Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Berdirinya Nahdlotul Ulama’ Dan Muhammadiyah

Disusun Oleh Kelompok 5 :


1. Yasmin Yuliawati (36)
2. Bisma Maulidian Akbar (08)
3. Marselinus Tri Baktiar (25)
4. Rheva Dwi Alista (32)
5. juangga Rendi Saputra ( 23)

SMAN 1 TEGALDLIMO
BANYUWANGI
2021

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................................2
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan...................................................................................................................4
1.4 Manfaat penulisan..................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................................5
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................................................6
BAB IV DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................7

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh
lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Tegaldlimo, 25 Oktober 2021

3
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Manfaat penulisan

4
BAB II PEMBAHASAN
1.1 Latar Belakang
A. Sejarah Berdirinya Muhammadiyah dan NU
1. Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H., bertepatan dengan tanggal 18
Nopember 1912 M di Yogyakarta oleh KH. A. Dahlan beserta sahabat dekat dan murid-
muridnya. Organisasi ini diberi nama Muhammadiyah yaitu semua orang yang beragama
Islam dan memahami bahwa Nabi Muhammad adalah hamba yang menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang benar-benar
masyarakat utama.[1] Organisasi ini didirikan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya
dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang
bersifat permanen.[2]
Latar belakang berdirinya Muhammadiyah yaitu:
Kelahiran Muhammadiyah tidak lain karena diilhami, dimotivasi, dan disemangati oleh
ajaran-ajaran Al-Qur’an dan karena itu pula seluruh geraknya tidak ada motif lain kecuali
semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prisip ajaran Islam. Segala yang dilakukan oleh
Muhammadiyah, baik dalam bidang pendidikan dan pengajaran, kemasyarakatan,
kerumahtanggaan, perekonomian, dan sebagainya, tak dapat dilepaskan dari ajaran-ajaran
Islam. Tegasnya gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah Islam
dalam wujud yang riel, konkret, dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan, dan dinikmati oleh
umat sebagai “rahmatan lil ‘alamin”.[3]
Ada 2 (dua) faktor yang menjadi penyebab berdirinya gerakan ini:
a. Faktor Subyektif
Faktor Subyektif ialah pelakunya sendiri. Dan ini merupakan faktor sentral. Faktor yang lain
hanya menjadi penunjang saja. Yang dimaksud disini ialah, kalau mau mendirikan
Muhammadiyah maka harus dimulai dari orangnya sendiri. Kalau tidak, maka
Muhammadiyah bisa dibawa kemana saja.
b. Faktor Obyektif
Faktor obyektif yang dimaksud ialah keadaan dan kenyataan yang bekembang saat itu. Hal
ini hanya merupakan pendorong lebih hangat dari permulaan yang telah ditetapkan dan
hendak dilakukan subyeknya.
Faktor berdirinya bersifat internal dari umat Islam. Maksudnya kenyataan bahwa ajaran Islam
yang masuk ke Indonesia kemudian menjadi agama umat Islam di Indonesia sebagai akibat
perkembangan Islam pada umumnya ternyata sudah tidak utuh dan tidak murni lagi.
Sementara faktor eksternalnya adalah bahwa pemerintah Belanda merupakan keadaan
obyektif eksternal umat Islam pertama yang melatar belakangi berdirinya Muhammdiyah.[4]
2. Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU)

5
Nahdlatul Ulama didirikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M. atas kesadaran dan
keinsyafan bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya bila bersedia untuk
hidup bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan kebahagiaan dan menolak bahaya
terhadapnya. Persatuan, ikatan batin, saling bantu-mambantu dan kesatuan merupakan
prasyarat dari tumbuhnya tali persaudaraan dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi
terciptanya tata kemasyarakatan yang baik dan harmonis.[5]
Nahdlatul Ulama artinya Kebangkitan Ulama didirikan di Surabaya sebagai reaksi terhadap
berdirinya gerakan reformasi dalam Islam di Indonesia, dan mempertahankan salah satu
mazhab empat dalam masalah yang berhubungan dengan fiqih (hukum Islam). Dalam hal
i’tiqad berpegang pada aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tokoh pendiri NU adalah KH.
Wahab Hasbullah, KH. Bisyri Syamsuri, KH. Ma’shum Lasem dan sebagai ketua pertamanya
adalah KH. Hasyim Asy’ari.[6]
Lapangan usaha NU meliputi bidang-bidang pendidikan, dakwah, dan sosial terutama
penyiaran agama Islam menurut faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. NU memiliki pondok
pesantren besar yang menyebar di Indonesia, seperti Pesantren Tebuireng Jombang,
Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Ploso Kediri, Pesantren Asembagus Situbondo,
Pesantren Kajen Pati, Pesantren Lasem Rembang, Pesantren Kalibeber Wonosobo, Pesantren
Buntut Cirebon, Pesantren Cipasung Tasikmalaya dan lain-lain. Disamping pesantren
pendidikan yang dikelola NU adalah sekolah-sekolah formal sejak MI, MTs, MA, juga SD,
SMP, SMA, sampai Perguruan Tinggi.
NU pernah terjun dibidang politik, setelah keluar dari partai politik Masyumi (1955). Dalam
pergerakan kemerdekaan Indonesia, peran NU cukup besar. Bahkan diantara para tokoh NU
ada yang diakui sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah RI antara lain: KH. Hasyim
Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, KH. Zainal Mustafa, KH. Zainul Arifin. Dalam perjuangan
politik, NU akhirnya menyatakan kembali ke Khithah 26, yaitu meninggalkan perjuangan
politik praktis. Tokoh-tokoh NU antara lain: KH. Dr. Idham Khalid (pernah ketua DPR-
MPR), dan KH. Abdurrahman Wahid, pernah menjadi presiden RI ke-4.[7]
B. Bentuk-Bentuk Pemikiran Muhammadiyah dan NU
1. Bentuk-Bentuk Pemikiran Muhammadiyah
Kategorisasi pemikiran Muhammadiyah mengelompokkan pemikiran Muhammadiyah ke
dalam jenis pemikiran yang bersifat filosofis dan teoritis.
Pemikiran Muhammadiyah dapat disusun secara garis besar filosofi keperjuangan
Muhammadiyah dalam lima prinsip. Pertama; tauhid, kedua; ibadah, ketiga;
kemasyarakatan/jama’ah, keempat; ittiba’, kelima; tajdid dan keenam; organisai. Dengan
tajdid dimaksudkan sebagai penempatan rasio atau akal atau arro’yu sebagai alat dalam
memahami dan merealisasikan ajaran Islam.
Berdasarkan prinsip tersebut di atas, maka gerak dakwah Muhammadiyah dalam semua aspek
kehidupan sosial harus merupakan pelaksanaan dan penjabaran enam prinsip itu. Oleh karena
itu penataan organisasi Muhammadiyah harus berdimensi tauhid, sebagai ibadah dalam
konteks hidup sosial/jama’ah yang dikembangkan sesuai dengan pola sunnah rasul.
Oleh karena itu kehidupan sosial selau berubah setiap saat, maka penerapan prinsip di atas
dikembangkan melalui pertimbangan rasional dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan

6
teknologi. Demikian pula halnya dengan pengembangan amal usaha Muhammadiyah yang
meliputi berbagai aspek kehidupan sosial.[8]
Selanjutnya, jenis pemikiran yang kedua yang bersifat teoritis mengandung beberapa prinsip
strategi dan teori keperjuangan Muhammadiyah melalui gerakan dakwah dan tajdid.
Pemikiran ini disebut teoritis dan strategis karena merupakan teoritisasi norma yang
tercantum dalam pemikiran jenis pertama dengan realitas hidup obyektif.
Sesuai dengan posisi pemikiran jenis kedua tersebut, maka pemikiran jenis kedua bersifat
kondisional yang lahir sebagai jawaban terhadap realitas kehidupan sosial yang selalu
berubah. Secara garis besar prinsip strategi keperjuangan Muhammadiyah terdiri dari
beberapa konsep. Pertama, pendalaman akidah bagi pimpinan dan anggota. Kedua,
memperluas wawasan pemahaman Islam. Ketiga, korektif dan musyawarah. Keempat,
pengembangan keterbukaan dan kemerdekaan berpikir secara rasional. Kelima, dakwah Islam
merupakan konsep umum pengembangan tata kehidupan Islam. Keenam, politik dalam
pengertiannya yang luas merupakan sub-sistem dari konsep dan gerakan dakwah Islam.
Ketujuh, penertiban administrasi dan organisasi. Kedelapan, profesionalisasi dan spesialisasi
sebagai metode pembagian kerja dan tugas dalam gerakan dakwah. Kesembilan, peningkatan
mutu kehidupan sosial dan ekonomi anggota serta warga masyarakat antara lain dilakukan
melalui peningkatan mutu amal-usaha Muhammadiyah di bidang sosial, ekonomi, budaya
dan politik. Kesepuluh, ukhuwah-islamiyah sebagai prinsip hubungan kemasyarakatan.[9]
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dapat dipahami dari dua segi: pertama dapat diartikan
bahwa gerakan Muhammadiyah harus berciri/ bersifat Islam. Seperti kedisiplinannya dalam
menepati waktu. Kedua, dapat diartikan menggerakkan Islam, menjadikan Islam ini bergerak
(dinamis) tidak diam (statis) sehingga adanya Islam dapat dirasakan oleh semua orang, tidak
hanya orang Muhammadiyah saja, tetapi juga mendirikan tempat- yang bermanfaat lainnya
seperti mendirikan sekolah, dan rumah sakit.
Sebagai gerakan Islam, Muhammadiyah berjuang dalam bidang masyarakat, bekerja dan
bergerak ditengah masyarakat dalam melaksanakan dakwah Islam yang berprinsip pada Amar
Ma’ruf nahi Munkar dalam arti yang sebenarnya dan seluas-luasnya untuk menggerakkan
dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat yang mutamaddin, yang
adil makmur serta diridhai Allah.[10]
2. Bentuk-Bentuk Pemikiran NU
Sejak awal pendiriannya NU merupakan organisasi yang bermotif dan berlandaskan
keagamaan yang spesifik dengan haluan Ahl-Sunnah wa al-Jama’ah. Oleh karena itu segala
sikap, perilaku, dan karakter perjuangannya akan selalu diukur berdasarkan norma dan
prinsip ajaran agama Islam yang dianut. Prinsip-prinsip ajaran (ideologi) yang dianutnya
menjadi tuntutan atau pedoman bagi praktik-praktik keagamaan maupun dalam kehidupan
sosial-kemasyarakatan di kalangan NU, yang pada gilirannya akan membentuk karakteristik
tersendiri dalam perjalanan kehidupan NU, serta membedakannya dengan organisasi
keagamaan yang lain.[11] Adapun prinsip-prinsip ajaran yang memberikan nuansa spesifik
pada NU dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Paham NU dalam bidang keagamaan

7
Pikiran Nahdlatul Ulama dalam bidang keagamaan secara ringkas dapat dibagi dalam tiga
bidang, yaitu: bidang aqidah, fiqh dan tasawuf.
Dalam bidang aqidah yang dianut oleh NU sejak didirikan pada tahun 1926 adalah Islam atas
dasar Ahlus sunnah wal jama’ah. Adapun faham ahlus sunnah wal jama’ah yang dianut oleh
NU adalah faham yang dipelopori oleh Abul Hasan Al- Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-
Maturidi.[12] Faham ini menjadi cita-cita kelahiran, menjadi pedoman dalam perjalanan
kehidupan NU, menjadi landasan perjuangan yang senantiasa dipegang teguh dalam
mengembangkan Islam di Indonesia.[13]
Dalam bidang fiqh, dalam rangka mengajarkan agama Islam NU menganut dan mengikuti
produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu madzhab empat sebagai konsekuensi dari
menganut faham ahlus sunnah wal jama’ah. Walaupun demikian tidak berarti NU tidak lagi
menganut ajaran Rasulullah, sebab keempat madzhab tersebut berlandaskan al-Qur’an dan
as-Sunnah di samping ijma’ dan qiyas sebagai sumber pokok Islam.[14]
Faham NU dalam bidang tasawuf mengikuti aliran tasawuf yang dipelopori oleh Imam Al-
Junaid Al Bagdadi dan Imam Al-Ghazali. Imam Al-Junaid Al Bagdadi adalah salah seorang
ulama sufi terkenal yang wafat pada tahun 910 M di Irak sedang Imam Al-Ghazali adalah
ulama besar yang berasal dari Persia.Untuk kepentingan ini, yaitu membentuk sikap mental
dan kesadaran batin yang benar dalam beribadah bagi warga NU, maka pada tahun 1957 para
tokoh NU membentuk suatu badan Jam’iyah al-Thariqah al-Muqtabarah. Badan ini
merupakan wadah bagi warga NU dalam mengikuti ajaran tasawuf.[15]
Dalam bidang filsafat NU juga menganut ahli filsafat Islam yaitu Al-Ghazali. Karena beliau
pandai berfilsafat Islam dan sepaham dengan pemikiran NU, maka NU juga menganut Al-
Ghazali dalam hal pemikiran filsafatnya.
2. Faham NU dalam bidang kemasyarakatan
Sikap NU dalam bidang kemasyarakatan diilhami dan didasari oleh sikap dan faham
keagamaan yang dianut. Sikap kemasyarakatan NU bercirikan pada sifat: tawasuth dan
i’tidal, tasammuh, tawazun dan amar ma’ruf nahi munkar. Sikap ini harus dimiliki baik oleh
aktifis NU maupun segenap warga dalam berorganisasi dan bermasyarat.[16]
a. Sikap Tawasuth dan I’tidal. Tawasuth artinya tengah, sedang I’tidal artinya tegak. Sikap
Tawasuth dan I’tidal maksudnya sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang
menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah tengah kehidupan bersama.
b. Sikap Tasammuh maksudnya adalah NU bersikap toleran terhadap perbedaan
pandangan, baik dalam masalah keagamaan terutama hal-hal yang bersikap furu’ atau yang
menjadi masalah khilafiyah maupun dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
c. Sikap Tawazun yaitu sikap seimbang dalam berkhidmad. Menyerasikan khidmad kepada
Allah SWT, khidmad kepada sesama manusia serta kepada lingkungannya.
d. Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Warga NU diharapkan mempunyai kepekaan untuk
mendorong berbuat baik dan bermanfaat bagi kehidupan sesama, serta mencegah semua hal
yang menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.[17]
3. Pola pikir NU

8
Dalam NU dikenal sumber hukum Islam itu ada empat, yaitu: Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-
Ijma’, Qiyas. Selain empat sumber hukum Islam tersebut, NU juga mengacu kepada lima
pokok tujuan syar’iyah, yang dikemukakan oleh oleh Imam As Sathibi, yaitu melindungi:
Agama, jiwa, keturunan/kehormatan, harta, dan akal sehat. Ciri lain dalam metode berfikir
NU adalah mengacu kepada kaidah-kaidah fiqh.[18]
C. Tujuan Muhammadiyah dan NU
1. Tujuan dan Visi Misi Pendirian Muhammadiyah
Misi utama yang dibawa oleh Muhammadiyah adalah pembaharuan (tajdid) pemahaman
agama. Adapun yang dimaksud dengan pembaharuan oleh Muhammadiyah ialah
pembaharuan dalam arti mengembalikan keasliannya kemurniannya, dan pembaharuan dalam
arti modernisasi. Sekarang ini usaha pembaharuan Muhammadiyah secara ringkas dapat
dibagi ke dalam tiga bidang, yaitu: bidang keagamaan, bidang pendidikan, dan bidang
kemasyarakatan.
a. Bidang keagamaan
Pembaharuan dalam bidang keagamaan ialah memurnikan kembali dan mengembalikan
kepada keasliannya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan agama baik yang menyangkut
aqidah (keimanan) ataupun ritual (ibadah) haruslah sesuai dengan aslinya, yaitu sebagaimana
diperintahkan oleh Allah swt dalam al-Qur’an dan dituntunkan oleh Nabi Muhammad saw
lewat sunnah-sunnahnya.
b. Bidang pendidikan
Bagi Muhammadiyah, pendidikan mempunyai arti penting. Karena melalui bidang inilah
pemahaman tentang Islam dapat diwariskan dan ditanamkan dari generasi ke generasi.
Pembaharuan pendidikan meliputi dua segi. Yaitu segi cita-cita dan segi teknik pengajaran.
Dari segi cita-cita, yang dimaksudkan KH. Ahmad Dahlan ialah ingin membentuk manusia
muslim yang baik budi, alim dalam agama, luas dalam pandangan dan faham masalah ilmu
keduniaan, dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Adapun teknik, lebih
banyak berhubungan dengan cara-cara penyelenggaraan pengajaran.
c. Bidang kemasyarakatan
Di bidang sosial dan kemasyarakatan, usaha yang dirintis oleh Muhammadiyah yaitu
didirikannya rumah sakit, poliklinik, rumah yatim-piatu, yang dikelola melalui lembaga-
lembaga dan bukan secara individual sebagaimana dilakukan orang pada umumnya.[19]
2. Tujuan dan Visi Misi Pendirian NU
Nahdlatul Ulama didirikan dengan tujuan untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan
dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah dan menganut
salah satu madzhab empat, serta untuk memepersatukan langkah para ulama dan para
pengikut-pengikutnya dalam melakuka kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat dan martabat manusia.
NU dengan demikian merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan untuk ikut membangun
dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT, cerdas,
terampil, berakhlak mulia, tenteram, adil dan sejahtera. NU mewujudkan cita-cita dan

9
tujuannya melalui serangkaian ikhtiyar yang didasari oleh dasar-dasar faham keagamaan
yang membentuk kepribadian khas NU. Inilah yang kemudian disebut Khitthah Nahdlatul
Ulama.[20]
NU didirikan sebagai Jam’iyyah Diniyyah (organisasi keagamaan kemasyarakatan).
Jam’iayyah ini dibentuk untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan para pengikutnya.
Kata ulama dalam rangkaian Nahdlatul Ulama tidak selalu berarti NU hanya beranggotakan
Ulama tetapi memiliki maksud bahwa Ulama mempunyai maksud kedudukan istimewa
didalam NU, karena baliau adalah pewaris dan mata rantai penyalur ajaran Islam yang
dibawa oleh Rasulullah SAW.
Nahdlatul Ulama mempunyai dua wajah:
Pertama, wajah Jam’iyyah (NU jam’iyyah). Yaitu sebagai organisasi formal struktural yang
mengikuti mekanisme organisasi modern seperti memiliki pengurus, anggota, iuran, rapat-
rapat resmi, keputusan-keputusan resmi dan lain-lain.[21]
Kedua, wajah jama’ah (NU jama’ah). Yaitu kelompok ideologis kultural yang mempunyai
pandangan, wawasan keagamaan dan budaya ala NU. Bahkan mereka tidak mau dikatakan
bukan orang NU. Mereka tersebar dalam berbagai kelompok kegiatan, seperti jama’ah
yasinan, tahlilan, wali murid madrasah NU, jama’ah mushalla dan sebagainya. Anehnya
mereka tidak mudah diatur sebagai jam’iyyah NU.[22]
Kedua macan kelompok tersebut, merupakan potensi bagi organisasi ini. Masing-masing
harus diurus secara baik dan tepat. Bahkan idealnya jam’iyyah NU dapat menjadi organisasi
kader dengan melakukan langkah-langkah taktis seperti:
a. Tertib administrasi dan organisasi yang mantap, mulai dari pendaftaran anggota,
mutasi, proses pembentukan pengurus dan sebagainya.
b. Pembinaan odeologi dan wawasan yang mumpuni.
c. Disiplin operasional dan langkah-langkah perjuangan.
Sedangkan sebagai jam’ah NU, mereka diharapkan menjadi pendukung masal bagi gagasan,
sikap, langkah amaliah organisasi dan sebagainya, meskipun keberadaan mereka tidak
terdaftar sebagai warga jam’iyyah NU.[23]
D. Sikap politik Muhammadiyah dan NU
1. Sikap Politik Muhammdiyah
Sikap dan pandangan politik Muhammadiyah dirumuskan dalam pernyataan bahwa;
Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang menempatka kehidupan manusia dan
masyarakat sebagai sasaran dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Kegiatan politik menurut
pandangan Muhammadiyah adalah salah satu aspek dari kehidupan manusia danmasyarakat
tersebut. Berdasarkan pandangannya tersebut sikap politik Muhammadiyah dapat dibedakan
menjadi dua bagian.
Pertama, ketika Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) belum melakukan fusi dalam PPP,
Muhammadiyah menyatakan bahwa Parmusi adalah salah satu proyek amal usaha

10
Muhammadiyah. Berdasarkan hal tersebut Muhammadiyah secara aktif mengambil peranan
dalam pembinaan dan pengembangan Parsumi.
Sikap demikian itu dinyatakan oleh pernyataan Muhammadiyah bahwa seluruh anggota
Muhammadiyah harus merasa bertanggungjawab terhadap perkembangan Parmusi. Oleh
karena itu dalam menghadapi Pemilu 1971 Muhammadiyah menginstruksikan seluruh warga
Muhammadiyah agar memenangkan Bulan Bintang (dhi Parsumi) (BSM no. 35/III/70 hlm 4
dan 6; BSM no. 36/III/70 hlm. 4 dan 6; BSM no. 44/IV/71 hlm. 2-4).
Pandangan dan sikap politik Muhammadiyah tersebut di atas merupakan landasan dan
pengarah tindakan politiknya. Sesuai dengan sikap pemerintah yang menempatkan
Muhammadiyah sebagai ormas yang mempunyai fungsi politik, maka sejak tahun 1966
Sidang Takwir 1968 menugaskan kepada Majlis Hikmah agar mengarahkan anggota
Muhammadiyah yang duduk di lembaga legislatif agar bergabung ke dalam fraksi Parmusi
(BSM no. 8/I/68).
Kedua, sikap Muhammadiyah tersebut kemudian berubah ketika lahirnya PPP sejak tahun
1975 sebagai tindak lanjut UU no.3/1975. Berdasarkan pandangannya tersebut
Muhammadiyah mengambil kebijaksanaan untuk memberikan kebebasan kepada anggota
untuk masuk atau tidak kepada partai atau golongan politik lainnya. Demikian pula dalam
memilih salah satu partai atau golongan politik peserta Pemilu dengan cacatan sesuai dengan
aspirasi perjuangan Muhammadiyah (BMR no.93/94 th 1982 hlm.8).[24]
Pandangan politik Muhammadiyah tersebut timbul sebagai akibat semakin kendornya fungsi
kontrol Muhammadiyah terhadap parmusi dan masuknya berbagai kader Muhammadiyah
dalam tubuh Golkar (Mulkhan 1989). Hal itu telah menimbulkan konflik intern di berbagai
daerah Muhammadiyah dan berkembangnya sikap pemerintah yang tidak menguntungkan
Muhammadiyah sendiri. Berdasarkan pandangan Muhammadiyah tersebut di atas, ST 1968
menetapkan pelarangan rangkap jabatan dalam politik (Parsumi) dan Muhammadiyah sebagai
upaya untuk menempatkan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah (Laporan kep. ST
1968).[25]
2. Sikap politik NU
Ada tiga model politik yang selama ini dilaksanakan NU, yaitu politik kenegaraan, politik
kerakyatan, dan politik kekuasaan. Dari tiga politik itu, politik kekuasaan (praktis)
menempati kedudukan paling rendah. Di kalangan NU ada asumsi, politik kerakyatan dan
kenegaraan akan mendapatkan puncak pada peraihan politik kekuasaan.
Secara historis, kelahiran NU dibidani Hadratus Syeh Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama
terkemuka lain, tahun 1926. Salah satu tujuannya untuk melindungi praktik dan pemikiran
kegamaan muslim timur tengah, khususnya arab saudi, yang puritanistik. Dari sini bisa
disimpulkan, pendirian NU bukan untuk tujuan politik kekuasaan, tetapi politik (keagamaan)
kerakyatan. Maka, bagi umat Islam Indonesia yang menginginkan pelaksanaan praktik dan
pemikiran keagamaan dekat dengan tradisi lokalnya, kehadiran NU dinilai memeberi
perlindungan. Bila ini bisa disebut tindakan politik kerakyatan maka politik jenis inilah yang
patut disebut tingkatan politik tertinggi NU. Politik kenegaraan belum muncul karena saat itu
(1926) dikursus tentang negara belum ada.[26]

11
Posisi NU ketika berpolitik secara formal tampaknya bisa dikategorikan sebagai lebih
eksklusif, dan menjadikan orang-orang NU tidak memiliki kebebasan untuk menentukan
pilihan-pilihan politiknya sendiri. Wadah politik dan hubungan sosial dalam wadah itu jelas
sekali menunjukkan wataknya yang patronatif, yang sekaligus mengekspresikan pola
hubungan sosial yang terbangun mapan dalam komunitas NU. Peran para tokohnya dalam
politik sangat dominan sementara jama’ahnya diorganisir dalam wadah NU kemudian
diarahkan untuk memilih partai politik yang dibangun dan dikendalikan oleh para tokohnya
itu. Kondisi seperti ini berlangsung baik pada saat NU bergabung dalam partai Masyumi,
partai NU sendiri, maupun berada dalam PPP, sehingga jelas yang diuntungkan secara
berkelanjutan adalah para tokohnya.[27]
Seiring kompleksitas perkembangan politik Indonesia, perjalanan politik NU juga
berkembang. NU mulai bersentuhan dengan politik kenegaraan (kebangsaan), terutama
menjelang dan pasca kemerdekaan. Persentuhan ini merupakan pengaruh pergerakan
nasionalisme dibeberapa negara yang bergerak menuju kemerdekaan. Konstribusi politik NU
yang paling jelas adalah dukungan Wahid Hasyim, wakil NU pada PPKI, untuk tidak
mencamtumkan piagam Jakarta di dalam dasar Negara kita.

12
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

Paham-paham agama Islam di Indonesia yang paling terkenal adalah Muhammadiyah


dan NU. Muhammadiyah berdiri pada 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 M yang
dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan. Jenis pemikiran Muhammadiyah bersifat filosofis dan
teoritis. Misi utama yang dibawa oleh Muhammadiyah adalah pembaharuan (tajdid)
pemahaman agama.
NU berdiri pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M pendirinya yaitu KH. Hasyim
Asy’ari. NU merupakan organisasi yang bermotif dan berlandaskan keagamaan yang spesifik
dengan haluan Ahl-Sunnah wa al-Jama’ah. Tujuan berdirinya NU yaitu untuk memelihara,
melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah
wal Jama’ah dan menganut salah satu madzhab empat, serta untuk memepersatukan langkah
para ulama dan para pengikut-pengikutnya.
Posisi NU ketika berpolitik secara formal tampaknya bisa dikategorikan sebagai lebih
eksklusif, dan menjadikan orang-orang NU tidak memiliki kebebasan untuk menentukan
pilihan-pilihan politiknya sendiri. Wadah politik dan hubungan sosial dalam wadah itu jelas
sekali menunjukkan wataknya yang patronatif, yang sekaligus mengekspresikan pola
hubungan sosial yang terbangun mapan dalam komunitas NU.

13
BAB IV DAFTAR PUSTAKA
Amin, Masyhur, NU & Ijtihad politik Kenegaraannya, Yogyakarta: AL-Amin, 1996

Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010

Daman, Rozikin, Membidik NU, Yogyakarta: Gama Media, 2001

Ida, Laode. NU Muda Kaum Progresif dan Sekularisme Baru. Jakarta: Erlangga. 2004

Mulkhan, Abdul Munir, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif
Perubahan Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 1990

Muzadi, Abdul Muchith, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, Surabaya: Khalista, 2007

Nahdlatul Ulama. Dinamika ideologi dan Politik Kenegaraan,. Jakarta. Kompas. 2010

Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia,
1996

Pasha, Musthafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000

Solikhin, M., Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Rasail, 2005

Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah malang,


Muhammadiyah Sejarah, pemikiran dan Amal Usaha, Malang: PT Tiara Wacana Yogya dan
Universitas Muhammadiyah Malang Press, 1990

[1] M. Solikhin, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: Rasail, 2005), hlm. 156

[2] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES
Indonesia, 1996), hlm. 84

[3] Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000), hlm.114

[4] M. Solikhin, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 156-157

[5] Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, (Surabaya: Khalista, 2007), hlm.
24

[6] Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, hlm.
58

[7] Samsul Munir Amin, Sejarah Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 424-425

[8] Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif
Perubahan Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 53

[9]Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif
Perubahan Sosial, hlm. 54

[10] M. Solikhin, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 157-158

14
[11] Rozikin Daman, Membidik NU, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 54

[12] Masyhur Amin, NU & Ijtihad politik Kenegaraannya, (Yogyakarta: AL-Amin, 1996), hlm. 80

[13] Rozikin Daman, Membidik NU, hlm. 54-55

[14] Masyhur Amin, NU & Ijtihad politik Kenegaraannya, hlm. 80

[15] Masyhur Amin, NU & Ijtihad politik Kenegaraannya, hlm. 85

[16] Masyhur Amin, NU & Ijtihad politik Kenegaraannya, hlm. 86

[17] Masyhur Amin, NU & Ijtihad politik Kenegaraannya, hlm. 87-89

[18] Masyhur Amin, NU & Ijtihad politik Kenegaraannya, hlm. 90

[19] Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah malang,


Muhammadiyah Sejarah, pemikiran dan Amal Usaha, (Malang: PT Tiara Wacana Yogya dan
Universitas Muhammadiyah Malang Press, 1990), hlm. 117-120

[20] Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, hlm. 24-25

[21] Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, hlm. 35

[22] Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, hlm. 35-36

[23] Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, hlm. 36

[24] Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif
Perubahan Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 82-83

[25] Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif
Perubahan Sosial, hlm. 84

[26] Nahdlatul Ulama, Dinamika ideologi dan Politik Kenegaraan, (Jakarta, Kompas, 2010), hlm.3-4

[27]Laode Ida, NU Muda Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm.9-10

15

Anda mungkin juga menyukai