Celaan fisik atau body shaming adalah tindakan mencemooh atau mengejek penampilan fisik seseorang. Cakupan celaan fisik sangat luas dan dapat mencakup celaan gemuk, celaan kurus, celaan tinggi badan, celaan rambut, warna rambut, bentuk tubuh, otot seseorang, atau kekurangannya, celaan penampilan (ciri wajah), dan dalam arti yang paling luas dapat mencakup celaan tato dan tindik atau penyakit yang meninggalkan bekas fisik seperti psoriasis. Body shaming terkadang dapat meluas ke persepsi bahwa seseorang tidak cukup menunjukkan kemaskulinan atau kefemininan. Misalnya, pria dengan pinggul lebar, dada yang menonjol, atau kekurangan bulu wajah terkadang dicela karena terlihat feminin. Demikian pula, wanita yang tubuhnya dicela karena kurangnya kefemininan karena tampak memiliki tonjolan pria, atau memiliki bahu yang lebar yang biasanya dikaitkan dengan pria. Tingkat celaan fisik yang berlebihan dapat memiliki efek emosional negatif, termasuk penurunan harga diri dan masalah lain seperti gangguan makan, kecemasan, dismorfia tubuh, dan depresi. Selain itu, celaan fisik dapat menyebabkan depresi yang serius, terutama ketika orang merasa tubuhnya tidak dapat memenuhi kriteria sosial. Di masa pandemi Covid-19 masyarakat mulai mengurangi kegiatan di luar rumah, dan lebih banyak menghabiskan waktu secara online, sehingga dapat dikatakan meningkatnya penggunaan media sosial. Media sosial adalah media digital sebagai tempat terjadinya realitas sosial pada ruang waktu tak terbatas bagi para penggunanya untuk saling berinteraksi. Media sosial seperti Instagram yang fiturnya dapat mengunggah foto/video apapun serta terdapat fitur suka dan komentar, yang dapat diakses oleh siapa saja.Tentunya pula, media sosial dijadikan ajang untung mengunggah foto/video diri sendiri yang dianggap layak untuk dilihat khalayak umum, namun terkadang hal ini dijadikan ajang untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Fitur tersebut juga memungkinkan seseorang baik yang dikenal maupun tidak, dapat berkomentar apapun di laman media sosial orang lain. Tidak sedikit pula, komentar tersebut mengandung cemoohan/hujatan pada fisik seseorang dengan kata-kata yang buruk atau yang disebut body shaming. Mirisnya, seringkali komentar-komentar tersebut dianggap wajar dan gurauan. Bahkan ketika korban mencoba untuk membela dirinya, ia justru mendapat label baper atau bawa perasaan. Tak jarang orang-orang melakukan body shaming tanpa tahu akibatnya,sehingga dengan mudah mengomentari fisik orang lain. Kebebasan berpendapat memang hak setiap orang, namun mengkritik fisik orang lain di media sosial yang notabenenya dapat dilihat oleh banyak orang tidak semestinya dilakukan dan korban pun akan merasakan gangguan fisik dan mental yang lebih berat. Salah satu penyebab maraknya perilaku body shaming menurut Dr. Devie Rahmawati yaitu kurangnya edukasi mengenai perilaku body shaming (Jawa Pos, 2018) sehingga, orang-orang tersebut tidak tahu dampak yang akan dipikul oleh korban karena tidak merasakannya secara langsung. Selain itu, di Indonesia sendiri terlah terdapat hukum yang mengatur Tindakan body shaming, yaitu UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) Pasal 45 ayat 1 dan Pasal 27 ayat 3, dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara (Media Indonesia 2018). Namun belum ada ketegasan dalam penegakan hukumnya, sehingga banyak orang menganggap bahwa perilaku body shaming yang mereka lakukan tidak akan membuat mereka dihukum. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan permasalahan mengenai body shaming mengingat dampaknya yang berbahaya bagi korban. Masyarakat di harapkan untuk lebih bijak dalam berkomentar mengenai fisik dan menghilangkan pandangan akan standar tubuh yang ideal karena setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Setiap individu memiliki caranya masing-masing untuk terlihat lebih menarik bukan hanya dari fisik melainkan hal lain seperti prestasi dan lainnya.