Anda di halaman 1dari 7

A.

Latar Belakang
Secara etimologis, kata “paradigm” berasal dari bahasa Yunani “paradeigma” yang berarti pola
( pattern) atau contoh (example). Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan dan dipopulerkan
oleh Thomas Khun (1962) , dan Kuhn berpendapat bahwa paradigma adalah cara pandang untuk
mengetahui realitas sosial tertentu secara spesifik. Definisi tersebut dipertegas oleh Robert friedrichs
(1970). Sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yangmenjadi
pokok persoalan yang semestinya dipelajari . Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer
(1980) , dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu
tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari dalam salah satu cabang
disiplin ilmu pengetahuan .
Paradigma sangat diperlukan oleh peneliti dan ilmuwan bukan untuk sekedar mencari model
pemecahan masalah tetapi juga digunakan dalam menanggapi keilmuan . paradigma bukanlah teori ,
melainkan cara berpikir atau cara memandang , seperti yang dikemukakan oleh Gege (1986) bahwa
paradigma adalah cara berpikir atau jalan untuk mengembangkan pemikiran .
Dari pemikiran diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa “paradigma adalah pandangan atau
kerangka pemikiran sebagai dasar dalam menelaah dan atau mengkaji sesuatu permasalahan “ .
Dasarnya paradigma dapat dibagi tiga elemen yaitu epistemologi , ontologi , dan metodelogi .
epistiemologi mempertanyakan bagaimana cara kita mengetahui sesuatu , apa hubungan antara
peniliti dengan pengetahuan . ontologi berkaitan dengan pertanyaan dasar tentang hakikat realitas ,
metedologi memfokuskan bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan .
Dari definisi dan muatan paradigma , maka paradigma sebagai alat bantu untuk merumuskan hal
yang berkaitan dengan : 1. Apa yang harus dipelajari , 2 . persoalan apa yang harus dijawab , 3 .
bagaimana metode untuk menjawabkan , 4. Aturan apa yang harus diikuti dalam
menginterprestasikan informasi yang diperoleh.

1. Era Birokrasi Klasik


Tokoh utama birokrasi klasik antara lain adalah Taylor, Wilson, Weber, Gulick, dan Urwick.
Fokus empirisnya adalah organisasi, kelompok produksi, Instansi pemerintah, Biro dan kelompok
kerja. Ciri cirin : struktur, hirarki, pengendalian, otoritas, dikotomi kebijakan administrasi rantai
perintah, kesatuan perintah, rentangan pengendalian, pengangkatan atas kemampuan, dan
sentralisasi. Nilai nilai yang dimaksimumkan antara lain efesiensi, ekonomi, dan efektivitas.
Birokrasi klasik memiliki 2 komponen utama, yaitu struktur/kerangka suatu organisasi, dan car
acara yang digunakan untyk mengatur orang-orang dan pekerjaan dalam kerangka organisasi. Tipe
ideal Max Weber adalah titik mula yang umum untuk setiap pemahaman aspek aspek structural
birokrasi. Dalam pemerintahan nasional, hierarki dan birokrasi berkaitan erat dengan bagan-bagan
organisasi dan penempatan orang-orang kedalam bagan-bagan organisasi itu, Bersama dengan
pengembangan skala gaji, deskripsi pekerjaan, klasifikasi personalia, dan skala gaji.
Dalam aspek-aspek menejerial dan mikro, model birokrasiklasik bermula dengan manajemen
ilmiah dari Frederick Winslow Taylor dan dapat dilacak dari pengertian permulaannya tentang
pemahaman produktivitas lewat studi-studi gerak dan waktu sampai usaha-usaha sekarang ini dalam
mengukur produktivitas. Dalam model birokrasi klasik, struktur dan manajemen mempunyai
hubungan yang erat terlihat dalam literatur tentang reorganisasi.
Herbert Wilcox menyatakan bahwa control manajemen dan hirarki adalah bagian kebudayaan
barat dan khususnya Amerika. Masalah yang berkaitan dengan model birokrasi klasik bukanlah
pengembangan ilmu tentang kerangka organisasi ataupun ilmu tentang manajemen, melainkan
tentang menciptakan rancangan-rancangan yang ccocok dengan sasaran organisasi yang sesuai
dengan kebutuhan-kebutuhan para pekerja dan diinginkan masyarakat.
Nilai-nilai yang dinyatakan para ahli dalam birokrasi klasik adalah menyelenggarakan suatu
fungsi public sepenuh mungkin untuk sejumlah uang yang tersedia (suatu defenisi keras dari
efesiensi), dan menyelenggarakan program-program public untuk sejumlah uang yang sedikit
mungkin (suatu definisi keras dari ekonomi) atau sama dengan pengertiannya dengan administrasi
negara yang efektif. Bahwasannya suatu organisasi harus seproduktif mungkin yaitu menyediakan
kuantitas dan kualitas pelayanan yang menyamai kebutuhan-kebutuhan yang terungkap dalam dari
suatu persekutuan hidup dan merupakan nilai dasar dalam administrasi negara.
Dengan demikian, masalahnya bukanlah berhubungan dengan nilai-nilai yang digunakan untuk
memaksimumkan dalam model birokrasi klasik. Tetapi terletak pada cara yang dipandang bisa
digunakan untuk mencapai efesiensi, ekonmi dan produktivitas. Hirarki, pengendalian manajerial,
otoritas dan sentralisasi.

2. Era Human Relations


Walaupun eksistensi hubungan antar manusia telah ada sejak manusia telah mampu bekerja sama
dengan orang lain, tetapi seni atau ilmu yang coba menjelaskan hubungan antar manusia dalam
situasi dan organisasi kerja dapat dikatakan masih baru, pada permulaan, manusia bekerja sendiri
atau dalam kelompok yang sangat kecil, dan sifat hubungan kerja mereka relatif sederhana dan
langsung. Pada saat itu mereka bekerja dalam kondisi angan-angan kebahagiaan dan kepuasan
(outopia of happiness and fulfilment), walaupun dalam kenyataannya mereka bekerja di bawah
kondisi yang sangat brutal dan menyedihkan, dimana terdapat jam-jam kerja yang panjang,
lingkungan kerja penuh bahaya, penyakit dan lain-lain.
Teori ‘Human Relations” ini, tidak sekedar untuk memperhatikan manusia, tetapi membuat
sekelompok manusia untuk bergairah, menyadari akan tujuan kelompoknya, menampakan kerja
sama yang didasari atas unsur-unsur antara lainnya sebagai berikut :
a. Komunikasi yang efektif.
b. Rasa tanggung jawab yang tinggi
c. Menyadari adanya kepemimpinan dalam anggota kelompok itu, baik secara formal maupun
informal.
d. Menyadari adanya peranan dan tanggung jawab sebagai anggota.
e. Adanya pertumbuhan norma-norma kelompok yang dapat mempengaruhi pola perilaku
anggotanya
f. Adanya suatu pengambilan keputusan yang didasarkan pada konsensus kelompok.
Apabila unsur-unsur tersebut diatas dapat diperoleh semuanya, maka tercapailah kerja sama yang
efektif yang menjadi tujuan relations.

1. Pengertian Human Relations


Sebagai mahluk sosial manusia menyadari bahwa ia tidak dapat memisahkan diri dari kehidupan
masyarakat, ia membutuhkan pertolongan orang lain, bahkan dengan mengadakan interaksi sosial,
pengetahuan dan pengalaman ia akan bertambah. Oleh karena itu hubungan sosial dengan sesama
manusia, baik secara perseorangan maupun secara kelompok, secara harmonis dan efektif sangat
diperlukan, lebih-lebih sebagai seorang administrator atau manajer yang bertanggung jawab atas
tercapainya tujuan organisasi, harus mampu bergaul dan memiliki kemampuan serta keterampilan
dalam membina bawahannya.
Di negara-negara yang sudah maju, hubungan antar manusia atau “human relations” semakin
mendapat perhatian para pemimpin dalam jenis jenjang organisasi apapun. Oleh karenanya,
hubungan antar manusia semakin dirasakan penting kehadirannya dalam rangka memecahkan
berbagai masalah yang menyangkut faktor manusia.
Lebih jauh lagi, Fred J. Carvel merumuskan arti hubungan antar manusia sebagai berikut :
“Human relations is the integrations of people into a work situation thats motivaties them to work
together productively, and with economic, psychological and social statificatons”. Artinya :
hubungan antar manusia adalah perpaduan dari pada orangorang ke dalam suatu kerja yang
mendorong mereka untuk bekerja sama secara produktif, sehingga tercapainya kepuasan baik dilihat
dari segi ekonomi, kejiwaan maupun sosial.
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, dalam Filsafat Administrsi memberikan rumusan mengenai human
relations sebagai berikut : Human relations adalah keseluruhan rangkaian hubungan, baik yang
bersifat formal maupun informal antara atasan dengan bawahan, atasan dengan atasan serta bawahan
dengan bawahan lain yang harus dibina dan dipelihara sedemikian rupa sehingga tercipta suatu
teamwork, dan suasana kerja yang intim dan harmonis dalam rangka pencapaian tujuan yang telah
ditentukan. (1981 : 7).
Sedangkan Robert Dubin dalam buku Human Relations in Administrations mengemukakan
Human Relations sebagai berikut : Human realtionship are interactions among people. These
interactions have a systematic qualities, obeying rulers by which they are guided. Within limits, each
individual administrator has personal choices he can make regrading the style and manner of his own
administrative relationships whit fellow members of management and with sub ordinates. (Hubungan
manusiawi ialah interaksi di antara orang-orang. Interaksi ini memiliki satu kualits yang sistematis,
kepatuhan pada peraturan yang telah mereka tentukan. Di dalam batas-batas itu, setiap individu
administrator ia dapat menentukan gaya dan cara hubungan administratifnya sendiri dengan teman-
teman anggota manajeman dengan bawahannya.) (1977 : 29).
Peninjauan pengartian human relations dari sisi lain dapat disimak dari pendapat Keith Davis
dalam bukunya Human Relations at work. Ia mengatakan bahwa human relations adalah seni dan
ilmu terapan (applied science). Dibanding dari sudut pemimpin yang bertanggung jawab untuk
memimpin sebuah kelompok,” human relations (huungan insani) adalah pengintegrasian orang-orang
ke dalam suatu situasi kerja yang menggiatkan mereka untuk bekerja sama dengan perasaan puas,
yang meliputi kekuasaan ekonomis, psikologis dan kepuasan sosial”. (Onong Uchyana Effendy,
1988:16).

2. Maksud dan Tujuan Human Relations


Drs. Suriakusumah Dipl. P.A dalam buku Peranan Human dan Publik Relations dalam
Organisasi menyebutkan maksud dan tujuan Human Relations adalah:
a. Untuk meningkatkan gairah kerja di dalam suatu organisasi.
b. Untuk meningkatkan hubungan kerja serta kerja sama yang baik antara atasan dan bawahan
maupun sebaliknya, serta kerja sama di antara teman sekerja.
c. Untuk dapat mengurangi akan aspek-aspek negatif dari timbulnya konflik maupun frustasi.
d. Untuk mengetahui seawal mungkin masalah nyang terjadi di dalam oraganisasi.
e. Untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor psikologis, manajemen, sosiologi maupun
komunikasi serta ekologi mempengaruhi hubungan kerja di dalam suatu organisasi.
f. Agar pegawai dapat berprestasi lebih tinggi dan lebih produktif dalam rangka memenuhi
kebutuhan tuntutan intansinya.
g. Berhasil atau tidaknya human relations, tergantung pada faktor-faktor antara lain:
1) Pendidikan yang dimilikinya.
2) Latar belakang kehidupannya di waktu anak-anak.
3) Kehidupan lingkungannya.
4) Kondisi psikologisnya.
5) Pengalaman seseorang di dalam suatu organisasi tempat ia pernah bekerja.

B. Era New Public Management

Konsep New Public Management (NPM) yang telah diimplementasikan di berbagai negara maju,
terutama di Eropa dan Amerika, memberi dampak yang luas terhadap tata kelola pemerintahan di
berbagai negara. Hal ini menjadi salah satu faktor pendorong dilakukannya transformasi manajemen
pemerintahan di Indonesia, yang mencakup penataan kelembagaan, reformasi kepegawaian, , dan
pengelolaan keuangan negara (Mahmudi, 2003). Dalam konsep ini, pemerintah diarahkan untuk
meninggalkan paradigma lama seperti administrasi tradisional yang cenderung mengedepankan
sistem dan prosedur, birokratis, pemberian layanan yang tidak efektif dan efisien, agar digantikan
dengan paradigma baru yang lebih berorientasi pada kinerja dan hasil. Pemerintah dianjurkan untuk
melepaskan diri dari birokrasi klasik, dengan mendorong organisasi dan pegawai agar lebih fleksibel,
dan menetapkan tujuan, serta target organisasi secara lebih jelas sehingga memungkinkan
pengukuran hasil. Pemerintah dianjurkan untuk melepaskan diri dari birokrasi klasik, dengan
mendorong organisasi dan pegawai agar lebih fleksibel, dan menetapkan tujuan, serta target
organisasi secara lebih jelas sehingga memungkinkan pengukuran hasil. Melalui reformasi ini
pemerintah diharapkan menerapkan praktek manajemen strategis melalui sistem anggaran berbasis
kinerja dan akuntansi berbasis akrual secara double entry. (Meidyawati, 2011).
Karakteristik dari NPM yang banyak diterapkan oleh berbagai negara meliputi penanganan oleh
manajemen yang profesional, keberadaan standar dan ukuran kinerja, penekanan pada pengawasan
keluaran dan manajemen wirausaha, pemecahan unit-unit kerja disektor publik, kompetisi dalam
pelayanan publik, penekanan gaya sektor privat dalam praktek manajemen, penekanan yang lebih
besar pada disiplin dan penghematan dalam penggunaan sumber daya, penekanan terhadap peran
dari manajer publik dalam menyediakan pelayanan yang berkualitas tinggi, tuntutan pengukuran dan
penghargaan terhadap kinerja individu dan organisasi, serta penyediaan sumber daya manusia dan
teknologi yang dibutuhkan manajer dalam memenuhi target kinerja (Kurniawan, 2007).
Indonesia telah mengadopsi pemikiran NPM dengan melakukan reformasi keuangan negara yang
mulai bergulir sejak akhir tahun 2003, dengan dikeluarkannya tiga paket peraturan keuangan negara
yang baru, yaitu UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No.1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No.15 Tahun 2005 tentang Pemeriksaan Keuangan
Negara. Dengan ketiga paket peraturan keuangan negara tersebut telah merubah mindset atau pola
pikir yang lebih efisien, profesionalitas, akuntabel, dan transparan, dengan melakukan perubahan
dari penganggaran tradisional menjadi penganggaran berbasis kinerja, yang membuka koridor bagi
penerapan basis kinerja di lingkungan pemerintah. Dengan basis kinerja ini, arah penggunaan dana
pemerintah menjadi lebih jelas dari hanya membiayai input dan proses menjadi berorientasi pada
output. Perubahan ini sangat berarti mengingat kebutuhan dana yang semakin tinggi, sedangkan
sumber daya yang dimiliki pemerintah terbatas (Ahmad Hag, 2009).
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 (Pasal 1 Butir 23) tentang Perbendaharaan Negara
mendefinisikan Badan Layanan Umum sebagai instansi di lingkungan pemerintah dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang/jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melaksanakan kegiatannya didasarkan pada prinsip
efisiensi dan produktivitas. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, instansi pemerintah yang tugas
pokok dan fungsinya memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan
keuangan yang fleksibel, berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat
dalam rangka memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat dengan tetap menonjolkan
produktivitas, efisiensi, dan efektivitas melalui Badan Layanan Umum (BLU).
Pembentukan Badan Layanan Umum oleh pemerintah intinya ditujukan untuk fleksibilitas
pengelolaan keuangan pada peningkatan pelayanan publik, terutama dengan kondisi
penyelenggaraan pelayanan publik yang saat ini masih dihadapkan pada banyaknya keluhan
pengaduan dari masyarakat terkait dengan birokrasi yang berbelit-belit, tidak adanya kepastian tarif
resmi yang harus dibayarkan, persyaratan yang tidak transparan dan petugas yang tidak profesional,
yang berdampak pada citra tidak baik terhadap pemerintah. Penyelenggaraan pelayanan publik
merupakan upaya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar dari hak-hak setiap warga negara atas
barang, jasa dan pelayanan administrasi yang disediakan penyelenggara layanan publik (Marsono,
2009).
Daftar Pustaka
https://jurnal.uai.ac.id/index.php/SPS/article/viewFile/34/32 diakses tanggal 13 November 2021
http://scholar.unand.ac.id/20552/2/2.%20BAB%20I%20PENDAHULUAN.pdf diakses tanggal 14
November 2021
http://nuridafebriany.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_18.html diakses
tanggal 14 November 2021

Anda mungkin juga menyukai