1.Pendahuluan
Teh hitam banyak dikonsumsi di seluruh dunia dan dikenal karena kesegaran, dan
memiliki rasa yang unik serta memiliki manfaat yang baik bagi kesehatan. Katekin
adalah senyawa biokimia utama yang ada dalam daun teh, senyawa ini akan muncul saat
proses fermentasi daun teh. Fermentasi adalah tahap kritis dalam pembuatan teh hitam
di mana katekin dioksidasi menjadi theaflavin (TF) dan thearubigins (TR) oleh aksi
enzim polifenol oksidase (PPO) dan peroksidase (POD). TF bertanggung jawab atas
astringency, kecerahan, warna, dan kesegaran teh hitam, TF ditemukan memiliki
koefisien korelasi yang baik dengan kualitas rasa dan kualitas teh hitam (Uwor, 1986).
Sedangkan TR berkontribusi pada rasa di mulut (ketebalan) dan warna teh. Waktu,
suhu, pH dan ketersediaan oksigen menjadi faktor yang penting pada saat
memfermentasi daun teh untuk menghasilkan theaflavin (TF) yang tinggi (Uwor, 1998).
Selain itu, standar pemetikan daun teh juga mempengaruhi kualitas teh hitam. Menurut
Uwor (1987), senyawa TF, warna, dan evaluasi sensorik menurun dengan standar
pemetikan kasar di klon 6/8.
Di Cina, tahun 2011 terdapat sekitar 14 juta ton minuman teh yang telah di
produksi per tahun dan lebih dari 40% nya terdiri dari teh hitam (Chen, 2013). Pola
konsumsi yang tinggi ini membuat produsen teh hitam mencari cara dengan teknik
pengembangan produksi bubuk teh hitam instan dari daun segar. Hal ini dilakukan
karena konsumsi energi lebih rendah dan proses nya yang lebih terkendali serta dapat
menghasilkan kualitas produk yang lebih baik daripada pembuatan teh hitam dengan
metode tradisional. Namun, metode ini masih perlu ditingkatkan untuk produksi
minuman teh hitam. Penelitian ini menyelidiki pengaruh kondisi fermentasi (suhu
fermentasi, waktu, dan pH) dan standar pemetikan daun teh pada bahan kimia
komponen dan kualitas sensorik jus fermentasi.
2. Bahan-bahan dan metode-metode
2.1. Bahan
Bahan yang digunakan berupa daun teh segar yang terdiri dari:a) peko+1, b)
peko+2, c) peko+3 dan d) peko+4 Camellia sinensis ( L.) O. Kuntze cv. Yingshuang)
yang dipanen pada Juni 2012 dari kebun teh Institut Penelitian Teh dari Akademi Ilmu
Pertanian Tiongkok. Sampel tersebut kemudian diuji pengaruh suhu, waktu, dan pH
fermentasi terhadap komponen kimia dan kualitas sensorik jus fermentasi.
2.2 Metode
Pelayuan 14 jam
Fermentasi
Pengujian
Sebanyak 6 kg sampel daun teh segar dilayukan kedalam bak pelayuan yang
dilewatkan udara diam selama 14 jam hinga daun layu mencapai 600 gram dan kadar air
62% (b/b). daun teh yang telah layu ditambahkan aquades 6 liter dan dihancurkan
dengan crusher selama 4 menit, jus selanjutnya di fermentasi dengan fermentor (Model
Labfors-13L, Infors AG, Swiss) pada suhu tertentu (25, 30, 35, dan 40 ° C) dan pH (4,3,
4,7, 5.1, dan 5.5) selama 180 menit. pH sistem fermentasi diatur dengan larutan asam
klorida. Selama fermentasi, gas oksigen dimasukkan ke dalam sistem fermentasi dengan
kecepatan 1,0m 3 · H - 1. Produk fermentasi diambil sampelnya setelah interval waktu
tertentu dari 0 hingga 180 menit, dan inaktivasi enzim oksidatif dengan pemanasan
hingga kira-kira 90 menit. ° C dengan aplikator microwave (M1-L213B, Midea Group,
Guangzhou), Selanjutnya, sampel disentrifugasi kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit
untuk memisahkan koloid dan partikel padat tersuspensi lainnya yang menyebabkan
kekeruhan. Langkah terakhir yaitu analisis dan pengujian. Pengujian yang dilakukan
meliputi analisis komponen kimia jus fermentasi dengan HPLC, Spektrofotometri,
aktifitas PPO dan POD, analisis sensorik yang dilakukan oleh panelis terlatih serta
analisis statistik dengan metode ANOVA dan SSPS.
Gambar 1(c). Pengaruh waktu dan suhu fermentasi terhadap konsentrasi Katekin
Gambar diagram diatas 2(a) menunjukkan bahwa sampel peko+3 dan peko+4
mengandung Theaflavin lebih tinggi (59,2% dan 61,1%, resp.), dibandingkan dengan
sampel daun tunggal dan peko+2. Sementara Tabel 2(b) menunjukkan konsentrasi
katekin dalam daun teh segar dengan standar pemetikan yang berbeda. Pada jus
fermentasi dari ke empat sampel daun teh, kandungan Epigalokatekin galat (EGCG) dan
Epikatekin galat (EKG) menurun, sedangkan kandungan Epigalokatein (EGC)
meningkat. Kandungan Epigalokatekin dan Epikatekin yang tinggi dalam peko+3 dan
peko+4 kemungkinan bertanggung jawab atas kandungan Theaflavin yang tinggi dalam
jus yang difermentasi karena Theaflavin terbentuk dari Epikatekin dan Epigalokatekin.
Selama fermentasi, katekin dioksidasi oleh PPO dan POD membentuk Theaflavin dan
Thearubigin (Someswararao, 2012). Kandungan Theaflavin yang berbeda dalam jus
fermentasi adalah hasil dari aktivitas enzim (PPO dan POD) dan konsenrasi katekin.
Berdasarkan data pada Gambar 3, terlihat bahwa aktivitas PPO dan POD daun teh segar
berangsur-angsur menurun dari sampel daun tunggal hingga peko+4, meskipun tidak
ada perbedaan yang signifikan antara sampel peko+3 dan peko+4. aktivitas POD yang
lebih rendah pada daun teh segar yang lebih tua dari sampel peko+3 dan peko+4
membatasi oksidasi Theaflavin dan mempertahankan konsentrasi Theaflavin yang lebih
tinggi dalam jus yang difermentasi. Namun, jumlah Theaflavin dalam jus teh fermentasi
tidak secara signifikan dipengaruhi oleh aktivitas PPO. Akibatnya, jus yang
difermentasi peko+3 dan peko+4 menghasilkan kandungan Theaflavin yang lebih tinggi
4. Kesimpulan
Berdasarkan data pengamatan dapat disimpulkan bahwa dari analisis komponen
kimia dan penerimaan jus fermentasi secara keseluruhan, parameter optimum untuk
proses fermentasi adalah suhu 35 ° C, selama waktu 75 menit, dan pH 5,1. Daun teh
peko+3 dan peko+4 menghasilkan karakterisitik yang lebih baik untuk produksi jus
fermentasi daripada peko+1 dan peko+2. Hasil ini memberikan informasi praktis untuk
pengolahan jus teh fermentasi, yang digunakan untuk produksi minuman teh hitam
dengan memfermentasi daun teh segar. Pengolah teh dapat memproses jus fermentasi
dengan Theaflavin yang lebih tinggi dan kualitas sensorik yang lebih baik daripada teh
hitam yang diproses dengan metode konvensional.
DAFTAR PUSTAKA
Owuor, P. O. and M. Obanda.1998. Influence of enriched oxygen atmosphere during
fermentation on plain clonal black tea quality parameters development,”
Tropical Science, vol. 38, pp. 165–170
Owuor, P. O. And M. A. Obanda, C. O. Othieno, H. Horita, T. Tsushida, and T. Murai.
1987. Changes in chemical composition and quality of black tea due to
plucking standards. Agricultural and Biological Chemistry, vol. 51, no. 12, pp.
3383-3384
Chen, Z. M. 2013. Advance in comprehensive utilization of tea resource,” in
Proceeding of 2012 International (Hangzhou) Symposium on Comprehensive
Utilization of Tea Resource, pp. 1–5, Zhejiang University Press, Hangzhou,
China
Robertson, A.1983. Effects of physical and chemical conditions on the in vitro
oxidation of tea leaf catechins,” Phytochemistry, vol. 22, no. 4, pp. 897–903
Wherkoven, J. 1974. Tea Processing. FAO Agricultural Bulletin No. 26, FAO and 6e
United Nations, Rome, Italy
Robertson, A.1992. The chemistry and biochemistry of black tea production, the non-
volatiles,” in Tea: Cultivation to Consumption, K. C. Wilson and M. N.
Clifford, Eds., Chapman and Hall, London, UK
Sinija, V. R. And H. N. Mishra, and S. Bal. 2007. Process technology for production of
soluble tea powder,” Journal of Food Engineering, vol. 82, no. 3, pp. 276–283
Someswararao, C and P. P. Srivastav. 2012. A novel technology for production of
instant tea powder from the existing black tea manufacturing process,”
Innovative Food Science and Emerging Technologies, vol. 16, no. 39, pp. 143–
147