Anda di halaman 1dari 16

POLIGAMI

MAKALAH
 Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Fiqh Munakahah
Dosen Pengampu: Priliansyah Ma’ruf Nur, M.Pd.

   

Disusun oleh:
Faix Syaeful Bahri (133111111)
Priliansyah Ma’ruf Nur (133111117)
Lu’lu’ul Atqiya (1403016105)
Warjono (1403016114)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
BANJARNEGARA
2021
I. PENDAHULUAN
Alhamdulillah….
Pernikahan adalah pintu gerbang sakral yang harus dimasuki oleh setiap
insan untuk membentuk sebuah lembaga yang bernama keluarga. Perhatian
Islam terhadap keluarga begitu besar, karena keluarga merupakan cikal bakal
terbentuknya masyarakat luas. Keluarga adalah pemberi warna dalam setiap
masyarakat, baik sifatnya sebuah masyarakat tergantung pada masing-
masing keluarga yang terdapat dalam masyarakat.
Perkawinan adalah sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluk Tuhan, baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Allah
SWT menganugerahkan setiap manusia dengan jenis kelamin tertentu dan
membuatnya mempunyai kecenderungan menaruh cinta kepada jenis kelamin
yang lain. Akan tetapi dikarenakan sesuatu hal terkadang tidak cukup hanya
mempunyai seorang istri dan akhirnya melakukan poligami.
Dewasa ini poligami sering muncul dan dilakukan maupun di praktikkan
oleh sebagian masyarakat, namun terdapat orang-orang yang melakukan
poligami tersebut menyalahartikan makna poligami dalam perspektif syari’at
agama Islam, yang mereka tahu bahwa poligami merupakan sunnah Rasul
yang boleh ditiru oleh semua manusia dan dalam hukum Islam pun tidak ada
larangan untuk melakukannya. Tak dapat dipungkiri pula bahwa pada zaman
modern ini tujuan berpoligami kebanyakan terdorong oleh motif memuaskan
nafsu seks dan kenikmatan seks.
Atas dasar tersebut penulis tertarik untuk menyusun sebuah makalah
yang membahas beberapa hal mengenai poligami, yaitu: pengertian, dasar
hukum, hukum poligami, serta faktor-faktor dalam melakukan poligami.
Dalam makalah ini akan disajikan pula contoh kasus mengenai poligami dan
dampaknya.

1
II. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut di atas, maka
dalam makalah ini akan dibahas beberapa rumusan masalah:
A. Apa pengertian poligami?
B. Apa dasar hukum poligami?
C. Apa hukum poligami?
D. Apa saja faktor-faktor dalam melakukan poligami?
E. Apa contoh studi kasus tentang poligami?

III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Poligami
Secara etimologi kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu
polus yang berarti banyak dan gomus yang berarti perkawinan. Apabila
pengertian ini digabungkan, maka poligami akan berarti suatu perkawinan
yang banyak atau lebih dari seorang.1
Definisi lain dari poligami adalah beristri lebih dari satu orang pada
waktu yang bersamaan terbatas hanya sampai empat orang istri.
Maksudnya seorang laki – laki menikahi lebih dari satu perempuan dalam
kondisi semuanya hidup.2
Pengertian poligami menurut Bahasa Indonesia adalah sistem
perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan
jenisnya di waktu yang bersamaan. Para ahli membedakan istilah bagi
seorang laki – laki yang mempunyai lebih dari seorang istri dengan istilah
poligami yang berasal dari kata polus berarti banyak dan gune yang berarti
perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang mempunya lebih dari
seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata polus yang berarti
banyak dan  andros yang berarti laki – laki.3

1
Tihami dkk, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers,
2010), hlm. 351.
2
Indah Purbasari, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Insa Media Utama, 2008 ), hlm. 29.
3
Tihami dkk, Fikih Munakahat..........., hlm. 352

2
B. Dasar Hukum Poligami
1. Dasar Hukum Al Qur’an & Hadits
َ ‫اب لَ ُك ْم ِّمنَ النِّ َس ۤا ِء َم ْث ٰنى َوثُ ٰل‬
‫ث َور ُٰب َع‬ َ َ‫تُ ْق ِسطُوْ ا فِى ْاليَ ٰتمٰ ى فَا ْن ِكحُوْ ا] َما ط‬ ‫َواِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل‬
ٓ
‫ت اَ ْي َمانُ ُك ْم ۗ ٰذلِكَ اَ ْد ٰنى اَاَّل تَعُوْ لُوْ ۗا‬
ْ ‫تَ ْع ِدلُوْ ا فَ َوا ِح َدةً اَوْ َما َملَ َك‬ ‫ۚ فَاِ ْن ِخ ْفتُ ْم اَاَّل‬
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
(QS. An-Nisa’: 3)4

Berkaitan dengan masalah ini, Rasyid Ridha mengatakan,


sebagaimana yang dikutip oleh Masyfuk Zuhdi, sebagai berikut:
Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko /
madharat daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya
(human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka
mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar
tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan
demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan
keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari
istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak-anaknya masing-
masing. Karena itu hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah
monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi
sifat/watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam kehidupan
keluarga yang monogamis.
Suami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam urusan:
pangan, pakaian, tempat tinggal, giliran berada pada masing-masing
istri, dan lainnya yang bersifat kebendaan, tanpa membedakan antara
istri yang kaya dengan istri yang miskin, yang berasal dari keturunan
tinggi dengan yang berasal dari golongan bawah. Jika suami khawatir
berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak mereka, maka ia
4
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta:
Pustaka Al Mubin, 2013), hlm. 77.

3
haram melakukan poligami. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak
istrinya hanya tiga orang, maka ia haram menikahi istri untuk yang
keempatnya. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya dua
orang, maka ia haram menikahi istri untuk yang ketiganya, dan begitu
seterusnya.
Berkenaan dengan ketidakadilan suami terhadap istri-istrinya,
Nabi SAW bersabda:
‫ من اكنت هل امرأات ن مفال اىل‬:‫َع ْن َاىِب ه َُر ْي َر َة َان النيب ص ىل هللا علي ه وس مل ق ال‬
.)‫احداهام جاءيوم القيامة وشقه مائل (رواه ابوداودوالرتمذى والنسائ وابن حبان‬
“Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Barang
siapa yang mempunyai dua orang istri, lalu memberatkan kepada salah
satunya, maka ia akan datang pada Hari Kiamat dengan bahunya
miring.” (HR. Abu Dawud)

Mengenai adil terhadap istri-istri dalam masalah cinta dan kasih


sayang, Abu Bakar bin Araby mengatakan bahwa hal ini berada di luar
kesanggupan manusia, sebab cinta itu adanya dalam genggaman Allah
SWT yang mampu membolak-balikannya menurut kehendak-Nya.
Begitu pula dengan hubungan seksual, terkadang suami bergairah
dengan istri yang satu, tetapi tidak bergairah dengan istri lainnya.
Dalam hal ini, apabila tidak disengaja, ia tidak terkena hukum dosa
karena berada di luar kemampuannya. Oleh karena itu, ia tidak dipaksa
untuk berlaku adil. Dalam kaitan ini, Aisyah ra. berkata:

‫ اللهم هذاقسمى‬:‫اك ن رسول هللا صىل هللا عليه وسمل يقسم فيعدل ويقول‬
‫ قال ابوداود يعىن القلب‬,‫فامي امكل فال تلمىن فامي متكل وال امكل‬
.)‫(رواه ابوداودوالرتمذى والنسائ وابن حبان‬
“Rasulullah SAW selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil.
Dan beliau pernah berdo’a: Ya Allah, ini bagianku yang dapat aku
kerjakan. Karena itu, janganlah Engkau mencelakakanku tentang apa
yang Engkau Kuasai sedangkan aku tidak menguasainya. Abu Daud
berkata: Yang dimaksud dengan ‘Engkau Kuasai tetapi aku tidak
menguasai’ yaitu hati.” (HR. Abu Dawud)

4
Menurut Al-Khattabi, hadits tersebut sebagai penguat adanya
wajib melakukan pembagian yang adil terhadap istri-istrinya yang
merdeka, dan makruh bersikap berat sebelah dalam menggaulinya, yang
berarti mengurangi haknya, tetapi tidak dilarang untuk lebih mencintai
perempuan yang satu daripada yang lainnya, karena masalah cinta
berada di luar kesanggupannya.

2. Kompilasi Hukum Islam

Pasal 55
(1)Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya
sampai empat istri.
(2)Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku
adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
(3)Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin
dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.

Pasal 56
(1)Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin
dari Pengadilan Agama.
(2)Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan
menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Pengaturan
Pemerintah No.9 Tahun 1975.
(3)Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat
tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan
hukum.

Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
(1)Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

5
(2)Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
(3)Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 58
(1)Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin pengadilan agama, harus pula dipenuhi syarat-
syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang No.1 tahun
1974, yaitu:
a. Adanya persetujuan istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
(2)Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan
Pemerintah No.9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat
diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada
persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan
lisan istri pada siding Pengadilan Agama.
(3)Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau
apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-
kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat
penilaian hakim.

Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan dan
permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas
salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan
Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa
dan mendengar istri yang bersangkutan dipersidangan Pengadilan

6
Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan
banding atau kasasi.5
3. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Pasal 3
(1)Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri.. Seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh
pihak yang bersangkutan.

Pasal 4
(1)Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang
sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang- undang ini
maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah
tempat tinggalnya.
(2)Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang
harus dipenuhi syarat syarat sebagai berikut
a. Ada persetujuan dari istri/istri-istri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan

5
Kompilasi Hukum Islam Bab IX “Beristri Lebih dari Satu Orang” dalam Abdul Rahman
Ghozali, Fiqh Munakahat,(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 130-136.

7
hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anak mereka.
(2)Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini
tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya
tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi
pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab
lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

C. Hukum Poligami
Terdapat perbedaan pendapat para ulama dalam menentukan hukum
poligami. Ada yang membolehkan, mewajibkan, ada pula yang
mengharamkan:
1. Jumhur ulama membolehkan poligami dengan syarat perlakuan adil
terhadap istri-istrinya. Argumen yang mereka gunakan adalah:
a. Al Qur’an surah An Nisa ayat 3
b. Praktek poligami dicontohkan oleh Nabi SAW, tetapi terbatas pada
empat istri
c. Orientasi perintah menikah dalam Al Qur’an surah An Nisa ayat 3
senada dengan perintah makan dan minum sebagai suatu instruksi
yang ibahah atau tidak terdapat larangan.
2. Sebagian ulama yang mewajibkan poligami, mereka mengambil
istinbath hukum wajib karena konsisten dengan prinsip ushuliyah
bahwa perintah pada hakikatnya untuk arti wajib yang secara zhahir
tampak dalam teks.
3. Pendapat poligami haram didukung oleh Muhammad Abduh. Namun,
keharaman ini tidak mutlak, yaitu jika tidak dalam keadaan darurat dan
tidak mampu berlaku adil.6

6
Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 51.

8
D. Faktor-faktor Poligami
Menurut Abu Azzam Abdillah, banyak faktor yang sering
memotivasi seorang pria untuk melakukan poligami. Selama dorongan
tersebut tidak menyimpang dari ketentuan syariat, tentu tidak ada cela dan
larangan untuk melakukannya. Berikut ini beberapa faktor utama yang
menjadi pertimbangan kaum pria dalam melakukan poligami.7
1. Faktor- Faktor Biologis
a. Istri yang Sakit
Adanya seorang istri yang menderita suatu penyakit yang tidak
memungkinkan baginya untuk melayani hasrat seksual suaminya.
Bagi suami yang shaleh akan memilih poligami dari pada energi ke
tempat–tempat mesum dengan sejumlah wanita pelacur
b. Hasrat Seksual yang Tinggi
Sebagian kaum pria memiliki gairah dan hasrat seksual yang
tinggi dan menggebu, sehingga baginya satu istri dirasa tidak cukup
untuk menyalurkan hasratnya tersebut.
c. Rutinitas Alami Setiap Wanita
Adanya masa-masa haid, kehamilan dan melahirkan, menjadi
alasan utama seorang wanita tidak dapat menjalankan salah satu
kewajiban terhadap suaminya. Jika suami dapat bersabar
menghadapi kondisi seperti itu, tentu tidak akan menjadi masalah.
Tetapi jika suami termasuk orang yang hasrat seksualnya tinggi,
beberapa hari saja istrinya mengalami haid, dikhawatirkan sang
suami tidak bisa menjaga diri, maka poligami bisa menjadi
pilihannya.
d. Masa Subur Kaum Pria Lebih Lama
Kaum pria memiliki masa subur yang lebih lama dibandingkan
wanita. Dokter Boyke, seorang seksolog, mengakui banyak
menangani kasus perselingkuhan pria usia 40-50 tahun, karena pada

7
Abu Azzam Abdillah, Agar Suami Tak Berpoligami, (Bandung: Cipta Grafika, 2007),
hlm. 25.

9
usia tersebut pria mendapat puber kedua, sementara para istri
umumnya malah menjadi frigid.
2. Faktor Internal Rumah Tangga
Menurut buku ‘Hitam Putih Poligami’, terdapat beberapa faktor
internal rumahtangga yang mendorong suami untuk berpoligami, di
antaranya:
a. Kemandulan
Banyak kasus perceraian yang dilatarbelakangi oleh masalah
kemandulan , baik kemandulan yang terjadi pada suami maupun
yang dialami istri. Hal ini terjadi karena keinginan seseorang untuk
mendapat keturunan merupakan salah satu tujuan utama pernikahan
dilakukannya.
Dalam kondisi seperti itu, seorang istri yang bijak dan shalihah
tentu akan berbesar hati dan ridha bila sang suami menikahi wanita
lain yang dapat memberikan keturunan. Di sisi lain, sang suami tetep
memposisikan istri pertamanya sebagai orang yang mempunyai
tempat di hatinya, tetap dicintainya, dan hidup bahagia bersamanya.
b. Istri yang Lemah
Ketika sang suami mendapati istrinya dalam keadaan serba
terbatas, tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas rumahtangganya
dengan baik, tidak bisa mengarahkan dan mendidik anak-anaknya,
lemah wawasan ilmu dan agamanya,serta bentuk-bentuk kekurangan
lainnya.maka pada saat itu, kemungkinan suami melirik wanita lain
yang dianggapnya lebih baik,bisa saja terjadi.dan sang istri
hendaknya berlapang dada bahkan berbahagia,karena akan ada
wanita lainyang membantunya memecahkan persoalan rumah
tangganya,tanpa akan kehilangan cinta dan kasih saying suaminya.
c. Kepribadian yang Buruk
Istri yang tidak pandai bersyukur, banyak menuntut, boros, suka
berkata kasar, gampang marah, tidak mau menerima nasihat suami
dan selau ingin menang sendiri, biasanya tidak disukai sang suami.

10
Oleh karenanya, tidak jarang suami yang mulai berpikir untuk
menikahi wanita lain yang dianggap lebih baik dan lebih shalihah,
apalagi jika watak dan karakter buruk sang istri tidak bisa diperbaiki
lagi.
3. Faktor Sosial
a. Banyaknya Jumlah Wanita
Di Indonesia, pada PEMILU tahun 1999, jumlah pemilih pria
hanya 48%, sedangkan pemilih wanita sebanyak 52%. Berarti dari
jumlah 110 Juta jiwa pemilih tersebut, jumlah wanita adalah 57,2
juta orang dan Jumlah pria 52,8 juta orang. Padahal usia para pemilih
itu merupakan usia siap nikah.
b. Kesiapan Menikah dan Harapan Hidup pada Wanita
Jika saya mencoba melakukan survei pada masalah kesiapan
menikah, pasti para wanita akan lebih banyak jumlahnya daripada
jumlahnya daripada kaum pria. Bahkan di daerah-daerah tertentu,
wanita usia 14-16 tahun sudah banyak yang bersuami, dan wanita
yang usianya 20 tahun merasa sudah terlambat menikah. Sebagian
pendapat juga mengatakan bahwa harapan hidup kaum wanita, lebih
panjang daripada harapan hidup kaum pria, perbedaannya berkisar 5-
6 tahun. Sehingga tidak heran jika lebih banyak suami yang lebih
dahulu meninggal dunia, sedangkan sang istri harus hidup menjanda
dalam waktu yang sangat lama, tanpa ada yang mengayomi,
melindungi, dan tiada yang memberi nafkah secara layak.
c. Berkurangnya Jumlah Kaum Pria
Dampak paling nyata yang ditimbulkan akibat banyaknya
jumlah kematian pada kaum pria adalah semakin bertambahnya
jumlah peremuan yang kehilangan suami dan terpaksa harus hidup
menjanda.lalu siapakah yang akan bertanggung jawab
mengayomi,memberi perlindungan dan memenuhi nafkah lahir dan
batinnya, jika mereka terus menjanda? Solusinya tidak lain, kecuali
menikah lagi dengan seorang jejaka,atau duda,atau memasuki

11
kehidupan poligami dengan pria yang telah beristri. Itulah solusi
yang lebih mulia, halal dan beradab.
d. Lingkungan dan Tradisi
Lingkungan tempat saya hidup dan beraktivitas sangat besar
pengaruhnya dalam mempentuk karakter dan sikap hidup seseorang.
Seorang suami akan tergerak hatinya untuk melakukan poligami, jika
ia hidup di lingkungan atau komunitas yang memelihara tradisi
poligami.
Sebaliknya ia akan bersikap antipati, sungkan dan berpikir
seribu kali untuk melakukannya, jika lingkungan dan tradisi yang
ada di sekitarnya menganggap poligami sebagai hal yang tabu dan
buruk, sehingga mereka melecehkan dan merendahkan para
pelakunya.
e. Kemapanan Ekonomi
Inilah salah satu motivator poligami yang paling sering saya
dapati pada kehidupan modern sekarang ini. Kesuksesan dalam
bisnis dan mapannya perekonomian seseorang, sering menumbuhkan
sikap percaya diri dan keyakinan akan kemampuannya menghidupi
istri lebih dari satu. 8

E. Studi Kasus
Contoh kasus poligami terdapat di desa Wonosekar, kecamatan
Karangawen, kabupaten Demak. Kasus ini telah dianalisis oleh saudara
Ahmad Taufiq (NIM 2102023) mahasiswa jurusan Ahwalus Syahsiyah,
Fakultas Syariah IAIN Walisongo dalam skripsinya yang berjudul
“Dampak Poligami di Bawah Tangan Terhadap Pemenuhan Nafkah Istri
(Studi Kasus Di Desa Wonosekar Kecamatan Karangawen Kabupaten
Demak), skripsi ini dinyatakan lulus pada tahun 2008.
Berdasarkan hasil analisis dari keseluruhan data yang diperoleh, maka

8
Abdurrahman Husein, Hitam Putih Poligami, (Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 2007),
hlm. 50.

12
penulis skripsi mengambil suatu kesimpulan sebagai berikut:
1. Poligami di bawah tangan yang di masyarakat Desa Wonosekar
Kecamatan Karangawen Kabupaten Demak lebih dikenal dengan
nikah wayuhan, yaitu suatu pernikahan yang dilakukan di hadapan
seorang kyai dengan cara sembunyi-sembunyi tanpa dicatatkan pada
KUA.
2. Poligami di bawah tangan yang dilakukan oleh masyarakat desa
Wonosekar kecamatan Karangawen kabupaten Demak di sebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu karena suami tidak puas hanya dengan seorang
istri, istri bekerja di luar negeri sebagai TKI, tidak mempunyai anak,
karena kemauan kedua belah pihak, karena ketidakmampuan secara
ekonomi, serta tidak terpenuhinya alasan-alasan sesuai Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
3. Praktek poligami di bawah tangan yang dilakukan oleh masyarakat
desa Wonosekar berdampak pada:
a. Pemenuhan nafkah yang seharusnya wajib diberikan oleh seorang
suami kepada istri beserta anak-anaknya tidak terpenuhi.
b. Status hukum dari anak yang dihasilkan dari praktek poligami ini
dinasabkan kepada ibunya (garis keturunan matrilineal)
c. Jika suami meninggal dunia, istri dan anak-anaknya tidak bisa
menuntut hak waris
d. Secara sosiologis istri dan anak dari hasil poligami bawah tangan
merasa rendah diri dan dalam pergaulan masyarakat.

IV. KESIMPULAN
Poligami adalah perkawinan yang melibatkan satu orang pria/suami
menikahi beberapa perempuan/istri. Dalam Islam jumlah istri dibatasi
maksimal empat orang.
Dasar hukum poligami dalam teradpat dalam Al Qur’an surah An Nisa
ayat 3 dan beberapa hadits Nabi SAW. Dalam hukum di Indonesia tercantum
dalam KHI Pasal 55-59 dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

13
Mengenai hukum fiqh tentang poligami jumhur ulama memperbolehkan,
namun ada pula yang mewajibkan dan melarang poligami.
Faktor-faktor seseorang melakukan poligami antara lain faktor biologis,
internal rumah tangga, dan faktor sosial.
Dalam kenyataannya, walaupun poligami memiliki manfaat yang banyak
tetapi dalam studi kasus menunjukkan terdapat akibat negatif dari poligami,
terutama dalam hal ekonomi dan psikologi anak.

V. PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun, semoga dengan ini kita semua
mendapatkan manfaat berupa pemahaman mengenai poligami. Dengan
makalah ini kami berharap agar masyarakat tidak memandang poligami
sebagai sesuatu yang tabu, tetapi ada manfaat yang bisa didapat dari poligami
dengan catatan syarat yang ketat bagi pelakunya.
Selanjutnya kritik dan saran yang membangun kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini dan agar tidak menimbulkan mudharat
dikemudian hari. Atas perhatian pembaca sekalian kami ucapkan terima
kasih.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Abu Azzam, 2007, Agar Suami Tak Berpoligami, Bandung: Cipta

Grafika.

Departemen Agama Republik Indonesia, 2013, Al-Qur’an dan Terjemahannya,

Jakarta: Pustaka Al Mubin.

Ghozali, Abdul Rahman, 2010, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana.

Husein, Abdurrahman, 2007, Hitam Putih Poligami, Jakarta: Lembaga Penerbit

FEUI.

Mulia, Musdah, 2003, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: Gramedia.

Purbasari, Indah, 2008, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Insa Media Utama.

Tihami dkk, 2010, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta:

Rajawali Pers.

15

Anda mungkin juga menyukai