Anda di halaman 1dari 17

PROLOG

Kedua bola matamu mampu membawaku ke dalam harapan semu.


***
Agustus 2017, di Jakarta.
KADANG kala, ada beberapa hal yang terjadi namun tidak sesuai prediksi. Mungkin
beberapa di antaranya ada yang menimbulkan bahagia. Tapi lebih banyak hal yang
menghadirkan luka. Malam itu, di bawah pekatnya awan yang menghitam. Araya jatuh, tak
percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan. Pandangannya mengabur. Perlahan tapi pasti,
air matanya luruh setetes demi setetes. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya, ia merasa
sesak yang teramat. Terus bertambah, sehingga menyebabkan dada Araya seperti terimpit.
Dengan tubuh bergetar, ia berusaha berdiri lalu menghampiri kerumunan orang di
tengah jalan. Dengan sangat tergesa, ia membelah kerumunan itu. Rasanya begitu
menyakitkan ketika melihatnya terkapar tak berdaya. Rasa sesal itu datang lalu melebur
menjadi satu bersama lara yang hadir terlebih dulu. Araya kembali mengingat apa yang
sebelumnya terjadi. Ketika semua hal belum serumit ini.
Senja baru saja datang, membentang di angkasa bersama gurat jingga yang terefleksi
sempurna. Bersama dengan hilangnya jingga, seorang pemuda tampan baru saja keluar dari
kamar mandi yang berada di kamarnya. Celana jeans lusuh dan kaos hitam yang dipakainya
menambah kesan berandal.
Ia langsung berbaring di atas kasur yang berukuran king size, menyalakan TV, lalu
memindah-mindah Channel kemudian terhenti saat layar TV menampilkan acara dangdut.
Araya menyalakan TV hanya untuk mengusir hening karena malam ini Kakaknya tidak akan
pulang ke rumah. Selain karena faktor nakal dari Aksara, juga karena besok adalah hari
Minggu.
Araya mengambil benda pipih yang berada di atas bantal, lalu ia membuka aplikasi
chat dan mulai mengetikkan sesuatu. Pintu kamar Araya terbuka, menampilkan anak kecil
berusia sepuluh tahun sedang menatapnya dengan muka hampir menangis.
Araya bergegas membawa Dafina ke dalam pangkuannya saat dia sudah berada di
atas kasur. Dengan senyuman memikat, Araya bertanya kepada adik kandungnya itu.
"Dafina kenapa?"
Dafina menyandarkan tubuhnya ke dada Araya, lalu mulai bercerita tentang penyebab
ia ingin menangis. "Dafina mau jalan-jalan Kak, ini kan malam Minggu masa cuma di rumah.
Tapi kata Mama, nggak boleh." Dafina menggembungkan pipinya, kesal.
"Ya sudah, Dafina jalan-jalan sama Kak Araya aja, gimana? Nanti kita lewat pintu
belakang biar nggak ketahuan Mama." Dafina langsung menatap Araya dengan mata
berbinar.
Tanpa mereka sadari, Diva—Mama mereka—berdiri di luar pintu kamar Araya dan
tidak sengaja menguping pembicaraan mereka. Niat awal Diva ke kamar Araya karena ingin
mencari Dafina, sebab ia sudah tidak mendengar rengekan dari putri bungsunya. Senyum
samar muncul di wajahnya yang sudah terlihat menua. Diva menghela napas lega, ia
bukannya tidak mau ke luar bersama Dafina dan menghabiskan malam Minggu bersama
namun ia harus pergi ke arisan rutin di masjid yang diadakan setiap malam Minggu. Ia
bergegas menuruni tangga ketika mendengar bahwa Araya dan Dafina akan segera ke luar
kamar.
Araya menggandeng tangan Dafina ke luar dari kamarnya setelah Araya mengambil
kunci mobil di atas nakas. Mereka berjalan mengendap-endap menuju pintu belakang yang
berada di dekat dapur.
"Mama ke mana Na?"
"Kayaknya pergi, Kak." Mereka berbicara dengan berbisik-bisik karena takut Diva
akan memergoki mereka dan membatalkan acara malmingan yang baru direncanakan
beberapa menit yang lalu.
Helaan napas lega terdengar setelah mereka berdua duduk di dalam mobil tanpa
ketahuan oleh sang mama. Tawa renyah pun terdengar dari bibir Dafina saat mobil ferrari
488 spider berwarna hitam milik Araya—sekaligus Aksara—meninggalkan garasi rumah.
Aksara memang pergi menggunakan motor honda cbr250rr berwarna hitam, sehingga mobil
mereka dapat dipakai Araya untuk mengajak Dafina jalan-jalan.
"Dafina mau ke mana? Mall, cafe, pasar malam, atau taman?" Tanya Araya dengan
tetap fokus pada jalanan.
"TAMAN!" Dengan penuh semangat, Dafina menjawab pertanyaan Araya tanpa
memikirkannya terlebih dahulu.
Tidak heran jika Dafina ingin pergi ke taman, selain karena memang di taman banyak
mainan anak-anak seperti ayunan dan prosotan. Juga karena di sana banyak yang menjual
makanan dan tentunya karena taman sangat lah indah.
Lagu Friends dari Marshmello & Anne Marie mendominasi mobil sport milik Araya.
Kedua tangannya yang menggenggam setir bundar itu bergerak seiring dengan alunan musik
yang berputar. Tak terasa, mobil Araya sudah berada di area taman. Setelah memarkirkan
mobil, Araya langsung mengajak Dafina menuju tempat bermain untuk anak-anak yang
tersedia di sana. Mata Dafina seketika berbinar ketika melihat pemandangan di hadapannya.
Indah banget. Batin gadis itu kagum.
Taman adalah sebuah tempat yang sangat Dafina sukai. Di sana terdapat bunga-bunga
indah nan harum dan banyak pedagang kaki lima yang menjual beraneka ragam jajanan
kuliner. Di sepanjang jalan terdapat tiang-tiang lampu taman yang dihubungkan dengan
seutas tali yang digantungkan lampu-lampu kecil berwarna-warni.
Dafina berjalan mendahului Araya yang tertinggal beberapa langkah di belakangnya.
Ia berlari menuju ayunan yang berada di dekat air mancur. Lalu duduk dan menikmati
sejuknya angin malam yang berembus pelan.
Sembari mengatur napasnya yang tersengal akibat mengejar Dafina, Araya
mendudukkan pantatnya di sebelah Adik kesayangannya itu. Kebetulan ayunan yang Dafina
naiki cukup besar sehingga muat untuk dua orang.
"Kak, Dafina mau dong setiap hari diajak main di taman." Dafina tersenyum cerah.
Araya terkekeh mendengarkan perkataan Dafina. "Ya kalau setiap hari kayaknya
nggak bisa, Na."
"Yah... padahal Dafina pengen banget di ajak main ke taman tiap malem." Dafina
cemberut. Dia meletakkan kedua tangannya di depan dada.
"Dafina kan masih sekolah, jadi Dafina harus belajar biar makin pintar. Jangan main
mulu."
"Dafina kan udah pintar, Kak." Ucap Dafina sambil tersenyum lebar.
Araya mengacak rambut Dafina lalu mengeluarkan ponsel yang selalu dipenuhi
notifikasi itu dari dalam saku celana jeans-nya.
"Kak, Dafina mau ice cream." Rengek Dafina sambil menoleh ke arah Araya.
Araya menghela napas, "Bentar, Na. Kakak lagi chattingan nih sama temen kakak."
"Ih, Kak Araya mah gitu." Dafina menatap Araya sebal. Namun tetap saja, Araya
masih berkutat pada ponselnya dan menghiraukan Dafina.
"Ayolah Kak, beliin Dafina ice cream. Kakak udah nggak sayang lagi ya sama
Dafina?" Rajuknya.
Araya menghela napas pelan. Dafina memang tahu kelemahannya. Ia memang paling
tidak bisa menolak keinginan Dafina saat merajuk. Araya pun menarik dan merengkuh tubuh
mungil Dafina ke dalam pelukannya.
"Yaudah, Kakak beliin. Tapi kamu tunggu disini ya, jangan kemana-mana."
Dafina mengangguk antusias. Setelah itu, Araya beranjak dari tempat duduk. Dia
berjalan sembari mengedarkan pandangannya mencari penjual ice cream di sekitar taman.
Setelah menemukan bapak-bapak penjual ice cream dan membeli ice cream kesukaan
Dafina, Araya langsung bergegas menghampirinya.
Araya menyodorkan ice cream yang baru saja dibelinya kepada Dafina. "Na, ini ice
cream nya, udah ya jangan ngambek lagi." Dafina pun menerima ice cream yang lelaki itu
sodorkan.
"Makasih ya Kak. Dafina sayang banget sama Kakak." Ucap Dafina sambil
memeluknya erat.
"Kakak juga sayang sama Dafina." Kata Araya sembari membalas pelukan gadis kecil
nan menggemaskan itu.
Setelah menghabiskan ice cream dengan cepat, Dafina lagi-lagi mengganggu Araya
karena ia ingin membeli permen kapas. Karena Araya jarang sekali jalan-jalan berdua dengan
Dafina, pemuda itu memilih untuk menuruti keinginan Dafina—yang ingin dibelikan permen
kapas. Namun dengan syarat Dafina tidak ikut membeli.
Seharusnya Dafina menuruti perkataan Araya untuk duduk manis di ayunan. Akan
tetapi karena bosan bermain sendirian, gadis kecil itu iseng menyusul Araya. Dan malam itu
adalah malam yang membuat Araya menyesal telah mengajak Dafina pergi tanpa
sepengetahuan Diva.
 ✈️
SUASANA di club malam itu cukup ramai. Bahkan, terlihat sangat padat meskipun
jam masih menunjukkan pukul 19:35. Dentuman musik yang diputar cukup keras oleh DJ,
mendominasi ruangan yang terasa pengap akibat kerumunan orang yang sedang sibuk
menggerakkan tubuhnya.
Bau alkohol dan asap rokok bercampur menjadi satu. Namun, hal itu tidak lah asing
bagi Abrisam Elazar Aksara. Karena laki-laki tinggi berwajah tampan itu hampir setiap
malam mengunjungi tempat ini.
Salah satu temannya langsung berteriak memanggil ketika melihatnya berdiri di depan
pintu masuk.
"Aksa, sini woi!"
Aksara memutar bola mata. Lalu, ia berjalan menuju sofa yang berada di dekat meja
bar untuk menghampiri teman-temannya.
"Lama nunggu, Bro? Sorry, tadi gue jemput cewek gue dulu." Ucap Aksara sembari
melirik sekilas ke arah gadis cantik di sampingnya yang tidak lain tidak bukan adalah kekasih
barunya.
"Cewek baru lagi, Sa?" Tanya Kahfi. Sahabat sekaligus salah satu teman sepermainan
Aksara.
Aksara menganggukkan kepala sembari tersenyum miring.
"Gila lo, Sa. Baru putus sama si Bela, udah dapat yang baru aja." Kahfi geleng-geleng
kepala.
Aksara menyunggingkan smirk lalu menatap Kahfi dari sudut matanya. "Jangan
panggil gue Aksara kalau nggak bisa naklukin hati semua cewek."
Aksara duduk di sebelah Kahfi sembari merangkul dengan posesif pinggang kekasih
nya. Kemudian, ia meneguk satu gelas wine yang baru saja diberikan bartender sampai habis.
"Lo pacaran sama dia udah berapa lama?" Tanya salah satu teman Aksara yang lain.
"Baru sehari." Jawab Aksara ringan.
"Playboy cap badak lo, mah."
Kekasih Aksara yang bernama Kensa itu tiba-tiba mencium pipi kirinya. "Ayo kita
dansa, Sayang." Bisiknya mesra di telinga Aksara.
"Guys, gue sama Kensa ke sana bentar ya." Pamit Aksara kepada semua teman-
temannya.
"Mau ke mana, Sa? baru aja duduk, elah." Ucap Bima, salah satu teman Aksara yang
baru saja menyesap segelas vodka.
"Biasalah," Aksara mengerling jail.
Merasa paham dengan perkataan Aksara, teman-temannya hanya mendengus,
mengiyakan.
Aksara dan kekasihnya itu berdiri dari duduknya dan bergabung ke dalam kerumunan
orang yang sibuk menggerakkan tubuhnya mengikuti dentuman demi dentuman musik yang
sangat keras.
Aksara mencumbu kekasihnya dengan sangat mesra. Begitu mesra, sampai-sampai ia
tak sadar bahwa ponsel yang berada di saku celana nya bergetar.
Cukup lama ia bercumbu dengan kekasihnya, hingga akhirnya ia sudah merasa bosan
dan memutuskan untuk berhenti dan menghampiri teman-temannya.
"Pesenin gue dua gelas wine lagi." Ujarnya pada Kahfi.
"Serius lo?"
Aksara hanya menganggukkan kepalanya.
Kahfi pun beranjak dari duduknya dan memesankan dua gelas wine lagi untuk
Aksara.
Tak lama menunggu, pesanan Aksara pun datang. "Nih, Bro."
Aksara meminum satu per satu gelas wine yang diberikan Kahfi sampai habis.
Kemudian, ia menyulutkan sebatang rokok yang sudah berada di bibirnya dengan pemantik.
"Cewek lo tadi ke mana, Sa?" Kahfi menatap Aksara.
"Toilet." Jawab Aksara sembari mengepulkan asap rokoknya ke udara.
"Btw, lo tau nggak, Sa, kalau di sekolah kita ada murid baru." Kata Bima. Aksara
yang semula sibuk menghisap rokoknya, langsung tertarik mendengarkan ucapan Bima.
"Cowok atau cewek?"
"Cewek, cantik banget buset." Bima berucap sangat antusias.
"Oh murid baru yang jadi inceran satu sekolah itu?" Kahfi menggaruk dagunya yang
tak gatal. "Kalau nggak salah sih namanya Gabriella." Tambahnya.
Aksara tersenyum miring. "Liat aja gue bakalan dapetin dia."
Kahfi dan Bima melirik satu sama lain lalu berujar secara bersamaan, "Lo serius?"
"Kenapa emangnya?"
"Gimana sama cewek baru lo?" Bima bertanya dengan muka sok polos.
"Putusin lah. Kalau lo mau, ambil aja."
Setelah berkata demikian, Aksara membuang puntung rokoknya lalu menginjaknya
hingga padam. Sedangkan Kahfi dan Bima hanya geleng-geleng kepala.
"Emang lo yakin kalau Gabriella bakalan suka sama lo? Kapten futsal di sekolah kita
aja ditolak sama dia." Bima menambahkan.
Aksara menyunggingkan senyum smirk andalannya. "Sejak kapan seorang Aksara
takut di tolak?"
Kahfi menepuk pundak Aksara sembari terkekeh. "Gue selalu suka gaya lo."
Aksara merogoh saku celana jeans untuk mengambil ponselnya. Mata Aksara sedikit
melebar ketika mendapati ada dua puluh missed call dari Araya. Aksara mengernyit, untuk
apa Araya meneleponnya malam-malam seperti ini? Bukannya Araya sudah tahu jika Aksara
pergi ke club dan tidak akan pulang. Lantas Aksara menelepon balik. Dan sepersekian detik
kemudian, sambungan telepon Aksara langsung terhubung dengan Araya.
"Halo?"
Tak ada sahutan. Hanya suara deru napas yang tersengal dan memburu yang dapat
Aksara dengar.
Karena tidak ada sahutan, Aksara kembali bersuara. "Araya, lo kenapa?"
Di seberang sana, Araya mencoba menahan air matanya yang mendesak keluar saat ia
mulai menceritakan semuanya pada Aksara.
Beberapa menit setelah Araya mengatakan semuanya, sambungan telepon tiba-tiba
terputus. Rahang Aksara terkatup rapat, giginya bergemeletuk, dan air matanya perlahan
menetes seiring dengan gerimis yang sepertinya ikut menangis.
Aksara bangkit dari duduknya, berlari keluar club, mengambil kunci motor dari saku
celana, dan melajukan motornya di atas kecepatan rata-rata menuju ke sebuah tempat.
Meninggalkan teman-teman dan kekasih Aksara yang memandangnya heran dengan tatapan
penuh tanya. Hari itu, ia menyesal telah menghiraukan waktu. Di mana seharusnya ia paham
bahwa hal yang seharusnya dijaga tidak boleh ia abaikan.
19/08/2017 pukul 20:47.
Direvisi : Rabu, 11/03/2020.
1. DIPERTEMUKAN OLEH TAKDIR
Jika semesta memberimu pilihan yang menyakitkan, maka itu adalah awal dari akhir
bahagia.
***
Juli 2018, di Jakarta.
JAM di dinding putih itu sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Tetapi
gadis berparas cantik dengan kulit putih bersih, mata berwarna cokelat terang dengan sorot
yang tajam dan bibir berwarna pink, serta hidung yang mancung, sedang bergulat manja di
atas tempat tidur berukuran queen size bersama boneka teddy bear kesayangannya yang
berukuran cukup besar.
Hari ini adalah hari minggu. Hari di mana semua orang bisa bermalas-malasan di atas
tempat tidur. Seperti yang dilakukan gadis berambut sebahu itu.
Melva membuka dan menyipitkan matanya saat cahaya matahari yang masuk dari
jendela kamar menyinarinya. Kemudian, dia bangun dan duduk di tepi tempat tidur lalu
melirik sekilas ke arah jam yang menempel di dinding kamar.
Melva terlonjak kaget saat melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 08:15. Melva
melangkah ke luar menuju kamar kedua orang tuanya yang berada di lantai satu. Dia berhenti
saat kedua bola mata cokelat terangnya menangkap pintu kamar Papa dan Mamanya. Dia
terdiam sejenak, lalu melangkah masuk.
Melva tersenyum miris ketika melihat sudah tidak ada siapa pun di dalam kamar itu.
Kedua orang tuanya pasti sudah berangkat bekerja.
"Pa, Ma, jangan kerja terus. Pikirin Melva juga yang kadang ingin menghabiskan
waktu bareng Papa sama Mama."
Kadang Melva ingin merasakan masakan Mamanya, ia juga ingin diomeli Mamanya
karena telat bangun, mendapat nilai buruk, ataupun lupa waktu karena terlalu sering
membaca buku. Ia ingin menikmati hal-hal yang biasanya didapatkan teman-temannya.
Meskipun teman-temannya selalu mengeluh karena terus-terusan diomeli, Melva justru ingin
sekali merasakannya. Sebab, sedari kecil, ia tidak pernah merasakan hal itu.
"Non Melva sudah bangun?" Tanya Mbok Imah, asisten rumah tangga Desti—Mama
Melva. Wanita paruh baya yang berusia lima puluh tahun itulah yang selalu menemaninya
sejak kecil. Mungkin, ia lebih dekat dengan Mbok Imah dari pada dengan Mamanya sendiri.
Tidak apa-apa, Melva tahu Mamanya ikut bekerja karena beliau ingin ia bahagia. Juga
karena menjadi dokter adalah cita-cita Desti dari dulu. Ia tidak mungkin menyuruh Desti
berhenti menjadi dokter karena keegoisannya. Ia tidak ingin apa yang sudah Mamanya
perjuangkan dengan susah payah harus terhenti begitu saja. Oleh sebab itu, Melva selalu
berusaha mengerti.
"Iya, Mbok."
Mbok Imah mengangguk-angguk. "Kalau Non mau makan, makanannya sudah Mbok
siapkan."
Melva tersenyum hangat. "Makasih ya, Mbok. Ya sudah Melva ke kamar dulu."
"Baik, Non."
Melva melangkah menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Beberapa
menit setelah ia menyelesaikan ritual mandinya, Melva keluar dengan baju berwarna tosca
dengan celana jeans selutut yang sudah membalut rapi tubuhnya.
Melva berjalan ke arah tempat tidurnya. Cewek itu mengambil ponsel yang ia
letakkan semalaman di bawah bantal—lalu menaruhnya di saku celana. Kebiasaannya yang
satu itu memang tidak pernah berubah.
Dengan langkah pelan, Melva menuruni tangga untuk menuju meja makan. Kedua
bola mata cokelat terangnya menatap sayu ke arah meja makan. Terkadang ia hanya ingin
Tuhan mengabulkan satu keinginannya yaitu bisa menghabiskan waktu bersama Papa dan
Mamanya yang selalu sibuk bekerja tanpa tahu bahwa ada hati yang harus mereka jaga.
Melva menghembuskan napasnya. Lalu ia menuangkan susu cokelat hangat ke dalam
gelas kemudian meneguknya hingga tandas.
Ponsel yang berada di saku celananya bergetar. Menandakan bahwa ada panggilan
masuk. Melva pun merogoh ponselnya dan melihat siapa yang meneleponnya.
Mama is calling...
Senyumnya langsung mengembang ketika mengetahui bahwa Mama yang
meneleponnya. Tanpa ingin mengulur waktu Melva langsung menerima panggilan tersebut.
"Mama!" Pekiknya ketika telepon sudah tersambung.
"Aduh, kamu kebiasaan banget deh kalau telepon suka teriak-teriak gitu."
Melva terkekeh. "Habisnya Melva kangen sama Mama."
"Lebay ah kamu, setiap hari juga ketemu sama Mama."
"Jarang. Mama sama Papa lebih sering bekerja, Mama jarang ada waktu buat Melva."
"Sudah berapa kali Mama bilang, Melva harus mengerti kalau Mama sama Papa itu
cari uang juga buat kamu sayang."
"Iya Ma, Melva ngerti."
"Makasih sayang, kamu mau mengerti. Oh iya Mama lupa berkas Mama ada yang
ketinggalan. Tolong ambilkan ya sayang."
"Berkas yang mana Ma?"
"Berkas berwarna biru di kamar Mama. Kamu cari ya sayang dan antar ke Rumah
Sakit."
"Iya Ma, nanti Melva cari."
"Ya sudah Mama tutup ya teleponnya? See you."
Belum sempat Melva menjawab, sambungan telepon sudah terputus. Dia
mengatupkan bibirnya. Tidak apa-apa, yang penting ia sudah berbicara dengan Mamanya dan
akan bertemu sebentar lagi.
Setelah Melva menghabiskan sarapannya yaitu nasi goreng, ia melihat jam melalui
ponselnya. Ternyata sekarang sudah pukul 9:30. Ia menghela napas lalu beranjak dari meja
makan, berniat mencuci piring terlebih dahulu. Jangan salah, meskipun di rumahnya ada
Mbok Imah, Melva tidak ingin selalu merepotkan beliau. Oleh karena itu, selagi ia bisa
melakukan apa pun yang ia butuhkan sendiri, mengapa ia harus meminta Mbok Imah
melakukannya?
Setelah selesai mencuci piring gadis itu langsung pergi menuju ke kamar orang
tuanya. Matanya menyapu seluruh ruangan, lalu ia bergerak menuju lemari yang menyimpan
berkas-berkas penting. Tak lama kemudian ia melihat sebuah berkas dengan map biru
bertuliskan rumah sakit tempat Mamanya bekerja. Setelah mendapatkan berkas yang
dimaksud Mamanya, Melva langsung bergegas untuk membawa berkas itu ke rumah sakit
jiwa Pelita Harapan.
Ya, Desti memang bekerja di sana. Beliau menjadi salah satu dokter di rumah sakit
itu. Sedangkan Hendry—Papa Melva—bekerja menjadi Direktur di salah satu perusahaan
yang terkenal di Jakarta. Itulah yang menjadi penyebab mereka tidak bisa menghabiskan
waktu bersama putri semata wayangnya.
Setelah berpamitan dengan Mbok Imah, Melva pun langsung menyalakan mesin
mobilnya, lalu melaju ke tempat tujuan. Sesampainya di rumah sakit jiwa, ia langsung
berjalan ke lorong rumah sakit untuk menuju ruangan kerja Mamanya.
Melva mengetuk pintu lalu membuka ruangan kerja Desti. Jantungnya berdegup
kencang ketika berjalan memasuki ruangan itu. Telapak tangannya tiba-tiba saja menjadi
dingin.
Melva mendekat, menatap setiap inci lekuk di wajah Desti. "Mama!" Dalam sekejap,
Melva langsung memeluk Desti.
"Melva udah dong meluknya, Mama nggak bisa napas nih."
Melva terkekeh. "Maaf Ma, hehe."
"Berkas yang Mama suruh ambilin mana?" Tanya Desti setelah Melva melepaskan
pelukannya.
Melva menepuk dahinya. "Oh iya, ini Ma berkasnya." Ucap Melva sambil
memberikan berkas berwarna biru itu pada Desti.
Desti tersenyum hangat. "Makasih sayang. Kamu memang anak Mama yang paling
bisa diandalkan."
"Ya sudah kamu pulang gih, Mama mau lanjut kerja. Kerjaan Mama masih banyak,
sayang." Tambah Desti sambil mengelus rambut Melva.
"Iya, Ma." Melva menganggukkan kepala tanda mengerti. "Yaudah, Melva pulang ya,
Ma." Lanjutnya sambil mencium punggung tangan Desti.
Melva mendesah kecewa. Lantas dia berjalan keluar ruangan Desti. Saat Melva
hendak menuju parkiran, tak sengaja kedua bola matanya menangkap seorang lelaki tampan
dengan kulit putih bersih, rahang tegas, sedang duduk sendiri di taman rumah sakit dengan
tatapan kosong.
"Gila, ganteng banget!" Seru Melva pelan. Entah dorongan dari mana, Melva berjalan
mendekati lelaki itu.
"Hai, gue boleh duduk nggak?" Tanya Melva hati-hati.
Tidak ada reaksi apa pun dari lelaki itu. Lelaki itu hanya diam tanpa melihat ke arah
seseorang yang mengajaknya bicara.
Melihat respons lelaki itu, Melva hanya tersenyum kikuk lalu duduk di samping lelaki
yang belum ia ketahui namanya.
"Kenalin, gue Melva Anthalia. Lo bisa panggil gue Melva." Ucapnya sambil
mengulurkan tangan kanannya kepada lelaki yang duduk di sebelahnya yang masih saja diam
dengan pandangan kosong.
Melva menarik kembali uluran tangannya. "Btw nama lo siapa? Nggak adil dong
kalau lo udah tahu nama gue sedangkan gue belum tahu nama lo." Kata Melva dengan bibir
mengerucut.
Tatapan kosong lelaki itu berubah menjadi kilat marah. Melva tahu deru napas lelaki
itu berubah memburu. Keringat dingin tiba-tiba muncul di sekitar pelipisnya.
"Gue bukan pembunuh! Gue bukan pembunuh!" Teriaknya. Sontak hal itu membuat
Melva terkejut.
"Gue bukan pembunuh! Bukan gue yang ngebunuh. Bukan gue." Teriak Lelaki itu
lagi.
Pikirannya mulai berkeliaran. Gadis itu pun perlahan menjauh dari lelaki itu. Lalu tak
lama kemudian beberapa perawat datang menghampiri mereka dan mengamankan lelaki yang
sedang mengamuk itu.
"Kalau boleh tahu dia siapa ya? Kenapa dia bisa seperti itu?" Melva bertanya dengan
nada sarat akan rasa penasaran kepada salah satu perawat.
01/06/2018 pukul 09:55
Direvisi : 11/03/2020
2. LOVE AT THE FIRST SIGHT
Bibirku membisu, tatapanku memaku, tubuhku terasa kaku, kala mata kita berdua
bertemu.

***

TERIK matahari siang ini tidak membuat pemuda dengan iris mata coklat itu berhenti
bermain basket di area lapangan outdoor SMA Rajawali.
Keringat sudah membanjiri wajah tampannya, napasnya juga mulai memburu. Hal itu
membuat seorang gadis yang semula hanya berdiri melihatnya beranjak menghampiri.
"Istirahat dulu kali," gadis itu menyodorkan minuman isotonik yang ada di tangannya
ke arah pemuda itu. "Nih minum dulu."
Bukannya menerima minuman itu, Aksara hanya melirik tanpa minat. "Pergi, Let!"
Aksara membuang bola yang ada di tangannya ke sembarang arah lalu pergi begitu saja.
"Dasar sepupu nggak tahu terima kasih." Dengusnya. Dia adalah gadis cantik dengan
poni sealis dan rambut sepinggang yang selalu dikuncir kuda, dia biasa dipanggil Violetta
oleh teman-temannya.
"Aksara lagi patah hati, Let, makanya pms gitu." Seorang pemuda yang bisa disebut
sahabat Aksara ini, bernama Dekahfi Andromeda.
"Diam lo, gue nggak minta lo ngomong ya!"
"Galak bener buset."
Violetta mengentakkan kakinya dengan kesal meninggalkan Kahfi di tengah
lapangan. Harusnya tadi dia menahan Aksara supaya tidak pergi begitu saja, namun tadi
otaknya seolah-olah tidak bekerja dengan benar. Ah, memikirkan Aksara membuat kepalanya
bisa pecah!
Aksara kembali ke tengah lapangan, dan bergabung dengan beberapa anak basket
yang sedang berlatih shooting. Cowok itu mengenakan jersey berwarna hijau hitam yang
bertuliskan Thunder, lengkap dengan bawahannya berwarna merah dan sepatu adidas
berwarna hitam putih. Keringat yang menetes di wajahnya termasuk rambutnya yang basah
membuat wajahnya berkali-kali lipat lebih tampan. Sesekali cowok itu menyisir rambutnya
membuat semua cewek yang melihat itu pun berteriak histeris.
"Anjirrr makin ganteng aja tuh cowok!"
"Aksara, semangat ya!"
"Nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan?"
"Gila cool banget!"

"Dedek meleleh bang!"


Begitulah seruan dari cewek-cewek penggemar Aksara. Namun cowok itu tidak
peduli sama sekali.
Violetta melihat ke arah kursi besi sebelah lapangan yang di dekatnya terdapat pohon
jambu. Di sana ada Melva yang sedang duduk santai sambil membaca sebuah novel dengan
serius. Dia pun berjalan menghampiri sahabatnya itu.
"Melva!" Panggil Violetta ketika sudah berdiri di samping kursi sahabatnya.
Melva yang mengenal suara itu, langsung menoleh ke kanan. "Letta! Lo darimana aja
sih? Gue cariin juga."
"Tadi kan waktu di kelas gue udah bilang kalau gue mau ke sepupu gue yang cuek
nya kebangetan itu." Violetta memutar bola matanya malas. "Lah lo sendiri ngapain disini?"
"Baca novel." Balas Melva. "Lo punya sepupu?" Tanya Melva bingung.
"Iya, masa lo nggak tau kalau gue punya sepupu? Makanya, kalau gue curhat tuh
didengerin. Jangan baca novel mulu." Violetta mendudukkan bokongnya di samping Melva.
"Hehe," Melva nyengir kuda. "Emang sepupu lo itu yang mana sih?"
Violetta menoleh ke tengah lapangan, lalu memandang seorang cowok yang tengah
bersandar di tiang ring basket dan terlihat sangat sibuk. "Itu tuh, yang make jersey warna
hijau hitam sama sepatu adidas."
"Perasaan semua anak basket pada make jersey deh." Melva mengedarkan
pandangannya. "Tapi yang make sepatu adidas cuma ada dua cowok. Jadi sepupu lo itu yang
mana?"
"Yang paling ganteng pokoknya! Tepatnya yang lagi bersandar di tiang ring basket."
Melva mengerutkan keningnya kemudian mengikuti arah pandangan Violetta, teman
baru yang sudah ia kenal sejak mereka mengikuti tes masuk SMA Rajawali satu minggu yang
lalu. Mereka menjadi semakin akrab dan bersahabat ketika masuk ke kelas yang sama, yaitu
X IPA 2.
Melva bukan termasuk golongan cewek populer. Dia juga tidak mengikuti ekskul apa
pun di sekolah. Melva tidak ingin menjadi sorotan dan dikenal banyak orang. Entahlah, dia
lebih memilih untuk menutup dirinya. Hobinya adalah membaca novel. Jika Melva sedang
serius membaca novel, maka semua akan diabaikannya.
Melva terpaku. Dia menatap lelaki yang merupakan sepupu sahabatnya itu dengan
tatapan yang sulit diartikan. Ada keanehan yang tiba-tiba menyeruak di dalam hatinya. Melva
merasa sepertinya pernah bertemu dengan cowok itu. Tapi di mana?

Melva berdeham, "Oh yang itu," Melva melirik minuman isotonik yang dipegang
Violetta. "Itu minuman buat dia?" Tebak Melva yang dibalas anggukan oleh Violetta.
"Terus nggak lo kasih ke dia?"
"Udah, tapi nggak diterima kampret." Violetta mendengus.
"Kenapa dia nggak nerima minuman yang lo kasih?"
Violetta terdiam sejenak, sebelum akhirnya dia menjawab, "Sikapnya emang kayak
gitu, ketus, cuek dan dingin. Tapi kalo lo udah kenal dia, dia baik dan care banget kok."
"Dia tetep cuek ke sepupunya sendiri?" Melva bertanya lagi.
"Iya. Tapi dulu, sebelum kejadian itu terjadi, sikapnya nggak cuek dan dingin kayak
gitu. Kejadian itu membuat segala sesuatunya berubah, Mel. Karena kejadian itu, dia jadi
trauma dan membatasi dirinya untuk berteman dengan siapapun. Termasuk mengubah semua
sikap dia yang dulu." Tambah Violetta sedih.
"Kejadian apa?" Tanya Melva hati-hati.
Violetta terdiam, dia tidak tahu harus berkata apa. Sedangkan Melva yang mendapat
respon seperti itu mengangguk mengerti. Mungkin Violetta belum siap untuk bercerita
kepadanya. Kemudian Melva kembali menatap Aksara dan mengamati setiap gerak gerik
cowok itu.
***
"BAIKLAH, pelajaran hari ini Ibu tutup, selamat sore."
"Selamat sore, Bu."
Semua murid di dalam kelas langsung bersiap-siap untuk pulang dan bergegas
membereskan alat tulis mereka lalu memasukkannya ke dalam tas masing-masing. Dan
setelah itu, semua siswa-siswi langsung berhamburan keluar kelas. Termasuk Melva dan
Violetta.
"Mel, ikut gue bentar ke kelas sepupu gue ya." Kata Violetta. "Gue mau ngasih
sesuatu ke dia."
Melva menaikkan sebelah alisnya. "Sesuatu?"
"Iya, sesuatu dari mama gue buat mama nya. Kayaknya sih soal bisnis." Jawab
Violetta.
"Kalo soal bisnis kenapa nggak mama lo aja yang ngasih langsung ke mama nya
Aksara?"
"Mungkin karena mama gue terlalu sibuk dan banyak kerjaan, jadi nggak ada waktu
buat ngasih langsung."
Mereka berjalan beriringan menuju ke koridor lantai dua. Di kelas Aksara berada, XI
IPS 1. Sesekali, mereka berdua mengobrol, dan tawa renyah pun terdengar dari bibir Melva
ketika Violetta melontarkan candaan recehnya. Dan kini, mereka sudah berada di depan
ruang kelas Aksara.
"Lo mau ikut masuk nggak, Mel?" Tanya Violetta.
Melva menggeleng, "nggak deh, gue nunggu lo disini aja."
Violetta mengangguk. Kemudian, dia berjalan masuk ke dalam kelas sepupunya yang
sudah sepi, hanya ada Aksara dan Kahfi yang masih berada di sana.
"Nih, ada titipan dari mama gue buat mama lo." Ujar Violetta sambil menyodorkan
sebuah amplop berwarna cokelat kepada Aksara.
Aksara melirik Violetta sekilas. "Taruh aja disitu." Ucap Aksara, yang kemudian
melanjutkan aktivitasnya bermain game mobile legends.
Violetta mendengus, lalu tatapannya beralih kepada Kahfi yang sepertinya sedang
sibuk mengerjakan sesuatu.
"Serius amat muka lo, Kak. Lagi ngerjain apaan sih?" Tanya Violetta pada Kahfi.
Kahfi menatap Violetta. "Ngerjain tugas sepupu lo." Jawaban Kahfi membuat Violetta
tertawa.
Ya, Kahfi memang sedang mengerjakan tugas Aksara yang diberikan Bu Marta tadi
sebelum bel pulang berbunyi dengan nyaring. Bu Marta sengaja memberikan tugas itu kepada
Aksara sebagai hukuman karena tadi cowok itu tidur di kelas saat Bu Marta sedang
menjelaskan pelajaran. Aksara yang tidak bisa matematika itu pun menyuruh Kahfi untuk
mengerjakan tugasnya. Selain karena otak Kahfi yang bisa diandalkan, cowok itu juga
memberikan sebuah tawaran menarik kepadanya.
"Kok lo mau aja sih disuruh ngerjain tugas sama dia?" Violetta yang masih tertawa itu
menatap Kahfi dengan heran.
Aksara yang mendengar hal itu sontak melotot tajam ke arah Violetta, yang membuat
cewek itu langsung tersenyum kikuk.
Kahfi mengangkat bahunya kemudian beralih menatap Aksara. "Pokoknya nanti lo
harus traktir gue bakwan sepuasnya!" Tuntut Kahfi.
"Hm,"
Tatapan mata Aksara kini tertuju kepada seorang gadis yang sedang berdiri di ambang
pintu kelasnya sambil berkutat pada handphone di tangannya. Sepersekian detik tatapan
Aksara terkunci menatap gadis yang menarik perhatiannya itu.
Violetta menaikkan sebelah alisnya, bingung. Kenapa tiba-tiba sepupunya malah
melamun dan terus menatap ke arah luar? Violetta pun mengikuti arah pandangan Aksara.
Dan ia benar-benar terkejut ketika mengetahui bahwa Aksara ternyata sedang memperhatikan
sahabatnya.
"Dia temen gue, namanya Melva." Suara Violetta membuat Aksara menatapnya
dengan ekspresi datar.
"Dari tadi gue perhatiin, lo ngelihatin Melva terus. Hayo ngaku, lo suka sama dia ya?"
Senyum jahil tercetak di bibir Violetta.
Aksara tidak menggubris sama sekali. Dia mengabaikan pertanyaan Violetta yang
menurutnya tidak jelas.
Tiba-tiba sebuah ide terlintas di pikiran cewek itu. Violetta pun menyunggingkan
senyum misteriusnya, lalu berjalan keluar kelas menghampiri sahabatnya.
Saat ia sudah berdiri di depan Melva, Violetta tiba-tiba menarik tangan Melva dan
membawanya masuk ke dalam kelas. Sedangkan Melva yang diperlakukan seperti itu
memutar bola mata kesal.
"Aksara, katanya Melva pengen kenalan sama lo." Kata Violetta polos sambil
tersenyum tanpa dosa.
Aksara yang semula fokus bermain game dan Kahfi yang sedang sibuk mengerjakan
tugas langsung mendongak secara bersamaan.
Melva mendelik. "Eh, sembarangan lo, Let! Gue kan nggak minta kenalan."
Kahfi tersenyum menggoda. "Kalau pengen kenalan juga boleh, dengan senang hati."
Cowok itu mengulurkan tangannya kepada Melva. "Dekahfi Andromeda."
Dengan ragu, Melva membalas uluran tangan Kahfi. "Melva Anthalia." Ucap Melva
diiringi senyum manisnya.
"Loh kok jadi kalian yang kenalan sih?" Violetta terlihat kesal. "Melva kan harusnya
kenalan sama Aksara, bukan lo!" Sewot Violetta.
"Terserah gue lah," Kahfi beralih menatap Aksara. "Sa, Melva pengen kenalan sama
lo tuh."
Aksara mengendikkan bahunya. Lalu cowok dengan rahang yang kokoh itu menatap
Melva yang ternyata juga sedang menatapnya. Dan tatapan mata mereka bertemu untuk
pertama kalinya.
Cantik. Aksara mengakui bahwa cewek yang berada di depannya ini memang cantik.
Rambut yang panjangnya sebahu itu dibiarkan tergerai. Tatapan matanya meneduhkan.
Belum apa-apa, Aksara sudah kagum pada sosok itu.
"Gue, Aksara." Ucapnya singkat, padat, dan jelas. Setelah itu, Aksara keluar dari
dalam kelas dengan tas yang disampirkan di bahu kanannya.
Dua kata yang keluar dari mulut cowok itu mampu membuat Violetta dan Kahfi
tercengang. Violetta menatap punggung Aksara yang semakin menjauh dengan mata
membulat. Sedangkan Kahfi masih belum sadar dengan keterkejutannya. Sosok Aksara yang
mereka kenal tidak pernah mau berkenalan dengan seorang cewek manapun semenjak
kejadian itu terjadi, tiba-tiba mau memperkenalkan dirinya sendiri. Violetta benar-benar
heboh, karena baru saja ia menyaksikan hal lain yang terdapat dalam diri Aksara.
***

Anda mungkin juga menyukai