Anda di halaman 1dari 4

TUGAS MATA KULIAH PENGANTAR HUKUM INDONESIA

BAGUS SUGARA PUTRA


3021210134 / KELAS D
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASILA
TUGAS 8_MERANGKUM BAB 1 BUKU INTISARI HUKUM PIDANA

A. Pengertian Hukum Pidana

Dalam ilmu hukum pidana dikenal dengan perbedaan ius punale (hukum pidana) dan ius
puniendi (hak memidana). Ditinjsu dari satu segi, hukum pidana substansif/materiel dapat
disebut hukum delik, kata delik berasal dari Bahasa latin “delictum” yang artinya “falen”
(Belanda) atau gagal karena kesalahan dan memang ketentuan hukum pidan aitu berupa
perumusan sikap tindak yang salah (karena gagal mematuhi/melaksanakan yang baik atau
benar). Dari segi hukum pidana substantif/material dapat dianggap sebagai hukum “sanctie”
yang arti asalnya ialah “bevestigen beckrachtiging”atau penegasan yang dapat bersifat positif
dalam bentuk hadiah/anugrah atau bersifat negatif dan berupa hukuman termasuk pidana
sebagai penderitaan yang dapat diancamkan terhadap dia/mereka yang memenuhi perumusan
delik dalam ketentuan hukum pidana.

B. Sejarah Hukum Pidana

Semua hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah hukum pidana adat walaupun
hukum pidana adat ini masih sangat dipengaruhi oleh hukum islam, namun sebagian besar
masih bersifat asli. Sejarah hukum tertulis dimulai dengan waktu kedatangan orang Belanda
yang pertama di Indonesia. Maka hukum yang berlaku bagi orang Belanda di Indonesia
sebanyak mungkin disamakan dengan hukum yang berlaku di Negeri Belanda. Asas
konkordansi (pasal 131 ayat 2 sub.a IS) senantiasa dipegang teguh oleh selama orang Belanda
itu menguasai perundang-undangan di Indonesia. Jadi sejak permulaan, hukum pidana tertulis
yang berlaku di Belanda di konkordansi dengan hukum pidana yang berlaku di Indonesia.

Pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia semua terdapat dualisme dalam perundang-
undangan. Ada peraturan perundang-undangan hukum tersendiri untuk orang-orang Belanda
dan orang-orang Eropa yang merupakan jiplakan belaka dari hukum yang berlaku di negeri
Belanda dan ada peraturan-peraturan hukum tersendiri untuk orang-orang Indonesia dan
orang-orang timur asing. KUHP mulai berlakunya disertai suatu “Invoerings verordening”
yang mengatur secara terperinci peralihan dari hukum pidana lama ke hukum pidana yang
baru. Keadaan hukum pidan aini dilanjtkan pada zaman pendudukan Jepang dan pada
permulaan zaman kemerdekaan Indonesia berdasarkan atas aturan-aturan peralihan, baik dari
pemerintahan Jepang maupun dari Undang-Undang Republik Indonesia 1945 pasal II AP.

Pada zaman Jepang untuk semua golongan penduduk kecuali bangsa Jepang hanya ada
dua pengadilan yaitu "Tie Hooin" da Hooin" lanjutan dari pengadilan zaman Belanda
'"Landraad" dan "Landgerecht', dan sebagai hukum acaranya dipergunakan HIR dan
Landgerechts Reglement di zaman merdeka berdasarkan aturan. Pada tanggal 23 september
1981, setelah penyampaian pendapat DPR RI dalam sidang paripurna, maka RUU hukum
acara pidana disahkan oleh presiden menjadi undang-undang. Presiden pada tanggal 31
desember 1981 telah mengesahkan RUU tersebut menjadi Undang-undang No.8 Tahun 1981
(LN No. TLN No. 3209)

C. Berlakunya KUHP dan KUHAP

Berlakunya KUHP

Di dalam teori biasanya diadakan pembagian atas empat asas mengenai berlakunya KUHP.
Keempat asas tersebut adalah Satochid Kartanegara:

i. Asas territorial atau asas wilayah


ii. Asas nasionalis aktif atau personalitas
iii. Asas nasionalis pasif atau asas perlindungan
iv. Asas universalitas

Berlakunya KUHAP

Ruang lingkup berlakunya KUHAP ini dapat kita baca pada pasal 2 KUHAP yang isinya
adalah sebagai berikut: Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan
dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan. Di dalam penjelasan dari
Undang- undang RI No. 8 Tahun 1981 dikatakan bahwa:

a. Ruang lingkup undang-undang hukum acara pidana ini mengikuti asas-asas yang dianut
oleh hukum pidana Indonesia.

b. Yang dimaksud dengan ''peradilan umum" termasuk pengkhususannya sebagaimana


tercantum dalam penjelasan pasal 10:1 alinea terakhir Undang-undang No. 14 Tahun 1970.
D. Sumber Hukum Pidana

Ilmu hukum Indonesia mengenal sumber-sumber hukum, ialah:

i. Undang-Undang
ii. Kebiasaan
iii. Adat istiadat setelah melalui keputusan penguasa
iv. Traktat
v. Yurisprudensi
vi. Pendapat para ahli hukum (sumber hukum dalam arti formal)

Di Indonesia sumber utama hukum pidana terdapat di dalam Kitab Undang-undang


Hukum Pidana dan peraturan perundang-undangan hukum pidana lainnya, tetapi di samping
itu masih dimungkinkan sumber dari hukum adat atau hukum rakyat yang masih hidup
sebagai peristiwa pidana dengan batasan-batasan tertentu menurut Undang- undang Darurat
1951 No. 1 pasal 5 ayat (3) B. (Bambang Poernomo: 1978). Untuk hukum acara pidana
bersunber pada KUHAP. Undang- undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981.

E. Hukum Pidana dan Krimonologi

Ilmu hukum pidana mempunyai tugas untuk menjelaskan, menguraikan dan seterusnya
menyusun dengan sistematis norma hokum pidana dan sanksi pidana, agar pemakaiannya
menjadi berlaku lancar. Oleh sebab itu, yang menjadi objek ilmu hukum pidana adalah
hukum pidana positif. Yang dipelajari oleh ilmu pengetahuan itu adalah terutama mengenai
asas-asas yang menjadi dasar daripada peraturan peraturan hukum pidana positif, serta
mencari hubungan antara asas-asas tadi dalam suatu sistem agar dapat dipahami apa yang
menjadi sudah daripada peraturan-peraturan yang berlaku itu. Dengan demikian dapatlah
diketahui makna, maksud dan tujuan dari hokum pidana yang berlaku itu.

Menurut Martin L. Haskell dan Lewis Yablonsky, kriminologi sebagai studi ilmiah tentang
kejahatan dan penjahat mencakup analisa tentang:

❖ Sifat dan luas kejahatan


❖ Sebab-sebab kejahatan
❖ Perkembangan hukum pidana dan pelaksanaan peradilan pidana
❖ Ciri-ciri penjahat
❖ Pembinaan penjahat
❖ Pola-pola kriminalitas
❖ Akibat kejahatan atas perubahan social

F. Kegunaan Hukum Pidana

Hukum adalah suatu wahana untuk melindungi kepentingan warga atau golongan dari
gangguan warga atau golongan lain dalam masyarakat. Kepentingan itu bermacam-macam,
ada yang bila diganggu mengakibatkan penggantian kerugian oleh yang bertanggung jawab
seperti dalam hal yang disebut perkara (hukum) perdata, ada juga kemungkinan penanggung
jawab itu dipecar dari jabatannya sebagaimana dalam hal yang disebut perkara (hukum)
administrasi negara. Apabila gangguan kepentingan itu sedemikian rupa, sehingga tidak
memadai akibatnya ganti rugi saja atau pemecatan saja sebagai sanctie nya, maka tidak boleh
tidak diperlukan lain macam penyelesaian yang lebih cepat dan dianggap adil.

Anda mungkin juga menyukai