Anda di halaman 1dari 10

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan dan kemajuan zaman mengakibatkan berbagai perubahan

pada aspek-aspek perubahan manusia. Perubahan yang terjadi tersebut diantara-

nya adalah perubahan budaya, gaya hidup masyarakat, perkembangan teknologi

dan perubahan terhadap norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Perubahan

terhadap norma-norma yang berlaku dimasyarat seperti pelecehan seksual,

banyaknya remaja hamil diluar nikah, dan masih banyak lainnya. Perubahan ini

membuat remaja bertanya-tanya dan ingin mendapatkan jawaban tentang

seksualitas (Kurniawan, 2005).

Mendiskusikan persoalan seksual selama ini memang masih sangat tabu.

Saking tabunya, bagi orang dewasa sekalipun ketika menghadapi persoalan

seksual tidak mau membuka ruang pembicaraan mengenai hal ini, bertanya,

mengkonsultasikannya, menyimpannya atau mencari solusi sendiri. Teknologi

yang sangat terbuka dan mudah dijangkau memungkinkan siapapun termasuk

remaja mencari solusi atas persoalan seksualitas lewat dunia maya. Semua

media, masih memiliki karakter yang sama mengenai hal ini, perspektif yang

digunakan masih menampilkan gambaran bahwa perempuan adalah objek segala

jenis pemuasan laki-laki, terutama pemuasan seksual. Ciri khas iklan-iklan yang

ada dan disajikan untuk kita, semua kategori masih menampilkan citra bahwa

1
2

kecantikan perempuan ujungnya adalah untuk dipersembahkan kepada laki-laki

(Nurohmah,2013).

Seksualitas memang masih dihadapkan pada realitas cara pandang dan

perspektif laki-laki. Dalam banyak hal perempuan ditempatkan sebagai objek

seks yang pasif dan objek pelengkap penderita. Padahal perempuan sebagai

manusia sama halnya dengan laki-laki. Tidak banyak ruang yang diberikan bagi

perempuan untuk mengekpresikan seksualitas mereka. Seolah-olah kehadiran

perempuan hanyalah untuk melayani hasrat seksualitasnya laki-laki semata

(Nurohmah, 2013).

Friedan (1963) dalam Santi (2006) menguraikan bahwa para perempuan

(heteroseksual, kulit putih, terdidik, kelas menengah, tinggal di daerah sub-urban

Amerika yang kaya) mengalami persoalan yang disebut sebagai “problem has no

name”. Mereka tidak mengerti apa yang mereka alami kecuali merasa tidak puas

dengan penampilannya. Perempuan yang ‘kekurangan identitas’ dan ‘kekurangan

tujuan’ itu para pemasar memanfaatkan dan mengkomodifikasi rasa tidak puas

itu. Problem yang tidak dimengerti itu dimanipulasi dengan mengarahkan dan

merekomendasikan bentuk pencapaian baru yang dapat diraih oleh remaja

melalui pembelian produk-produk kecantikan. Gerakan feminis liberal berhasil

memperjuangkan hak-hak perempuan yang membawa perubahan besar dalam

struktur masyarakat, kemudian perempuan beramai-ramai masuk dalam sektor

publik (Santi, 2006).


3

Keberadaan perempuan dalam iklan menjadi sebuah perdebatan yang

tidak pernah henti ketika perempuan ditampilkan menjadi simbol-simbol untuk

menciptakan citra tertentu. Perempuan dan tubuhnya tampil untuk menonjolkan

kenikmatan minuman, kelincahan dan keanggunan mobil, kemewahan sebuah

berlian, dan sebagainya. Bagi para praktisi periklanan, keberadaan perempuan

dalam iklan adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Sementara sebagian orang

lainnya berpendapat bahwa menyertakan perempuan dalam iklan lebih

merupakan eksploitasi atas tubuh perempuan. Melalui ekonomi politik tubuh,

tanda dan hasrat, ekonomi kapitalis menjadikan tubuh perempuan hanya

potongan tanda-tanda (signs) yang satu per satu menjadi komoditas melalui

media iklan. Meski demikian, banyak perempuan yang terlibat dalam iklan justru

berpendapat bahwa tampilnya mereka dengan menonjolkan keindahan bagian-

bagian tubuhnya merupakan sebuah pilihan yang otonom atas diri dan tubuhnya

sendiri (Kurniawan, 2005).

Munculnya trend pentingnya aspek tampilan fisik dikalangan perempuan,

secara tidak langsung merupakan konsekuensi dari maraknya praktik-praktik

objektifikasi seksual terhadap tubuh perempuan. Bartky (dalam Kurniawan,

2005) mendefinisikan objektifikasi seksual sebagai suatu keadaan ketika tubuh

wanita, bagian-bagian tubuh wanita atau fungsi seksualnya dipisahkan dari diri

wanita itu sendiri dan digunakan semata-mata sebagai instrumen atau tubuhnya

dianggap sebagai sesuatu yang mampu mewakili keadaan dirinya.


4

Menurut Eviandari (2004) praktik objektifikasi seksual terjadi ketika

tubuh dilihat semata-mata sebagai objek seksual untuk diamati, dievaluasi serta

ditentukan nilai dan maknanya oleh pihak lain, sehingga aspek tubuh yang lebih

mudah teramati bagi pengamat atau evaluator menjadi aspek yang lebih

dipentingkan. Aspek tersebut adalah aspek penampilan fisik, seperti warna kulit,

sensualitas atau ukuran bagi badan tertentu (pinggang, pinggul, payudara, dan

lain-lain).

Fenomena objektifikasi seksual terhadap perempuan dapat berpengaruh

dalam diri remaja putri, karena menurut Davidoff (1988) dalam Andriani (2004)

pada remaja putri muncul kekhawatiran dan kecemasan terhadap ketidak

sempurnaan tubuh mereka, sehingga mereka lebih sering berdiri didepan muka

kaca untuk melihat pertumbuhan dirinya dan jika tubuhnya tidak menarik dapat

memunculkan prilaku menarik diri dari hubungan interpersonal. Ketika remaja

putri menghadapi stimulasi yang berupa objektifikasi seksual, baik dalam

hubungan interpersonal maupun iklan dari media massa, remaja akan

mengintepretasikan stimulus tersebut dan sesuai dengan pengalaman yang pernah

dialami. Remaja putri tersebut sering kali merasa tidak percaya diri dengan apa

yang mereka miliki terutama pada remaja awal (12-17 tahun) karena pada masa

itu remaja cenderung masih mudah terpengaruh dengan stimulasi yang berupa

objektifikasi seksual.

Menurut Burns (1993) dalam Kurniawan (2005), konsep diri merupakan

penentu (determinant) yang paling penting terhadap lingkungannya. Remaja putri


5

dengan konsep diri yang positif akan memiliki kepercayaan diri, mampu melihat

diri secara realistis dan memiliki harga diri yang tinggi. Ketika remaja putri

berhadapan dengan stimulus objektifikasi seksual disekitarnya, mereka tidak

mudah terpengaruh oleh stimulasi tersebut. Remaja putri dapat berdiri teguh

dalam keyakinan-keyakinannya pada diri sendiri dan konsep diri positif yang

dimilikinya mampu mengevaluasi stimulus objektifikasi seksual yang

menimpanya. Remaja putri cendrung mempersepsikan stimulus objektifikasi

seksual sebagai hal yang negatif dikarenakan tubuhnya bukan sekedar sebagai

objek untuk diamati dan dievaluasi secara seksual.

Remaja putri yang memiliki konsep diri negatif akan memandang dirinya

sebagai pribadi yang tidak mampu, rendah diri, ragu-ragu, dan kurang percaya

diri. Ketika remaja putri menerima stimulus objektifikasi seksual, mereka

cenderung mudah terpengaruh dan menyesuaikan diri dengan stimulus

objektifikasi seksual itu sendiri. Tidak adanya kepercayaan diri sendiri

menyebabkan suatu kebutuhan untuk memuaskan bermacam-macam keinginan

orang lain sebelum memiliki suatu dasar tindakan. Akibatnya remaja putri

cendrung mempersepsikan stimulus objektifikasi seksual sebagai suatu yang

positif karena merasa keinginan orang lain sama dengan keinginan dirinya

(Kurniawan, 2005).

Menurut Mangunwijaya (2004), pada dasarnya religiusitas lebih dalam

dari agama yang tampak formal dan resmi. Religiusitas bukan peraturan atau

hukum yang bicara, akan tetapi keikhlasan, kesukarelaan, kepasrahan diri kepada
6

Tuhan. Religiusitas seseorang dapat ditentukan oleh tinggi rendahnya masing-

masing aspek religius yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan.

Religiusitas diartikan sebagai keyakinan seseorang terhadap agama yang

dianutnya, juga pengalaman dan penghayatan didalam membangun hubungan

dengan Tuhan yang melibatkan perasaan pasrah, sukarela, ikhlas, dan juga

hormat serta takjub yang pada akhirnya diteruskan dalam sikap hidup dan

perilakunya.

Remaja putri yang memiliki kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan maka

mereka tidak mudah terpengaruh dengan stimulus objektifikasi seksual,

sedangkan pada remaja yang memiliki tingkat religiusitas yang lemah maka

mereka akan mudah terpengaruh oleh stimulus objektifikasi seksual. Sikap

religiusitas sangat penting dimiliki oleh setiap manusia. Religiusitas pada

dasarnya adalah kekuatan untuk menghindari seseorang untuk dijadikan

objektifikasi seksual (Pratiwi, 2009).

Berdasarkan data pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di SMK

Negeri 1 Curup Timur data yang didapat dari kepala sekolah yaitu total jumlah

keseluruhan remaja putri atau siswi SMK Negeri 1 Curup Timur adalah 395

orang pada bulan Oktober tahun 2013. Ada pula data yang didapatkan oleh guru

BK (Bimbingan Konseling) di SMK tersebut terdapat 4 orang siswinya yang

hamil diluar nikah.


7

Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di SMK

Negeri 1 Curup Timur pada tanggal 18 Maret 2014, dari 10 orang remaja putri 5

(50%) diantaranya pernah mengalami pelecahan seksual.

Menurut keterangan dari salah satu siswi tersebut dia sering merasa tidak

percaya diri dengan penampilannya sehingga sering mengikuti trend atau gaya

yang membuatnya diperhatikan oleh orang lain. Menurut Kurniawan (2005),

terdapat hubungan negatif antara konsep diri dengan persepsi terhadap

objektifikasi seksual pada remaja putri. Semakin positif konsep diri dan

religiusitas, maka semakin negatif persepsi terhadap objektifikasi seksual pada

remaja putri, sebaliknya semakin negatif konsep diri dan religiusitas, maka

semakin positif persepsi terhadap objektifikasi seksual pada remaja putri.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti dapat merumuskan

permasalahan yaitu: apakah ada hubungan antara konsep diri dan religiusitas

dengan persepsi terhadap objektifikasi seksual pada remaja putri di SMK Negeri

1 Curup Timur Tahun 2014.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui Hubungan antara konsep diri dan religiusitas dengan

persepsi terhadap objektifikasi seksual pada remaja putri di SMK Negeri 1

Curup Timur.
8

2. Tujuan Khusus

a. Teridentifikasi distribusi frekuensi karakteristik remaja putri berdasarkan

usia tentang masalah objektifikasi seksual

b. Teridentifikasi distribusi frekuensi tentang konsep diri: Gambaran diri

pada remaja putri

c. Teridentifikasi distribusi frekuensi tentang religiusitas pada remaja putri

d. Teridentifikasi distribusi frekuensi tentang objektifikasi seksual pada

remaja putri

e. Teridentifikasi hubungan konsep diri dengan persepsi terhadap

objektifikasi seksual pada remaja putri.

f. Teridentifikasi hubungan religiusitas dengan persepsi terhadap

objektifikasi seksual pada remaja putri.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Bagi Peneliti dan Mahasiswa Lain

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan informasi yang lebih

luas dalam bidang keperawatan dan psikologi tentang hubungan antara konsep

diri dan religiusitas terhadap objektifikasi seksual pada remaja putri.

Khususnya psikologi perkembangan mengenai konsep diri dan religiusitas.

2. Manfaat Bagi Pelajar/ Responden

Melalui hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi dan

pengetahuan kepada remaja putri berkaitan dengan masalah objektifikasi

seksual, religiusitas, dan konsep diri. Dan bagi institusi tempat penelitian,
9

sebagai masukan untuk menyusun program informasi tentang masalah

objektifikasi seksual.

3. Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi untuk penelitian lain yang

lebih lanjut mengenai hubungan antara konsep diri dan religiusitas dengan

persepsi terhadap objektifikasi seksual pada remaja putri.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berjudul tentang ”Hubungan Antara Konsep Diri dan

Religiusitas dengan Persepsi terhadap Objektifikasi Seksual pada Remaja Putri

Di SMK Negeri 1 Curup Timur Tahun 2014” belum pernah di teliti sebelumnya

tetapi penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya adalah :

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian


No Peneliti Judul Metode Hasil
1 Kurniawan I.Y.G Hubungan antara Cross Sectional Hasil yang diperoleh
konsep diri dengan dari uji analisis,
persepsi terhadap koefisien korelasi
objektifikasi seksual antara variabel
pada remaja putri konsep diri dengan
variabel persepsi
2005 terhadap objektifikasi
seksual pada remaja
putri yaitu sebesar
-0,342 dengan nilai
p=0,008 (p<0.01)
2 Pratiwi Y Hubungan tingkat Case Control nilai koefisien
religiusitas dan korelasi (R)=0,522;
pengetahuan seksual Fregresi=10,669; p
dengan intensitas <0,01 yang berarti
masturbasi pada ada hubungan antara
mahasiswa yang tingkat religiusitas
tinggal dikos dan pengetahuan
seksualitas dengan
2009 intensitas masturbasi.
10

3 Putri K.P Hubungan antara Kuantitatif Korelasi product


konsep diri dengan moment diperoleh
gaya hidup hedonis nilai r, sebesar -0,296
pada remaja dengan p<0,01 yang
artinya ada hubungan
2009 negatif yang sangat
signifikan antara
konsep diri dengan
gaya hidup hedonis.

Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah

terletak pada variabel independen (konsep diri: Gambaran diri dan religiusitas)

dan variabel dependen (objektifikasi seksual). Tempat penelitian dilaksanakan di

SMK Negeri 1 Curup Timur, populasi yaitu 395 orang.

Anda mungkin juga menyukai