MODAL
RAHASIA BANK
Disusun Oleh :
Anisa Indriyani 20140610190
Dera Fauziyah 20140610207
Nur Annisa Okta R 20140610247
Kurniawan Dwi R 20140610213
Jati Prabowo R 20140610266
Prastawa Rangga K 20140610313
Nabain Yakin 20140610157
Ilmu Hukum
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bank adalah bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu negara. Bahkan pada era
globalisasi sekarang ini, bank juga telah menjadi bagian dari system keuangan dan system pembayaran
dunia. Kepentingan masyarakat untuk menjaga eksistensi suatu bank menjadi sangat penting, lebih-
lebih bila diingat bahwa ambruknya suatu bank akan mempunyai akibat rantai atau domino effect, yaitu
menular kepada bank-bank yang lain, yang pada gilirannya tidak mustahil dapat sangat mengganggu
fungsi sistem keuangan dan system pembayaran dari negara yang bersangkutan. Hal ini adalah seperti
yang pernah terjadi ditahun 1929-1933 ketika kurang lebih 9000 bank di Amerika Serikat, atau kurang
lebih setengah dari jumlah bank yang ada pada waktu itu gulung tikar.
Bank adalah suatu lembaga keuangan yang eksistensinya tergantung mutlak pada kepercayaan
dari para nasabahnya yang mempercayakan dana simpanan mereka pada bank. Oleh karena itu bank
sangat berkepentingan agar kadar kepercayaan masyarakat, yang telah maupun yang akan menyimpan
dananya, terpelihara dengan baik dalam tingkat yang tinggi. Mengingat bank adalah bagian dari sistem
keuangan dan system pembayaran, yang masyarakat luas berkepentingan atas kesehatan dari sistem-
sistem tersebut, sedangkan kepercayaan masyarakat kepada bank merupakan unsur paling pokok dari
eksistensi suatu bank, maka terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada perbankan adalah juga
kepentingan masyarakat banyak.
Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap suatu
bank. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Integritas pengurus
2. Pengetahuan dan Kemampuan pengurus baik berupa pengetahuan kemampuan manajerial
maupun pengetahuan dan kemampuan teknis perbankan
3. Kesehatan bank yang bersangkutan
4. Kepatuhan bank terhadap kewajiban rahasia bank.
Sebagaimana dikemukakan di atas, salah satu faktor untuk dapat memelihara dan meningkatkan
kadar kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank pada khususnya dan perbankan pada umumnya
ialah kepatuhan bank terhadap kewajiban rahasia bank. Maksudnya adalah menyangkut "dapat atau
tidaknya bank dipercaya oleh nasabah yang menyimpan dananya pada bank tersebut untuk tidak
mengungkapkan simpanan nasabah identitas nasabah tersebut kepada pihak lain". Dengan kata lain,
tergantung kepada kemampuan bank itu untuk menjunjung tinggi dan mematuhi dengan teguh "rahasia
bank".Rahasia bank akan dapat lebih dipegang teguh oleh bank apabila ditetapkan bukan sekedar hanya
sebagai kewajiban kontraktual di antara bank dan nasabah, tetapi ditetapkan sebagai kewajiban pidana.
Bila hanya ditetapkan sebagai kewajiban kontraktual belaka, maka kewajiban bank itu menjadi kurang
kokoh karena kewajiban kontraktual secara mudah dapat disimpangi.
Konsep rahasia bank bermula timbul dari tujuan untuk melindungi nasabah bank yang
bersangkutan. Mengenai pengertian dan ruang lingkup rahasia bank, sebelum berlakunya UU No. 7
Tahun 1998 jo. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dapat ditemukan dalam UU No. 23 PrP
1960 tentang Rahasia Bank dan dalam UU No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan.
Adapun rumusan mengenai rahasia bank menurut kedua undang-undang tersebut adalah
sebagaimana diuraikan berikut ini.
1. Menurut UU No. 23 PrP 1960 tentang Rahasia Bank
Dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 23 PrP 1960 tentang Rahasia Bank, dirumuskan bahwa
yang dimaksud dengan rahasia bank adalah:
Bank tidak boleh memberikan keterangan-keterangan tentang keadaan keuangan
langganannya yang tercatat padanya dan hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh bank
menurut kelaziman dalam dunia perbankan.
Adapun penjelasan Pasal 2 tersebut tersebut mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
langganan bank adalah orang-orang yang mempercayakan uangnya pada bank, menerima
cek, bunga dari bank, dan lain sebagainya, intinya semua orang dari pelaksanaan tugas
sehari-hari dari bank.
2. UU No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan
Ketentuan Pasal 36 UU No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan, merumuskan
bahwa yang dimaksud dengan rahasia bank adalah:
Bank tidak boleh memberikan keterangan-keterangan tentang keadaan keuangan
nasabahnya yang tercatat padanya dan hal lain-lain yang harus dirahasiakan oleh bank
menurut kelaziman dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan dalam
undang-undang ini.
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan rahasia bank
adalah segala keterangan mengenai keadaan keuangan dari langganan atau nasabah dan hal-hal lain
yang harus dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman.
Ketentuan Pasal 36 UU No. 14 Tahun 1967 tersebut tidak secara jelas merumuskan mengenai
rahasia bank. Oleh karena itu, Bank Indonesia membuat suatu penafsiran resmi mengenai hal tersebut
yang dimuat dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 2/337 UPPB/PbP perihal penafsiran tentang
Pengertian Rahasia Bank, tanggal 11 September 1969. Menurut Surat Edaran tersebut hal-hal yang
dirahasiakan mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Keadaan keuangan yang tercatat padanya, ialah keadaan mengenai keuangan yang terdapa
pada bank yang meliputi segala simpanan yang tercantum dalam semua pos pasiva, dan
segala pos aktiva yang merupakan pemberian kredit dalam berbagai macam bentuk kepada
yang bersangkutan.
b. hal- hal lain yang harus dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan,
ialah segala keterangan orang atau badan yang diketahui oleh bank karena kegiatan dan
usahanya, yaitu:
1) Pemberian pelayanan dan jasa dalam lalu lintas uang, baik dalam maupun luar
negeri.
2) Pengdiskontoan dan jual beli surat berharga.
3) Pemberian kredit.
3. UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 16 UU No. 7 Tahun 1992, yang dimaksud dengan rahasia
bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank
yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan.
Berkaitan dengan itu, ketentuan Pasal 40 ayat (1) menentukan bahwa bank dilarang
memberikan keterangan yang dicatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari
nasabahnya, yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan, kecuali
dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44.
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dikemukakan bahwa makna yang terkandung dalam
pengertian rahasia bank adalah larangan-larangan bagi perbankan untuk memberi keterangan atau
informasi kepada siapa pun juga mengenai keadaan keuangan nasabah dan hal-hal lain yang patut
dirahasiakan dari nasabahnya, untuk kepentingan nasabah maupun kepentingan dari bank itu sendiri.
Selanjutnya ketentuan Pasal 1 angka 16 tersebut diubah menjadi Pasal 1 angka 28 UU No. 10
Tahun 1998, yang mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan rahasia bank adalah segala sesuatu
yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Adapun Pasal
40 ayat (1) di atas diubah menjadi Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998, yang mengemukakan
bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali
dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.
Berdasarkan ketentuan di atas, menunjukkan bahwa pengertian dan ruang lingkup mengenai
rahasia bank yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1992 dan UU No. 10 Tahun 1998 memiliki
perbedaan. Dalam UU No 7 Tahun 1992 ketentuan rahasia bank tersebut lebih luas, karena berlaku
bagi setiap nasabah dengan tidak membedakan antara nasabah penyimpan dan nasabah peminjam.
Adapun ketentuan rahasia bank yang ditentukan dalam UU No. 10 Tahun 1998 lebih sempit, karena
hanya berlaku bagi nasabah penyimpan dan simpanannya saja.
Konsep rahasia bank bermula timbul dari tujuan untuk melindungi nasabah bank yang
bersangkutan. Hal ini nyata terlihat ketika Court of Appeal Inggris secara bulat memutuskan
pendiriannya dalam kasus Tournier v. National Provincial and Union Bank of England tahun
1924, suatu putusan pengadilan yang kemudian menjadi leading case law yang menyangkut ketentuan
rahasia bank di Inggris dan kemudian diacu oleh pengadilan- pengadilan negara-negara lain yang
menganutcommon law system. Bahkan 60 tahun sebelum putusan Tournier tersebut, yaitu dalam
perkara Foster v. The Bank of London tahun 1862, juri telah berpendapat bahwa terdapat kewajiban
bagi bank untuk tidak boleh mengungkapkan keadaan keuangan nasabah bank yang bersangkutan
kepada pihak lain. Namun pada waktu itu pendirian tersebut belum memperoleh afirmasi dari putusan-
putusan pengadilan berikutnya.[1]
Timbulnya pemikiran untuk perlunya merahasiakan keadaan keuangan nasabah bank sehingga
melahirkan ketentuan hukum mengenai kewajiban rahasia bank, adalah semula bertujuan untuk
melindungi kepentingan nasabah secara individual. Ketentuan rahasia bank di Swiss, yaitu suatu negara
yang dikenal mempunyai ketentuan rahasia bank yang dahulunya paling ketat di dunia, adalah juga
semula bertujuan untuk melindungi kepentingan nasabah bank secara individual.
Pada waktu itu ketentuan rahasia bank bersifat mutlak; artinya tidak dapat dikecualikan karena
alasan apapun juga. Ketentuan rahasia bank di Swiss lahir mula-mula sehubungan dengan kedudukan
Swiss sebagai negara yang netral secara tradisional. Alasan pertama, dalam abad ke 17, ribuan
kaum Huguenots dari Perancis melarikan diri ke Swiss oleh karena mereka dikejar-kejar atau dilakukan
penyiksaan-penyiksaan terhadap mereka sehubungan dengan agama yang mereka anut. Diantara
mereka itu kemudian ada yang menjadi bankir, dan menginginkan agar supaya kerahasiaan dari
nasabah-nasabah mereka untuk urusan-urusan keuangannya di Negara asalnya dirahasiakan. Alasan
kedua adalah sehubungan dengan dikejar-kejarnya orang-orang Yahudi di waktu regime Nazi berkuasa
di Jerman di tahun 1930-an dan 1940-an.[2]
Namun perkembangan sehubungan dengan keadaan politik dalam negeri, keadaan sosial,
terutama yang menyangkut timbulnya kejahatan-kejahatan di bidangmoney laundering, dan kebutuhan
akan adanya stabilitas ekonomi, terutama stabilitas moneter, telah menimbulkan kebutuhan akan
perlunya pelonggaran terhadap kewajiban rahasia bank yang mutlak itu.
[1]
Djoni S. Gazali, dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta: 2010
[2]
http://kuliahade.wordpress.com/2010/06/27/hukum-perbankan-rahasia-bank/
Artinya, apabila kepentingan negara, bangsa dan masyarakat umum harus didahulukan
daripada kepentingan nasabah secara pribadi, maka kewajiban bank untuk melindungi kepentingan
nasabah secara individual itu (dalam arti tidak boleh mengungkapkan keadaan keuangan nasabah)
harus dapat dikesampingkan. Contoh yang konkrit mengenai hal ini adalah berkaitan dengan
kepentingan negara untuk menghitung memungut: 1) pajak nasabah yang bersangkutan, 2) penindakan
korupsi, dan 3) pemberantasanmoney laundering.
Merupakan hal yang kontradiktif bahwa dalam hal-hal tertentu, justru demi kepentingan negara,
bangsa dan masyarakat umum, dikehendaki agar kewajiban rahasia bank diperketat. Kepentingan
negara yang dimaksud adalah pengerahan dana perbankan untuk keperluan pembangunan. Kepentingan
negara, bangsa dan masyarakat umum itu dilandasi oleh alasan bahwa dijunjung tingginya dan
dipegang teguhnya kewajiban rahasia bank merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan bank dalam
upaya bank itu mengerahkan tabungan masyarakat.
Selain itu terganggunya stabilitas moneter adalah antara lain dapat diakibatkan oleh runtuhnya
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan karena terlalu longgarnya rahasia bank. Dalam kaitan itu,
undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank harus tidak memungkinkan kewajiban rahasia
bank secara mudah dapat dikesampingkan dengan dalih karena kepentingan umum menghendaki
demikian.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban rahasia bank yang harus
dipegang teguh oleh bank adalah bukan semata-mata bagi: (1) kepentingan nasabah sendiri, tetapi juga
(2) bagi bank yang bersangkutan dan (3) bagi kepentingan masyarakat umum sendiri.
Ketentuan rahasia bank dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan diatur dalam
Pasal 40-50 dan dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 mengalami perubahan dan penambahan.
Adapun prinsip atau teori yang mendasari ketentuan rahasia bank di Indonesia, yaitu prinsip atau teori
nisbi. Dengan demikian, pemberian data dan informasi yang menyangkut kerahasiaan bank kepada
pihak lain dimungkinkan, berbeda dengan sistem di Swiss yang hanya memungkinkan pembukaan
rahasia bank apabila ada putusan pengadilan. Menyangkut mengenai pihak yang harus menyimpan
rahasia karena profesi dan pekerjaannya hampir sama ketentuannya dengan di Swiss, yaitu semua pihak
yang berhubungan dengan kegiatan bank (pihak-pihak terafiliasi).
Dengan sifatnya yang demikian maka dalam memahami ketentuan-ketentuan rahasia bank tidak
perlu dipahami sebagai strict law. Jadi, ketentuan tersebut janganlah dipahami apa adanya sebagaimana
tertulis dalam Pasal tersebut yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jika terlalu kaku
memahami ketentuan yang ada, ketentuan tersebut akan membelenggu karena disadari bahwa
pengertian rahasia bank yang tercantum pasa Pasal 40 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (sebelum diubah) mempunyai sifat yang sangat luas ruang lingkupnya dan sifatnya terlalu
umum. Karenanya, cukup membingungkan serta terlalu tertutup.
Namun, ketentuan rahasia bank yang ada telah mengatur mengenai hal-hal pengecualian tertentu
yang memungkinkan untuk dapat diketahuinya suatu rahasia bank dari seseorang. Adapun mengenai
kemungkinan pembukaan kerahasiaan bank dapat dilakukan apabila adanya suatu kepentingan umum
berupa kepentingan:
1. Perpajakan.
2. Penyelesaian piutang yang ditangani oleh Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara/PanitiaUrusan Piutang Negara (BUPLN/PUPN).
3. Peradilan, baik untuk perkara pidana maupun perdata.
4. Kepentingan kelancaran dan keamanan kegiatan usaha bank, termasuk di dalamnya permintaan
pembukaan rahasia bank berdasarkan kuasa dari nasabah penyimpan itu sendiri atau
permintaan ahli waris yang sah.
Dalam rangka pembukaan rahasia bank karena kepentingan tertentu dan hal tersebut telah
mendapatkan izin dari Pimpinan Bank Indonesia maka bank yang bersangkutan di mana data tersebut
berada wajib memberikan keterangan yang diperlukan tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 42A
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.
Mekanisme dan prosedur permintaan untuk pembukaan rahasia bank, adalah sebagai berikut:
1. Permohonan ditujukan kepada Pimpinan Bank Indonesia u.p. Urusan Hukum Bank Indonesia.
2. Atas permintaan ini Pimpinan Bank Indonesia membahasnya dan kemudian memberikan
keputusannya apakah memberikan atau menolaknya. Penolakan oleh Bank Indonesia
selambat-lambatnya empat belas hari setelah surat permintaan diterima.
3. Apabila permintaan tersebut tidak memenuhi persyaratan, dilakukan penolakan. Begitu pula
sebaliknya, apabila telah memenuhi persyaratan, diizinkan pembukaan rahasia bank tersebut.
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 47 ayat (1) di atas, yang perlu dipermasalahkan apakah
pihak yang memaksa dapat di tuntut telah melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 47 ayat (1),
sekalipun pihak yang memaksa tidak sampai berhasil membuat pihak bank atau pihak terafiliasi
memberikan keterangan yang diminta secara paksa. Ataukah pihak yang memaksa dapat dikenai pidana
karena melakukan percobaan tindak pidana berdasarkan Pasal 47 ayat (1). Menurut Remy Sjehdeini,
karena tindak pidana yang ditentukan dalam Pasal 47 ayat (1) itu merupakan tindak pidana formal,
maka pihak yang memaksa tersebut dapat saja di tuntut dan dikenai pidana sekalipun tidak sampai
berhasil membuat pihak terafiliasi memberikan keterangan yang diminta itu.
Mengenai mereka yang termasuk angka 1 di atas tidak di atur oleh Undang-undang nomor 10
Tahun 1998. Artinya, Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tidakmenentukan sebagai hal yang di
larang, tetapijuga tidak menentukan sebagai hal yang di perbolehkan. Penggunaan keterangan yang di
peroleh dalam rangka pengecualian itu hanya terbatas kepada tujuan diperolehnya keterangan itu.
Kemudian kepada mereka yang termasuk angka 2 di atas, dalam hal nasabah berpendapat telah
di rugikan sebagai akibat penggunaan keterangan tentang nasabah itu oleh mereka yang memperoleh
keterangan itu dari pihak bank yang membocorkannya secara bertentangan dengan rahasia bank, maka
nasabah tersebut dapat mengajukan ganti kerugian kepada mereka berdasarkan “pebuatan melawan
hukum” sebagaimana diatur oleh Pasal 1365 KUH Perdata.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bank adalah bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu negara. Bahkan pada era
globalisasi sekarang ini, bank juga telah menjadi bagian dari system keuangan dan system pembayaran
dunia. Kepentingan masyarakat untuk menjaga eksistensi suatu bank menjadi sangat penting.
Konsep rahasia bank bermula timbul dari tujuan untuk melindungi nasabah bank yang bersangkutan.
Dengan sifatnya yang demikian maka dalam memahami ketentuan-ketentuan rahasia bank tidak perlu
dipahami sebagai strict law.
Jadi, ketentuan tersebut janganlah dipahami apa adanya sebagaimana tertulis dalam Pasal
tersebut yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jika terlalu kaku memahami ketentuan
yang ada, ketentuan tersebut akan membelenggu karena disadari bahwa pengertian rahasia bank yang
tercantum pasa Pasal 40 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (sebelum diubah)
mempunyai sifat yang sangat luas ruang lingkupnya dan sifatnya terlalu umum. Karenanya, cukup
membingungkan serta terlalu tertutup.
DAFTAR PUSTAKA