastruktur masyarakat’ ditentukan oleh struktur ekonomi
masyarakat sebagai basisnya;
2. Fungsi hukum menjadi alat politik suatu kelas yang menguasai struktur ekonomi untuk
melenyapkan kelas lain;
3. Perkembangan hukum berdasarkan metoda dialektika dan pencerminan penguasaan ekonomi,
yaitu dari hukum feodal (tese), hukum kapitalis (antitese), dan akhirnya hukum
sosialis/komunis (sintesa).
• FREDERICH ENGELS (1820 - 1895): dalam negara komunis tidak ada lagi konflik / pertentangan kelas
dan terjadi negasi terhadap eksistensi hukum dalam peringkat suprastruktur dari organisasi sosial,
hukum akan mati, dan digantikan dengan “administration of things” – administrasi kebendaan.
• RICHARD POSNER: Fungsi hukum dalam pembangunan ekonomi memberikan makna yang bernilai
tinggi bagi hukum dalam mensejahterakan masyarakat; karena melalui hukum yang efektif dalam
mendistribusikan sumber daya ekonomi kepada masyarakat akan dapat menjamin pembagian
sandang, pangan , dan papan yang layak.
Mazhab Political Jurisprudence
(school of political jurisprudence)
• SHAPIRO: SoPJ merupakan kelanjutan dari aliran Sociological Jurisprudence dan Judicial Realism
(Realisme Hukum) yang dikombinasikan / dilengkapi pengetahuan substantive dan metodologi Ilmu
Politik.
• Realisme Hukum = essensi hukum adalah putusan pengadilan; dalam SoPJ ditambahkan argumen
baru: bahwa pertimbangan2 pada putusan pengadilan itu bagian dari proses politik.
• Tokohnya: RONALD DWORKIN
• Inti pemikiran Political Jurisprudence:
1. Putusan pengadilan berpengaruh pada realisasi dari nilai-nilai kemasyarakatan;
2. Hakim dalam menafsirkan UU mengkombinasikan pertimbangan politik, budaya, dan hukum;
3. Hakim dalam memutus perkara wajib mengembangakan teorinya secara mandiri;
4. Dalam mengadili hard cases hakim menggunakan pertimbangan2 asas-asas, teori politik, dan
norma-norma budaya;
5. Hakim melakukan diskresi untuk melindungi hak-hak individu dari kekuasaan negara melalui
putusan-putusannya.
• Otoritas hakim memasuki ranah politik melalui wewenang judicial review.
• Pemikiran mazhab Political Jurisprudence fokus pada analisis problem bahasa dan kekuasaan
dengan menggunakan kombinasi: semiologi, phenomenolog, dan Marxisme yang dipengaruhi: Levi-
Strauss, Jurgen Habermas, Barthes dan Althusser.
• Kelak analisis semiologi melahirkan kajian “Semiotika Hukum”: kajian simbol atau tanda dalam
bahasa hukum untuk mencari arti atau makna hukum.
(Pemikiran) Critical Legal Studies (Crits / CLS)
3. Feminist Jurisprudence;
• Akar filosofi Studi Hukum Kritis tumbuh dari pemikiran Teori Kritis Mazhab Frankfurt, Epistemologi Relativist dan
pemikiran hukum aliran Realisme Hukum Amerika.
• CLS tetap mengakui pentingnya norma-norma hukum baik dalam proses pembentukan hukum (in abstracto),
maupun dalam penyelesaian sengketa (law inconcreto);
• Alur pikir CLS berbeda dalam memaknai hukum sebagai norma atau kaidah-kaidah yang dianut aliran positivisme
hukum yang berkutat pada dokumen / teks-teks hukum; yang dikenal sebagai alur pikir “normologik”;
• Alur pikir CLS dikenal menggunakan alur pikir “nomologik”, memaknai hukum lebih fokus pada realitas sosial,
politik, ekonomi, dan budaya daripada memahami teks-teks yuridikal;
• Inti pemikiran CLS adalah:
1. Menolak paham liberalisme yang hanya berorientasi pada kepentingan kaum kapitalis (pemilik
modal);
2. Hukum positif baik peraturan perundang-undangan (in abstracto) maupun dalam penerapannya
(in concreto) merupakan produk politik, karena itu hukum tidak obyektif dan tidak pernah netral
dari kepentingan politik;
3. Doktrin Rule of Law dengan prinsip “equality before the law” hanyalah ilusi yang tidak pernah
menjadi realitas dalam masyarakat, karena sejatinya masyarakat modern berada dalam
kesenjangan sosial-ekonomi-politik, ada kaum miskin, minoritas, elit-penguasa, sehingga
praktek menunjukan bahwa hukum hanya menguntungkan elit dan kapitalis;
4. Analisis-analisis paradigm legalisme liberal mengaburkan realitas dan lebih mengutamakan
prosedur formal, sehingga melahirkan keputusan-keputusan yang seolah-olah adil (keadilan
prosedural);
5. Tidak ada interpretasi atau penafsiran terhadap doktrin hukum, tetapi penafsiran paradigma
legalisme liberal selalu bersifat subyektif dan kental muatan politik.
Critical Legal Race Theory (CRT)
• Teori kritis mengenai ras dengan melakukan pendekatan kritis terhadap isu-isu ras
dan hukum yang berkenaan dengan “diskriminasi hukum” kulit putih terhadap
kulit hitam;
• Idenya berasal dari pemimpin “Black Power movement” di Amerika, Martin Luther
King;
• Inti pemikirannya:
1. Legislasi dan regulasi yang menempatkan ras kulit berwarna (Black’s)
yang minoritas di bawah subordinasi dominasi kulit putih
bertentangan dengan Hak-Hak Sipil dan Politik (Civil and Political
Rights);
2. Hukum seyogyanya memberikan keadilan substantive bagi ras
minoritas dan bukan keadilan prosedural;
3. Demi mencapai keadilan substantive, CRT dibenarkan untuk
mengabaikan “the rule of law” yang mengutamakan keadilan
prosedural;
Feminist Jurisprudence
yang terjadi.