Anda di halaman 1dari 6

A.

Pengertian Kognitivisme

Istilah "Cognitive" berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian. mengerti.
Pengertian yang lebih luas cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan
pengetahuan. Isme berarti sebuah aliran, paham. Selanjutnya istilah kognitivisme telah
menjadi populer sebagai salah satu bidang psikologi manusia/setiap perilaku mental yang
berkaitan dengan masalah memahami, memperhatikan, memberikan, berpikir, pertimbangan,
mengolah informasi, pemecahan masalah, membayangkan, memperkirakan, berpikir dan
keyakinan. Menurut para ahli tingkah laku seseorang itu senantiasa didasarkan pada kognisi,
yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.

B. Karakteristik Teori Kognitivisme


Teori belajar kognitivisme lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar
itu sendiri. Belajar tidak hanya melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, tetapi juga
melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah perubahan persepsi dan
pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan perilaku
yang dapat diamati (Muflihin, 2009).

C. Tokoh – tokoh Teori Belajar Kognitivisme


1. Jean Piaget
Jean Piaget adalah ahli psikolog developmental karena penelitiannya mengenai
tahap tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi
kemampuan belajar individu. Dalam teorinya yang disebut "Cognitive Developmental",
Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dan fungsi intelektual
dari konkret menuju abstrak. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan
kemampuan-kemampuan mental yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektual
tidak bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif. Dengan kata lain, daya berpikir atau
kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif. Menurut
Suhaidi Jean Piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitivisme anak menjadi empat
tahap:
a) Tahap sensory - motor, yakni perkembangan ranah kognitivisme yang terjadi pada
usia 0-2 tahun, Tahap ini diidentikkan dengan kegiatan motorik dan persepsi yang
masih sederhana.
b) Tahap pre - operational, yakni perkembangan ranah kognitivisme yang terjadi pada
usia 2-7 tahun. Tahap ini diidentikkan dengan mulai digunakannya simbol atau
bahasa tanda, dan telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang
agak abstrak.
c) Tahap concrete operational, yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Tahap ini dicirikan
dengan anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis. Anak
sudah tidak memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif
d) Tahap formal operational, yakni perkembangan ranah kognitivisme yang terjadi pada
usia 11-15 tahun. Ciri pokok tahap yang terahir ini adalah anak sudah mampu berpikir
abstrak dan logis dengan menggunakan pola pikir "kemungkinan".

Berdasarkan pandangan Piaget proses adaptasi seseorang dengan lingkungannya


terjadi secara simultan melalui dua bentuk proses, asimilasi dan akomodasi. Asimilasi
terjadi jika pengetahuan baru yang diterima seseorang cocok dengan struktur
kognitivisme yang telah dimiliki seseorang tersebut. Sebaliknya, akomodasi terjadi jika
struktur kognitivisme yang telah dimiliki seseorang harus direkonstruksi/di kode ulang
disesuaikan dengan informasi yang baru diterima. Dalam teori perkembangan
kognitivisme ini Piaget juga menekankan pentingnya penyeimbangan (equilibrasi) agar
seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuan sekaligus menjaga
stabilitas mentalnya.

2. Jerome Bruner
Dalam teorinya yang disebut "Discovery Learning", yaitu dalam teorinya bahwa
proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau melalui pemahaman
contoh yang ia jumpai dalam kehidupan. Bruner yakin bahwa pembelajaran tersebut bisa
muncul dalam tiga cara atau bentuk, yaitu: enactive, ikonik dan simbolik (Sanjaya, 2006).
Pengetahuan enaktif adalah mempelajari sesuatu dengan memanipulasi objek
melakukan pengatahuan tersebut daripada hanya memahaminya. Anak-anak didik sangat
mungkin paham bagaimana cara melakukan lompat tali ('melakukan kecakapan tersebut),
namun tidak terlalu paham bagaimana menggambarkan aktifitas tersebut dalam kata-kata,
bahkan ketika mereka harus menggambarkan dalam pikiran. Pembelajaran enaktif
mengandung sebuah kesamaan dengan kecerdasan inderawi dalam teori Piaget.
Pembelajaran ikonik merupakan pembelajaran yang melalui gambaran; dalam bentuk ini,
anak-anak mempresentasikan pengetahuan melalui sebuah gambar dalam benak mereka.
Anak-anak sangat mungkin mampu menciptakan gambaran tentang pohon mangga
dikebun dalam benak mereka, meskipun mereka masih kesulitan untuk menjelaskan dalam
kata-kata. Pembelajaran simbolik merupakan pembelajaran yang dilakukan melalui
representasi pengalaman abstrak (seperti bahasa) yang sama sekali tidak memiliki
kesamaan fisik dengan pengalaman tersebut. Sebagaimana namanya, membutuhkan
pengetahuan yang abstrak, dan karena simbolik pembelajaran yang satu ini serupa dengan
operasional formal dalam proses berpikir dalam teori Piaget.
Jika dikorelasikan dengan embelajaran, Discovery Learning-nya Bruner daat
dikemukakan sebagai berikut:
a. Belajar meruakan kecenderungan dari dalam diri manusia, yaitu Self-curiousity
(keingintahuan) untuk mendapatan petualangan keamanan.
b. Belajar penemuan terjadi karena manusia bersifat mengubah struktur yang ada. Sifat
tersebut selalu mengalir untuk mengisi berbagai kemungkinan pengenalan.
c. Kualitas belajar penemuan diwarnai dengan modus imperatif kesiapan dan
kemampuan secara enaktif, ekonik, dan simbolik.
d. Penerapan elajar penemmuan hanyalah garis besar dari tujuan intruksional sebagai
arah yang informatif
e. Kreatifitas metaforik dan creative conditioning yang bebas dan bertanggung jawab
memungkinkan kemajuan.

3. Ausubel
Teori “Belajar Bermakna”. Psikologi pendidikan yan diterapkan oleh Ausubel
adalah bekerja untuk mencari hukum belajar yang bermakna. Menurut Ausubel pengertian
belajar terbagi menjadi dua jenis yaitu:
a. Belajar bermakna (meaningful learning)
b. Belajar menghafal (rote learning)
Belajar bermakna merupakan suatu proses belajar dimana informasi baru
dihuubungkan dengan struktur pengertian yang telah dimilliki oleh seseorang yang
tengah belajar. Sedangkan belajar menghafal ialah siswa berusaha menerima dan
menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang hanya maknanya saja yang dibaca
(sanjaya, 2006)
Sebagai seorang ahli psikologi pendidikan Ausubel menaruh perhatian besar
kepada siswa di sekolah dengan memperhatikan tekanan pada unsur kebermaknaan dalam
belajar melalui bahasa (meaningful verbal learning). Kebermaknaan diartikan sebagai
kombinasi dari informasi verbal, konsep, kaida dan prinsip, bila ditinjau bersama-sama.
Agar proses belajar siswa menghasilkan sesuatu yang bermakna, maka siswa tidak
diuntut untuk menemukan semuanya sendiri. Terkadang, ada bahaya bagi siswa yang
kurang mahir dalam hal ini, karena mereka hanya menebak dan mencoba-coba tanpa
menemukan sesuatu yang sungguh berarti. Jika saja seorng siswa sudah ahli dalam
mengadakan peelotia untuk menemukan kebenaran baru, bahaya itu tidak ada.
Ausubel juga berpendapat jika mempemeroleh informasi merupakan suatu tujuan
pembelajaran yang penting dalam hal-hal tertentu, dapat mengarahkan guru untuk
menyampaikan informasi kepada siswa. Dalam hal ini uru bertanggung jawab untuk
mengorganisasikan apa saja yang perlu dipelajari oleh siswa, sedangkan peran siswa di
sini adalan menguasai apa yang disampaikan oleh gurunya. Belajar dapat dikatakan
bermakna apabila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan
struktur kognitivisme yang dimiliki peserta didik, sehingga peserta didik mampu
mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitivisme yang dimilikinya.
Apa yang disebut dengan belajar seharusnya bermakna, materi yang telah
dipelajari di asimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dipunyai
sebelumnya. Karena itu diperlukan dua persyaratan, yaitu:
a. Materi yang secara potensial bermakna dipilih oleh guru hars sesuai dengan tingkat
perkembangan dan pengetahuan masa lalu peserta didik.
b. Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna, faktor motivasional memegang
peranan penting dalam hal ini, karena peserta didik tidak akan mengasimilasikan
materi baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan
ybagaimana mereka melakukannya. Sehingga hal ini perlu diatur oleh guru agar
materi tidak dipelajai secara hafalan.
Berdasarkan uraian tersebut, belajar bermakna menurut Ausubel adalah
suatu proses belajar dimana peserta didik dapay enghubungkan informasi baru dengan
pengetahuan yang sudah dimilikinya agar pembelajaran dapat dikatakan bermakna.
Diperlukan dua hal yaitu pilihan materu yang bermakna seseuai tingkatan
pemahaman dan pengetahuan siswa dan dituasi belajar yang bermakna yang
dipengaruhi oleh motivasi.
Dengan demkian kunci keberhasilan belajar terletak pada keermaknaan
bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa. Ausubel tidak setuju dengan
pendapat bahwa kegiatan belajar penemuan (discovery learning) lebih bermakna
dibandinkan kegiatan belajar penerimaan (reception learning). Sehingga dengan
ceramahpun asalkan informasinya bermakna bagi peserta didik, apalagi jika
penyajiannya sistematis sehingga akan menghasilkan belajar yang baik.

4. Lev Vygotsky
Menurut Vygotsky stimulus dan respon saja tidak cukup untuk menjelaskan
tentang , realitas aktvitas manusia. Aktivitas yang dilakukan manusia membutuhkan
mediator ekstra melalui alat bantu bahasa. Vygotsky juga berpendapat bahwa perbedaan
antara konsep dan bahasa ketika seseorang masih belia tetapi sejalan dengan perjalanan
waktu. Keduanya akan menyatu karena bahasa dapat mengekspresikan konsep dan konsep
digunakan didalam bahasa. Menurut Vygotsky, orang dewasa yang sensitif akan lebih
perduli terhadap kesiapan anak untuk tantangan baru, sehingga mereka dapat menyusun
kegiatan yang cocok untuk mengembangkan keterampilan baru. Orang dewasa berperan
sebagai mentor dan guru untuk mengarahkan anak ke dalam zone of priximal development
yang artinya zona perembangan dumana anak tidak mampu melakukan suatu kegiatan
belajar tanpa bantuan namun dapat melakukannya secara baik di bawah bimbingan orang
dewasa. Ketika anak-anak berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari dengan orang tua,
guru dan orang lain, maka mereka aka mempelajari praktek budaya, nilai-nilai dan
keterampilan secara bertahap (Muhlihin, 2009)

Anda mungkin juga menyukai