Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH PPKN

HAK ASASI MANUSIA

DISUSUN OLEH :

1. UMRAH
2. RISKA WULANDARI
3. NURUL HIDAYATI KASIM
4. TRY SEPTY ASTUTY
5. VILSYAH RF
6. FITRAH RAMADAN

PRODI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN ALAUDDIN MAKASSAR TAHUN AJARAN 2021

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb. Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat
rahmat serta karunia-Nya sehingga makalah dengan berjudul “Hak Asasi Manusia”
dapat selesai. Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas dalam mata kuliah
Ppkn semester 1 jurusan kesehatan masyarakat

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen pembimbing


selaku penanggung jawab mata kuliah Ppkn. Berkat tugas yang diberikan ini, dapat
menambah wawasan penulis berkaitan dengan topik yang diberikan. Penulis juga
mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada semua pihak yang membantu
dalam proses penyusunan makalah ini.

Penulis memohon maaf atas kesalahan dan ketaksempurnaan yang pembaca


temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran dari
pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini. Wassalamualaikum
wr.wb

08 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………………….

A. Kata Pengantar………………………………………………………….
B. Rumusan Masalah………………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………...

A. Pengertian HAM…………………………………….……….………….
B. Sejarah Perkembangan HAM…………………………
C. HAM Dalam Perspektif Global ………………………………………..
D. Pengaturan HAM DiIndonesia…………………………
E. HAM dalam perspektif islam…………………………………………..

BAB III PENUTUP……………………………………………………………..

A. Kesimpulan………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Hak asasi manusia (HAM) sebagai hak dasar yang dimiliki manusia,
eksistensinya melekat pada kodrat manusia sejak dilahirkan. Hal tersebut
juga sebagai tanda bahwa ia adalah “manusia". Manusia yang dimaksud
dalam hal ini ialah, pertama “manusia seutuhnya” yang merupakan ciptaan
Tuhan YME dilengkapi dan dianugerahi seperangkat hak kodrati yang
bersifat sangat asasi, karenanya tidak boleh diabaikan dan dimarjinakan
oleh siapa pun. HAM dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia,
bukan karena diberikan oleh negara, hukum ataupun pemberian manusia
lainnya. Oleh karena itu, eksistensinya pun sama sekali tidak bergantung
pada pengakuan dari negara, hukum atau manusia lainnya. Kedua, manusia
yang dimaksud adalah "semua manusia” bukan hanya manusia-manusia
tertentu, dan tetap harus diakui bahwa "semua manusia" memiliki hak asasi
yang dianugerahi oleh Sang Penciptanya, yakni Tuhan YME, sehingga
"semua manusia" karena hak yang dimilikinya itu mempunyai martabat
tinggi dan keberadaannya harus diakui, dihormati serta dijunjung tinggi oleh
"semua manusia” di dunia. Dengan demikian HAM bersifat universal,
artinya keberlakuannya tidak dibatasi oleh ruang atau tempat (berlaku di
mana saja), tidak dibatasi oleh waktu (berlaku kapan saja), tidak terbatas
hanya pada orang-orang tertentu (berlaku untuk siapa saja), serta tidak dapat
diambil, dipisahkan dan dilanggar oleh siapa pun.

HAM dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dari martabat


kemanusiaanya, juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau
berhubungan dengan sesama manusia. Oleh karena itu, "semua manusia”
yang menyadari dirinya sebagai "manusia seutuhnya”, demi eksistensi dan
pengakuan HAM yang dimilikinya, dalam rangka mengaplikasikan HAM
nya harus pula menghargai HAM orang lain. Tidak boleh mengaplikasikan
sebebas-bebasnya menurut kehendak sendiri. Tetap harus disadari bahwa
pengaplikasian HAM nyadibatasi oleh HAM orang lain. Ini berarti, dalam
rangka bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia, "setiap manusia”
yang menyadari dirinya sebagai "manusia seutuhnya" memiliki
"kewajiban” untuk mengakui dan menghormati HAM orang lain, demi
terlaksana atau tegaknya HAM itu sendiri.

Sangat penting disadari bahwa "Setiap hak pasti melekat suatu


kewajiban.” Berdasarkan pola pikir demikian, jadi dapat dikatakan, "Di
mana ada 'hak asasi' di situ pula pasti ada ‘kewajiban asasi' bagi manusia
lainnya.” Itulah sebabnya dalam setiap penerapan HAM, negara, hukum,
pemerintah maupun manusia lain "berkewajiban"untuk memperhatikan,
mengakui, menghormati, dan menghargai "hak asasi” serta "kewajiban
asasi".

Kesadaran akan HAM yang dimiliki oleh setiap manusia demi menjaga
harkat dan martabat kemanusiaannya telah diawali sejak manusia ada di
muka bumi. Hal itu disebabkan hak-hak kemanusiaan sudah ada sejak
manusia itu dilahirkan 2 Bah (bersifat ipso facto dan ab initio) dan
merupakan hak kodrati yang melekat pada diri setiap manusia. Sejarah
mencatat telah terjadi berbagai peristiwa besar di dunia sebagai suatu usaha
untuk memperjuangkan dan menegakkan HAM, baik melalui suatu sistem
pemikian filosofikal, maupun secara langsung melalui perjuangan fisik oleh
rakyat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian HAM?
2. Bagaimana sejarah perkembangan HAM?
3. Bagaimana HAM dalam perspektif global?
4. Bagaimana pengaturan HAM di Indonesia?
5. Bagaimana HAM dalam perspektif islam?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian HAM

Mengacu pada pengertian dari "hak asasi" dan "manusia” sebagaimana


dijelaskan di atas, maka pengertian HAM dapat dikemukakan sebagai
berikut,

Seperangkat hak yang bersifat sangat mendasar yang melekat pada


hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa, dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.

Mengacu pada pengertian di atas, menjadi dapat disadari bahwa HAM itu
sesungguhnya adalah hak-hak absolut yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia (inherent dignity) yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan diproteksi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang. Ini
mengandung konsekuensi, bahwa hak-hak yang melekat secara absolut
tersebut tidak dapat dicabut (inalienable), tidak boleh dikesampingkan
(inderogable) dan tidak boleh dilanggar (inviolable) oleh siapa pun.
Pencabutan dan pelanggaran secara sengaja dan melawan hukum terhadap
hak-hak dasar kemanusiaan merupakan “kejahatan berat terhadap HAM”.
Sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada setiap diri manusia yang
ada di muka bumi ini, maka HAM bersifat universal dan langgeng (eternal).
Tidak boleh ada penindasan terhadap HAM, apa pun rasnya, warna kulitnya,
jenis kelaminnya, bahasanya, agama atau kepercayaannya, pendapat
politiknya, kebangsaan atau nasionalitasnya, dan suku bangsanya. Justru
harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun. (Widiada gunakaya, 2017)

1. Pengertian HAM

Sebagai pengetahuan dikemukakan pengertian HAM berikut ini. Menurut


The United Nations Centere for Human Rights, HAM adalah, "Human rights
as those rights which are in our nature and without which we can not live as
human beings."

Di dalam The United Nations Centere for Human Rights, dirumuskan


bahwa, "Human rights have also be defined as moral rights of the higher order
stemming from socially shared moral conception of the nature of the human
person and the condition necessary for a life dignity.”

Soedjono Dirdjosisworo mendefinisikan bahwa, “HAM merupakan hak-


hak yang melekat pada setiap manusia sejak lahir, tidak dapat dibatasi,
dikurangi atau diingkari oleh siapa pun juga, karena merupakan nilai-nilai dan
martabat kemanusiaan setiap individu. (Widiada gunakaya, 2017)

Sedangkan menurut Jan Martenson, HAM adalah, “Human Right could


be generally defined as those rights which are inherent in our nature and
without which we can not live as human being”? (Widiada gunakaya, 2017)

Senada dengan pendapat ini adalah pendapat Wolhoff, “HAM adalah


sejumlah hak yang seakan-akan berakar dalam setiap oknum pribadi manusia
justru karena kemanusiaannya, tidak dapat dicabut oleh siapa pun juga, karena
bila dicabut hilang juga kemanusiaannya”. (Widiada gunakaya, 2017)

Kuntjoro Purbopranoto dengan mengacu pada Mukadimah Declaration de


L'Homme et du Citoyen mengatakan, "HAM sebagai hak-hak yang dimiliki
manusia menurut kodratnya tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya dan
karena itu bersifat suci". (Widiada gunakaya, 2017)
Secara yuridis, menurut Pasal 1 butir 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, dirumuskan bahwa HAM adalah,(Widiada gunakaya,
2017)

“Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia


sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia".(Widiada gunakaya, 2017)

Mengingat eksistensi HAM sedemkian absolut kemelekatanya pada diri


individu manusia, dan bersifat universal, sehingga tidak dapat
dipisahlepaskan dari hakikat dan keberadaan manusia itu sendiri, maka
menurut Paul Sieghart, (Widiada gunakaya, 2017)

"Sangat diharamkan adanya diskriminasi dalam bentuk apa pun (race,


colour, sex, language, religion, political order opinion, national or social
origin, property, birth, or other status). Namun demikian, apabila negara
dalam keadaan darurat, pembatasan terhadap HAM, menurut ketentuan HAM
di atas untuk sementara waktu diperkenankan, yaitu dalam keadaan perang
atau dalam keadaan darurat umum (public emergency) yang mengancam
keselamatan negara. Demikian pula mengenai tindakan yang akan
diberlakukan untuk membatasi HAM, harus dibatasi sejauh hal itu memang
benar-benar diperlukan karena gawatnya keadaan. Namun demikian, terdapat
beberapa hak yang tidak dapat dibatasi dan dikurangi, misalnya the rights of
life, the freedom from torture and other illtreatment, the freedom from slavery
and servitude, and the imposition of retroactive penal laws.(Widiada
gunakaya, 2017)

2. Pengertian Hukum HAM

Sinergi dengan definisi hukum yang dikemukakan oleh Mochtar


Kusumaatmadja dan penulis, serta dikaitkan dengan makna dan hakikat HAM
sebagaimana dipaparkan di atas, maka "Hukum HAM” dapat dibuat
pengertiannya sebagai seperangkat asas dan kaidah yang mengatur tentang
hak-hak asasi manusia yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai ciptaan dan anugerah Tuhan, yang memerlukan lembaga dan proses
untuk merealisasikan kaidah itu dalam kenyataannya,demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan marabat manusia. (Widiada gunakaya, 2017)

Jika definisi Hukum HAM di atas dikorelasikan dengan definisi hukum


yang telah penulis kemukakan di muka, maka menurut penulis terdapat dua
Variabel penting yang secara signifikan berkaitan dengan "definisi
intensional" dan "definisi ekstensional” hukum HAM. Pertama, berkaitan
dengan definisi intensional:

a. Seperangkat aturan normatif tentang HAM.

b. Asas-asas Hukum HAM.

c. Tujuan hukum HAM yang bercitakan keadilan,

kemanfaatan dan kepastian.

d. Struktur Hukum HAM.

e. Kultur masyarakat terhadap aspek-aspek Hukum HAM.

f. Pengendalian dalam arti penegakan, penerapam dan

penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran Hukum HAM.

g. Sistem berpikir ilmiah tentang Hukum HAM.

h. Pengembanan terhadap Hukum HAM.

i. Terwujudnya ketertiban dalam tatanan kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan

sistem hukum HAM.

Berdasarkan pengertian “definisi intensional“ hokum HAM di atas, maka


terminologi hukum HAM dan atau aforisme hukum HAM atau variabel-
variabel hukum HAM yang terkandung di dalamnya adalah hal-hal yang
dirinci dari poin 1 s/d 9 di atas.(Widiada gunakaya, 2017)

Kedua, yang menjadi definisi ekstensional Hukum HAM (ruang lingkup


Hukum HAM secara keseluruhan) adalah segala turunan atau hal-hal yang
menjadi realitas Hukum HAM yang dikaji yang berkaitan langsung dengan
setiap "terminology hukum HAM” dan/atau aforisme hukum HAM yang telah
disebutkan dalam definisi intensi hukum HAM di atas. (Widiada gunakaya,
2017)

B. Sejarah perkembangan HAM

Dirunut dengan menggunakan optik historikal, sejarah HAM bermula dari


dunia Barat (Eropa) melalui kristalisasi pemikiran seorang filosuf Inggris
pada abad ke-17 bernama John Locke. Ia menyatakan adanya hak kodrati
(natural rights) yang melekat pada setiap diri manusia, yaitu hak atas hidup,
hak kebebasan, dan hak milik. Hak kodrati ini terpisah dari pengakuan politis
yang diberikan negara kepada mereka dan terlebih dahulu ada dari negara
sebagai komunitas politik. Justru negaralah yang harus melindungi dan
melayani hak-hak kodrati yang dimiliki oleh setiap individu. Sejarah
perkembangan HAM juga ditandai dengan adanya tiga peristiwa penting di
dunia Barat, yaitu Magna Charta, Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis.
Korelasi dengan proposisi tersebut, terlebih dahulu signifikan dikemukakan
perkembangan sistem pemikiran HAM di dunia, sebagaimana dideskripsikan
di bawah ini. (Widiada gunakaya, 2017)

Sejarah mencatat, bahwa sistem pemikiran HAM muncul dalam rangka


memperjuangkan HAM untuk diakui, dihormati, dilindungi dan ditegakan
demi harga diri dan martabat manusia, serta keberlangsungannya sebagai
landasan moral dalam pergaulan kehidupan manusia, baik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Sistem pemikiran demikian itu
disuarakan secara internasional ke seluruh dunia sehingga sampai ke negara-
negara yang kebetulan ketika itu rakyatnya mengalami penindasan terhadap
hak-hak asasinya. Raja-raja atau pemimpin negara dan/atau pemerintahan
serta para kaum kapitalis, memperlakukan rakyatnya secara sewenang-
wenang menurut kehendak pemimpin sendiri, terutama terhadap rakyat kelas
bawah secara ekonomi atau kaum buruh maupun orang-orang berkasta rendah
secara kebangsawanan. Pada akhirnya sistem pemikiran yang bersifat
universal dari para filusuf demikian itu diaplikasikan sebagai landasan pijak
dalam memperjuangkan pengakuan terhadap HAM, baik secara parsial di
masing-masing negara maupun secara internasioal. (Widiada gunakaya,
2017)

Konteksnya dalam skala internasional, sitem pemikiran terhadap HAM


mendapat pula pengakuan dari seluruh negara beradab di dunia, sehingga
menjadi salah satu capaian paling penting dalam sejarah peradaban manusia
modern dari bangsa-bangsa beradab di seluruh dunia yang prinsip-prinsipnya
telah diakui dalam Hukum Internasional (HI) sebagai prinsip-prinsip umum
Hl. Itulah sebabnya dikatakan, bahwa HAM secara teoretis maupun praktis,
yang pada saat ini telah diakui secara internasional, tidak muncul secara tiba-
tiba dari ruang hampa. Dengan perkataan lain, eksistensi HAM yang mewujud
ke dalam berbagai bentuk kebebasan yang dapat dirasakan secara langsung
dan utuh seperti sekarang ini, sesungguhnya merupakan sistem pemikiran
yang diwacanakan secara terus-menerus dan berkembang secara evolutif
sesuai konteks ideologi, sosial, politik, ekonomi, dan budaya dunia. (Widiada
gunakaya, 2017)

Mengacu pada proposisi di atas, HAM yang pada dewasa ini termasuk
rezim Hukum HAM Internasional, kendatipun pada mulanya merupakan
bagian dari Hl karena dalam perjuangan dan perkembangannya tidak lepas
dari peran HI, sesungguhnya Hukum HAM Internasional telah
mendekonstruksi sifat tradisional dari Hl. Jadi Hukum HAM Internasional
berbeda dengan HI yang hanya mengakui hak-hak negara, rezim Hukum
HAM Internasional mengakui hak-hak individu dan klaim individu atas hak-
hak tersebut. Dalam Hi tradisional, suatu negara memegang sepenuhnya
kebebasan bertindak dalam hubungannya dengan warga dan wilayahnya,
termasuk domain publik seperti laut, atmosfer, dan angkasa luar. Kebebasan
demikian ini dikoreksi oleh rezim Hukum HAM Internasional yang
memungkinkan dilakukannya intervensi oleh rezim Hukum HAM
Internasional terhadap negara pihak yang melakukan pelanggaran HAM di
wilayahnya.(Widiada gunakaya, 2017)

C. HAM dalam perspektif global

Hak asasi manusia adalah komponen yang integral dari kekuatan politik,
ekonomi, dan budaya dalam globalisasi. Perlindungan hak asasi manusia tidak
lagi dipandang sebagai isu nasional, tapi juga lingkup global. Beberapa faktor
yang berkontribusi terhadap ekspansi dan komitmen dalam agenda-agenda
global hak asasi manusia yaitu:

Pembentukan institusi global yang peduli terhadap perlindungan hak


asasi manusia

Semakin diterimanya hak interdependen dan indivisibility, di mana


pelanggaran hak asasi dalam suatu negara akan berimplikasi terhadap orang
di negara lain

Penekanan terhadap penegakan demokrasi yang dianggap penting untuk


mewujudkan perdamaian internasional

Pandangan bahwa kepedulian terhadap hak asasi manusia difasilitasi oleh


perkembangan ekonomi yang berbasis pasar

Efektivitas aktor nonnegara

Konsep hak asasi manusia secara signifikan semakin dikuatkan dengan


kemunculan NGO multilateral yang peduli terhadap penegakan hak asasi
manusia. Contohnya adalah Amnesty International, Human Rights Watch,
dan institusi internasional yang berbasis pada hak asasi manusia seperti
International Criminal Court dan United States Commission on Human Right.
Peran institusi dan NGO dalam penegakan hak asasi manusia tidak dapat
dipungkiri justru lebih signifikan dibandingkan peran negara, misalnya
Human Rights Watch (HRW). HRW adalah organisasi hak asasi manusia
nonpemerintahan yang nonprofit. HRW memiliki staf sebanyak lebih dari 275
di seluruh dunia yang mereka sebut sebagai defender yang memiliki keahlian
di bidang masing-masing seperti pengacara, jurnalis, akademisi dari berbagai
studi dan kebangsaan. HRW, yang didirikan pada tahun 1978, terkenal dengan
penemuan fakta yang akurat, laporan yang nonparsial, penggunaan efektif
terhadap media, dan memiliki target advokasi. Setiap tahunnya, HRW
mempublikasikan lebih dari 100 laporan tentang kondisi hak asasi manusia di
berbagai negara. HRW mengadakan pertemuan dengan pemerintah negara
yang bersangkutan, PBB, kelompok regional seperti Uni Afrika atau Uni
Eropa, institusi finansial, dan perusahaan untuk menekan agar terjadi
perubahan kebijakan yang membantu penegakan hak asasi manusia dan
keadilan di seluruh dunia.

D. Pengaturan HAM di Indonesia


Setelah dunia mengalami peperangan dan hak asasi diinjak-injak, timbul
keinginan untuk merumuskan hak-hak asasi manusia itu dalam suatu naskah
internasional. Pada tahun 1948 terbentuklah Universal Declaration of Human
Rights oleh negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-
Bangsa . (Saitya, 2017)
Di Indonesia, juga telah mencantumkan beberapa hak asasi di dalam
undang-undang dasarnya, baik dalam Undang-Undang Dasar 1945,
Konstitusi Republik Indonesia Serikat, maupun UndangUndang Dasar
Sementara 1950. Hak-hak asasi yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar
1945 (sebelum amandemen) tidak termuat dalam suatu piagam yang terpisah
tetapi tersebar dalam beberapa pasal, terutama Pasal 27 sampai Pasal 34
.(Saitya, 2017)
Hak-hak asasi dimuat terbatas jumlahnya dan dirumuskan secara singkat,
tampaknya hal ini tidak mengherankan, mengingat bahwa naskah Undang-
Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) disusun pada akhir masa
pendudukan Jepang dan dalam suasana yang mendesak. Hal ini
mengakibatkan tidak cukup waktu untuk membicarakan hak asasi secara
mendalam. Selain itu, tokoh-tokoh pendiri Indonesia juga berbeda pendapat
mengenai peranan hak-hak asasi manusia di dalam negara demokratis. Tokoh
tersebut adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta yang masingmasing
mempunyai argumen perlu tidaknya pengaturan hak asasi manusia di dalam
undang-undang dasar. Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa hak-hak
asasi manusia tidak lengkap dimuat dalam Undang-Undang Dasar 1945
(sebelum amandemen), karena undang-undang dasar tersebut dibuat beberapa
tahun sebelum pernyataan hak asasi manusia dideklarasikan oleh PBB pada
tanggal 10 Desember 1948. (Saitya, 2017)

1. Pengaturan HAM dalam UUD 1945 Sebelum Amandemen


Hukum dasar tertulis sebagai dasar sebagai dasar bagi penyelenggaraan
kenegaraan di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang meliputi
Pembukaan dan Batang Tubuh. Mukthi Fadjar berpendapat sebagai berikut
(Saitya, 2017)

Undang-Undang Dasar 1945 adalah hukum dasar tertulis yang berlaku di


Indonesia yang meliputi atau mencakup Pembukaan dan Batang Tubuh
Undang-Undang Dasar 1945. Apabila dikaji kedua komponen tersebut
dengan pendekatan filosofis (ontologis), historis-sosiologis, sistematis, dan
yuridis-fungsional, menunjukan adanya komitmen kemanusiaan yang tinggi
dari bangsa Indonesia meskipun belum diidealisasi dan disistemasi secara
lengkap dalam daftar hak-hak asasi manusia seperti halnya piagam HAM
sedunia beserta konvenannya. Hal ini bisa dimengerti karena Undang-Undang
Dasar 1945 kehadirannya lebih dahulu daripada deklarasi hak asasi manusia.
Pengaturan hak asasi manusia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dapat
dilihat dari ketentuan dalam Pembukaan dan pasal-pasal Batang Tubuh
setelah amandemen. Bagir Manan berpendapat bahwa terdapat tiga
kemungkinan bentuk hukum yang dapat menampung rincian Hak Asasi
Manusia, yaitu pertama, menjadikannya bagian integral dari Undang-Undang
Dasar 1945, yaitu dengan cara melakukan amandemen-amandemen pada
Undang-Undang Dasar 1945, sebagai yang ditempuh dengan Piagam Hak-
Hak Asasi Warganegara (The Bill of Rights), yang merupakan amandemen I-
X pada konstitusi Amerika Serikat. Cara semacam ini akan menjamin tetap
terpeliharanya Undang-Undang 1945 sebagai naskah historis dimana dalam
the body of the constitution tidak diadakan perubahan-perubahan, tetapi hanya
tambahan-tambahan. Prosedurnya menurut hukum konstitusi diatur pada
Pasal 37. (Saitya, 2017)
Kedua, menetapkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Keberatannya, suatu Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada
umumnya tidak mengatur ancaman hukuman bagi pelanggarnya dalam
precise detail, tetapi hanya garis-garis besar haluan negara, sekedar a
declaration of general principles, tanpa akibat hukum sama sekali. Ketiga,
mengundangkannya dalam suatu undang-undang berikut sanksi hukuman
terhadap pelanggarnya. (Saitya, 2017)
Dari ketiga bentuk hukum di atas, tampaknya ketiga-tiganya
dipergunakan oleh pemerintah Indonesia dalam memperinci Hak Asasi
Manusia. Undang-Undang Dasar 1945 pada awalnya hanya memuat 6 Pasal
yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia, kemudian mengalami
perubahanperubahan yang sangat signifikan yang kemudian dituangkan
dalam Perubahan Kedua UndangUndang Dasar 1945 pada bulan Agustus
Tahun 2000. Sebenarnya sebelum Perubahan Kedua dilakukan, telah terdapat
beberapa peraturan peraturan perundang-undangan yang dapat dikatakan
sebagai pembuka terjadinya perubahan. (Saitya, 2017)

Pengaturan HAM dalam UUD 1945 Setelah Amandemen


Hasil amandemen Undang-Undang Dasar 1945 memberikan suatu titik
terang bahwa Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai
Hak Asasi Manusia yang selama ini kurang memperoleh perhatian oleh
Pemerintah. Amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 telah
memunculkan satu bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia, yaitu Bab XA.
(Saitya, 2017)
Rujukan yang melatarbelakangi perumusan BAB XA tentang Hak Asasi
Manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998. Ketetapan MPR tersebut kemudian melahirkan Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Dalam ketetapan
dan undang-undang tersebut, mengandung persamaan bahwa hak asasi
manusia bukan tanpa batas. Hak Asasi Manusia bukanlah sebebas-bebasnya
melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan
oleh undang-undang. Pembatasan tersebut tertuang dalam Pasal 28J Undang-
Undang Dasar 1945. Pembatasan yang tertuang dalam Pasal 28J mencakup
dari Pasal 28A sampai Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena
itu, hal yang perlu ditekankan bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak
asasi yang diatur oleh Pasal 28I ayat (1) Undang-undang Dasar 1945. (Saitya,
2017)
Apabila ditarik dari perspektif original intent pembentuk Undang-Undang
Dasar 1945, bahwa seluruh Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam BAB
XA Undang-Undang Dasar 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original
intent pembentuk Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Hak
Asasi Manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh ketentuan Pasal 28J sebagai
Pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang Hak Asasi
Manusia dalam BAB XA Undang-Undang Dasar 1945. Secara penafsiran
sistematis, Hak Asasi Manusia yang diatur dari Pasal 28A sampai Pasal 28I
tunduk pada pembatasan Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945 (Haryanto,
Suhardjana, Komari, Fauzan & Wardaya, 2008). (Saitya, 2017)
Pembatasan mengenai Hak Asasi Manusia juga terapat dalam Ketatapan
MPR Nomor XVII/ MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian
dijabarkan lebih lanjut dalam UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia. Ketentuan Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang
Dasar 1945 yang menjadi basic law adalah norma tertinggi yang harus
dipatuhi oleh negara. Oleh karena letaknya dalam konstitusi, maka
ketentutan-ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia harus dihormati dan
dijamin pelaksanaannya oleh negara. Oleh karena itu, Pasal 28I ayat (4)
Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan : (Saitya, 2017)
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. (Saitya, 2017)
Walaupun telah ada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia, dimasukannya Hak Asasi Manusia ke dalam konstitusi
diharapkan akan semakin memperkuat komitmen untuk kemajuan dan
perlindungan Hak Asasi Manusia, karena akan menjadikannya sebagai hak
yang dilindungi secara konstitusional. (Saitya, 2017)

E. HAM dalam perspektif islam


(HAM) sebagai hak paling dasar yang menjadi acuan tentang diakuinya
manusia sebagai manusia. Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang
melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah dari Allah Swt. yang
harus dihormati, dilindungi dan tidak layak untuk dirampas oleh siapapun.
(Atqiya, 2014)
Namun, akhir-akhir ini HAM yang sejatinya adalah untuk mewujudkan
dimensi otoritas manusia sebagai mahkluk hidup yang bermartabat, berubah
menjadi HAM yang sarat dengan nuansa politik, kepentingan kelompok
bahkan individu.(Atqiya, 2014)
Dalam perspektif Islam sebagai mana yang dikonsepsikan Alquran, Hak
Asasi Manusia (HAM) bersesuaian dengan Hak- hak Allah SWT. Hal ini
menunjukkan bahwa konsep Hak Asasi Manusia dalam pandangan Islam
bukanlah hasil evolusi apapun dari pemikiran manusia, namun merupakan
hasil dari wahyu Illahi yang telah diturunkan kepada Rasulullah SAW melalui
perantaraan Malaikat Jibril. (Atqiya, 2014)
HAM dalam Islam sebenarnya bukanlah suatu hal yang asing, karena
wacana tentang HAM dalam Islam lebih awal jika dibandingkan dengan
konsep atau ajaran lainnya. Dengan kata lain, Islam datang secara inheren
membawa ajaran tentang HAM. Ajaran Islam tentang HAM dapat dijumpai
dalam sumber utama ajaran Islam yaitu al-Qur`an dan Hadis yang merupakan
sumber ajaran normatif, juga terdapat dalam praktik kehidupan umat Islam.
Selain Hak Asasi Manusia (HAM) ada pula Kewajiban Asasi Manusia (KAM)
yang menjadi penyeimbang dan penyelaras guna mencapai kemaslahatan
umat. (Atqiya, 2014)
Hak asasi manusia dalam Islam telah ada dalam Al-Quran dan Masyarakat
pada zaman nabi Muhammad SAW. Hak asasi manusia dalam Islam tertuang
secara jelas untuk kepentingan manusia, yaitu lewat syari’ah Islam yang
diturunkan melalui wahyu. Menurut syari’ah, manusia adalah makhluk bebas
yang mempunyai tugas dan tanggung jawab, juga mempunyai hak dan
kebebasan. Dasarnya adalah keadilan yang ditegakkan atas dasar persamaan
atau egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya, tugas yang diemban tidak akan
terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara kebebasan secara eksistensial
tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri. (Atqiya, 2014)
Sistem HAM dalam Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang
persamaan, kebebasan dan penghormatan terhadap sesama manusia.
Persamaan, artinya Islam memandang semua manusia sama dan mempunyai
kedudukan yang sama, satu-satunya keunggulan yang dinikmati seorang
manusia atas manusia lainnya hanya ditentukan oleh tingkat
ketakwaannya.(Atqiya, 2014)
Al-Qur’an juga menjelaskan 150 ayat tentang ciptaan dan makhluk-
makhluk serta tentang persamaan dalam penciptaan-Nya. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam Surat Al-Hujurat ayat 13:
َ َ‫يٰٓاَيُّ َها النَّاس اِنَّا َخلَ ْقنك ْم ِم ْن ذَكَر َّوا ْنثى َو َجعَ ْلنك ْم شع ْوبًا َّوقَبَ ۤا ِٕى َل ِلتَع‬
ِ ٰ َ‫ارف ْوا ۚ ا َِّن اَ ْك َر َمك ْم ِع ْند‬
‫ّللا‬
‫ع ِليْم َخبِيْر‬ َ ٰ ‫اَ ْتقىك ْم ۗا َِّن‬
َ ‫ّللا‬
Yang Artinya:
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti.” (QS. Al-Hujurat:13)

Kehadiran Islam memberikan jaminan pada kebebasan manusia agar


terhindar dari kesia-siaan dan tekanan, baik yang berkaitan dengan masalah
agama, politik dan ideologi. Pada dasarnya HAM dalam Islam terpusat pada
lima hal pokok yang terangkum dalam Al-dloruriyat Al-khomsah atau yang
disebut juga Al-huquq Al-insaniyah fii Al-Islam (hak-hak asasi manusia
dalam Islam) dan dalam kitab ushul fiqh dikenal dengan Maqashid as-
syar’iah. (Atqiya, 2014)
Konsep itu mengandung lima hal pokok yang harus dijaga oleh setiap
individu yaitu hifdzu Al-din (penghormatan atas kebebasan beragama), hifdzu
Al-mal (penghormatan atas harta benda), hifdzu Al-nafs wa Al-ird
(penghormatan atas jiwa, hak hidup dan kehormatan individu) hifdzu Al-‘aql
(penghormatan atas kebebasan berpikir) dan hifdzu Al-nasb (keharusan untuk
menjaga keturunan). Kelima pokok inilah yang harus dijaga oleh setiap umat
Islam supaya menghasilkan tatanan kehidupan yang lebih manusiawi,
berdasarkan atas penghormatan individu atas individu, individu dengan
masyarakat, masyarakat dengan Negara dan komunitas agama dengan
komunitas agama yang Lainnya. (Atqiya, 2014)
Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama bagi umat Islam telah
meletakkan dasar dasar HAM serta kebenaran dan keadilan, jauh sebelum
timbul pemikiran mengenai hal tersebut pada masyarakat dunia. Hal ini dapat
dilihat ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an, antara lain:
(Atqiya, 2014)
A. Hak hidup
Hak hidup adalah karunia yang diberikan oleh Allah SWT kepada
manusia. Untuk menjamin keberlangsungan hidup dengan tentram dan damai,
Islam menerapkan hukum Qishash sebagaimembuat manusia lainnya cacat.
Allah yang memberi manusia hidup dan mati sebagaimana firman Allah
dalam Q.S. Al-Hijr/15 : 2.
B. Hak Untuk merdeka
Kemerdekaan adalah hak untuk bebas dari segala bentuk ikatan,
perbudakan, dan kekangan merupakan salah satu Hak Asasi Manusia untuk
dihargai dan dihormati. Kemerdekaan adalah salah satu cara manusia untuk
memperoleh kemuliaan hidup. Menurut Vatin sebagaimana dikutip oleh
Harun Nasution mengatakan bahwa: (Atqiya, 2014)
“Setiap manusia dilahirkan merdeka. Tidak ada pencabutan hak atas
kemerdekaan. Setiap individu mempunyai hak yang tidak terpisahkan atas
segala bentuk kemerdekaan. Oleh karena itu, manusia perlu berjuang dengan
segala cara untuk melawan pelanggaran atas pencabutan hak itu. (Atqiya,
2014)

C. Hak untuk mendapatkan ilmu pendidikan


Yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Allah yang lain
ialah, Akal untuk berfikir. (Atqiya, 2014)
Menurut Quraisy Syihab dalam bukunya “Wawasan al-Quran”
mengatakan: bahwa manusia menurut Al-Quran, memiliki potensi untuk
memperoleh ilmu dan mengembangkannya seizin Allah. Oleh Karena itu,
sangat banyak ayat yang memerintahkan manusia menempuh berbagai cara
untuk mewujudkan hal tersebut. Menurut pandangan Al-Quran seperti
diisyaratkan wahyu pertama, ilmu terdiri dari dua macam, pertama; ilmu yang
diperoleh tanpa upaya manusia, dinamai ‘ilmu ladunni seperti firman Allah
dalam Q.S. Al-Kahfi/18:65. (Atqiya, 2014)
Kedua, ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, dinamai ‘ilmu kasbi.

D. Hak Kehormatan diri


Secara asasi setiap manusia mempunyai kehormatan diri. Dapat dikatakan
bahwa anugerah terbesar yang diberikan Allah kepada manusia adalah
kehormatan diri. Firman Allah Q.S. al-Isra'/17 : 70. (Atqiya, 2014)

Dalam Islam, posisi manusia amat penting dan mulia. Hubungan dengan
Allah, alam semesta, dan manusia bahkan menjadi tema utama dalam
keseluruhan pembicaraan al-Qur'an. Ini menunjukkan bahwa trikotomi
hubungan dengan Allah, alam semesta, dan manusia menempatkan hubungan
yang sinergis dan harmonis. Dilihat dari kacamata HAM, trikotomi hubungan
itu menunjukkan bahwa alam semesta dan manusia harus saling bekerjasama
untuk memenuhi sunnatullah dan memperoleh Ridho Allah Swt. (Atqiya,
2014)
Karena itu, nilai-nilai HAM dengan prinsip-prinsipnya yang universal
adalah bagian dari semangat dan nilai-nilai Syari’ah. Keduanya tidak perlu
dipertentangkan. Keduanya justru membentuk sebuah sinergitas yang
harmonis. Dengan mengamati potensi-potensi nilai HAM dalam Syari’ah.
(Atqiya, 2014)
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasakan uraian pembahasan dari permasalahan yang diangkat dan


ditulis oleh penulis maka beberapa pokok yang dapat dijadikan sebagai
kesimpulan antara lain:

1. Mengacu pada pengertian di atas, menjadi dapat disadari bahwa HAM itu
sesungguhnya adalah hak-hak absolut yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia (inherent dignity) yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan diproteksi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang. Ini
mengandung konsekuensi, bahwa hak-hak yang melekat secara absolut
tersebut tidak dapat dicabut (inalienable), tidak boleh dikesampingkan
(inderogable) dan tidak boleh dilanggar (inviolable) oleh siapa pun.
Pencabutan dan pelanggaran secara sengaja dan melawan hukum terhadap
hak-hak dasar kemanusiaan merupakan “kejahatan berat terhadap HAM”.
Sebagai hak dasar yang secara kodrati melekat pada setiap diri manusia yang
ada di muka bumi ini, maka HAM bersifat universal dan langgeng (eternal).
Tidak boleh ada penindasan terhadap HAM, apa pun rasnya, warna kulitnya,
jenis kelaminnya, bahasanya, agama atau kepercayaannya, pendapat
politiknya, kebangsaan atau nasionalitasnya, dan suku bangsanya. Justru
harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun.

2. Sejarah mencatat, bahwa sistem pemikiran HAM muncul dalam rangka


memperjuangkan HAM untuk diakui, dihormati, dilindungi dan
ditegakan demi harga diri dan martabat manusia, serta
keberlangsungannya sebagai landasan moral dalam pergaulan
kehidupan manusia, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
maupun bernegara. Sistem pemikiran demikian itu disuarakan secara
internasional ke seluruh dunia sehingga sampai ke negara-negara yang
kebetulan ketika itu rakyatnya mengalami penindasan terhadap hak-
hak asasinya. Raja-raja atau pemimpin negara dan/atau pemerintahan
serta para kaum kapitalis, memperlakukan rakyatnya secara sewenang-
wenang menurut kehendak pemimpin sendiri, terutama terhadap rakyat
kelas bawah secara ekonomi atau kaum buruh maupun orang-orang
berkasta rendah secara kebangsawanan. Pada akhirnya sistem
pemikiran yang bersifat universal dari para filusuf demikian itu
diaplikasikan sebagai landasan pijak dalam memperjuangkan
pengakuan terhadap HAM, baik secara parsial di masing-masing
negara maupun secara internasioal.

3. Hak asasi manusia adalah komponen yang integral dari kekuatan


politik, ekonomi, dan budaya dalam globalisasi. Perlindungan hak asasi
manusia tidak lagi dipandang sebagai isu nasional, tapi juga lingkup
global.

4. Hak-hak asasi dimuat terbatas jumlahnya dan dirumuskan secara


singkat, tampaknya hal ini tidak mengherankan, mengingat bahwa
naskah Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) disusun
pada akhir masa pendudukan Jepang dan dalam suasana yang
mendesak. Hal ini mengakibatkan tidak cukup waktu untuk
membicarakan hak asasi secara mendalam. Selain itu, tokoh-tokoh
pendiri Indonesia juga berbeda pendapat mengenai peranan hak-hak
asasi manusia di dalam negara demokratis. Tokoh tersebut adalah Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta yang masingmasing mempunyai
argumen perlu tidaknya pengaturan hak asasi manusia di dalam
undang-undang dasar. Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa hak-
hak asasi manusia tidak lengkap dimuat dalam Undang-Undang Dasar
1945 (sebelum amandemen), karena undang-undang dasar tersebut
dibuat beberapa tahun sebelum pernyataan hak asasi manusia
dideklarasikan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948.
5. Dalam perspektif Islam sebagai mana yang dikonsepsikan Alquran,
Hak Asasi Manusia (HAM) bersesuaian dengan Hak- hak Allah SWT.
Hal ini menunjukkan bahwa konsep Hak Asasi Manusia dalam
pandangan Islam bukanlah hasil evolusi apapun dari pemikiran
manusia, namun merupakan hasil dari wahyu Illahi yang telah
diturunkan kepada Rasulullah SAW melalui perantaraan Malaikat
Jibril. (Atqiya, 2014)

HAM dalam Islam sebenarnya bukanlah suatu hal yang asing, karena
wacana tentang HAM dalam Islam lebih awal jika dibandingkan
dengan konsep atau ajaran lainnya. Dengan kata lain, Islam datang
secara inheren membawa ajaran tentang HAM. Ajaran Islam tentang
HAM dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran Islam yaitu al-Qur`an
dan Hadis yang merupakan sumber ajaran normatif, juga terdapat
dalam praktik kehidupan umat Islam. Selain Hak Asasi Manusia
(HAM) ada pula Kewajiban Asasi Manusia (KAM) yang menjadi
penyeimbang dan penyelaras guna mencapai kemaslahatan umat.
DAFTAR PUSTAKA

Atqiya, N. (2014). HAM DALAM PERSPEKTIF ISALAM. Jurnal Studi Islam,


1. https://doi.org/10.19105/islamuna.v1i2.565

Saitya, I. B. S. (2017). Pengaturan Hak Asasi Manusia. Jurnal Ilmu Sosial Dan
Ilmu Politik, 8.

Widiada gunakaya. (2017). HUKUM HAK ASASI MANUSIA. CV.ANDI


OFFSET.

https://perpustakaan.komnasperempuan.go.id/web/index.php?p=show_detail&id
=681

Anda mungkin juga menyukai