ANALISIS WACANA
“Menganalisis Masalah-Masalah dalam Tulisan Anak SD”
DISUSUN OLEH :
DOSEN PENGAMPU:
Dra. Elfia Sukma, M.Pd
Kesulitan menulis disebut juga dengan disgrafia. Hal ini selaras dengan
pendapat (Suhartono, 2016) mengatakan disgrafia adalah anak yang mengalami
kesulitan dalam belajar terutama dalam aktivitas menulis. Selanjutnya (Dinata et
al., 2015) mengatakan bahwa anak disgrafia merupakan anak yang mengalami
gangguan menulis.
Kendala proses kepenulisan adalah kendala yang dialami penulis dalam setiap
tahap menulis. Kendala itu mungkin terjadi pada satu tahap atau lebih, dari tahap
pramenulis, menulis draft, merevisi, menyunting, hingga mempublikasi.
Pramenulis adalah tahapan persiapan, yakni tahap menyiapkan materi penulisan
yang akan dituliskan, seperti memilih topik, mempertimbangkan tujuan, bentuk,
dan pembaca serta memperoleh dan menyusun ide-ide (lihat Tomkins &
Hoskisson, 1995). Tahap menulis draft adalah tahap menulis ide-ide mereka ke
dalam bentuk tulisan yang kasar sebelum dituliskan dalam bentuk tulisan yang
sudah jadi. Tahapan penulisan draft ini memungkinkan para siswa meninjau lagi
tulisan mereka sebelum dikembangkan lebih lanjut lagi. Dengan demikian, ide-ide
yang dituliskan pada draft itu sifatnya tentatif dan masih mungkin diubah atau
dilakukan perubahan terhadapnya. Tahap merevisi adalah tahap memperbaiki
ulang atau menambahkan ide-ide baru terhadap karya. Tambahan dapat berupa
materi, teknik penceritaan, ataupun pengubahan diksi. Sharing dengan
pembimbing bagi penulis pemula sangat membantu memperbaiki dan
memperkaya hasil karya. Unsur intrinsik karya mungkin akan mengalami
perubahan. Tahap penyuntingan adalah tahap meninjau aspek mekanik karangan.
Tujuannya adalah agar karangan lebih mudah terbaca. Tahap publikasi dapat
dilakukan dengan mempublikasikan hasil tulisan siswa dalam lingkup sekolah,
seperti bulletin atau majalah dinding sekolah, atau di luar lingkup sekolah, seperti
media massa. Publikasi ini sangat penting karena tahapan ini merupakan bentuk
apresiasi terhadap karya.
1) Karena warga tidak suka dengan keberadaan hutan itu, warga mempunyai
rencana
Penggunaan kata “itu” dan “di dalam” menyebabkan kalimat tersebut menjadi
boros. Jika disusun kembali menjadi:
Dari penjelasan guru, dapat disimpulkan bahwa guru sebenarnya dapat melakukan
pembelajaran wacana baik itu secara tulis ataupun lisan dari awal mula masuk kelas.
Contohnya :
a. Awal/abstrak
Pada bagian awal/abstrak dalam struktur wacana lisan yang digunakan oleh
guru dan siswa Kelas 3 SD Negeri Wujil 01 merupakan bagian pembukaan yang
berisi tentang sapaan dan pemaparan. Dalam penelitian struktur wacana lisan ini
muncul adanya interaksi antara guru sebagai penutur dengan siswa sebagai
petutur, salam sebagai pembuka dilanjutkan dengan berdoa.
▪ Pertanyaan sungguhan oleh guru “apa kabar anak-anak?” dan siswa menjawab
“baik”, pertanyaan sungguhan menanyakan sebuah informasi, penjelasan, alasan,
keterangan yang tidak diketahui oleh guru.
▪ Pertanyaan pura-pura oleh guru “semua menjawab baik ya? Ini pagi-pagi sudah
lemas, padahal belum siang ya? Ayo yang semangat”, Pertanyaan pura-pura yaitu
pertanyaan yang diajukan untuk mengetahui informasi, penjelasan, alasan, dan
sebagainya yang sebenarnya telah diketahui penutur yakni guru.
▪ Permintaan (keras) secara langsung oleh guru “ayo ketua memimpin berdoa dulu
sebelum pembelajaran dimulai!”, kemudian ketua kelas memimpin berdoa,
permintaan (keras) secara langsung yaitu ujaran yang berisi permintaan yang
berupa perintah yang memerlukan jawaban atau tindakan para petutur yakni
siswa.
b. Tengah/orientasi
Pada bagian tengah/orientasi wacana lisan ini muncul adanya pertukaran dan
transaksi. Pertukaran berupa prakarsa dalam bentuk pengantar oleh guru yang
memuat suatu pertanyaan, jawaban dari sebuah pertanyaan, dan umpan balik
berdasarkan jawaban yang berupa pertanyaan. Transaksi dimulai dengan guru
menerangkan suatu hal pada siswa, guru mengarahkan siswa untuk fokus dalam
pembelajaran, dan guru memancing siswa untuk memberikan tanggapan
mengenai apa yang dibicarakan dan ditanyakan.
▪ Informatif yaitu ujaran yang berupa pernyataan yang berisi pendapat, ide,
contoh-contoh, alasan, dan sebagainya yang ditunjukkan penutur kepada petutur.
Informatif oleh guru kepada siswa sebelum menerangkan materi, “siapa yang
dirumah sering membantu orang tua? Sebagai anak yang baik itu harus
membantu orang tua, seperti lagu bangun tidur, bagaimana lagunya?
▪ Ekspresif yaitu suatu ujaran yang bersifat pribadi yang dapat berisi komentar,
penghargaan, atau pelahiran emosi. Siswa dengan ekspresif menjawab
pertanyaan dari guru “aku mau isuk noto bantal guling bu” (saya tadi pagi
menata bantal dan guling bu), guru merespon “wah pinter bagus sekali”.
▪ Menjawab yaitu suatu tanggapan terhadap sebuah pertanyaan yang ditujukan
pada dirinya. Siswa menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru, kemudian
guru menjawab, begitu juga sebagian siswa ada yang aktif bertanya pada guru
dan guru memberikan jawaban pada siswa, guru mampu memberikan umpan
balik kepada siswa (timbal tindak).
▪ Pembetulan yaitu ujaran yang dimaksudkan untuk membetulkan jawaban siswa.
Guru memberikan pembetulan “jawaban Auliya sudah bagus namun kurang
benar, ….”
▪ Penerimaan dan penghargaan oleh guru kepada siswa setelah siswa dapat
menjawab dengan benar pertanyaan oleh guru “jawaban benar, beri tepuk
tangan anak-anak!”
c. Akhir/koda
Pada bagian akhir wacana lisan ini merupakan bagian penutup wacana. Akhir
wacana ditandai dengan guru memberikan kesimpulan “hari ini kita belajar
menganai apa? Kita belajar mengenai hidup bersih, anak-anak dirumah harus
menjaga kebersihan yang ada dilingkungan sekitar, jangan membuang sampah
sembarangan, rajin mandi, gosok gigi dan membantu orang tua, yang perempuan
biasa membantu menyapu, membersihkan jendela, dan lainnya, yang laki-laki bisa
juga membantu ibu atau ayah, membantu di sawah, membantu cari rumput buat
makan kambing sapi, …” dan guru menutup pembelajaran dengan salam penutup
“wassalamu’alaikum warohmatullahi wa barakaatuh”.
Data yang terekam dalam kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia ini berbentuk
wacana dialog, misalnya:
Guru : ...Nah, sekarang Ibu coba beri contoh kalimat... Kalian cermati ya!
Membaca ya!
Siswa : Ya Latihan?
Guru : Ya, ya... baik. Banyak contoh. kalimat seperti ini, ya! Kalian kan
belajar menyunting?
Siswa : Ya!
Siswa : Meminang.
Dalam wacana diatas terdapat tuturan yang tidak komunikatif. Guru menyuruh
siswa menyunting kalimat. Kemudian, guru menanyakan makna kata “menyunting”.
Siswa memberikan jawaban dengan merespon “Meminang”. Meskipun ditinjau dari
segi makna leksikal kata “menyunting” berasal dari sunting yang juga bisa berarti
melamar atau memperistri, peran guru sebagai narasumber dan fasilitator sangat
diperlukan untuk memperjelas makna kata berdasarkan konteknya.
Guru : Iya ya? Karna itu bisa bermakna meminang. Kemarin yang baru dipinang
siapa? (sebagian siswa tertawa kecil)
dst.
Dialog selanjutnya cukup panjang, hingga ada seorang siswa yang bergurau
mengatakan “...pohon,...pohon pinang.” Guru, dalam hal ini, perlu secepatnya
memberikan kejelasan dan penegasan mengenai makna kata yang dimaksudkan di
dalam kontek pembicaraannya.
Dalam hal ini, guru yang berperan sebagai narasumber sepatutnya untuk
menyampaikan bahwa suatu kata yang memiliki kesamaan bunyi mungkin saja
memiliki makna lebih dari satu, seperti “menyunting”, “bisa”, “bang”, dan kata-kata
yang lainnya. Dengan demikian, dari hasil interaksi melalui kegiatan berbahasa
secara dialogis dalam pembelajaran di dalam kelas akan bisa komunikatif secara
kontekstual.
Guru : Gitu, ya! Kita cermati. Terus apa lagi? Siswa : April
Guru : Ya!
Dalam interaksi ini guru membenarkan jawaban siswa dengan menyatakan “Ya”.
Padahal jawaban siswa itu belum lengkap, seharusnya yang tepat adalah bulan April.
Selain ketidaklengkapan kosakata, juga ada ungkapan yang diucapkan guru “Gitu
ya!”. Ini bukan ungkapan baku, seharusnya “Begitu ya! Guru tidak menyadari dalam
tuturannya terungkapkan kata-kata santai, padahal saat itu sedang melaksanakan
kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia.
Guru : Nggak papa. Nanti, yang lain nanti bisa melengkapi atau menam- bah, jika
ada yang kurang. Oke dengerin, ditambahi.
Siswa : Pertama-tama, rebus airnya dulu hingga mendidih. Kedua, buka Bungkus
mie. Ketiga, masukkan mie. Keempat, apa ya, masukkan ke dalam piring. Terus,
tiriskan mie.
Bila diperhatikan konteks wacana dialog di atas ditinjau dari aspek
kekomunikatifannya secara keterhubungan makna, maka dapat dikategorikan
komunikatif. Ternyata, masih ditemukan banyak penggunaan kosakata yang tak baku,
baik dari segi morfologis atau pembentukan kata-katanya maupun dari segi fonologis,
misalnya kata “mbuka”, “ngga papa”, “oke”, “dengerin”, “tapi”, “yo” dan masih
banyak lagi contoh-contoh seperti itu yang tak laik diungkapkan oleh guru bahasa
Indonesia dalam situasi formal pembelajaran bahasa Indonesia.
Guru : Agak suka mie goreng (siswa turut mengucapkan). Terus, bisa masak?
Interaksi di atas tidak runtun dan tidak runtut sebab pertanyaan guru yang
diajukan kepada para siswa tuturannya tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga
menimbulkan berbagai penafsiran makna di pihak siswa, misalnya “agak suka mie
goreng”. Seharusnya guru mengungkapkan tuturan “Apakah kamu suka mie goreng?”
Jawaban siswa ada dua alternatif, “ya” atau “tidak”. Dialog seperti itu akan mudah
dijawab oleh siswa karena antara pertanyaan dan jawaban runtun dan runtut atau
terjalin komunikasi yang berkesinambungan.
Hasil analisis data kekomunikatifan penggunaan bahasa dalam proses belajar dan
mengajar bahasa Indonesia di dua sekolah tidak ditampilkan kalimat per kalimat
sebagaimana yang telah dipampangkan diatas, melainkan dianalisis secara
keseluruhan, yang kemudian dipilah-pilah kedalam dua kategori, yaitu kategori
penggunaan bahasa yang komunikatif dan yang tak komunikatif.
Data yang terhimpun dari dua sekolah ada empat pokok bahasan, yaitu pokok
bahasan menyunting, struktur kalimat, wacana prosedural, dan peristiwa penutupan
jalan umum. Keempat pokok bahasan disajikan guru dalam kegiatan belajar mengajar
dengan menitikberatkan pada strategi dialogis sehingga terjadi interaksi antara guru
dan siswa.
Dari keseluruhan data penggunaan bahasa tutur guru dan siswa yang diteliti di
dua sekolah, ditemukan faktor yang menyebabkan kekurangkomunikatifan
penggunaan bahasanya, yaitu:
a. Kompetensi Gramatis
Penggunaan bahasa Indonesia guru dan siswa banyak ditemukan yang tidak
gramatis, seperti yang diungkapkan guru “Bagaimana menyusun”. Ungkapan
guru itu membingungkan para siswa, sebab berupa ungkapan aktif transitif.
Ungkapan jenis ini wajib diikuti objek, sebab akan memunculkan pertanyaan,
yaitu menyusun apa.
b. Kompetensi Sosiologis
c. Kompetensi Wacana
d. Kompetensi Strategis.
Pada saat guru berbicara di hadapan para siswanya, sudah tentu tidak terlepas dari
strategi, taktik, siasat, atau teknik berbicara, terkadang pembicaraannya diikuti
mimik, gerak-gerik badan, tangan, gelak tawa serta gestur yang lainnya. Hal itu
dilakukan untuk menarik perhatian siswa dan yang paling penting agar pesan
ajarnya tersampaikan kepada siswa. Kegiatan yang dilakukan guru itu tergolong
kompetensi strategis.
DAFTAR PUSTAKA
Anni Malihatul Hawa, Subyantoro. 2019. Analisis Wacana Lisan dalam pembelajaran
di SD. Semarang : ISSN 2686-6404
Suwartono dan Kosadi Hidayat. KEKOMUNIKATIFAN PENGGUNAAN
BAHASA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMP
NEGERI DI KECAMATAN PURWOKERTO SELATAN. Yogyakarta : ISBN:
978-602-19568-0-9
Sari Novita, dkk. 2020. Strategi Menangani Kesulitan Menulis (Disgrafia) Melalui
Pembelajaran Partisipatif Di Sekolah. Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia
Vol.2 No.1