Anda di halaman 1dari 26

11

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Konsep Diri

1. Pengertian Konsep Diri

Konsep diri adalah suatu kontruks sentral untuk mengenal dan

mengerti manusia. Konsep diri bersifat fenomenologis, yang berarti terdapat

prinsip dasar bahwa manusia bereaksi terhadap dunia fenomenalnya sesuai

dengan persepsinya tentang dunia itu. Dalam dunia fenomenal seseorang,

aspek yang memegang peranan penting adalah dirinya sendiri. Menurut Fitts

(1971) konsep diri bagaimana diri diamati, dipersepsikan dan dialami oleh

orang tersebut.

Konsep diri mengandung unsur penilaian dan mempengaruhi pelilaku

seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Hal ini sependapat dengan

yang diungkapkan oleh Tarakanita (2004) bahwa interaksi individu dengan

lingkungan sosialnya sangat tergantung dipengaruhi oleh konsep diri. Hardy

dan Heyes (1988) menyatakan bahwa konsep diri adalah pengetahuan

seseorang tentang siapa dirinya dan sikap terhadap diri adalah pengetahuan

seseorang tentang siapa dirinya dan sikap terhadap diri dan perilakunya.

Menurut Burns (1993) konsep diri mencerminkan persepsi seseorang

terhadap dirinya secara keseluruhan. Konsep diri terbentuk dari hasil interaksi

antara organisme dengan medan fenomenal baik orang tersebut sebagai subjek

11
12

maupun sebagai objek. Nilai-nilai yang menyertai pengalaman dan yang

menjadi bagian dari struktur diri merupakan nilai yang dialami langsung oleh

organisme, dan sebagian lain diperoleh melalui introyeksi dari nilai orang

lain.

Menurut Zebua & Nurdjayadi (2004) konsep diri memuat ide, persepsi

dan sikap yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri. Pendapat-pendapat

tersebut menyatakan bahwa konsep diri bukanlah faktor bawaan namun

merupakan hasil interaksi dengan lingkungan, konsep diri dapat berubah dan

dapat dipelajari. Konsep diri memegang peran penting dalam hidup manusia

karena menentukan tindakan individu dalam berbagai situasi.

Konsep diri mulai terbentuk dan seseorang akan berprilaku sesuai

dengan konsep diri tersebut. Pandangan seseorang tentang dirinya akan

menentukan tindakan yang akan diperbuatnya. Seseorang memiliki konsep

diri yang positif, maka akan terbentuk penghargaan yang paling tinggi pula

terhadap dirinya sendiri, atau dapat dikatakan self esteem yang tinggi.

Remaja yang memiliki konsep diri yang positif atau self esteem yang

tinggi, maka segala perilakunya akan selalu tertuju pada keberhasilan,

sebaliknya apabila seseorang memiliki konsep diri yang negatif, maka akan

muncul evaluasi negatif pula pada dirinya (Tjipto, 2008).

2. Aspek-aspek Konsep Diri

Menurut Kurniawan (2005) konsep diri terbentuk atas dua komponen

yaitu :
13

a. Komponen Kognitif

Pengetahuan individu tentang keadaan dirinya atau penjelasan dari “siapa

saya” yang akan memberikan gambaran tentang diri saya, misalnya “saya

bodoh” atau “saya anak nakal”. Komponen kognitif ini selanjutnya disebut

sebagai gambaran diri (self picture) yang akan membentuk citra diri (self

image). Komponen negatif ini juga merupakan data yang bersifat objektif.

b. Komponen Afektif

Penilaian individu terhadap dirinya, misalnya “saya puas dan senang

dengan keadaan saya karena saya mempunyai kedudukan baik

dimasyarakat. Penilaian tersebut akan membentuk penerimaan diri (self

acceptance) serta harga diri (self esteem) individu. Komponen afektif ini

merupakan data yang bersifat subyektif.

Juana (2009) mengungkapkan dua komponen dalam konsep diri yaitu

komponen kognitif atau yang disebut dengan citra diri (self image) dan

komponen afektif atau yang disebut dengan harga diri (self esteem). Menurut

Juana (2009) menyatakan bahwa konsep diri memiliki tiga dimensi, yaitu :

a. Dimensi pengetahuan, yaitu segala pengetahuan atau informasi yang

individu ketahui tentang diri umur, jenis kelamin, penampilan dan

sebagainya.

b. Dimensi Harapan, yaitu suatu pandangan tentang kemungkinan menjadi

apa individu dimasa mendatang atau dengan kata lain dimensi harapan ini

merupakan gambaran tentang ideal diri.


14

c. Dimensi Penilaian, yaitu penilaian individu tentang gambaran tentang

siapa dia dan gambaran tentang seharusnya menjadi atau menjadi apa dia.

Jika kedua gambaran tersebut berbeda sekali, maka sangat

memungkinkan individu merasa tidak bahagia dan dapat mengakibatkan

ketidakpuasan.

B. Konsep Dasar Religiusitas

1. Pengertian Religiusitas

Sejak manusia lahir di dunia, manusia mempunyai potensi beragama

atau berkeyakinan kepada Tuhan dengan kata lain percaya adanya kekuatan di

luar dirinya yang mengatur hidup dan kehidupan alam semesta. Hal ini yang

kemudian disebut dengan religiusitas (Yulianto, 2006). Religiusitas tidak

identik sama dengan agama. Jika agama lebih menunjuk kepada kelembagaan

kebaktian kepada Tuhan dalam aspek yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan

dan hukum-hukumnya serta keseluruhan organisasi kitab keramat dan

sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan, maka religiusitas

lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati”, hati nurani pribadi, sikap

personal, cita rasa yang mencakup totalitas kedalaman diri pribadi manusia.

Religiusitas pada dasarnya lebih dalam dari agama yang tampak formal, resmi

(Mangunwijaya 2004).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat

religiusitas adalah sejauh mana perasaan batin seseorang yang ada

hubungannya dengan Allah, hanya kepada Allah SWT manusia merasa


15

bergantung, berserah diri dan patuh dalam menjalankan aturan-aturan yang

diinginkan oleh agama Islam. Pada tingkat religiusitas, bukan peraturan atau

hukum yang bicara, akan tetapi keikhlasan, kesukarelaan, kepasrahan diri

kepada Tuhan (Mangunwijaya 2004).

Religiusitas seseorang dapat ditentukan oleh tinggi rendahnya masing-

masing aspek religius yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan. Adapun

ciri-ciri individu yang mempunyai religiusitas tinggi dapat dilihat dari tindak

tanduk, sikap dan perkataan serta seluruh jalan hidupnya mengikuti aturan–

aturan yang diajarkan oleh agama (Glock & Stark dalam Purwati dan Lestari,

2008).

Jalaludin (2005) menyebutkan ada 2 faktor yang mempengaruhi

tingkat religiusitas:

a. Faktor intern, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu. Terdiri

dari faktor hereditas (keturunan), tingkat usia, kepribadian, dan Kondisi

kejiwaan.

b. Faktor ekstern, dapat dilihat dari lingkungan dimana seseorang itu hidup.

Faktor ekstern terdiri dari lingkungan keluarga, lingkungan institusional,

dan lingkungan masyarakat.

2. Aspek-aspek Religiusitas

Aspek-aspek Religiusitas dalam Islam menurut Ancok (2008), terdiri

atas:
16

a. Aspek keyakinan atau akidah, menunjuk pada seberapa tingkat keyakinan

muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya, terutama terhadap

ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik, seperti keyakinan

tentang Allah, malaikat, Nabi/ Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka,

serta qadha dan qadar.

b. Aspek peribadatan atau syariah, menunjuk pada seberapa tingkat

kepatuhan muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual

sebagaimana disuruh dan dianjurkan oleh agamanya, seperti pelaksanaan

shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Quran, zikir, kurban, dan lain-lain.

c. Aspek penghayatan, menunjuk pada seberapa jauh tingkat Muslim dalam

merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman-

pengalaman religius, seperti perasaan dekat dengan Allah, perasaan doa-

doanya sering terkabul, perasaan bertawakal (pasrah diri secara positif)

kepada Allah, perasaan khusuk ketika melaksanakan shalat atau berdoa,

perasaan bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat peringatan atau

pertolongan dari Allah.

d. Aspek akhlak atau pengalaman, menunjuk pada seberapa tingkatan

Muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu

bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia

lain, seperti suka menolong, bekerja sama, berlaku jujur, memaafkan,

tidak berjudi, mematuhi norma-norma Islam dalam berperilaku seksual.


17

e. Aspek ilmu atau pengetahuan, menunjuk pada seberapa tingkat

pengetahuan dan pemahaman muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya,

terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya, sebagaimana

dalam kitab suci, seperti pengetahuan tentang isi Al-Quran, rukun Iman

dan rukun Islam, hukum-hukum islam, sejarah Islam dan sebagainya.

C. Konsep Dasar Objektifikasi Seksual

1. Pengertian Objektifikasi Seksual

Menurut Posner (2008) objektifikasi seksual terkait dengan asal kata

objektifikasi (objectification) yang berarti memperlakukan orang sebagai

benda atau instrumen. Objektifikasi seksual dapat didefinisikan sebagai suatu

keadadan dimana seseorang diperlakukan sebagai benda atau instrumen yang

dapat digunakan secara seksual. Objektifikasi seksual menurut Sterinberg

(2008) adalah memperlakukan wanita sebagai objek keinginan seksual pria

dengan mengutamakan pada aspek tubuh atau bagian tubuh wanita tersebut

dan mengabaikan aspek lain seperti kepribadian, inteligensi dan perasaan

individu.

Menurut Eviandari (2004) praktik objektifikasi seksual terjadi ketika

tubuh semata-mata sebagai objek seksual, untuk diamati, dievaluasi serta

ditentukan nilai dan maknanya oleh pihak lain diluar si pemilik tubuh,

sehingga aspek tubuh yang lebih mudah teramati bagi pengamat atau

evaluator menjadi aspek yang lebih dipentingkan. Aspek tersebut adalah


18

aspek tampilan fisik, seperti warna kulit, sensualitas atau ukuran bagian badan

tertentu (pinggang, pinggul, payudara, dan lain-lain).

Menurut Kurniawan (2005) objektifikasi seksual muncul dalam tiga

hal, antara lain :

a. Dalam hubungan intrpersonal dan hubungan sosial.

b. Dalam media visual yang melukiskan hubungan interpersonal dan

hubungan sosial.

c. Media visual yang menyoroti tubuh atau bagian tubuh dan secara sengaja

mengajarkan individu terhadap pandangan seksual.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa objektifikasi seksual

adalah suatu keadaan ketika tubuh atau bagian-bagian tubuh perempuan

dilihat semata-mata sebagai obyek seksual untuk diamati, dievaluasi,

ditentukan nilai dan maknanya oleh pihat lain diluar pemilik tubuh yang

bersangkutan.

Andriani (2004) mengartikan persepsi sebagai pengalaman tentang

obyek peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan

menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi adalah pemberian

makna pada stimulasi indrerawi. Menurut Monks (2004) persepsi berkaitan

dengan pemberian arti atau pemahaman terhadap suatu stimulasi yang

diterima. Pendapat tersebut didukung oleh Irwanto (2007) yang menyatakan

persepsi sebagai proses diterimanya rangsangan (obyek, kualitas, hubungan


19

antara gejala maupun peristiwa) sampai rangsangan itu disadari dan

dimengerti dan persepsi mempunyai penafsiran pengalaman.

Menurut Walgito (2005) mengemukakan persepsi sebagai proses

pengorganisasian dan penginterprestasian terhadap stimulus yang diterima

oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti,

dengan persepsi individu dapat menyadari, dapat mengerti tentang keadaan

lingkungan yang ada disekitarnya dan juga tentang keadaan diri individu yang

bersangkutan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa seluruh apa yang ada dalam

individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir, kerangka acuhan

dan aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu akan ikiut berperan dalam

persepsi tersebut. Berdasarkan hal tersebut dapat dikemukakan bahwa dalam

persepsi itu sekaligus stimulusnya sama, tetapi karena pengalaman tidak sama,

kemampuan berpikir tidak sama, kerangka acuhan tidak sama, ada

kemungkinan hasil persepsi antara individu satu dengan yang lain tidak sama.

Keadaan tersebut memberikan gambaran bahwa persepsi itu bersifat

individual.

Pendapat Walgito (2005) di atas didukung oleh pendapat Davidoff

(1991) yang mengartikan persepsi adalah proses kognitif yang berbeda dari

individu yang satu dengan yang lain tergantung dari pengalaman, harapan,

motivasi, dan emosi dari masing-masing individu. Pendapat itu juga senada

dengan Kurniawan (2005) yang menyatakan persepsi sebagai proses

pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu. Oleh karena itu
20

setiap orang memberikan arti kepada stimulus, maka individu yang berbeda

akan melihat stimulus yang sama dengan cara yang berbeda-beda pula.

Teori-teori mengenai persepsi tidak hanya meliputi pembahasan

mengenai persepsi terhadap obyek, melainkan juga persepsi terhadap manusia

atau yang disebut persepsi sosial. Menurut Andriani (2004) persepsi sosial

adalah membuat penilaian atau persepsi terhadap orang lain melalui

perkataan, gerak tubuh, ekspresi wajah atau isyarat non verbal (bahasa tubuh),

sedangkan Walgito (2005) mengemukakan persepsi sosial sebagai suatu

proses seseorang untuk mengetahui, menginterprestasikan dan mengevaluasi

orang lain yang dipersepsi, tentang sifat-sifatnya, kualitasnya dan keadaan lain

yang ada didalam diri orang yang dipersepsi, sehingga terbentuk gambaran

yang mengenai orang yang dipersepsi.

Kunci untuk memahai persepsi terletak pada pengalaman atau stimulus

pada obyek, yang kemudian memberikan satu penafsiran positif atau negatif

terhadap simulus atau obyek itu sendiri. Persepsi bukan lah pencatatan yang

benar terhadap stimulus atau obyek. Apabila yang dirasakan seseorang dpat

menyenangkan pada dirinya, maka akan dipersepsikan sebagai positif,

sebaliknya apabila dirasakan oleh seseorang berakibat tidak menyenangkan

akan dipersepsikan negatif.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan, bahwa

persepsi adalah suatu proses dalam diri seseorang yang meliputi

pengorganisasian dalam pikirannya, memandang, menilai, menafsirkanya dan


21

mengolah segala stimulus yang diterimanya. Sehingga orang tersebut

mendapatkan pegertian atau pemahaman terhadap stimulus yang diterimanya.

Persepsi seseorang terhadap suatu stimulus akan lebih penting daripada

stimulus itu sendiri karena kelak akan mempengaruhi tingkah laku yang

dipilihnya.

Menurut Sarwono (2008) mendefinisikan remaja atau adolescence

(inggris) berasal dari kata latin adolescence yang berarti tumbuh kearah

kematangan. Kematangan disini tidak hanya kematangan fisik, melaikan

kematangan sosial-psikologis. Sependapat dengan Hurlock (2005)

mengartikan remaja atau adolescence sebagai “tumbuh” atau “tumbuh

menjadi dewasa”. Istilah remaja tersebut memiliki arti yang lebih luas

mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik.

Menurut Mappiare (2001) berpendapat bahwa remaja melingkupi

preiode atau massa bertumbuhnya seseorang dalam massa transisi dari masa

kanak-kanan ke masa dewasa. Pendapat tersebut didukung oleh Monks (2004)

bahwa masa remaja merupakan masa transisi atau pengalihan dimana dirinya

tidak lagi memiliki status kanak-kanak dan belum memperoleh status dewasa.

Batas usia remaja menurut Monks, Knoers, Haditono (2004) adalah

masa diantara usia 12-21 tahun dengan perincihan 12-15 tahun masa remaja

awal, 15-18 tahun remaja tengah, 18-21tahun adalah masa remaja akhir.

Mappiare (2001) menyebutkan batasan usia remaja antara 12-21 tahun yang
22

terbagi menjadi dua fase, yaitu masa remaja awal (12-17 tahun) dan remaja

akhir (18-21 tahun).

Pada masa remaja awal dan akhir pubertas, pemahaman seksual dan

pertumbuhan serta perkembangan fisik remaja perempuan atau putri lebih

cepat daripada remaja laki-laki. Akibat dari percepatan pertumbuhan fisik

serta pemahaman seksual pada remaja putri tersebut kan berpengaruh terhadap

perkembangan psikososialnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Monks,

Knoers, Haditono (2004) bahwa perkembangan fisik memberikan implus-

implus baru pada perkembangan psikososial. Hubungan kausalitas ini berjalan

dari aspek fisik ke aspek psikososial, sebaliknya reaksi individu terhadap

perkembangan fisik tergantung dari pengaruh lingkungannya dan dari sifat

pribadinya sendiri yaitu interprestasi yang diberikan terhadap lingkungan itu.

Remaja akhir menurut Mappiare (2001) seperti pola-pola sikap, pola

perasaan, pola pikiran dan pola prilaku yang nampak menunjukkan

kemantapan. Ciri-ciri khas remaja akhir antara lain :

a. Aspek fisik dan psikis telah stabil

b. Citra diri (konsep diri) dan sikap pandangan yang lebih realistis.

c. Menghadapi masalahnya secara matang

d. Perasaan menjadi lebih senang

Dapat disimpulkan bahwa remaja putri adalah individu yang sedang

mengalami masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa depat dimana

terdapat pertumbuhan dan perkembangan fisik, sosial dan psikologis yang


23

menyertainya. Rentang usia masa remaja adalah 12-21 yang terdiri dari dua

fase, yaitu fase remaja awal (12-17 tahun) dan remaja akhir (18-21 tahun).

Penelitian ini, peneliti menggunakan remaja awal (12-17 tahun) sebagai

subjek penelitian.

Berdasarkan pendapat-pendapat tokoh diatas maka dapat disimpulkan

bahwa persepsi terhadap objektifikas seksual pada remaja putri adalah

pengertian dan pemahaman oleh seorang remaja putri usia 12-17 tahun

mengenai suatu keadaan ketika tubuh atau bagian-bagian tubuh perempuan

dilihat semata-mata sebagai objek seksual untuk diamati, dievaluasi,

ditentukan nilai dan maknanya oleh pihak lain diluar pemilik tubuh yang

bersangkutan.

2. Aspek-aspek Persepsi terhadap Objektifikasi Seksual pada Remaja Putri

Menurut Veerbek (2004) persepsi adalah pemahaman yang mempunyai 2

aspek :

a. Aspek Obyektif yaitu sifat benda yang mempunyai ciri-ciri dapat

ditangkap melalui indera

b. Aspek Subjektif yaitu tergantung pada subjek yang menangkap dan

disusun dalam organisasi yang penuh arti

Menurut Gitosudarmo (2008) mengemukakan aspek persepsi sebagai

berikut :

a. Memberikan arti terhadap stimulus yang diterima individu dimana

individu akan melihat sesuatu yang sama dengan cara yang berbeda-beda
24

b. Penilaian merupakan ciri-ciri dari stimulus seperti nilainya bagi individu

yang mempunyai pengaruh tentang bagaimana stimulus itu dipersepsi

c. Kebutuhan yang merupakan perasaan yang muncul dari diri individu

terhadap suatu keinginan yang harus ada pemenuhannya agar dapat

menimbulkan kepuasan

Menurut Eviandari (2004) aspek objektifikasi seksual adalah tampilan

fisik atau tubuh yang mudah diamati oleh orang lain seperti warna kulit,

sensualitas, bagian badan tertentu (pinggang, pinggul, payudara, dan lain-

lain). Menurut Steinberg (2008) bahwa dalam objektifikasi seksual aspek

tubuh atau bagian tubuh wanita lebih diutamakan daripada aspek lainnya

seperti kepribadian, inteligensi, dan perasaan individu.

Beberapa aspek persepsi terhadap objektifikasi seksual yang telah

diungkapkan diatas, peneliti mengungkapkan aspek pandangan, penafsiran,

dan aspek penilaian untuk mengungkapkan persepsi pada penelitian ini.

Pemilihan aspek-aspek penelitian tersebut dikarenakan persepsi merupakan

proses yang kompleks. Bagaimana pandangan, penafsiran, dan penilaian

terhadap stimulus yang diterimanya kelak akan membentuk persepsinya

terhadap stimulus itu sendiri, sedangkan untuk aspek objektifikasi seksual

adalah aspek tampilan fisik atau aspek tubuh atau bagian-bagian tubuh yang

mudah terlihat oleh orang lain seperti warna kulit, sensualitas, bagian badan

tertentu (seperti pinggang, pinggul, payudara, dan lain-lain). Aspek persepsi

terhadap objektifikasi seksual pada remaja putri adalah gabungan antara


25

aspek-aspek penilaian dengan aspek objektifikasi seksual yaitu aspek tampilan

fisik atau tubuh atau bagian-bagian tubuh yang mudah terlihat orang lain.

3. Faktor-fatkor yang Mempengaruhi Persepsi terhadap Objektifikasi Seksual

pada Remaja Putri

Pada sub bahasan ini peneliti menggunakan pendapat Irwanto (2007)

dan Gibson (2008) untuk menjelaskan persepsi terhadap objektifikasi seksual

pada remaja putri. Menurut Irwanto (2007) karena persepsi lebih bersifat

psikologis daripada merupakan proses pengindraan saja, maka ada beberapa

faktor yang mempengaruhi :

a. Perhatian yang selektif

Remaja putri akan menerima bayak sekali rangsangan objektifikasi

seksual dari lingkungannya. Meskipun demikian ia tidak harus

menanggapi semua rangsangan yang diterima. Remaja putri hanya

memusatkan perhatiannya dan rangsangan-rangsangan tertentu saja yang

menurutnya penting. Mereka cenderung memiliki informasi yang

mendukung pandangan mereka dan cenderung mengabaikan informasi

yang dapat membuatnya merasa tidak senang.

b. Ciri-ciri rangsangan

Rangsangan yang bergerak diantaranya yang diam akan lebih menarik

perhatian. Terkait dengan rangsangan objektifikasi seksual, bahkan bentuk

tubuh atau penampilan yang ideal, seperti kulit putih, berambut lurus,

bertubuh langsing, tidak berjerawat dan betis indah akan terlihat lebih
26

menarik bagi remaja putri daripada ciri-ciri yang sebaliknya. Hal ini

dikarenakan pada usia tersebut remaja putri sangat memperhatikan bentuk

tubuh dan penampilannya.

c. Nilai-nilai dan kebutuhan individu

Remaja putri yang tubuhnya ideal, menarik dan cantik akan berusaha

mengidentifikasikan dirinya dengan bintang-bintang iklan atau film cantik,

ideal, modern dan menarik, dibandingkan remaja yang tidak

mempermasalahkan penampilannya atau tubuhnya.

d. Pengalaman terdahulu

Pengalaman-pengalaman yang terdahulu sangat mempengaruhi bagaimana

seseorang mempersepsikan dunianya. Pengalaman remaja putri terhadap

rangsangan objektifikasi seksual, seperti disiuli, digoda atau mendapat

komentar tertentu dari orang lain tentang tubuhnya akan berpengaruh pada

diri remaja putri dalam mempersepsikan diri dan lingkungan.

Menurut Gibson (2008) menyebutkan beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi persepsi antara lain :

a. Stereotip (Stereotyping)

b. Ciri khas pribadi (The Personal Characteristics)

c. Faktor Situasi (The Situational Factor)

d. Emosi dan Persepsi (Emotions and Perception)

Menurut Walgito (2005) faktor-faktor yang berpengaruh pada persepsi

adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi segala
27

sesuatu yang ada dalam individu itu sendiri, sedangkan faktor eksternal

meliputi stimulus itu sendiri dan faktor lingkungan dimana persepsi itu

sendiri. Menurut Indrawijaya (2004) menyatakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi persepsi yaitu :

a. Lingkungan: keadaan atau situasi individu yang dapat mempengaruhi

terbentuknya persepsi individu

b. Konsepsi: konsep baik dan buruk ditujukan pada individu itu sendiri

maupun konsep yang ditujukan kepada objek yang dipersepsikan akan

mempengaruhi terbentuknya persepsi.

c. Motif dan Tujuan: individu akan memberikan persepsi terhadap objek

atau situasi tertentu sesuai dengan motif dan tujuan.

d. Konsep diri: individu mengkin beranggapan bahwa hanya dirinyalah yang

terbaik dan orang lain selalu kurang baik. Individu demikian akan

berkeyakinan bahwa apapun bentuk dan sifat rangsangan, akan selalu

bertindak berdasarkan apa yang menurutnya baik.

e. Pengalaman masa lalu: pengalaman merupakan bentuk pengaruh terhadap

perilaku dan persepsi seseorang.

Dari uraian faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi diatas, maka

dapat disimpulkan bahwa persepsi dipengaruhi oleh faktor internal dan

eksternal. Faktor internal adalah faktor yang meliputi segala sesuatu yang

terdapat dalam diri individu itu sendiri, seperti perhatian, nilai-nilai, dan

kebutuhan individu, motif dan tujuan, pengalaman, ciri khas pribadi yang
28

didalamnya terdapat konsep diri, sedangkan faktor eksternal adalah faktor

yang meliputi segala sesuatu yang terdapat diluar individu itu sendiri antara

lain ciri rangsangan atau stimulus, stereotip, situasi, orang yang diamati,

lingkungan dimana persepsi itu terjadi.

D. Hubungan Antara Konsep Diri dan Religiusitas dengan Persepsi terhadap

Objektifikasi Seksual pada Remaja Putri

Praktik objektifikasi seksual telah berlangsung secara masal, terus

menerus dan bahkan telah diterima sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

Nilai-nilai yang terkandung dalam kultur objektifikasi yaitu mensosialisasikan

pada kaum perempuan untuk mengadaptasi sudut pandang pengamatan atau

evaluator terhadap tubuh mereka sendiri atau agar perempuan memperlakukan

tubuhnya lebih sebagai objek untuk diamati dan dievaluasi daripada sebagai

bagian dari keutuhan subjek otonom.

Penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan atau wanita lebih sering

mengalami objektifikasi seksual daripada laki-laki atau pria. Objektifikasi

seksual sendiri sering muncul dalam hubungan intrapersonal dan media massa

visual. Dalam hubungan interpersonal, perempuan dapat mengalami praktek

objektifikasi seksual seperti menjadi obyek yang diamati oleh laki-laki,

pengalaman disiuli, digodain atau menerima komentar tertentu atas tubuhnya,

sedangkan dalam media visual terdapat kecenderungan yang secara sengaja

menyoroti tubuh perempuan atau sengaja memunculkan pandangan seksual, hal


29

tersebut dapat muncul pada ponografi, film, karya seni rupa, iklan, program

televisi, video klip musik, majalah wanita dan foto olahraga.

Munculnya fenomena objektifikasi seksual dimasyarakat yang telah

berlangsung secara masal dan terus menerus terhadap perempuan maupun wanita

dapat menjadi stimulus atau rangsangan yang berpengaruh terhadap remaja putri.

Hal ini dikarenakan masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak

menuju dewasa dimana terdapat pertumbuhan dan perkembangan fisik, sosial

dan psikologis yang menyertainya. Monks, Knoers, Haditono (2004) mengatakan

bahwa pada masa remaja terhadap perhatian yang besar yang diberikan remaja

berkaitan dengan penampilan dirinya. Penyimpangan dari bentuk badan khas

perempuan atau laki-laki menimbulkan kegusaran batin yang cukup mendalam.

Pendapat lain mengenai remaja juga diungkapkan oleh Daradjat (2003) bahwa

pada remaja putri muncul kekhawatiran dan kecemasan terhadap

ketidaksempurnaan tubuh mereka, seperti terlalu gemuk, kurus, pendek, tinggi

(jangkung), wajah kurang cantik, berjerawat dan lain-lain, akibatnya mereka

akan sering berdiri didepan kaca untuk melihat pertumbuhan dirinya dan jika

tubuhnya tidak menarik dapat memunculkan perilaku menarik diri dari hubungan

interpersonal.

Perhatian remaja putri yang besar terhadap penampilan dirinya dan

adanya stimulus objektifikasi seksual yang kuat dan terus menerus muncul di

masyarakat secara langsung maupun tidak langsung dapat membentuk persepsi

terhadap objektifikasi seksual pada remaja putri. Persepsi terhadap objektifikasi


30

seksual pada remaja putri adalah pengertian atau pemahaman oleh remaja putri

dengan usia 12-17 tahun mengenai suatu keadaan ketika tubuh atau bagian-

bagian tubuh perempuan diamati sebagai objek seksual untuk diamati, dievaluasi,

ditentukan nilai dan maknanya oleh pihak lain diluar pemilik tubuh yang

bersangkutan. Persepsi remaja putri terhadap objektifikasi seksual merupakan

proses yang lebih penting yang kelak akan mempengaruhi tingkah lakunya

terhadap stimulasi objektifikasi seksual.

Menurut Gibson (2006) menyatakan beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi persepsi, dimana salah satunya adalah konsep diri. Burns (1993)

(dalam Kurniawan, 2005) menyatakan bahwa konsep diri merupakan penentuan

(determinan) yang paling penting dari respon terhadap lingkungan, sedangkan

Tarakanita (2008) mengemukakan bahwa interaksi individu dengan lingkungan

sosialnya sangat tergantung dan dipengaruhi oleh konsep diri.

Konsep diri adalah pengetahuan dan gagasan seseorang tentang dirinya

serta sikap terhadap diri dan perilakunya. Konsep diri dibagi menjadi konsep diri

positif dan konsep diri negatif. Horlock (2005) menyatakan individu dengan

konsep diri positif akan mengembangkan sikap-sikap seperti kepercayaan diri,

harga diri, dan kemampuan untuk melihat darinya secara realistis. Individu dapat

menilai hubungan dengan orang lain secara tepat dan akan menumbuhkan

penyesuaian sosial yang baik, sebaliknya konsep diri negatif akan

mengembangkan perasaan tidak mampu dan rendah diri. Individu akan merasa

ragu dan kurang percaya diri, sedangkan menurut Burns (1993) (dalam
31

Kurniawan, 2005) suatu konsep diri yang positif dapat disamakan dengan

evaluasi diri yang positif, penghargaan diri yang positif dan konsep diri negatif

disamakan dengan evaluasi diri yang negatif, menbenci diri, perasaan rendah diri,

perasaan rendah diri dan tiadanya perasaan yang menghargai pribadi dan

penerimaan diri.

Menurut Burns (1993) (dalam Kurniawan, 2005) istilah konsep diri

sinonim dengan sikap-sikap diri dan perasaan harga diri. Andriani (2004)

mengatakan bahwa seseorang dengan perasaan harga diri tinggi cenderung untuk

mengevaluasi informasi didalam hubunganya dengan makna dan relevansinya

dengan konsep diri. Individu bukanlah korban dari peristiwa-peristiwa. Konsep

diri yang dimilikinya menengahi antara organisme dan lingkungan dan sebagai

akibatnya, perasaan harga diri mengendalikan konsistensi dari respon organisme

terhadap lingkungan. Individu dengan perasaan harga diri yang lebih tergantung

pada lapangan (fiedld dependent) dimana dia cenderung menyesuikan diri dengan

pengaruh konteksnya, sehingga tingkah laku langsung dihubungkan dengan

lingkungan yang dekat. Hal ini membawa pada tingkah laku yang tidak konsisten

dan adaptasi jangka pendek seperti yang dicirikan dalam hubungan stimulus-

stimulus respon. Individu dengan sikap-sikap diri yang positif menunjukkan

konsistensi tingkah laku sebagaimana dia tidak dibawah kekuasaan rangsangan

yang segar, tetapi mempunyai dasar yang lebih kokoh bagi tindakan dengan

rangsangan yang diinterprestasikan dan ditengahi oleh oerganisme tersebut.

Individu dapat berdiri dengan teguh dalam keyakinan-keyakinannya pada diri


32

sendiri, tingkah lakunya diperintah oleh lembaga persepsi-persepsi diri yang

teratur dan yang kompeten, jadi konsistensi timbul dari perasaan harga diri yang

tinggi yang membentuk mekanisme bimbingan internal. Perasaan harga diri yang

rendah dengan tidak adanya kepercayaan diri sendiri menyebabkan suatu

kebutuhan untuk memuaskan bermacam-macam keinginan orang lain dan

memantau tingkah laku orang lain sebelum memiliki suatu dasar tindakan.

Konsep diri yang akan diukur dalam penelitian ini akan menggunakan

tiga aspek yaitu gambaran diri (self image), aspek penilaian diri (self evaluation)

dan aspek diri yang dicita-citakan (self ideal). Konsep diri berhubungan dengan

gambaran diri (self image) seseorang. Remaja putri mempunyai gambaran diri

yang positif maka ia akan mempunyai kepercayaan diri, merasa mampu, tidak

ragu dan mempunyai sikap-sikap diri yang positif, sehingga saat remaja putri

berhadapan dengan adanya stimulus atau praktik objektifikasi seksual, remaja

putri menunjukkan tingkah laku yang konsisten sebagai remaja putri tersebut

tidak dibawah kekuasaan stimulus yang segera tetapi mempunyai dasar yang

lebih kokoh bagi tindakan dengan rangsangan yang di interpretasikan dan

ditengahi oleh dirinya (organisme).

Gambaran diri remaja putri yang positif membantu mereka dalam

berhubungan dan berinteraksi dengan baik. Hal ini dikarenakan remaja merasa

yakin mampu berhubungan sosial dan diterima oleh orang-orang di sekitarnya,

sebaliknya bila remaja putri memandang dirinya negatif sehingga cenderung


33

memuaskan bermacam-macam keinginan orang lain atau evaluator terkait

dengan stimulus objektifikasi seksual (Andriani, 2004).

Gambaran diri, konsep diri juga berhubungan dengan penilaian terhadap

diri (self evaluation). Remaja putri yang mempunyai penilaian positif tentang

dirinya akan mengembangkan harga dirinya sehingga mereka mampu melihat

kewajaran dirinya sebagai pribadi dan menilai diri apa adanya secara realistis.

Penilaian diri yang positif akan mengembangkan harga diri yang positif pula.

Remaja putri dengan harga diri positif mampu mengevaluasi informasi atau

stimulus objektifikasi seksual yang menimpanya dan kemudian dihubungkan

dengan makna dan relevansinya dengan konsep diri yang ia miliki, sebaliknya

remaja putri yang mempunyai penilaian diri negatif merasa rendah diri,

membenci dirinya, tidak mempunyai penerimaan diri (Burns, 1993).

Remaja putri dihadapkan pada stimulus objektifikasi seksual, cenderung

menyesuaikan diri dengan pengaruh luar dan lebih bergantungan pada lapangan

(field dependent), sehingga tingkah laku dihubungkan dengan tingkah laku dekat,

tidak konsesten dan merupakan bentuk adaptasi jangka pendek seperti

berhubungan stimulus-respon (Andriani, 2004).

Aspek diri yang dicita-citakan adalah self ideal (diri yang dicita-citakan)

yaitu dambaan, aspirasi, harapan dan keinginan remaja putri menjadi manusia

sebagaimana yang diinginkan atau impikan. Remaja putri yang memiliki cita-cita

diri akan mempunyai tujuan dan arah pandangan yang jelas bagi masa depannya.

Cita-cita tersebut merupakan bentuk ide pribadinya sendiri yang hendak dicapai
34

(Burns, 1993), sedangkan Kurniawan (2005) menambahkan perlunya kesesuaian

antara diri nyata dan ideal. Bagi remaja putri yang dapat berubah sesuai dengan

standar mereka dan menyadari aspirasi-aspirasinya, maka akan mempunyai harga

diri yang tinggi.

Remaja putri yang tidak mempunyai sifat-sifat yang dikehendaki oleh

cita-cita diri mereka kemungkinan besar akan memiliki harga diri negatif dan

akan merasa tidak puas terhadap dirinya, dengan demikian remaja putri harus

sadar akan kemampuan-kemampuan mereka dan menyesuaikan antara cita-cita

dan kenyataan.

Salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi objektifikasi seksual pada

remaja putri adalah tingkat religiusitas. Sejak manusia lahir di dunia, manusia

mempunyai potensi beragama atau berkeyakinan kepada Tuhan dengan kata lain

percaya adanya kekuatan di luar dirinya yang mengatur hidup dan kehidupan

alam semesta. Hal ini yang kemudian disebut dengan religiusitas (Yulianto,

2006). Adapun ciri-ciri individu yang mempunyai tingkat religiusitas tinggi dapat

dilihat dari tindak tanduk, sikap dan perkataan serta seluruh jalan hidupnya

mengikuti aturan–aturan yang diajarkan oleh agama (Glock & Stark dalam

Purwati dan Lestari, 2008).

Seseorang yang memiliki religiusitas tinggi akan selalu berusaha

mengikuti dan menjalankan ajaran agama dalam segala aspek kehidupan

termasuk di dalamnya adalah dalam berperilaku seksual. Hathout (2007)

menjelaskan remaja putri yang memiliki religiusitas tinggi akan merasa takut
35

untuk memperlihatkan bentuk tubuh atau auratnya sebagai tidak dijadikan

objektifikasi seksual. Orang yang religius akan berusaha untuk menjaga

penampilanya dan menutupi auratna dari pada meumbarnya sehingga tidak

mudah dijadikan objektifikasi seksual. Mereka lebih melakukan tindakan

preventif seperti menjauhkan diri dari khayalan, bersabar dalam menjaga

kesucian, berpuasa, sholat, dan dzikir.

Berdasarkan uraian yang diberikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

makin tingginya religiusitas tidak mempengaruhi persepsi terhadap objektifikasi

seksual. Begitu juga dengan konsep diri baik gambaran diri, penilaian diri dan

diri yang dicita-citakan akan mempengaruhi persepsi terhadap objektifikasi

seksual pada remaja putri.


36

E. Kerangka Teori

Aspek-aspek Konsep Diri :


Komponen Kognitif
Komponen Afektif

Konsep Diri :
Gambaran Diri

Ideal Diri
Peran Diri
Harga Diri Remaja Putri
Identitas Diri

Faktor yang mempengaruhi Religiusitas : Objektifikasi Seksual


Faktor Intern (keturunan, tingkat usia,
kepribadian, dan kondisi kejiwaan)
Faktor ekstern (lingkungan keluarga,
institusional, dan masyarakat

Religiusitas
Keyakinan atau akidah
Peribadatan atau syariah
Penghayatan
Ahklak atau pengalaman
Ilmu atau pengetahuan

Sumber: Juana (2009) dan Jalaludin (2005)

Keterangan :

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

Anda mungkin juga menyukai