Alternatif 2

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Celaan fisik atau body shaming adalah tindakan mencemooh atau mengejek
penampilan fisik seseorang. Cakupan celaan fisik sangat luas dan dapat mencakup
celaan gemuk, celaan kurus, celaan tinggi badan, celaan rambut, warna rambut,
bentuk tubuh, otot seseorang, atau kekurangannya, celaan penampilan (ciri
wajah), dan dalam arti yang paling luas dapat mencakup celaan tato dan tindik
atau penyakit yang meninggalkan bekas fisik seperti psoriasis.
Body shaming terkadang dapat meluas ke persepsi bahwa seseorang tidak
cukup menunjukkan kemaskulinan atau kefemininan. Misalnya, pria dengan
pinggul lebar, dada yang menonjol, atau kekurangan bulu wajah terkadang dicela
karena terlihat feminin. Demikian pula, wanita yang tubuhnya dicela karena
kurangnya kefemininan karena tampak memiliki tonjolan pria, atau memiliki bahu
yang lebar yang biasanya dikaitkan dengan pria.
Tingkat celaan fisik yang berlebihan dapat memiliki efek emosional negatif,
termasuk penurunan harga diri dan masalah lain seperti gangguan makan,
kecemasan, dismorfia tubuh, dan depresi. Selain itu, celaan fisik dapat
menyebabkan depresi yang serius, terutama ketika orang merasa tubuhnya tidak
dapat memenuhi kriteria sosial.
Di masa pandemi Covid-19 masyarakat mulai mengurangi kegiatan di luar
rumah, dan lebih banyak menghabiskan waktu secara online, sehingga dapat
dikatakan meningkatnya penggunaan media sosial. Media sosial adalah media
digital sebagai tempat terjadinya realitas sosial pada ruang waktu tak terbatas bagi
para penggunanya untuk saling berinteraksi.
Media sosial seperti Instagram yang fiturnya dapat mengunggah foto/video
apapun serta terdapat fitur suka dan komentar, yang dapat diakses oleh siapa
saja.Tentunya pula, media sosial dijadikan ajang untung mengunggah foto/video
diri sendiri yang dianggap layak untuk dilihat khalayak umum, namun terkadang
hal ini dijadikan ajang untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Fitur
tersebut juga memungkinkan seseorang baik yang dikenal maupun tidak, dapat
berkomentar apapun di laman media sosial orang lain. Tidak sedikit pula,
komentar tersebut mengandung cemoohan/hujatan pada fisik seseorang dengan
kata-kata yang buruk atau yang disebut body shaming. Mirisnya, seringkali
komentar-komentar tersebut dianggap wajar dan gurauan. Bahkan ketika korban
mencoba untuk membela dirinya, ia justru mendapat label baper atau bawa
perasaan. Tak jarang orang-orang melakukan body shaming tanpa tahu
akibatnya,sehingga dengan mudah mengomentari fisik orang lain.
Kebebasan berpendapat memang hak setiap orang, namun mengkritik fisik
orang lain di media sosial yang notabenenya dapat dilihat oleh banyak orang tidak
semestinya dilakukan dan korban pun akan merasakan gangguan fisik dan mental
yang lebih berat.
Salah satu penyebab maraknya perilaku body shaming menurut Dr. Devie
Rahmawati yaitu kurangnya edukasi mengenai perilaku body shaming (Jawa Pos,
2018) sehingga, orang-orang tersebut tidak tahu dampak yang akan dipikul oleh
korban karena tidak merasakannya secara langsung. Selain itu, di Indonesia
sendiri terlah terdapat hukum yang mengatur Tindakan body shaming, yaitu UU
ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) Pasal 45 ayat 1 dan
Pasal 27 ayat 3, dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara (Media Indonesia
2018). Namun belum ada ketegasan dalam penegakan hukumnya, sehingga
banyak orang menganggap bahwa perilaku body shaming yang mereka lakukan
tidak akan membuat mereka dihukum.
Oleh karena itu, untuk menyelesaikan permasalahan mengenai body shaming
mengingat dampaknya yang berbahaya bagi korban. Masyarakat di harapkan
untuk lebih bijak dalam berkomentar mengenai fisik dan menghilangkan
pandangan akan standar tubuh yang ideal karena setiap orang memiliki kelebihan
dan kekurangan. Setiap individu memiliki caranya masing-masing untuk terlihat
lebih menarik bukan hanya dari fisik melainkan hal lain seperti prestasi dan
lainnya.

Anda mungkin juga menyukai