Anda di halaman 1dari 14

TUGAS KELOMPOK 1

ANALISIS WACANA
“Menganalisis Masalah-Masalah dalam Tulisan Anak SD”

DISUSUN OLEH :

Fitri Eka Susanti 19129222


Fitrina Yuniska 19129224
Herly Pratiwi Syafri 19129230
Indah Kurniawati 19129234
Kurnia Nur Hidayah 19129030
Mutiara Zenitha Asra 19129265
Vivi Oktovia 19129300

DOSEN PENGAMPU:
Dra. Elfia Sukma, M.Pd

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
1. PERMASALAHAN DALAM MENULIS ATAU MEMBUAT WACANA

Karakteristik peserta didik berbeda beda. Peserta didik memiliki


kompetensi, kecerdasarn yang berbeda-beda. Sebagian siswa memiliki kecerdasan
di atas rata-rata, sebagian di bawah rata-rata. Hal ini memperngaruhi
prestasi dan hasil belajar siswa. Begitupula dengan kesulitan belajar
pada masing-masing peserta didik berbeda-beda. (Masroza, 2013)
menjelaskan bahwa kesulitan belajar merupakan gangguan pada peserta
didik yang disebabkan factor disfungsi neurologis, proses psikologis,
maupun factor lainnya yang menyebabkan hasil belajar rendah.

Menulis merupakan menuangkan isi pikiran dalam bentuk tulis


atau visual. Menulis merupakan sebuah keterampilan yang dapat dilatih dan
dibina (Rofi’i & Effendy, 2019)Menulis biasanya diajarkan oleh guru dari
tingkat Sekolah Dasar. Guru akan menemukan masalah di lapangan,
salah satunya kesulitan siswa dalam hal menulis. Menulis
merupakan aktivitas psikologis yang melibatkan fisik dan
psikis yang berhubungan dengan bahasa tulis. Oleh karena itu
perkembangan menulis tidak terpisahkan dari perkembangan bahasa tulis
(Kuntarto, 2017)

Kesulitan menulis disebut juga dengan disgrafia. Hal ini selaras dengan
pendapat (Suhartono, 2016) mengatakan disgrafia adalah anak yang mengalami
kesulitan dalam belajar terutama dalam aktivitas menulis. Selanjutnya (Dinata et
al., 2015) mengatakan bahwa anak disgrafia merupakan anak yang mengalami
gangguan menulis.

Hasil wawancara tersebut sesuai dengan teori mengenai


ciri-ciri disgrafia menurut (Gunadi, 2011) menyebutkan beberapa
ciri-ciri siswa yang mengalami disgrafia, yaitu :

a. Tidak konsisten dalam menulis huruf


b. Dalam menulis menggunakan huruf besar dan kecil secara bercampur
c. Menulis dengan ukuran huruf yang tidak seimbang
d. Tampak berusaha keras saat mengomunikasikan tulisan
e. Susah memegang pena ataupun pensil.
Menulis merupakan suatu proses. Artinya, tidak ada seseorang pun belajar
menulis dengan hasil optimal seketika. Di dalam prosesnya ini, seorang penulis
pemula akan menghadapi berbagai masalah yang dapat dikategorikan sebagai
kendala, baik yang bersifat internal maupun eksternal.

Kendala proses kepenulisan adalah kendala yang dialami penulis dalam setiap
tahap menulis. Kendala itu mungkin terjadi pada satu tahap atau lebih, dari tahap
pramenulis, menulis draft, merevisi, menyunting, hingga mempublikasi.
Pramenulis adalah tahapan persiapan, yakni tahap menyiapkan materi penulisan
yang akan dituliskan, seperti memilih topik, mempertimbangkan tujuan, bentuk,
dan pembaca serta memperoleh dan menyusun ide-ide (lihat Tomkins &
Hoskisson, 1995). Tahap menulis draft adalah tahap menulis ide-ide mereka ke
dalam bentuk tulisan yang kasar sebelum dituliskan dalam bentuk tulisan yang
sudah jadi. Tahapan penulisan draft ini memungkinkan para siswa meninjau lagi
tulisan mereka sebelum dikembangkan lebih lanjut lagi. Dengan demikian, ide-ide
yang dituliskan pada draft itu sifatnya tentatif dan masih mungkin diubah atau
dilakukan perubahan terhadapnya. Tahap merevisi adalah tahap memperbaiki
ulang atau menambahkan ide-ide baru terhadap karya. Tambahan dapat berupa
materi, teknik penceritaan, ataupun pengubahan diksi. Sharing dengan
pembimbing bagi penulis pemula sangat membantu memperbaiki dan
memperkaya hasil karya. Unsur intrinsik karya mungkin akan mengalami
perubahan. Tahap penyuntingan adalah tahap meninjau aspek mekanik karangan.
Tujuannya adalah agar karangan lebih mudah terbaca. Tahap publikasi dapat
dilakukan dengan mempublikasikan hasil tulisan siswa dalam lingkup sekolah,
seperti bulletin atau majalah dinding sekolah, atau di luar lingkup sekolah, seperti
media massa. Publikasi ini sangat penting karena tahapan ini merupakan bentuk
apresiasi terhadap karya.

2. ANALISIS KESALAHAN TULISAN ANAK SD


A. Kesalahan Penggunaan Kata Keterangan dan partikel

Kesalahan ini muncul karena ketidaktepatan dan ketidaktahuan siswa


mengenai fungsi kata keterangan dan partikel. Hal ini menyebabkan terbentuknya
kalimat yang tidak benar strukturnya. Misalnya pada kalimat berikut.

1) Pada suatu tempat ada sebuah hutan

2) Warga akan meroboh kan hutan itu


Kalimat-kalimat ini salah karena tidak sesuai dengan fungsi dan tempatnya.
Kata pada sebaiknya diganti dengan di. Dan partikel kan seharusnya digabungkan
dengan kata meroboh. Jika disusun kembali menjadi:

1) Di suatu tempat ada sebuah hutan

2) Warga akan merobohkan hutan itu

B. Kesalahan penggunaan kata depan

Kesalahan ini muncul karena ketidaktepatan dan ketidaktahuan siswa


mengenai fungsi dan cara penulisan kata depan. Penulisan kata depan yang salah
menunjukkan bahwa siswa belum bisa membedakan antara fungsi kata depan
dengan imbuhan. Misalnya pada kalimat berikut.

1) Diperkalongan sekarang menjadi terang

2) Rumah warga didalam banyak kemasukan air

Penggunaan kata di menandakan fungsi sebagai pengacuan terhadap tempat


atau waktu. Fungsi yang tumpang tindih antara di sebagai kata depan dan imbuhan
menunjukkan bahwa siswa belum mampu membedakan antara kata depan dengan
imbuhan. Jika disusun kembali menjadi:

1) Di Perkalongan sekarang menjadi terang

2) Di dalam rumah warga banyak kemasukan air

C. Kesalahan Struktur Frasa, Klausa, Kalimat

Kesalahan ini muncul karena ketidaktepatan dan ketidaktahuan siswa


mengenai fungsi struktur frasa, klausa, kalimat. Misalnya pada kalimat berikut.

1) Karena warga tidak suka hutan itu warga mempunyai rencana

2) Di perkalongan oksigen menjadi kotor

3) Hutan itu menjadi gundul dan roboh

4) Warga sangat nyenyak berada disana


Jika disusun kembali menjadi:

1) Karena warga tidak suka dengan keberadaan hutan itu, warga mempunyai
rencana

2) Sekarang di Perkalongan udara menjadi kotor

3) Hutan tersebut menjadi gundul karena banyak pohon yang roboh

4) Warga sangat nyaman berada disana

D. Kesalahan Penggunaan Kata Tugas dan Kata Sambung

1) Dan sekarang hutan itu menjadi gundul

2) Rumah warga didalam banyak kemasukan air

Penggunaan kata “itu” dan “di dalam” menyebabkan kalimat tersebut menjadi
boros. Jika disusun kembali menjadi:

1) Dan sekarang hutan menjadi gundul

2) Rumah warga banyak kemasukan air

3. HASIL WAWANCARA DENGAN GURU

Dari penjelasan guru, dapat disimpulkan bahwa guru sebenarnya dapat melakukan
pembelajaran wacana baik itu secara tulis ataupun lisan dari awal mula masuk kelas.
Contohnya :

Analisis Wacana Lisan Dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar dapat dipaparkan


sebagai berikut:

a. Awal/abstrak
Pada bagian awal/abstrak dalam struktur wacana lisan yang digunakan oleh
guru dan siswa Kelas 3 SD Negeri Wujil 01 merupakan bagian pembukaan yang
berisi tentang sapaan dan pemaparan. Dalam penelitian struktur wacana lisan ini
muncul adanya interaksi antara guru sebagai penutur dengan siswa sebagai
petutur, salam sebagai pembuka dilanjutkan dengan berdoa.

▪ Pertanyaan sungguhan oleh guru “apa kabar anak-anak?” dan siswa menjawab
“baik”, pertanyaan sungguhan menanyakan sebuah informasi, penjelasan, alasan,
keterangan yang tidak diketahui oleh guru.
▪ Pertanyaan pura-pura oleh guru “semua menjawab baik ya? Ini pagi-pagi sudah
lemas, padahal belum siang ya? Ayo yang semangat”, Pertanyaan pura-pura yaitu
pertanyaan yang diajukan untuk mengetahui informasi, penjelasan, alasan, dan
sebagainya yang sebenarnya telah diketahui penutur yakni guru.
▪ Permintaan (keras) secara langsung oleh guru “ayo ketua memimpin berdoa dulu
sebelum pembelajaran dimulai!”, kemudian ketua kelas memimpin berdoa,
permintaan (keras) secara langsung yaitu ujaran yang berisi permintaan yang
berupa perintah yang memerlukan jawaban atau tindakan para petutur yakni
siswa.
b. Tengah/orientasi
Pada bagian tengah/orientasi wacana lisan ini muncul adanya pertukaran dan
transaksi. Pertukaran berupa prakarsa dalam bentuk pengantar oleh guru yang
memuat suatu pertanyaan, jawaban dari sebuah pertanyaan, dan umpan balik
berdasarkan jawaban yang berupa pertanyaan. Transaksi dimulai dengan guru
menerangkan suatu hal pada siswa, guru mengarahkan siswa untuk fokus dalam
pembelajaran, dan guru memancing siswa untuk memberikan tanggapan
mengenai apa yang dibicarakan dan ditanyakan.

▪ Informatif yaitu ujaran yang berupa pernyataan yang berisi pendapat, ide,
contoh-contoh, alasan, dan sebagainya yang ditunjukkan penutur kepada petutur.
Informatif oleh guru kepada siswa sebelum menerangkan materi, “siapa yang
dirumah sering membantu orang tua? Sebagai anak yang baik itu harus
membantu orang tua, seperti lagu bangun tidur, bagaimana lagunya?
▪ Ekspresif yaitu suatu ujaran yang bersifat pribadi yang dapat berisi komentar,
penghargaan, atau pelahiran emosi. Siswa dengan ekspresif menjawab
pertanyaan dari guru “aku mau isuk noto bantal guling bu” (saya tadi pagi
menata bantal dan guling bu), guru merespon “wah pinter bagus sekali”.
▪ Menjawab yaitu suatu tanggapan terhadap sebuah pertanyaan yang ditujukan
pada dirinya. Siswa menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru, kemudian
guru menjawab, begitu juga sebagian siswa ada yang aktif bertanya pada guru
dan guru memberikan jawaban pada siswa, guru mampu memberikan umpan
balik kepada siswa (timbal tindak).
▪ Pembetulan yaitu ujaran yang dimaksudkan untuk membetulkan jawaban siswa.
Guru memberikan pembetulan “jawaban Auliya sudah bagus namun kurang
benar, ….”
▪ Penerimaan dan penghargaan oleh guru kepada siswa setelah siswa dapat
menjawab dengan benar pertanyaan oleh guru “jawaban benar, beri tepuk
tangan anak-anak!”
c. Akhir/koda

Pada bagian akhir wacana lisan ini merupakan bagian penutup wacana. Akhir
wacana ditandai dengan guru memberikan kesimpulan “hari ini kita belajar
menganai apa? Kita belajar mengenai hidup bersih, anak-anak dirumah harus
menjaga kebersihan yang ada dilingkungan sekitar, jangan membuang sampah
sembarangan, rajin mandi, gosok gigi dan membantu orang tua, yang perempuan
biasa membantu menyapu, membersihkan jendela, dan lainnya, yang laki-laki bisa
juga membantu ibu atau ayah, membantu di sawah, membantu cari rumput buat
makan kambing sapi, …” dan guru menutup pembelajaran dengan salam penutup
“wassalamu’alaikum warohmatullahi wa barakaatuh”.

Dalam bentuk pembelajarannya sebagai berikut :

1. Tuturan Guru dan Siswa

Data yang terekam dalam kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia ini berbentuk
wacana dialog, misalnya:

Guru : ...Nah, sekarang Ibu coba beri contoh kalimat... Kalian cermati ya!
Membaca ya!

Siswa : Ya Latihan?
Guru : Ya, ya... baik. Banyak contoh. kalimat seperti ini, ya! Kalian kan

belajar menyunting?

Siswa : Ya!

Guru : Menyunting karangan. Coba kalian sunting ya! Menyunting apa?

Kalau menyunting bisa bermakna apa, menyunting?

Siswa : Meminang.

Guru : Oh, meminang. Ya pintar sekali. (siswa terlihat senang).

Dalam wacana diatas terdapat tuturan yang tidak komunikatif. Guru menyuruh
siswa menyunting kalimat. Kemudian, guru menanyakan makna kata “menyunting”.
Siswa memberikan jawaban dengan merespon “Meminang”. Meskipun ditinjau dari
segi makna leksikal kata “menyunting” berasal dari sunting yang juga bisa berarti
melamar atau memperistri, peran guru sebagai narasumber dan fasilitator sangat
diperlukan untuk memperjelas makna kata berdasarkan konteknya.

Dimaklumi, tampaknya guru sengaja bermaksud untuk menanyakan


kemungkinan makna lain di luar konteks. Namun demikian, tidak sepatutnya
pembicaraan berlarut-larut ke dalam makna lain itu, sebagaimana kelanjutan dialog
berikut:

Guru : Iya ya? Karna itu bisa bermakna meminang. Kemarin yang baru dipinang
siapa? (sebagian siswa tertawa kecil)

Masa Yang meminang siapa?

Siswa : Rafi (maksudnya Rafi Ahmad, selibriti)

Guru : Yang dipinang siapa?

dst.

Dialog selanjutnya cukup panjang, hingga ada seorang siswa yang bergurau
mengatakan “...pohon,...pohon pinang.” Guru, dalam hal ini, perlu secepatnya
memberikan kejelasan dan penegasan mengenai makna kata yang dimaksudkan di
dalam kontek pembicaraannya.
Dalam hal ini, guru yang berperan sebagai narasumber sepatutnya untuk
menyampaikan bahwa suatu kata yang memiliki kesamaan bunyi mungkin saja
memiliki makna lebih dari satu, seperti “menyunting”, “bisa”, “bang”, dan kata-kata
yang lainnya. Dengan demikian, dari hasil interaksi melalui kegiatan berbahasa
secara dialogis dalam pembelajaran di dalam kelas akan bisa komunikatif secara
kontekstual.

Perlu ditegaskan pula bahwa komunikatif bukan semata-mata hanya mengerti,


melainkan harus diperhatikan juga satuan-satuan linguistik atau kebahasaan secara
formal, sebab kriteria penggunaan bahasa Indonesia dalam kegiatan belajar mengajar
didalam kelas wajib memperhatikan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Terlebih,
pada saat dilakukan penelitian ini sedang dilaksanakan pembelajaran bahasa
Indonesia oleh seorang guru bahasa Indonesia. Komunikatif meliputi empat
kompetensi, yaitu: 1) kompetensi gramatikal, 2) kompetensi sosiolinguistik, 3)
komptensi wacana, dan 4) kompetensi strategis (Savignon dalam Hidayat, 1999: 14).

Berikut disajikan contoh penggunaan tuturan yang tidak komunikatif.

Guru : Gitu, ya! Kita cermati. Terus apa lagi? Siswa : April

Guru : Ya!

Dalam interaksi ini guru membenarkan jawaban siswa dengan menyatakan “Ya”.
Padahal jawaban siswa itu belum lengkap, seharusnya yang tepat adalah bulan April.
Selain ketidaklengkapan kosakata, juga ada ungkapan yang diucapkan guru “Gitu
ya!”. Ini bukan ungkapan baku, seharusnya “Begitu ya! Guru tidak menyadari dalam
tuturannya terungkapkan kata-kata santai, padahal saat itu sedang melaksanakan
kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia.

Hal senada juga terungkap dalam dialog berikut ini.

Siswa : Ya, mbuka dulu.

Guru : Nggak papa. Nanti, yang lain nanti bisa melengkapi atau menam- bah, jika
ada yang kurang. Oke dengerin, ditambahi.

Siswa : Pertama-tama, rebus airnya dulu hingga mendidih. Kedua, buka Bungkus
mie. Ketiga, masukkan mie. Keempat, apa ya, masukkan ke dalam piring. Terus,
tiriskan mie.
Bila diperhatikan konteks wacana dialog di atas ditinjau dari aspek
kekomunikatifannya secara keterhubungan makna, maka dapat dikategorikan
komunikatif. Ternyata, masih ditemukan banyak penggunaan kosakata yang tak baku,
baik dari segi morfologis atau pembentukan kata-katanya maupun dari segi fonologis,
misalnya kata “mbuka”, “ngga papa”, “oke”, “dengerin”, “tapi”, “yo” dan masih
banyak lagi contoh-contoh seperti itu yang tak laik diungkapkan oleh guru bahasa
Indonesia dalam situasi formal pembelajaran bahasa Indonesia.

Contoh berikut menunjukkan ketidakruntunan (coherence) dan ketidakruntutan


(cohesiveness).

Guru : Agak suka mie goreng (siswa turut mengucapkan). Terus, bisa masak?

Siswa : [Nggak] suka!

Interaksi di atas tidak runtun dan tidak runtut sebab pertanyaan guru yang
diajukan kepada para siswa tuturannya tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga
menimbulkan berbagai penafsiran makna di pihak siswa, misalnya “agak suka mie
goreng”. Seharusnya guru mengungkapkan tuturan “Apakah kamu suka mie goreng?”
Jawaban siswa ada dua alternatif, “ya” atau “tidak”. Dialog seperti itu akan mudah
dijawab oleh siswa karena antara pertanyaan dan jawaban runtun dan runtut atau
terjalin komunikasi yang berkesinambungan.

Hasil analisis data kekomunikatifan penggunaan bahasa dalam proses belajar dan
mengajar bahasa Indonesia di dua sekolah tidak ditampilkan kalimat per kalimat
sebagaimana yang telah dipampangkan diatas, melainkan dianalisis secara
keseluruhan, yang kemudian dipilah-pilah kedalam dua kategori, yaitu kategori
penggunaan bahasa yang komunikatif dan yang tak komunikatif.

2. Penggunaan Bahasa yang Komunikatif dan Tak Komunikatif

Data yang terhimpun dari dua sekolah ada empat pokok bahasan, yaitu pokok
bahasan menyunting, struktur kalimat, wacana prosedural, dan peristiwa penutupan
jalan umum. Keempat pokok bahasan disajikan guru dalam kegiatan belajar mengajar
dengan menitikberatkan pada strategi dialogis sehingga terjadi interaksi antara guru
dan siswa.

3. Faktor Penyebab Kekurangkomunikatifan Bahasa Tutur Guru dan Siswa


Setelah ditemukan masih banyaknya penggunaan bahasa tutur guru dan siswa
yang kurang komunikatif dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kedua sekolah
penelitian, maka perlu dibahas kemungkinan penyebab kekurangkomunikatifan
penggunaan bahasa tersebut. Sebagaimana telah disinggung pada bagian
Pendahuluan, menurut teori komunikatif (Savignon) faktor yang menyebabkan
kekurang- komunikatifan itu terdiri atas: 1) kompetensi gramatis, 2) kompetensi
sosiologis, 3) kompetensi wacana, dan kompetensi strategis.

Dari keseluruhan data penggunaan bahasa tutur guru dan siswa yang diteliti di
dua sekolah, ditemukan faktor yang menyebabkan kekurangkomunikatifan
penggunaan bahasanya, yaitu:

a. Kompetensi Gramatis

Penggunaan bahasa Indonesia guru dan siswa banyak ditemukan yang tidak
gramatis, seperti yang diungkapkan guru “Bagaimana menyusun”. Ungkapan
guru itu membingungkan para siswa, sebab berupa ungkapan aktif transitif.
Ungkapan jenis ini wajib diikuti objek, sebab akan memunculkan pertanyaan,
yaitu menyusun apa.

b. Kompetensi Sosiologis

Setelah dilakukan analisis data, ternyata penyimpangan atau kesalahan


penggunaan bahasa guru dan siswa pada saat proses pembelajaran bahasa
Indonesia yang terkait dengan aspek kompetensi sosiologis ini ialah diksi atau
pilihan kata-katanya. Pilihan kata-kata yang terungkapkan guru dan siswa banyak
diambil dari penggunaan kata-kata santai atau penggunaan bahasa Indonesia tang
tak formal, seperti kata: nggak, oke, dikasih, gitu, cuman, dan kata-kata lain yang
seperti itu, sehingga mengganggu terhadap kekomunikatifan penggunaan bahasa.

c. Kompetensi Wacana

Perilaku penggunaan bahasa pada dasarnya berbentuk wacana, baik monolog


maupun dialog. Wacana itu bisa diekspresikan secara lisan atau tulisan.
Komponen-komponen pembentuk atau pembangun itu bermacam-macam,
diantaranya keruntutan dan keruntunan berbahasa atau kekoherensian dan
kekohesifan bahasa. Analisis menunjukkan bahwa penggunaan bahasa tutur guru
dan siswa yang berbentuk wacana dialogis itu ternyata masih banyak ditemukan
yang tidak runtut dan runtun, seperti seorang siswa mengatakan “Itu ta cerita”
kemudian siswa yang lainnya menjawab “Menghargailah” lalu disambut oleh
siswa yang lainnya dengan mengatakan “Tiriskan”. Rangkaian kata yang
diungkapkan siswa itu tidak berkesinambungan satu dengan yang lainnya karena
tidak runtut dan runtun.

d. Kompetensi Strategis.

Pada saat guru berbicara di hadapan para siswanya, sudah tentu tidak terlepas dari
strategi, taktik, siasat, atau teknik berbicara, terkadang pembicaraannya diikuti
mimik, gerak-gerik badan, tangan, gelak tawa serta gestur yang lainnya. Hal itu
dilakukan untuk menarik perhatian siswa dan yang paling penting agar pesan
ajarnya tersampaikan kepada siswa. Kegiatan yang dilakukan guru itu tergolong
kompetensi strategis.
DAFTAR PUSTAKA

Anni Malihatul Hawa, Subyantoro. 2019. Analisis Wacana Lisan dalam pembelajaran
di SD. Semarang : ISSN 2686-6404
Suwartono dan Kosadi Hidayat. KEKOMUNIKATIFAN PENGGUNAAN
BAHASA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMP
NEGERI DI KECAMATAN PURWOKERTO SELATAN. Yogyakarta : ISBN:
978-602-19568-0-9
Sari Novita, dkk. 2020. Strategi Menangani Kesulitan Menulis (Disgrafia) Melalui
Pembelajaran Partisipatif Di Sekolah. Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia
Vol.2 No.1

Anda mungkin juga menyukai