Anda di halaman 1dari 100

BLURB

Elleinder muda harus menggantikan ayahanda yang baru saja meninggal, terutama
mengikuti kehendak ibundanya untuk menikahi calon permaisuri terpilih. Ia menerima
Evellyn bukan sekadar cinta apalagi kecantikannya. Namun, entah kenapa takdir
mempertemukan keduanya dalam permainan kesedihan.
***
Elleinder Bardolf—raja Skyvarna berusia 24 tahun yang baru saja naik takhta—
terkejut dengan titah sang ibunda untuk menikah dengan Eilaria Windsor, putri Duke of
Cornwevic. Tak pernah mengira bahwa dirinya harus terjebak dengan pengantin yang
ditukar. Bukan menikahi Eilaria, ia harus hidup bersama dengan Evellyn, saudari
kembarnya.
Semua menjadi lebih rumit ketika akhirnya cinta hadir di hati Evellyn.
Elleinder yang tak terlalu menuhankan cinta harus beradaptasi dengan tingkah
manja permaisurinya. Cinta berujung luka. Itulah yang terjadi ketika semua kedok
Evellyn terbongkar.
Bagaimana reaksi raja muda Skyvarna? Lalu, apakah yang akan terjadi jika Eilaria
kembali menuntut haknya?
Sometimes I hopefully
Time to die instansly
Without giving birth to an estuary in pain
Like a prolonged lie

Listen, if you love me


I want stop you
Because it is not for us
It’s time that talks

Look, my life is worthless


Offer black that is too dark
Scrape dear to hate
All will be wasted

(Darkness – poetry belonging to Valerie)


Bagiku, ia adalah masalah. Datang menawarkan kerinduan tak berujung di balik
kesengsaraan selamanya. Ia dan hidupnya bagaikan omong kosong belaka. Seperti
milikku yang patut ditertawakan juga, yang kuharap bukan darinya.
(Evellyn Windsor)

Kehadirannya mencekikku dalam ketidaktahuan. Melolosi ruang-ruang gelap yang


sekian lama mengurungku. Tanpa disadari, ia adalah sumber kesakitan terbesarku.
Melihatnya berjalan tegap dengan kaki berlumuran darah, seakan merenggut jantungku
secara paksa.
(Elleinder Bardolf)

Dari awal ia adalah milikku. Mendampinginya di sisi kemewahan itu seharusnya


menjadi tugasku. Aku pasti akan merebutnya dari pemilik wajah yang mirip denganku.
(Eilaria Windsor)
BAB 1

Udara masih terasa dingin. Bahkan matahari seakan angkuh menyembunyikan


dirinya di balik mendung. Embun-embun yang menempeli dedaunan seakan menambah
beku sekitar. Suasana yang tampak berada di antara lengang dan mencekam.
Skyvarna masih berduka usai sepeninggal sang raja. Belum lagi pemberontakan
yang muncul di sana-sini akibat kenaikan takhta dari raja baru. Akan tetapi, ada satu
yang luput dari penglihatan jalanan setapak Skyvarna.
Seorang gadis bangsawan tengah menggerutu. Entah apa yang terjadi. Gadis pemilik
rambut panjang hitam keunguan itu terlihat risih dan tak peduli jika sampai ada anak
panah yang menghampirinya.
Evellyn Windsor, putri kedua dari pasangan Duke dan Duchess of Cornwevic. Ia
bersumpah akan membunuh si raja baru yang telah berani mengganggu mimpi
indahnya. Evellyn merasa tertipu. Ayah dan ibunya berhasil membujuk dirinya secara
paksa demi penderitaan yang tak tahu sampai kapan.
Dari jendela kereta, mata kelamnya mengintip diam-diam. Sejumlah prajurit
mengawalnya bagai robot.
Mungkin mereka takut dirinya akan kabur dari rasa jengkel itu. Ia sendiri heran dari
mana ayahnya bisa mendapatkan kemewahan yang sangat banyak. Atau bisa jadi si raja
menyebalkan membelinya dengan semua itu.
“Turunkan kaki Anda, Nona.” Sebuah suara menyentaknya, menghilangkan ribuan
rencana yang berseliweran di kepala mungil itu.
Evellyn mendengkus. Meski begitu, ia tak lantas menuruti keinginan si pelayan.
Tidakkah mereka melihat dirinya kepanasan mengenakan gaun tebal berlapis-lapis?
Indah memang, tapi tidak untuk sekarang. Kalau paham dari awal, ia akan menolak
mentah-mentah menggunakannya.
“NONA!”
Sejak kapan seorang bawahan berani meninggikan suaranya kepada atasan? Tidak
pernah sama sekali. Kecuali, pelayan pribadi Duke of Cornwevic di depan Evellyn.
Madam Beliora menatap tegas langsung ke mata putri junjungannya. Wanita paruh
baya itu mengerti kalau sang putri marah atas takdir yang terjadi. Ia hanya mencoba
memperbaiki sikap Evellyn agar tak mempermalukan diri sendiri begitu sampai di
Kerajaan Skyvarna.
Sedangkan yang dibentak hanya melongo sesaat dan membawa kaki putihnya sesuai
arahan. Geram, kesal, berapi-api masih menyelimuti. Perlukah ia membuat gempar seisi
Skyvarna?
Ia yakin hanya perlu menyajikan kekonyolan sikap di hadapan para petinggi
kerajaan yang siapa tahu akan menyelamatkan hidupnya dari cengkeraman Raja
Elleinder.
“Jangan membuat masalah, Nona. Ingatlah. Hidup Cornwevic berada di tangan
Anda.”
Evellyn menelan kembali keputusannya. Bertahun-tahun sudah ia ingin
mewujudkan itu semua, menghancurkan Cornwevic dari dalam. Akan tetapi, terkenang
wajah sang ibu yang mungkin menangis kecewa dengan sikapnya. Itu menyakiti hati
Evellyn.
Berada di ujung jurang tanpa tepi seakan menggambarkan keadaannya. Apalagi
Grissham masih terjebak di tangan si pengkhianat.
Evellyn langsung membusungkan dada. Ia merasa harus menampakkan kewibawaan
agar tidak terinjak-injak oleh Skyvarna. Menurutnya, Skyvarna bagaikan topeng. Begitu
elok di luar, damai di mata negeri seberang, tanpa ada yang tahu topeng itu melukai
pemiliknya. Bahkan bisa hancur dalam sekejap.
Raja terdahulu terkenal akan kekuasaannya. Seolah merasa berjasa untuk rakyat
Skyvarna padahal mereka membencinya. Tidak sulit untuk mengetahui kebobrokan
kerajaan yang sudah menjadi rahasia umum. Raja yang terlena dengan takhta, harta, dan
wanita hingga mengesampingkan kesejahteraan rakyat pinggiran.
Evellyn berjanji akan menaklukan raja Skyvarna yang baru agar bertekuk lutut di
bawah kakinya.
“Kita sudah sampai, Yang Mulia.” Sang kusir memberi tahu Evellyn.
Dua prajurit yang berjaga membukakan pintu kereta. Setelahnya mereka menunduk,
mempersilakan Evellyn untuk keluar.
“Lady Eilaria of Cornwevic telah tiba.”
Pengumuman itu terdengar menggelikan untuk Evellyn. Jika saja tak ingat beberapa
menit lalu namanya berubah, ia akan tertawa keras di hadapan para prajurit.
Seorang pelayan yang mengenakan seragam dengan dominasi warna hitam datang
tergopoh-gopoh dari arah dalam. “Selamat datang, Yang Mulia. Mari, saya antar.”
Evellyn mengangguk kecil untuk menjawabnya. Ia mengikuti langkah sang pelayan
dan melihat langsung betapa mewahnya Kerajaan Skyvarna seperti yang mereka
gembar-gemborkan.
Begitu masuk, sungguh pemandangan yang memukau. Hiasan mutiara bertengger di
setiap lukisan dinding dan pilar-pilar berjejer, melambangkan kekayaan tiada tara dan
mengabaikan duka di mata rakyat.
Sepanjang jalan, Evellyn mencoba menepis kemarahan di ujung lidahnya. Ia
berjalan tegap serta mengabaikan suara-suara sinis yang mampir di telinga sementara
Madam Beliora tersenyum simpul di belakang.
“Silakan, Yang Mulia.”
Evellyn bingung kenapa ia tidak dibawa untuk menemui raja Skyvarna. Malahan ia
dihadapkan dengan ruangan tidur yang tak kalah mewah dari ruang-ruang yang
dilewati.
“Yang Mulia Raja meminta Anda beristirahat karena nanti malam akan ada pesta
penyambutan untuk Anda,” lapor pelayan yang sedari awal menemani mereka.
“Terima kasih,” ucap Evellyn.
Wanita itu membungkuk dan meninggalkan Evellyn beserta Madam Beliora yang
mulai memasuki kamar. Dibandingkan kamarnya, ruangan bernuansa krem dengan
banyak pernik berwarna emas itu bisa dikatakan tiga kali lipat lebih besar. Tak
dipungkiri permadani beledu yang digelar menambah keanggunan suasana kamar.
Tempat tidur besar dikelilingi tirai-tirai senada. Sinar matahari yang berdatangan
merambat lurus melalui jendela-jendela tinggi, menambah kecantikan kamar. Perapian
di hadapan tempat tidur berpadu meja kecil sebagai pelengkap. Persis seperti kamar
negeri dongeng.
“Pergilah istirahat, Bibi.” Evellyn hanya ingin sendiri. Ia sedikit lelah. Dan baginya,
tidur adalah jawaban terbaik.
Wanita yang masih memiliki kulit kencang di usia setengah abadnya itu
mengangguk dan permisi keluar untuk berbaur dengan para pelayan kerajaan.
Suara pintu yang tertutup mengempaskan semua rasa kesal Evellyn. Setengah hari
saja menjalani tingkah seorang lady, tubuhnya terasa kaku. Satu-satunya alasan Evellyn
tetap berjuang adalah dendamnya terhadap Cornwevic. Waktunya tidak banyak untuk
menemukan cara kecuali melalui Skyvarna.
Evellyn benar-benar bosan. Semua terjadi sangat cepat. Ia masih sukar percaya mau
saja diperalat untuk menggantikan saudari kembarnya hidup di sangkar emas itu. Hidup
yang disukainya justru sebagai burung yang bebas, terbang dan bertengger ke mana pun.
Ia baru saja menduga alam merestuinya untuk menenangkan diri ketika mencapai
ranjang. Namun, gaduh dari luar mengusik. Suara pedang yang beradu menarik rasa
ingin tahunya. Dengan sedikit malas, Evellyn berjalan ke arah pintu kamar dan
mendapati dua prajurit telah berjaga ketat di sana.
“Ada apa?” tanya Evellyn.
Mereka saling menatap satu sama lain seolah bertelepati. “T—tidak ada apa-apa,
Yang Mulia. Anda dilarang keluar dari kamar.”
Evellyn mengernyit. Belum sehari ia menghirup udara Skyvarna, sudah ada aturan
yang harus dipatuhi. Karena penasaran, ia sampai mengintip sendiri keadaan lorong
menuju kamar. Sepi, tak ada yang janggal. Apa mungkin telinganya salah?
“Jangan khawatir, Paduka. Kami akan berjaga untuk Anda,” sahut prajurit yang
berdiri di sisi kanan.
“Maka,” tanggap Evellyn tersenyum dingin, “aku bisa tidur sekarang. Terima
kasih.” Kemudian, ia menutup pintu.
Evellyn kembali mengumpat setelah benar-benar sendirian. Mengapa kerajaan ini
begitu misterius? Andaikan saja bisa bersikap masa bodoh. Ia berusaha memikirkan
kelanjutan hidupnya ketika pintu hampir terbuka dari arah luar.
Sedikit tergesa, ia memposisikan diri seakan tengah tertidur nyenyak, tidak ingin
membuat siapa pun melihat kekacauan di wajah dan hatinya.
“Sudah tidur ternyata.” Suara itu menggetarkan bulu kuduk Evellyn.
Entah siapa pemiliknya. Banyak hal yang tidak diketahui Evellyn tentang penghuni
Kerajaan Skyvarna.
“Apa Anda ingin di sini, Paduka?” Ada suara lain yang bertanya.
“Hm.” Evellyn kewalahan untuk mencari tahu suara siapa itu. Lalu, langkah kaki
yang berlalu lalang pergi meninggalkan kesunyian kamar.
Punggung tangan yang mendarat pada kening Evellyn sedikit mengejutkannya.
Hangat dalam gerakan lembut. Ia ingin membuka mata, tapi itu sama saja mencari
perkara.
“Tidurlah,” kata suara yang begitu dekat, “Sayang,” sangat dalam, mengantarkan
Evellyn menuju rasa nyaman untuk menjemput sang mimpi.
***
“Laut tak selamanya tenang. Ia akan bergelombang ketika badai datang tak
diundang.”
***
Evellyn tidak tahu sudah berapa lama memejamkan mata. Ia mengerjap berulang-
ulang, menyesuaikan diri dengan keadaan kamar yang terang.
“Anda sudah bangun?”
Evellyn mengikuti asal suara yang familier di dekat ranjang. Ia menghela napas lega
ketika mendapati wanita yang sudah belasan tahun mengikutinya itu berada dalam
ruangan yang sama.
“Mari bergegas, Yang Mulia. Anda telah ditunggu Paduka,” lanjut Madam Beliora
dengan sopan.
Rasa lelah yang masih menyertai, mengantarkan Evellyn pada kepatuhan saat
wanita itu membantu melepas gaun. Ia merasa segar kembali, bahkan kantuknya luruh
bersama air mandi.
Tanpa kata-kata, Evellyn duduk di meja rias. Setelah rambut hitamnya kering
sempurna, Madam Beliora lantas mengundurkan diri diikuti tatapan Evellyn.
Dua orang kembali masuk membawa puluhan gaun dan alat dandan yang
memusingkan. Tak ada waktu untuk membantah. Bak seorang boneka, Evellyn
dijadikan peraga untuk memamerkan kecantikan wanita Skyvarna.
Evellyn memperhatikan bayangan cermin yang tampak bukan seperti dirinya. Wajah
yang sama. Ketika diberi polesan yang sama, mereka akan tampak mirip tak bercela.
Pernikahan masih tiga hari lagi dan ia di sana sesuai perintah Paduka Raja.
Sejak kecil, menjadi Paduka Ratu ataupun calon permaisuri bukanlah keinginan
Evellyn. Ia bertanya-tanya, Apa mungkin Grissham belum terlepas?
“Apakah terjadi sesuatu di istana?” selidik Evellyn, berjalan menuju arah pesta
diikuti beberapa prajurit setelah pelayan membuka jalan untuknya.
“Saya belum mengetahuinya, Yang Mulia,” jawab prajurit itu.
Rasanya Evellyn ingin menjambak rambut si prajurit saat menerima jawaban yang
kurang memuaskan. Walau begitu, ia tidak menampakkannya dengan bersembunyi di
balik senyum spontan.
Alunan musik yang bergema dari kejauhan menjadi sesuatu yang pertama kali ia
jumpai. Semua orang dari penjuru Kerajaan Skyvarna pasti hadir. Pada usia sebelas
tahun, ia pernah merasakan keramaian, tetapi hanya sekali itu saja.
“Lady Eilaria of Cornwevic telah tiba!” teriak prajurit yang mengumumkan
kedatangan.
Setiap mata lekas memandang Evellyn dari mata ke ujung kaki. Ada yang terpana,
puas, ada juga yang menyiratkan kebencian. Namun, bukan itu yang menjadi
perhatiannya. Di atas singgasana, duduk seorang pemuda bermahkota yang kemudian
berjalan ke hadapan Evellyn.
Pemuda bermata kelam itu mengulurkan tangan untuk menyambutnya. Tidak
mengherankan. Ia adalah raja. Maka, seorang raja wajib menjaga kewibawaannya.
“Salam, Yang Mulia Paduka Raja.” Evellyn cepat-cepat membungkukkan badan,
memberi salam ala lady sambil memegangi rok lebar dari gaun ungunya.
Raja tersenyum mendengarnya. “Engkau adalah calon istriku. Sebelum ada yang
memujimu, akan kukatakan dirimu cantik dan memesona.” Raja Elleinder menatap
wajah tenang Evellyn. “Selamat datang, Eilaria.”
“Terima kasih, Paduka. Saya—”
“Yang Mulia! Lapor, Yang Mulia.” Seorang prajurit berseru dari arah pintu masuk
dengan berlari-larian sampai berhenti di hadapan raja.
“Kenapa kau masuk tanpa permisi?” tanya Raja Elleinder dengan tajam.
“A—ampun, Yang Mulia. H—hamba tidak akan mengulanginya,” jawabnya takut-
takut.
“Sudahlah. Katakan ada apa?”
Sembari membungkuk dalam, prajurit itu berkata, “Terjadi hal gawat, Yang Mulia.”
Dengungan suara bertanya dan penasaran memenuhi ruang pesta bagai kumbang.
Evellyn bahkan tak tertarik sedikit pun. Ia berharap bisa pergi dari kerumunan itu.
"Apa masalahnya?"
Prajurit itu memandang sekitar seakan takut membuat gempar. Lalu dia membuat
gerakan meminta izin untuk membisikan sesuatu. Dari ujung matanya, Evellyn melihat
raut sang raja yang dibisiki berubah keras.
“Siapkan pasukan segera!” titah Elleinder, pemilik rambut berwarna serupa
tembaga, tanpa melepaskan tatapan pada Evellyn dengan dingin. “Maafkan aku, Eilaria,
tidak dapat menemanimu sepenuhnya. Silakan pimpin pesta sesuai kehendakmu. Aku
akan pergi sebentar.”
Evellyn terperangah begitu sang raja menggendongnya untuk menduduki
singgasana. Kemudian, Raja Elleinder menenangkan rasa khawatir tamu undangan dan
menyuruh mereka memperlakukan Evellyn dengan baik.
***
BAB 2

“Engkau sudah gila, Grissham?” tanya Evellyn tak percaya.


“Maafkan saya, Tuan Putri.” Lelaki pemilik mata cokelat itu menunduk meski
berucap tenang. Tubuh kekar gelapnya tersamarkan pakaian serba hitam ketika
bersembunyi dalam bayangan di kamar Evellyn.
Evellyn terkadang tak bisa memahami jalan pikir tangan kanannya itu. Terlepas dari
kemampuan bela diri yang patut diacungi jempol, putra tunggal dari Madam Beliora itu
tiba-tiba memutuskan untuk menyusup ke Skyvarna tanpa peringatan.
Untung beribu untung, ia bukanlah anak kemarin sore. Tidak patut disalahkan
memang, raja baru yang diangkat berambisi menumpas para pengkhianat. Mereka
menganggap penyusup malam sebelumnya adalah salah satu yang harus dimusnahkan.
“Jangan gegabah! Berhati-hatilah dalam bertindak! Ini bukan wilayah kita,” nasihat
gadis bermata hitam keunguan itu.
“Apakah saya harus pulang ke Cornwevic?” Grissham balas bertanya.
Evellyn menghela napas. “Aku sudah memikirkannya masak-masak. Cornwevic
adalah tempat haram, maka kita harus menjauhinya. Cobalah bergabung dengan calon
prajurit. Aku dengar, Elleinder sedang mencari pengawal untukku. Pastikan kau tidak
mengecewakan.”
“Saya mengerti,” sahutnya tanpa salam kemudian melompat keluar salah satu
jendela kamar.
Dari tempat Evellyn berdiri, terlihat bayangan Grisshamberlari dari satu pohon
terdekat ke pohon yang lain dengan kecepatan mengagumkan. Sayangnya, kebahagiaan
pemilik Helmentra1 itu tidak bertahan lama ketika tak sengaja menangkap gelagat
seseorang yang mengamati pertemuan mereka.
Terkejut? Tentu saja. Jarak istana ratu dan istana raja hampir dua kilometer. Sulit
dibayangkan ada manusia yang dianugerahi penglihatan setajam elang, kecuali ia sudah
terlatih.

Pasukan khusus Cornwevic.


1
Dan lagi, tidak mungkin orang itu adalah suruhan ayahnya. Evellyn yakin, setengah
jam yang lalu, Grissham melaporkan bahwa Cornwevic tengah disibukkan dengan
keadaan Eilaria.
Menurut janji yang diucapkan Duke Axton Windsor, bahwasanya pengkhianat lebih
baik mati. Cukup sebagai bukti jika Duke tidak main-main dengan ucapannya.
Evellyn berdoa, semoga pertarungan Skyvarna dan Cornwevic tidak meletus
sebelum waktunya. Bagi putri yang ditirikan, tak masalah jika keduanya hancur selama
tidak berimbas kepada rakyat kerajaan.
Tak banyak pihak yang tahu Evellyn merupakan bagian dari rakyat terbelakang.
Istana Archer dijadikan penghuni bangsawan yang mengesampingkan keadaan ekonomi
Skyvarna. Bahkan raja sebelumnya diangkat bukan berdasarkan silsilah, melainkan
hasil suatu kudeta.
Elleinder Bardolf, pada kenyataannya hanyalah keturunan Geraint Bardolf, mantan
menteri Raja Alzevin Emrys VI. Geraint menusuk sang raja diam-diam demi takhta
Skyvarna. Melalui uang dan sekutu, kemenangan di pihak mereka. Aib yang
terbungkam sepenuhnya.
“Lalu, ke mana adik Raja Alzevin VI? Bukankah garis penerus yang sah masih
berjaga?” tanya Evellyn pada Earl of Clementine, paman kandungnya yang kala itu
mengunjungi kediaman Cornwevic.
Evellyn sendiri tidak pernah mencari gosip. Malahan ia tak sengaja menjelma
menjadi tempat penumpukan berita Skyvarna. Putri Duchess Lansonia itu berlaku
sebagaimana pembawa kabar burung semata dan menyimpannya untuk diri sendiri.
“Pangeran Devian lenyap termakan fakta. Lebih dari seribu pasukan dikerahkan
mencari langkah tanpa jejak. Hingga satu bulan kemudian, kudengar ia raib tertelan
ombak di perbatasan Skyvarna-Locko,” dongeng Earl Briyan Denio.
“Paman hanya membual,” keluh Evellyn, “Tidak adakah cerita yang lebih
rasional?”
“Ada,” jawab Earl spontan. “Kau yang terlalu ingin tahu.” Ia tersenyum penuh arti
sambil menyapa gelas kopi di atas meja, menyesapnya perlahan.
Pada akhirnya, gadis penyuka ungu itu memasang raut cemberut, mengalihkan
gurauan sang paman. Lelaki setengah baya yang bagi Evellyn adalah karunia Tuhan. Di
saat duka menghiasi Cornwevic, Earl datang menjadi penyelamat untuknya.
Siapa mengupas, ia terkena getah sendiri. Perumpamaan itu benar adanya. Semenjak
sejarah Skyvarna hadir, Evellyn berusaha menyingkirkan segala hal berbau kerajaan.
Jalan rahasia, seribu satu berdiri. Nyatanya, kaki Evellyn tidak bisa menghindari batu
besar—perjodohan.
“Cari orang itu sampai ketemu!” tuntut Evellyn yang tak tahu ditujukan untuk siapa.
Ia berdiri di depan jendela, menatap cermat lorong-lorong istana raja. Dari kejauhan,
wajah itu tampak kelam, dingin, dan tak tersentuh. Segala macam kata mulai terlintas
cepat. Apa genderang perang telah membuntutinya dan Grissham?
***
“Kesabaran memang tak terbatas. Akan tetapi, sabarnya seseorang
tergantung yang mengendalikan.”
***
“Saya menghadap, Yang Mulia.” Seusai makan siang, Evellyn mendapat perintah
untuk menemui Raja Elleinder. Padahal, jika ditilik lebih dekat, Evellyn membenci
sebuah pertemuan.
“Duduklah, Eila. Kita akan memulai rapat.” Mata kelam sang raja menampilkan
keramahan. Sampai-sampai Evellyn tak bisa membedakan apakah itu asli atau topeng
semata.
“Salam, Yang Mulia. Salam, Lady Eila.” Setidaknya, begitulah kesopanan yang
singgah di telinga gadis berbulu mata lentik itu.
Menurut perhitungan, ada sekitar dua puluh menteri yang dipanggil. Evellyn sendiri
hanya mengetahui beberapa. Mereka duduk melingkar, memenuhi podium yang
ditentukan. Putri Windsor sendiri tepat mendiami kursi di sebelah sang raja.
“Silakan cari kenyamanan kalian,” kata Elleinder. “Ini rapat pertama bersama calon
ratu. Dan... mohon maaf, Eilaria. Aku mengundangmu tanpa bertanya kesediaanmu
terlebih dulu.”
“Titah Anda adalah perintah bagi saya, Paduka,” jawab Evellyn asal.
Elleinder tersenyum. “Baiklah. Ini hanyalah langkah kecil. Sebagai perkenalan,
sebutkan nama dan jabatan kalian. Aku berharap pendapat tentang Skyvarna secara
utuh.”
Selanjutnya, telinga Evellyn menangkap sederetan nama yang cukup terkenal di
kalangan bangsawan. Ia akan tersenyum sinis ketika para menteri melontarkan jabatan
dengan jemawa.
“Seperti permainan, keadaan ekonomi Skyvarna mulai goyah di akhir kedudukan
Raja Alzevin VI dan sejak Raja Geraint menduduki takhta. Banyak kasus menodai
laporan negara. Untuk itu, memajukan kemakmuran rakyat adalah fakta pertama yang
harus kita tempuh. Benar, bukan, Eilaria?”
Evellyn baru menyadari bahwa Elleinder setengah serigala berbulu domba. Raja
baru Skyvarna mencari muka dengan membicarakan ekonomi rakyat. Atau mungkin,
tengah membentuk ujian untuk dirinya?
“Saya mengerti, Yang Mulia.” Bibir mungil itu melenceng dari pembahasan.
Tidak ada yang menyangka, Raja Elleinder mendengkus dan menatap murka kertas
di hadapannya. Sorot mata hitam legamnya mengatakan ingin menelan seseorang hidup-
hidup. Kecanggungan kian melingkupi suasana rapat. Bahkan mereka yang berada
dalam ruangan mengerut takut.
“Kalian tidak mengerti!” sembur sang raja dengan gigi bergemeletuk. “Ayahku
terlalu banyak memakan harta rakyat. Pemerintahan otokrasi miliknya menjadikan
nyawa sebatas harga biasa. Apa menurut kalian aku akan sama dengannya?”
Diam, bisu, beku, itulah yang menyihir para menteri. Dalam waktu dua bulan
mengabdi, Elleinder membuat gebrakan baru. Inikah sisi lain dari seorang putra
serigala?
“Tidak!” ucap Evellyn tiba-tiba. “Sifat bukanlah sebuah keturunan, melainkan hasil
didikan dari lingkungan. Saya yakin Yang Mulia juga tahu hal tersebut.”
Gadis yang beberapa waktu lalu acuh tak acuh dengan isi rapat, akhirnya membuat
raja, menteri, bahkan prajurit yang berjaga tertegun kaku. Ketegasan suara yang dibalut
kelembutan seolah mengingatkan mereka pada sesuatu.
Evellyn menatap langsung ke mata Elleinder. “Raja Geraint mungkin telah menjadi
lembar hitam bagi kerajaan, tapi Anda adalah jarum baru yang harus menyambung
pendapat tanpa membedakan kasta di atas singgasana. Dan menurut saya...
menggerakkan bantuan untuk Skyvarna haruslah menjadi fokus utama.”
Senyuman bangga menghiasi bibir Elleinder. “Wah, kau memang calon ratu yang
asli, Eilaria.”
Evellyn balas menganggukan kepala, luwes. Sementara itu, para menteri mulai
menyusun langkah awal memperbaiki Skyvarna. Sesekali Elleinder maupun Evellyn
menyahuti pemikiran mereka.
Untuk beberapa lama ruangan terasa panas. Lontaran pro dan kontra hadir silih
berganti. Jangankan menemui titik terang, lembaran berkas pun semakin menghitam
penuh coretan.
“Saya dengar, Anda putri kesayangan Duke of Cornwevic. Apakah gerangan yang
membuat beliau mau melepas harta berharganya demi Skyvarna?” Sebuah suara
menyeletuk di sela peristirahatan anggota rapat.
Kepala Evellyn berputar cepat, hampir saja membuka kartu di hadapan petinggi
kerajaan. Istilah putri kesayangan adalah sindiran bagi penyandang gelar Queen Consort
tersebut.
“Lazimnya, Cornwevic adalah bagian dari Skyvarna. Otomatis, setetes darah tak
akan melupakan dagingnya,” jawab Evellyn lugas dan cukup tajam.
Semua memucat ketakutan, seakan ada hal yang mengganggu. Terutama rona wajah
Rowlands, menteri keuangan yang sengaja mempertanyakan kedudukan Evellyn.
Dengan santai Evellyn melanjutkan, “Apakah ucapan saya salah?”
Ia mengawasi perubahan wajah mereka hingga orang terakhir, Raja Elleinder.
Bukannya amarah yang ia dapat, justru pemimpin Skyvarna itu menyiratkan senyum
geli di bibirnya.
“Tidak ada yang salah, Eilaria. Mereka mungkin tak biasa mengalahkan kemampuan
berbicaramu.”
“Tidak mungkin! Kalian adalah penguasa. Tentu bersilat lidah menjadi makanan
sehari-hari. Bahkan lebih dari yang kubayangkan,” ujar Evellyn.
Elleinder terbahak mendengarnya. Mendapatkan ratu berlidah tajam merupakan
impian terdalam. Ia begitu senang memiliki Eilaria yang kelak akan mendampinginya
meski tanpa terikat rasa.
***
BAB 3

“Apa pasukan khusus sudah disiapkan?” tanya Elleinder kepada Brain, menteri
perang Skyvarna.
“Hampir enam puluh persen, Yang Mulia,” lapor lelaki bertubuh kekar itu.
Pertemuan di ruang singgasana hanya dihadiri lima orang kepercayaan raja.
Pertama, George, sang penasihat. Lelaki setengah baya yang khas dengan ketenangan
dan ucapan penuh pemikiran. Bagi Elleinder, George adalah sosok sahabat, ayah, dan
musuh debatnya.
Kedua dan ketiga, si kembar Glaw dan Glyn, menteri perhubungan Skyvarna-
Locko-Helyan. Tiga negara yang dekat meski tak bersinggungan takhta.
Keempat, Henry, saudara kandung Elleinder. Pemuda yang memiliki kesamaan
warna rambut dengannya merupakan satu-satunya keluarga yang menjelma sebagai
tangan kanan raja. Dan tentu yang terakhir adalah Brain. Orang yang dipercaya menjaga
keutuhan Skyvarna di garis terdepan.
“Aku ingin laporan perkembangan setiap minggunya, Brain!” titah Elleinder mutlak.
“Baik, Paduka.”
“Saya tahu apa yang Anda pikirkan, Yang Mulia,” George berucap lembut, “tapi
utamakan kesehatan Anda terlebih dulu. Kami tidak melarang Anda membongkar
Skyvarna habis-habisan.”
Raja menerawang ke depan, sesekali menatap kertas berstempel Cornwevic di
tangannya. “Apakah yang kulakukan sudah benar?”
“Ya, Anda terlalu memaksakan diri,” tegur Henry.
“Aku tidak tahu, Henry. Apakah ia akan memaafkanku begitu saja? Skyvarna
terlanjur hancur dari dalam. Tidakkah itu menjadi bukti ketidakmampuanku?”
“Ya, bila Anda memeras Skyvarna lebih dalam lagi. Dan tidak, Anda baru beberapa
bulan memegang kekuasaan.” Henry hanya ingin kakaknya itu berjalan lebih tegar.
“Katakan padaku sejauh mana keadaan rakyat selama aku duduk di sini?” Elleinder
tak ingin kecolongan.
“Kami telah mengubah sedikit demi sedikit peraturan yang memberatkan, Yang
Mulia. Bahkan sempat terdengar kabar, ada sekelompok orang yang ikut membantu
kehidupan Skyvarna.” Glaw menjelaskan dengan nada lega.
“Siapa mereka?” tanya Brain penasaran.
“Kami juga tidak tahu. Mereka datang dan pergi secara diam-diam. Sepertinya
bekerja di bawah komando seseorang,” ucap Glyn.
“Sulit untuk mengenali kawan atau musuh,” sambung Glaw. “Lebih baik kita tetap
selalu waspada agar semua ini berakhir memuaskan. Kita harus bertindak saling
mendukung.”
Semua setuju. Skyvarna—negeri yang tidak begitu besar, tetapi menjanjikan
kekayaan melimpah. Rakyat sangat berbahagia. Mereka tak ragu berpendapat jikalau
ada wilayah yang membutuhkan bantuan.
Itu dulu, sebelum Raja Geraint berkhianat. Kini, penderitaan muncul di mana-mana.
Rakyat hidup di bawah bayang-bayang pajak yang membengkak. Sulit menjadi kaya,
sulit bertahan hidup. Mereka punya, mereka semena-mena. Sedangkan yang miskin
semakin tak mampu bersuara.
“Aku tahu, aku bisa memercayai kalian,” ujar Raja Elleinder puas.
“Serahkan kepada kami, Paduka. Skyvarna juga rumah kami,” jawab George yang
diangguki keempat lainnya.
“Ya, tinggal diriku yang harus banyak berdoa,” gumam Elleinder lirih, sehingga
mungkin hanya angin yang mendengarnya.
Putra serigala, Elleinder Bardolf. Duduk di atas singgasana ketika usia dua puluh
empat tahun. Sewaktu kecil ia keheranan, mengapa orang tuanya jarang menemui dan
banyak waktu mereka terbuang untuk istana.
Hubungan Geraint dan putranya tidak bisa dikatakan akrab. Putra pertama Bardolf
itu harus kesepian seorang diri. Terkadang, Maryam—pengasuhnya yang akan
mengingatkan waktu Elleinder.
Kesibukan Geraint sebagai menteri ternyata belum cukup memenuhi ambisinya.
Begitu ia menaiki takhta, urusan kerajaan bertambah setiap menit. Sebagai seorang
putra tunggal, Elleinder dituntut untuk menguasai semua sistem pemerintahan.
Belajar dan belajar menjadi kebosanan Elleinder muda. Sampai suatu saat, ia
melihat dengan mata telanjang, Geraint membunuh sang bibi. Kala itu, ia menyangkal
betapa kejam ayahnya.
Roda terus berputar. Kebencian sang putra meningkat pesat begitu datang seorang
wanita yang mengaku selir raja. Darinya, Elleinder mendapatkan seorang adik, Henry
Bardolf. Nyatanya... Henry tak seburuk yang ia pikirkan. Meski rentang usia mencapai
enam tahun, Elleinder menyayangi Henry, begitupun sebaliknya.
Puncak kebencian Elleinder semakin menumpuk ketika Geraint meninggalkan
keluarga dan rakyat dalam situasi mencekam. Ditambah mahkota yang kini mengikat
erat hidupnya.
Baru satu minggu menghadapi rakyat, Elleinder kembali dikekang untuk
mempersunting calon ratu pilihan. Lelaki tampan itu pusing dengan segala kemanjaan
Eilaria Windsor. Ia bahkan tak segan mengusir Eilademi membenahi sifatnya.
Hampir dua bulan kemudian, Elleinder sulit bernapas lega. Debora, sang ibunda,
menuntut ketidakpedulian putranya kepadaWindsor.
“Stuart, panggil putri Duke of Cornwevic untuk kembali ke istana. Katakan,
pernikahan akan dipercepat,” perintah Debora kepada pelayan pribadi Elleinder.
“Baik, Yang Mulia.”
“Ibu, saya—”
“Elleinder, diamlah. Kau tinggal menuruti apa kata Ibu,” potong wanita setengah
baya itu.
Raja muda Skyvarna terlihat menghela napas, jengkel. Ia coba menyetujui tanpa
banyak berbicara. Tak seorang pun tahu, ia telah mengirim puluhan guru tata krama
menuju kediaman Duke of Cornwevic.
Dan... ketika Eila masuk melalui pintu gerbang, Elleinder melihatnya dari jendela
kamar. Aura gadis itu berubah seratus delapan puluh derajat, mengingat cara
berpakaiannya yang lebih sederhana.
Gaun ungu berlapis brokat bunga menyaingi keindahan pagi di istana. Anggun,
lembut, dan tak bersisa gelagat manja di mata Elleinder. Mengingat kondisinya yang
cukup lemah, Elleinder menyuruh seorang pelayan untuk membawa gadis itu
beristirahat.
“Dia berbeda. Atau... diriku yang terlalu lama tak melihatnya?” tanya sang raja pada
diri sendiri.
***
“Perempuan itu sutra. Perempuan itu duri.
Dua sisi yang saling melengkapi.”
***
Keadaan negeri belum sepenuhnya stabil. Pemberontakan masih terus bermunculan.
Hingga, tanggung jawab Elleinder pun dipandang sebelah mata oleh bangsawan sekitar
Skyvarna.
Cuaca pada siang hari cukup untuk memanggang seonggok daging. Keringat deras
tampak mengucuri wajah-wajah pejabat. Rasa letih berkepanjangan menguasai tubuh
mereka. Tak terkecuali Raja Muda Elleinder.
Ia tengah menerima tamu. Rush Denio, putra Earl of Clementine yang meminta izin
untuk menemui Eilaria. Lelaki bermata hijau itu, Elleinder tak kenal dekat.
Nama Rush Denio hanya beberapa kali menjadi pembahasan bangsawan Skyvarna.
Putra tunggal Earl itu cukup tertutup dan jarang mengikuti keramaian. Tersiar kabar jika
ia tengah menempuh pendidikan di negeri seberang.
“Bolehkah saya menemui El, Yang Mulia?” tanya Rush.
Elleinder mengernyit. “Siapa El?”
“Mohon maaf, maksud saya Eilaria. Saya memanggil beliau dengan nama El,” jelas
lelaki yang tak kalah tampan dari sang raja.
Elleinder mengangguk paham meskipun ada rasa tak nyaman menyeludup dalam
dadanya. “Prajurit, antarkan Lord Denio menuju istana ratu!” perintah raja.
Mereka pun segera mengundurkan diri dari ruang kerja Elleinder dan segera menuju
Ruang Mutiara. Seperti namanya, seluruh ruang penuh dengan mutiara. Lantainya
terbuat dari marmer yang membuat kesejukan di musim panas. Namun, saat musim
dingin tiba, ruangan itu bukan pilihan yang bagus.
Evellyn—Eila yang palsu, sudah menempati istana ratu semenjak usai pesta
penyambutan. Ruang Mutiara menjadi ruang bisnisnya di bawah pengawasan Elleinder.
Ketukan di pintu mengagetkan Evellyn. Ia dengan cepat menyembunyikan pedang
yang tengah dipegangnya.
“Lord Rush Denio ingin bertemu, Yang Mulia,” lapor prajurit penjaga.
“Biarkan dia masuk.” Nada Evellyn terdengar senang sebab orang yang ia anggap
sebagai kakak masih sudi menemuinya.
Lalu, pintu terbuka memberi jalan pada Rush. “Selamat siang, Yang Mulia,” ucap
lelaki itu dengan mengedipkan mata, menggoda adik kesayangannya.
“Selamat datang, Lord Denio,” balas Evellyn.
Suara pintu yang tertutup, seolah menarik kaki Putri Cornwevic untuk berlari
menuju pelukan Putra Clementine. Keduanya saling melepas rindu. Sejauh yang diingat,
sudah lama mereka tak bertemu.
Clementine mengharuskan seorang pewaris mencari ilmu hingga kelak gelar Earl
menyambung namanya. Sedangkan Cornwevic masih berkubang dengan problematik
keluarga.
“Apa kabar, Adik Kecil?” tanya Rush sembari mengusap air mata yang meluruhi
wajah Evellyn.
“Bisakah kita pergi?” Kerinduan yang menguap, menghilangkan akal sehat putri
Duchess of Cornwevic itu.
“Hei, dengar!” Rush memegang lembut wajah Evellyn. “Skyvarna masih
membutuhkanmu, Sayangku.”
“Tetapi... kenapa harus aku, Kak?” bantahnya.
“Karena memang harus dirimu.”
Rush tersenyum melihat ketidakpuasan di mata Evellyn. Ia tahu saudari Eilaria itu
tak bisa bertahan dalam sangkar emas terlalu lama.
“Aku selalu bersamamu, El. Ingatlah itu.” Janji yang terdengar dari bibir Rush
meyakinkan di telinga.
Evellyn pun menyambutnya dengan pelukan panjang. Seringkali ia merasa sedih
dan kesepian tanpa ada orang yang mau mendukungnya. Setiap langkah seakan
bertakdir dalam kesendirian. Keluarga kandungnya tak menghiraukan. Calon suaminya
menganggap ia sebagai boneka pajangan.
“Aku menyayangimu, Kak,” ucap Evellyn yang tak menyadari bahwa bukan hanya
dua pasang telinga yang mendengar. Ada bayangan mengintip di depan pintu. Diam dan
mengeratkan geraham.
***
BAB 4

“Jika matamu tidak terbuka, kau tak akan pernah tahu


bedanya bermimpi atau sedang terbangun.”

Suara langkah kuda menyeruak dalam keheningan malam. Ringkikannya keras,


menambah kebrutalan desing anak panah. Angin yang berembus melalui sela
pepohonan pun membekukan telinga Evellyn, menggantikan napasnya dengan uap putih
di udara.
“Apa kita tak salah arah, Grissham?”
Secara teknis, Evellyn sudah menjelma layaknya monster, pergi diam-diam dari
istana tanpa memikirkan konsekuensi selanjutnya. Ia sampai memohon pada Madam
Beliora untuk menaruh sejumput obat tidur di minuman raja.
Melintasi waktu, berarti mengubah beberapa hal dalam kehidupannya. Ini bukan
pertama kali, tapi ini yang paling berisiko. Mengejar keturunan terakhir dari Raja
Alzevin Emrys VI menjadi tindakan yang sangat gila untuk seseorang yang baru
mengenal luasnya samudera.
“Sesuai informasi yang kita dapatkan, Putri. Pangeran berada di tanah Locko. Beliau
menyamar sebagai penduduk biasa,” jelas pelayan kesayangan Evellyn itu.
“Lalu, kenapa kita pergi ke wilayah Cornwevic?” protes si putri Duke.
Mereka berdua turun dari kuda, masing-masing menuntun di sisi kanan dan kiri
seperti saling memahami kerahasiaan pertemuan itu.
“Pangeran meminta saya membawa Anda ke Qringvelin. Hanya itu yang beliau
katakan.” Grissham memang sulit diperintah. Menjauhi Cornwevic artinya dalam kadar
menghindari kediaman Duke of Cornwevic saja.
“Lalu, untuk apa kaubuang panah itu di setiap sudut pohon? Bukankah itu akan
memancing kecurigaan?” Entah apa sebabnya setelah bertemu Rush, Evellyn berubah
cerewet.
“Akan ada yang mengambilnya, Tuan Putri. Ini untuk memastikan bahwa Helmentra
mudah menemui kita kalau terjadi sesuatu.”
Selain kuat, pemuda yang sering disapa Griss itu dikenal memiliki taktik jitu dalam
permainan. Itulah sebabnya, Evellyn memberikan kepercayaan penuh padanya sebagai
seorang pemimpin.
Malam penuh keheningan. Jalan setapak yang mereka lewati sebenarnya terlihat
seperti berasal dari masa lampau. Semua mengingatkan Evellyn pada cerita Eilaria
tentang kisah pintu rahasia Cornwevic, hanya saja tidak terletak di bawah tanah.
Sret... ctak!
Untuk sesaat, jantung Evellyn berhenti berdetak. Selarik anak panah hampir
menancap di dadanya. Untung dengan sigap, pedang Grissham menampik dengan cepat.
Bahkan kuda di samping mereka mulai berlari mengitari pepohonan.
“Siapa di sana?” teriak Grissham murka.
Sebuah bayangan melompat dari atas pohon setinggi benteng istana, mendarat tepat
di depan Evellyn.
“Pa—Paman,” desis Evellyn tak percaya.
“Salam, Yang Mulia. Ternyata pesuruh Anda cukup gesit mengetahui keberadaan
saya,” timpal laki-laki paruh baya yang masih gagah di usia senja.
“Paman ingin menukar nyawa saya?” geram Evellyn.
Lelaki berkumis itu tertawa lebar, seakan berani menghadapi kemurkaan seorang
Windsor. “Tidak mungkin, Yang Mulia.”
Gadis bergaun biru laut di hadapannya tampak gusar dan sedikit gemetar.
Bagaimanapun juga, ia hanya menguji ketangkasan keponakannya itu. Ia
mengamatisesuatu berjalan cepat kemudian memelan dari arah barat daya. Pikirnya, itu
adalah musuh yang hendak menyerang.
“Anda mengejutkan kami, Pangeran,” protes Grissham.
“Tenang saja, Griss. Aku tahu kalau kau akan menyadarinya. Maafkan aku, Eve.”
Tentu saja bukan Pangeran Devian namanya, jika ia tidak kembali mengacungkan busur
ke arah Evellyn.
“Paman! Berhentilah bercanda!”
“Baik, Yang Mulia.” Nada suaranya seolah disedih-sedihkan. “Mari, kita masuk. Di
sini terlalu dingin.”
Evellyn tak lagi bisa berkonsentrasi. Refleks ia menendang kaki sang paman dengan
penuh tenaga.
“Yak! Mana keanggunanmu, Eve?”
“Musnah karena Anda,” balasnya dingin.
Sepanjang jalan menuju ruang pertemuan Qringvelin ditandai dengan pertengkaran
kecil antara Putri Windsor dan Putra Mahkota Skyvarna. Untuk ketiga kalinya, Evellyn
memercayai ucapan Earl of Clementine. Raja Alzevin masih hidup. Bukan sebagai
Emrys VI, melainkan dalam tubuhnya. Darah bangsawan itu mengalir deras dalam raga
Evellyn. Ia adalah bagian kehidupan Skyvarna selanjutnya.
“Salam, Paduka.” Sesuatu tersirat di mata calon ratu, begitu melihat banyaknya
anggota Helmentra yang menyatu dengan para anggota sang paman.
“Apa kita benar-benar akan berperang?” tanya Evellyn saat duduk di kursi
menghadap peta Cornwevic yang digelar.
“Karena mereka yang memulai,” kata Gerald, salah satu Helmentra dengan santai
dan sempurna. Suaranya jelas menunjukkan penolakan yang tajam.
Dulu, Duke dan Duchess of Cornwevic adalah segalanya di hidup Evellyn. Ia patuh
ketika Eilaria mengambil alih semua perhatian itu. Toh, Eila juga saudaranya. Akan
tetapi, ia telah membuka mata. Mimpi dan kenyataan mulai terlihat jelas.
Evellyn Windsor dan Eilaria Windsor, ternyata putri kembar Ratu Beatrix dan Raja
Alzevin Emrys VI. Di tengah pertempuran melawan Geraint, Raja dan Ratu sepakat
mengungsikan kedua putri—yang masih kecil pada Duke Axton, sahabatnya.
Senjata makan tuan. Duke of Cornwevic itu ternyata sekutu Geraint untuk
menghancurkan kekuasaan Alzevin. Sesekali isi kepala Eve dan Eila dicuci bersih. Raut
bangga yang menyelimuti Axton hanyalah kedok untuk memperalat keduanya demi
takhta Skyvarna.
“Mengapa engkau diam saja, Eve?” tanya Devian khawatir.
“Saya hanya kagum dengan kelicikan Geraint dan Axton,” celetuk Evellyn tenang.
Elusan lembut di kepalanya meringankan beban dan mengusir kebosanan gadis
delapan belas tahun itu. Devian sendiri terkejut saat bertemu Grissham di Cornwevic
dalam keadaan sekarat. Ia segera menolong dan menanyakan apa yang terjadi.
Putra tunggal Beliora yang merasa perlu jujur, mengikuti kata hati menceritakan
yang sebenarnya. Dari situlah pertemuan Evellyn dan sang paman terjadi.
“Bagaimana dengan Elleinder? Apa beliau salah satu dari mereka?”
“Entahlah, Paman. Ia sulit ditebak. Terkadang menikmati peran sebagai raja.
Terkadang juga seolah membenci keputusan ayahnya,” ungkap Putri Alzevin itu.
Semua membisu, saling mengomentari dalam pikiran masing-masing. Walaupun
Elleinder termasuk keturunan Bardolf, mereka tidak boleh menuduhnya tanpa bukti.
Evellyn ingin berterima kasih pada Axton. Karenanya, ia mudah memandangi
keadaan Skyvarna juga para penghuninya. Dalih menggantikan Eila, ada maksud
tersendiri ia maju menghadapi Elleinder.
Gadis berhidung mancung itu menyeringai, mengetahui banyak informasi datang
dari Madam Beliora. Label pelayan pribadi Duke of Cornwevic adalah akal-akalan
Evellyn. Ia mengganti pelayan yang asli dengan ibunda Grissham.
Mengepung Skyvarna dan Cornwevic, cita-cita yang luar biasa. Janji yang menebus
para pengingkar, justru menerbitkan tawa Evellyn. Satu per satu pengkhianat ayahnya
akan gugur di medan tempur. Dendam dan kemarahan sebagian besar menghilangkan
jubah kemunafikan.
“Setelah ini, hidup kita akan lebih membosankan,” adu Pangeran Devian.
“Karena Paman menjadi badut di antara kami.”
“Apa? Asal kau tahu saja, Eve, aku ini ahli rencana. Tentu saja aku berharga
sampai-sampai Geraint mengejarku hingga ke perbatasan.” Wajah keruh Devian
menunjukkan ketidaksetujuan.
“Dan Anda lebih memilih menceburkan diri ke Laut Locko tanpa berpikir panjang.”
Sebaris kalimat yang terdengar mengejek di telinga. Itu bukan Evellyn. Itu suara khas
dari pelayan Devian, membuat wajah tuannya semakin tertekuk.
“Diamlah, Bernat!” ketus lelaki yang masih tampan itu meski di usia paruh baya.
***
“Mata, penting untuk tubuh. Namun, hati, bagian terpenting
dalam menentukan langkah seseorang.”
***
“Yang Mulia!” panggil sebuah suara yang terus mengetuk pintu kamar Evellyn.
Sedangkan si pemilik kamar tetap bergelung, mengabaikan sekitar. Ia cukup lelah
setelah kejadian yang mengharuskannya tidur tengah malam. Sinar matahari menerobos
jendela yang lupa tertutup, membuatnya mengerang keras.
“Eila, engkau sudah bangun?” Suara itu berubah intonasi. Evellyn yakin pemiliknya
adalah laki-laki.
Sejenak ia bingung, lalu menyadari keadaan tubuhnya. Ya Tuhan! Baju semalam
belum diganti. Evellyn lantas kian membungkus tubuhnya dengan selimut rapat-rapat,
berakting dalam posisi malas dan sedikit sakit.
“Silakan masuk!” teriaknya.
Derit pintu yang dibuka dari luar memaksa Evellyn memejamkan matanya kilat.
“Anda tidak apa-apa, Paduka?” tanya Madam Beliora yang berjalan di belakang
Elleinder.
“Ya.” Jelas sekali mereka berdua sedang beradu peran di hadapan sang raja.
“Apakah tubuhmu sakit, Eila?”
Evellyn merasa bersalah ketika mendengar nada khawatir dari bibir Elleinder.
“Ma—maafkan saya, Yang Mulia, tidak bisa menyambut Anda dengan layak,”
rintih Putri Windsor.
Elleinder sempat terdiam, entah tertegun atau marah. Tak disangka ia mengerutkan
kening hingga kedua alis tebalnya terangkat. Apa detak jantung Evellyn yang bertalu
sampai ke telinganya?
“Eila, semalam apa yang kaulakukan?”
Deg!
Evellyn melotot. Bagaimana bisa Raja tahu perihal semalam? Jangan-jangan ada
penguntit. Ia merasa bodoh dalam sehari. Angin pagi yang bertiup ke dalam ruangan,
membuka jendela lebar-lebar, seolah semakin mendramatisasi situasi.
“Saya—”
“Aku tahu semalam kau pergi tidur lebih cepat, tapi kenapa obatmu masih utuh?”
Giliran Evellyn yang mengerutkan kening. Tidak perlu waktu lama untuk
memahami perkataan Raja Skyvarna.
“Saya melupakannya karena terlalu lelah, Yang Mulia,” tukasnya.
“Padahal, hari ini kita akan mengunjungi pemakaman kerajaan di belakang Katedral
Agung Westminster. Aku ingin memperkenalkan engkau secara resmi pada para
leluhur. Ini sudah menjadi tradisi kerajaan untuk setiap menantu, walaupun pernikahan
masih diundur usai pemberontakan di Machiavell.”
Gadis yang berbaring itu menahan senyum sinisnya. Dari sudut pandang Evellyn,
Raja Elleinder termasuk lelaki yang sangat rumit.
“Saya akan ikut, Yang Mulia. Sebelumnya, izinkan saya untuk membersihkan diri,”
pinta Evellyn.
“Kau yakin?”
Melalui kode mata, Beliora tau apa yang harus dilakukan. “Izinkan saya membantu
Paduka Ratu, Yang Mulia.”
Elleinder mengangguk. “Baiklah, aku juga akan berganti pakaian dulu.”
Untuk beberapa saat, mereka sibuk membenahi diri. Madam Beliora membiarkan
Evellyn mengurai rambut indahnya untuk menutupi gaun putih yang terbuka di bagian
punggung. Kemudian, ia memberikan mantel tipis berwarna senada.
“Anda harus selalu tenang, Putri. Tunjukkanlah bahwa Anda patut menjadi seorang
ratu.”
“Aku mengerti, Bibi. Terima kasih,” balas Evellyn.
Ketika gadis penyuka kesederhanaan itu keluar, Elleinder baru ingin
menghampirinya. “Dengan gaun putih itu, engkau tampak seperti peri yang bersinar,”
puji Elleinder.
Evellyn hanya diam termenung. Tak dinyana, Elleinder mengambil mantel tanpa
lengan di tangan calon istrinya, kemudian mengenakannya pada Evellyn. Diam-diam,
Raja Muda Skyvarna menggandeng jemari lentik itu.
Selama berjalan ke depan, jantung Evellyn terasa penuh. Ada rasa yang tak mudah
diungkapkan. Sebaliknya, Elleinder berjalan tegap tanpa memusingkan hal lain.
Begitu tiba, seorang prajurit membukakan pintu kereta. Ia membungkuk hormat
ketika dua orang penting Skyvarna melewatinya. Entah kenapa setelah duduk dan
ditinggal berdua, atmosfer terasa canggung. Mereka duduk berjauhan dengan jarak satu
penumpang.
Evellyn terus melihat keluar jendela, hingga tak sadar Elleinder menatapnya lekat-
lekat seolah ingin mengorek isi kepalanya.
“Kau masih merasa sakit, Eila?” tegur Elleinder.
Evellyn memalingkan wajah menghadap wajah tampan di matanya. “Saya baik-baik
saja, Yang Mulia.”
“Tidak perlu kaku, Eila. Kau bisa memanggil namaku tanpa embel-embel.”
Ribuan prasangka merayapi pikiran Evellyn. Sarapan yang ia lewatkan mungkin
mengurangi kepekaannya. “Mana saya berani, Yang Mulia. Anda adalah raja saya, Raja
Skyvarna.”
“Kenapa tidak? Selamanya pun kau akan hidup bersamaku.” Elleinder tersenyum.
“Apa Anda menyukai saya, Paduka?” tanya Evellyn yang tentu mengejutkan
Elleinder termasuk dirinya sendiri.
Tawa maskulin mewarnai perjalanan menuju Westminster. “Kau tidak begitu buruk,
Eila. Aku yakin banyak lelaki di luar sana akan iri denganku.”
Rona merah mulai mewarnai pipi Evellyn. Andai ia tidak seolah tertarik dengan
pemandangan di luar kereta, Elleinder pasti menertawainya.
“Apa kau juga menyukaiku, Eila?”
Leher Evellyn sedikit nyeri, terlalu cepat memutar kepala. “Saya—”
“Kita sudah sampai, Yang Mulia.” Seorang prajurit membungkuk hormat saat
membuka pintu kereta, memangkas percakapan keduanya.
Beberapa biarawati tengah menanti di depan bangunan gereja yang besar itu.
Mereka juga tertunduk takzim.
“Selamat datang, Paduka. Kami senang Anda berkunjung ke tempat ini,” sambut
seorang pendeta tua. Wajahnya mengingatkan Evellyn pada seseorang di kediaman
Cornwevic.
“Ia Pater di Katedral Agung Westminster ini, Pastur Maynard.” Elleinder
memperkenalkan.
“Saya adalah putri Duke of Cornwevic, Putri Eilaria, calon istri Raja Elleinder.”
“Selamat datang, Yang Mulia. Suatu kehormatan bagi saya untuk mengenal Anda.
Silakan masuk. Saya akan mengantar Anda berdua ke pemakaman keluarga kerajaan,”
sahut Pastur Maynard.
Mereka berjalan bersisian menuju tempat yang sangat luas. Terdapat banyak makam
megah dibangun menurut silsilah raja. Itulah makam-makam raja dan ratu Kerajaan
Skyvarrna terdahulu. Di sana pula terdapat makam Raja Geraint, Ayah Elleinder.
Evellyn bisa melihat kemewahan makam Raja Geraint di antara raja-raja terdahulu.
Di sekelilingnya diberi pagar batu yang tampak angkuh.
Beberapa prajurit muncul membawakan keranjang bunga. Sementara di tiap makam,
Elleinder dan Evellyn berhenti untuk menaburkan bunga.
“Ini adalah makam Raja Alzevin Emrys VI. Rakyat mengenalnya sebagai raja yang
ramah, tetapi, Tuhan menghendaki kehidupan beliau dan keluarganya terlalu singkat,”
jelas Pastur dengan menampakkan kesedihan.
Terasa ada yang menusuk mata Evellyn. Air matanya meluncur tanpa tertahankan.
“Ada apa, Eila? Kau sedih dengan cerita beliau?”
“Ya, mungkin.” Sangat lirih, Elleinder tak memperhatikan lebih dalam.
Ketika sampai di makam termegah, Elleinder berkata, “Beliau adalah raja
sebelumku. Beliaulah yang membuat kerajaan ini menjadi cukup suram. Aku berduka
atasnya.”
Evellyn menatap lekat-lekat nisan itu, seolah menyampaikan pesan tersembunyi.
Bahkan ketika mereka meninggalkan makam itu, ia masih memandanginya.
“Ada apa, Eila? Apa kau ingin mengenal ayahku?” gurau Elleinder.
“Saya berharap bisa menemuinya,” kata Evellyn yang terdengar rancu di telinga
lelaki nomor satu di Skyvarna itu.
“Aku tahu engkau mengetahui sesuatu tentang ayahku dan engkau ingin
mengatakannya. Tetapi kalau engkau takut, aku mengerti. Mungkin suatu hari nanti
engkau akan mengatakannya. Aku berdoa untuk itu.”
Evellyn menunduk mendengar keterusterangan Elleinder. Cinta itu tak terbatas,
sebenci apapun kau terhadap seseorang. Meski masih berdarah sama, mungkin
kebencian itu akan luntur seketika. Evellyn yakin Elleinder akan membencinya di saat
ia mengatakan apa adanya.
BAB 5

“Berhentilah menyesali waktu.


Tentu saja, kita masih memiliki kaki untuk berlari.”

“Aku yakin engkau lelah. Beristirahatlah, Eila. Setelah hilang lelahmu, temui aku di
ruang kerja. Ada hal yang ingin kubahas mengenai rencana pernikahan kita,” bujuk
Elleinder sepulang dari Katedral.
Evellyn yang patuh, hanya mengangguk dan berjalan menuju istana ratu. Dengan
tenang, ia melintasi aula istana raja yang disesaki banyak orang. Ia tetap mendengar
orang-orang itu berbisik-bisik, tetapi tak dihiraukannya dan terus melangkah elegan.
Skyvarna telanjur dipenuhi para pembual. Kota-kota besar seperti Cornwevic dan
Clementine ditawari kehidupan. Kota-kota kecil seperti Machiavell dianaktirikan. Tak
terkecuali, petinggi negeri yang saling menjatuhkan.
Evellyn berjanji akan menunjukkan kuasanya. Orang berdosa akan dikenai
hukuman. Ratu adalah raja kedua. Maka dari itu, tangan raja pertanda tangan kirinya.
“Tolong panggilkan Madam Beliora untukku,” suruh Evellyn begitu melintasi
prajurit yang berjaga di depan kamar.
“Baik, Paduka.”
Sesuatu mengganggu rencana Evellyn. Ia ingin memeriksanya tanpa kentara. Hanya
ada dua cara, dirinya atau sang pelayan yang bertugas menjalankan lilin dalam
kegelapan. Evellyn tak berani mengambil risiko kembali. Madam Beliora atau Grissham
adalah pilihan yang tepat. Taktik jitu keduanya tak diragukan lagi.
Tok! Tok! Tok!
“Saya menghadap, Yang Mulia.” Madam Beliora masuk dengan wajah keibuannya.
Siapa pun pasti tertipu. Wajah lembut itu merupakan senjata dari sesepuh Helmentra.
“Aku ingin kau melakukan sesuatu, Bibi,” pinta putri berdarah biru itu.
“Sesuai kehendak, Tuan Putri.”
Mata Evellyn menerawang, seolah menembus peristiwa beberapa jam lalu. “Pastur
Maynard, Katedral Agung Westminster. Cari asal-usulnya!”
“Mengapa, Putri? Bolehkah saya tahu alasannya?” Nada bicara itu terdengar
penasaran.
“Tato ditengkuknya tak sengaja tertangkap mataku. Kau ingat ceritamu tentang
insiden pengejaran Paman Devian? Kurasa ia ada hubungannya dengan hal itu.”
“Saya mengerti. Saya harap Anda tetap berhati-hati, Putri. Skyvarna belum
sepenuhnya aman dari musuh,” nasihat wanita yang telah Evellyn anggap sebagai
ibunya.
Mayoritas rakyat menginginkan raja turun takhta. Mereka seolah kenyang
merasakan pukulan bertubi-tubi dari penguasa. Tempo hari, Evellyn tak sengaja
berkunjung ke Lordline, sebuah kawasan perdagangan yang menyatukan antara rakyat
biasa dan bangsawan.
Selama ini, ia hanya mendengar dari cerita. Lordline memang sumbernya gosip.
Tatapan mereka tidak berjarak, bahkan penduduk setempat berani membicarakan
bangsawan tanpa mengenal muka.
“Suatu saat Ratu Skyvarna pun akan dimusuhi rakyat. Aku yakin itu,” komentar
seorang pemanggul barang di samping Evellyn yang tengah memilih sayuran.
“Apa kau lupa? Ratu berasal dari kalangan atas. Duke of Cornwevic amat sibuk
dengan pemerintahan, belum tentu tata krama putrinya patut diacungi jempol.”
Evellyn tengah bersusah payah menelan kekecewaannya.
Berapa banyak rakyat yang hidup seperti mereka? Termakan gosip tak jelas.
Demi kepucatan Evellyn, Nyonya Odelia—pelayan yang disuruh menemaninya
berlagak tertawa geli. “Rupanya kalian terlalu asyik bergosip. Adakah yang bisa
membantu kami mengangkat barang belanjaan ini?”
“Ah, maafkan kami. Kondisi Skyvarna benar-benar sesuatu yang indah untuk
dibicarakan,” ucap si pemanggul, mendekati tumpukan barang belanja milik Evellyn.
“Anda semua tidak perlu khawatir. Saya akan menyampaikan langsung pesan ini
kepada Yang Mulia Ratu,” jawab Evellyn kalem.
Mereka terbelalak. Jantung mereka seakan melompat cepat akibat kalimat itu. Siapa
gadis yang berani berhadapan langsung dengan ratu? Apakah ia pelayannya? Tapi,
apa mungkin seorang pelayan ratu berbelanja di kawasan ramai seperti ini?
“Tuan Putri!” teriak Nyonya Odelia cemas.
“Pu—putri?” ringis si penjual sayur.
“Ampuni saya atas kekacauan ini,” sela Evellyn dengan anggun, “Sampai berjumpa
lagi. Terima kasih atas masukan Anda semua.” Setelahnya, Evellyn berlalu pergi.
“Siapa dia?” Dari kejauhan masih terdengar dengung kebingungan.
“Kalian tidak mengenalnya? Itu Putri Evellyn Windsor, kembaran Yang Mulia
Eilaria Windsor.”
Evellyn tak lagi ingin mendengarkannya. Toh, ia sengaja membongkar semuanya.
“Brain, kita kembali ke istana,” lontar Evellyn selepas duduk di kursi kereta.
Kereta bermotif sederhana itu melaju membelah keramaian Lordline. Di dalamnya,
sang putri sedang memijat kepala. Ia bahkan menyuruh Nyonya Odelia untuk membawa
belanjaan dengan kuda yang lain. Murka di wajah Elleinder adalah ekspresi yang bisa
jadi sudah menantinya.
“Brain, bukannya kau ini ahli perang? Kenapa malah menjadi pengawal pribadiku?”
keluh Evellyn.
“Saya hanya mengikuti titah Yang Mulia Raja, Paduka.”
Evellyn merasa bagai anak durhaka, butuh diawasi ke mana-mana. Grissham yang
berjanji mendampinginya juga menghilang selesai mengantar Evellyn hingga pintu
gerbang sesaat setelah pertemuan rahasia itu.
Melihat langsung ketidaksukaan rakyat, mengetuk hati Evellyn. Dari lubang jendela,
ia memandangi tumbuhan sekitar jalan yang tampak semakin menghijau dari hari ke
hari. Akan tetapi, semua itu belum bisa disebut keberhasilan.
Berbondong-bondong bantuan datang dari segala penjuru. Kesadaran sedikit demi
sedikit terpenuhi. Evellyn merasa tindakan Elleinder sudah tepat. Ia tidak mungkin
menyerahkan takhta pada orang lain sebelum memperbaiki kesalahan ayahnya.
“Kupikir lebih baik pura-pura tidak tahu,” gumam Evellyn seusai menapak di ruang
kerja Elleinder.
Di sepanjang melewati koridor, pelayan-pelayan tidak tampak berlalu lalang, sepi.
Prajurit yang terbiasa menjaga pintu juga tak tahu di mana.
Evellyn mengetuk dan membuka ruang kerja perlahan. Ia takut dianggap tidak sopan
berkunjung jika tuannya pergi.
“Eila!” Elleinder terkejut melihat gadis itu berdiri di ambang pintu. “Apa kau selesai
beristirahat?”
Gadis itu tidak menjawab pertanyaan Elleinder. Dengan tenang, ia mendekati meja
kerja Elleinder.
Si pemilik ruangan berdiri dan mendekat. Ia membawa Evellyn ke kursi depan meja
kerja. “Duduklah,” katanya.
Elleinder kemudian duduk di depan Evellyn dan bertanya, “Apakah jadwalmu
kosong, Eila?”
“Ya, Yang Mulia.” Elleinder sedikit kagum dengan ketenangan Evellyn dalam
berucap.
“Kalau begitu, aku langsung saja. Ehem... dua hari lagi kita akan menikah. Aku
harap kau tidak keberatan. Gaun pengantinmu sudah selesai dikerjakan. Apa ada
tambahan yang kau perlukan lagi?”
“Cukup, Yang Mulia. Untuk kurangnya, akan saya katakan melalui Madam
Beliora.” Evellyn berpikir andai bencana itu tidak pernah terjadi, mungkin Elleinder
akan ramah dalam arti sesungguhnya.
“Eila, kelak aku adalah suamimu. Artinya melindungimu itu prioritasku. Jangan
sungkan untuk mengatakan setiap masalahmu. Entah mengapa aku merasa dirimu akan
membawa sebuah kejutan,” tandas Elleinder dengan terkekeh.
Gadis itu diam saja. Ia sama sekali tidak bergerak ketika Elleinder menatapnya
dengan saksama, menebak-nebak isi pikiran gadis di hadapannya.
“Saya akan berusaha keras, Yang Mulia.”
“Aku tahu kau sudah melakukan yang terbaik,” puji Elleinder. “Aku harap kita bisa
saling dekat satu sama lain.”
Walau seharian mereka bersama, kedekatan masih dipertaruhkan. Evellyn yang
kaku, Elleinder yang malang. Kontras dengan dendam di hati masing-masing. Warna
jingga yang merapati bumi menjadi saksi pertarungan batin keduanya.
***
“Apa kau sudah menemukan pengawal yang cocok, Brain? Aku takut Putri Windsor
terkena imbas kerajaan ini.” Elleinder memang buruk di mata rakyat. Meskipun begitu,
ia masih menghormati seorang wanita.
“Saya menemukannya, Paduka. Kekuatan fisik dan teknik bela diri yang cukup
memuaskan.”
“Perintahkan ia menghadap padaku segera!”
“Saya mengerti, Yang Mulia.” Brain memberi hormat lalu berjalan memunggungi
ruang singgasana.
Hanya anak menteri ingin memimpin negeri?
Tak peduli berapa orang yang meragukannya, Elleinder tetap hidup hingga
sekarang. Sang ayah seperti telah berjudi dan ia mendapatkan apa yang mereka impikan.
Ketika menyetujui permintaan ayahnya yang sedang sakit, Elleinder kurang percaya
diri. Sugesti-sugesti buruk mulai bermunculan.
Lagipula, ia tidak menyangka akan mendapatkan kerajaan beserta pendamping
sekaligus. Tidak sedikitpun terbesit dalam pikiran, Skyvarna dan Putri Windsor adalah
satu kesatuan yang menjadi batu sandungnya.
“Anda memanggil saya, Paduka?” Elleinder lekas mengangkat kepalanya dari
berkas laporan yang sedang ia baca.
Di sana, laki-laki berkulit sedikit gelap memandang sang raja dengan heran. Tiga
malam terakhir, ia menyiapkan Helmentra termasuk menguntit Pastur Maynard.
Kemudian sekarang, Raja Elleinder menyuruhnya hadir di ruang keramat itu. Ada apa
gerangan?
Seperti yang telah diramalkan Elleinder, prajurit di hadapannya memiliki aura
berbeda. “Namamu Grissham?”
“Hamba, Paduka.”
Elleinder mengangguk puas. Ia bukanlah tipe yang suka campur tangan dalam
urusan orang lain. “Kau bisa menjalankan tugasmu untuk mengawal ratu?”
Kabar gembira. Evellyn pasti menyukainya. Ketika tuan putri itu mengeluhkan
gencarnya gosip yang terus berkembang kepada Grissham, tentu ia tak akan melepaskan
Evellyn dari pengawasannya begitu saja.
“Baik, Paduka.” Grissham tidak perlu berpikir dua kali untuk menyanggupi.
Sebuah senyuman terukir di wajah tampan Elleinder dan ia mendekat. “Jagalah
Evellyn dengan nyawamu, Griss. Aku mohon.”
Grissham yang pendiam lagi-lagi termenung. Raja Elleinder tak seperti berita yang
mereka gemborkan. Ia tampak lebih perhatian dan lemah lembut.
“Kau boleh melakukannya mulai hari ini,” titah Elleinder.
Ketika berita pemilihan pengawal pribadi untuk calon ratu terkuak, para penghuni
istana terdiam sejenak. Mereka tak percaya dengan keputusan Elleinder. Mereka
bertanya-tanya, untuk apa ratu dijaga sedangkan rajalah yang mungkin akan
menusuknya.
Dewi malam menampakkan diri ketika Grissham telah mengunjungi junjungannya.
Di ruangan tersebut ada ia, Putri Evellyn, dan sang ibu. Ketiganya mencuri waktu di
sela penugasan. Dan itu adalah hal yang lumrah, mengingat Helmentra masih mencari
dalang yang sesungguhnya.
“Hamba mohon Anda memikirkannya kembali, Tuan Putri,” sesal Madam Beliora.
“Hanya aku yang mampu, Bibi. Berlayar ke Negeri Locko dan menyamar sebagai
duta besar Skyvarna untuk mencari Paman Devian di sana.” Sayang sekali Evellyn
adalah putri yang keras kepala.
“Menyamar itu cukup riskan, Putri. Locko belum tentu mengizinkan kita masuk.”
Tanpa sadar, suara Grissham meninggi karena khawatir. Pasalnya, alasan pada raja saja
belum ditemukan.
“Tenang, Griss. Kita ke sana tidak sendiri. Elleinder yang akan menuntun kita.
Selalu ada kesempatan untuk setiap rencana, bukan?”
“Ah, saya mengerti, Putri. Helmentra akan melindungi Anda selagi memenuhi
undangan Raja Locko, tetapi demi keselamatan Anda, bolehkah saya memberi saran?”
Evellyn mengangguk. “Katakan!”
“Rakyat Locko memiliki tradisi memakai cadar meskipun hanya beberapa. Dengan
memakai cadar penyamaran, kemungkinan, minim sekali Anda dikenali,” ujar lelaki dua
puluh tujuh tahun itu.
“Bagus, Ketua. Kau mengerti banyak tentang Locko,” puji Evellyn seraya
tersenyum.
Lelaki yang duduk di depan Evellyn tersipu malu. Ketika orang berspekulasi dengan
dugaan-dugaan mereka, Evellyn mengenal Grissham luar dalam. “Kau betah tinggal di
sini, Ketua?”
“Saya suka Skyvarna dari pada Cornwevic, Putri,” bebernya.
“Aku pun begitu,” gumam Evellyn sembari mengamati ibu dan putra yang telah
berjasa mengabdi padanya.
“Saya turut senang, Tuan Putri.” Madam Beliora menatap Evellyn berbinar.
“Kami akan menepati janji tujuh belas tahun lalu kepada Yang Mulia Beatrix untuk
membahagiakan Anda,” tegas Grissham yang diangguki Madam Beliora, sementara
Evellyn tak mampu menahan matanya yang berkaca-kaca.
BAB 6

“Anda benar-benar cantik,” gumam Madam Beliora dengan berkaca-kaca, “Yang


Mulia Raja dan Ratu pasti akan bahagia melihat Anda dari atas sana.”
Dua hari berlalu sangat cepat. Sepanjang pagi, tubuh Evellyn terasa pegal setelah
diharuskan duduk melihat puluhan penata rias sibuk mendandaninya. Mereka seolah
membuatnya menjadi orang lain.
Mata hitam keunguannya bersatu dengan gaun dan rambut yang senada. Lekuk-
lekuk kain sifon lembut menonjolkanbentuk tubuhnya yang sempurna. Mahkota,
kalung, gelang, serta hiasan lain, membuatnya makin cantik layaknya putri negeri
dongeng.
Detik-detik menjelang pesta pernikahan, semakin banyak tamu yang meragukan
Evellyn. Bahkan tidak sedikit yang mempertanyakan ketidakhadiran Duke of
Cornwevic beserta keluarga. Mereka merasa ada skenario di balik pernikahan politik
itu.
Evellyn bahkan tidak gugup sama sekali, ketika Earl of Clementine menuntunnya
menuju Elleinder yang tampak bersinar dengan senyuman di depan pendeta. Mata
mereka beradu saling menyelami.
Begitu keduanya disandingkan, decak kagum tamu undangan menguar di udara.
Evellyn yang cantik memesona dan Elleinder yang gagah tampan. Sungguh perpaduan
yang sempurna.
Sesaat setelah itu, janji suci kedua pimpinan Skyvarna terdengar menggetarkan hati
siapa saja, bahkan uskup kerajaan sekali pun. Suasana penobatan penuh rasa khidmat.
Tanggung jawab bertambah di pundak Raja dan Ratu Skyvarna.
Gereja Salisbury menjadi tempat keluar sang pengantin, Evellyn dan Elleinder
diboyong kembali ke Istana. Pesta berlangsung dengan meriah, pesta kerajaan yang
menjadi ladangnya berfoya-foya.
Siang, sore, hingga malam, pesta digelar besar-besaran. Banyak koran
mengabadikan momen tersebut demi menjawab rasa penasaran rakyat.
Menjelang pagi, para tamu mulai pulang. Evellyn sendiri terdampar di dalam
ruangan penuh wewangian yang malah membuatnya mual. Ia tidak memercayai semua
itu.
Beberapa waktu lalu, ia masih bisa terbang bebas. Ia masih bisa bercanda dengan
Beliora dan putranya. Ia masih bisa menertawakan tingkah prajurit Skyvarna. Tapi
sekarang, ia tengah terduduk di dalam kamar pengantinnya—menanti kehadiran sang
suami.
Semua bergerak begitu mudah. Mimpi buruknya benar-benar terjadi. Kini ia
menyandang status sebagai istri dari Yang Mulia Paduka Raja Kerajaan Skyvarna,
Elleinder Bardolf.
Hal yang sulit untuk dipahami, putri yang ditirikan Duke of Cornwevic telah
menjadi Ratu Kerajaan Skyvarna, orang nomor dua sepenjuru negeri. Gosip-gosip akan
mengarah pada kedudukan barunya.
Baru saja Evellyn ingin beranjak bangkit, pintu terbuka dan Elleinder masuk,
mengejutkan Evellyn hingga ia mematung di atas pembaringan.
“A—apa Anda akan tidur di sini?” Evellyn membuka pembicaraan.
“Tentu saja, Eila. Kita suami istri. Tidur sekamar adalah hal wajar,” ucap Elleinder,
memberi pengertian kemudian duduk di sisi istri barunya.
Lagi-lagi Evellyn terdiam. Ia pikir Elleinder akan menganggapnya sebagai ratu
tanpa harus menjalani hari berdua.
“Tenang saja, Eila. Kita harus mencoba saling mengenal dulu. Tidurlah. Aku
berjanji tidak akan melakukan hal aneh. Aku akan tidur di sofa,” ucapnya seraya
menunjuk tempat duduk yang menghadap ke perapian.
Raja Elleinder adalah laki-laki yang mudah untuk dicintai. Sifatnya yang lembut
mampu mencairkan dinding di hati Evellyn. Meskipun ia tidak pernah tahu, hal aneh
apa yang yang dimaksudkan suaminya itu. Dan ia tidak ingin bertanya lebih lanjut.
“Sekarang Anda bukan hanya Raja Skyvarna, tetapi juga suami saya. Tentu tidak
sopan rasanya mengusir sang pemilik dari tempat tidurnya sendiri. Saya—saya tidak
keberatan tidur bersama Anda.” Selesai mengatakan itu, Evellyn merasa darahnya
berdesir. Wajahnya memanas.
Elleinder tertawa tanpa suara melihat sang istri tersipu. “Baiklah. Kupikir tidur
berdua tidak terlalu buruk.” Mata itu mengedip jahil.
“I—iya.” Bergegas Evellyn tidur membelakangi Elleinder. Pertama kalinya ia tidur
dengan orang lain, apalagi berlawanan jenis. Jantungnya berdebar keras.
Elleinder menatap Evellyn yang kembali sibuk menyamankan diri di ranjang paling
ujung dan ikut membaringkan tubuh lelahnya menghadap sang Ratu Skyvarna.
Tampaknya tidak sulit hidup dengan gadis ini, pikirnya puas sambil memejamkan
mata menjemput mimpi indah.
***
“Orang yang paling dekat denganmu,
bisa menjadi tempat ternyaman untukmu.”
***
“Sialan kau, Elleinder!”
Sang raja tak terlalu memusingkan ketidakhormatan temannya itu. “Why?”
Drystan Mackleton—lelaki seusia dengannya. Mereka dulu musuh dalam
peringkatdi akademi, tetapi takdir berkehendak lain. Mereka mulai bersahabat dalam
pemerintahan.
Ia teringat masa lalu saat-saat Drystan datang. Orang tua Drystan—Grand Dukedan
Duchess Cardingsen—bersahabat dengan Geraint, ayahnya. Tidaklah mengherankan
apabila kawannya itu sering berkunjung ke rumah.
“Kalau tahu Putri Windsor secantik itu, aku pasti akan menikahinya sebelum
engkau. Aku akan semakin melarang keras dirimu untuk memilikinya.”
Pagi ini Elleinder dibingungkan dengan kedatangan Drystan. Padahal saat
pernikahannya, sang sahabat meminta izin tidak bisa hadir.
“Terserah. Aku tidak menyuruhmu untuk mengambil risiko.” Elleinder berkata
tenang, menandatangani beberapa berkas yang seharian kemarin ia abaikan.
Ya, di awal perjodohan, Drystan-lah orang yang teramat menentang. Ia cemas
seorang putri yang disembunyikan memiliki wajah buruk rupa, gendut, atau bisa jadi
memalukan. Nyatanya, realitas tak seburuk itu.
Drystan dan Eilaria pernah bertemu sekali, di waktu Ratu Debora memperkenalkan
keduanya. Sifatnya yang pilih-pilih dalam berteman, mengakibatkan Drystan tak
mengacuhkan Eilaria yang manja. Ia bahkan menyebut putri kesayangan Duke itu
sebagai lintah, menempel erat di ujung siku Elleinder.
“Ya, engkau tidak mengatakan watak seseorang bisa berubah dan sebagainya.”
Drystan bersungut-sungut tanpa sedikitpun melepaskan pandangan pada Evellyn dari
arah jendela.
“Kau saja yang bodoh,” gerutu Elleinder mangkel, mengingat sang teman tak mau
ikut-ikutan mengurus Eila yang dulunya merepotkan.
“Hei, aku ini jenius. Kaupikir, apa yang bisa kaulakukan tanpaku untuk memasuki
wilayah Locko?” sambar Drystan tak terima.
“Entahlah. Aku tak tahu harus menyebutmu anugerah atau bencana.” Lelaki
junjungan rakyat Skyvarna itu berkata antara jujur dan bercanda.
“Dasar kau, Raja Gila!” umpat Drystan.
“Sudah, diamlah. Tolong panggilkan Eila untukku,” tegas Elleinder.
Cacian-cacian kecil menjadi pemeriah langkah Drystan menghampiri Evellyn yang
sedang memetik bunga di depan istana ratu. Meski begitu. Drystan melesat pergi dengan
riang. Ia jadi mempunyai alasan untuk berbicara dengan Evellyn.
“Paduka Ratu!”
Evellyn menoleh perlahan.
Tak seperti biasanya, Drystan terpesona melihat aura putri yang berbeda. Ia seakan
melihat sisi lain dari seorang Eilaria.
“Ada apa, Drystan?” tanya Evellyn membuyarkan lamunannya.
Mata hijau milik lelaki itu menyilaukan Evellyn. Ia membuang muka, tidak mau
berurusan dengan perasaan kagum sesaat, apalagi lelaki itu menatap menggunakan raut
memuja. Drystan Mackleton, satu dari sekian lelaki di daftar Eila, saudarinya. Tentu
dengan mengenali orang di sekitar Eila, penyamaran akan maksimal.
Namun, di sisi lain, ia juga menyadari. Bisa saja orang-orang memergoki
kebiasaannya yang berbeda dari Eila.
“Eh... i—itu, Elleinder memanggil Anda.” Drystan setengah gugup berbicara pada
Putri Eilaria yang seringkali ia anggap angin lalu.
Evellyn tersenyum akrab lalu segera menaruh keranjang yang dipegang ke atas
tanah dan menyeka debu yang tak sengaja bertengger di gaunnya. Ia membuat Drystan
heran mengetahui perubahan tata kramanya.
“Kami akan mengumpulkan bunga-bunga itu untuk Anda, Paduka Ratu,” kata
seorang pekerja kebun yang sejak pagi bersamanya.
“Terima kasih.” Evellyn tersenyum manis dan mengikuti teman Elleinder yang
menunjukkan jalan.
Grissham juga bergegas mengekor, mengikuti majikannya dan meninggalkan para
pekerja kebun yang saling tersenyum.
“Selain cantik, Paduka Ratu tidaklah manja.”
“Ya, beliau jauh lebih baik dari Daisy. Aku lebih suka Paduka Ratu daripada mantan
tunangan Yang Mulia Raja itu,” sambut yang lain.
Permadani berwarna merah keemasan menyeru Evellyn agar mendekat. Terlihat
unik untuk ruangan seorang laki-laki. Jika biasanya warna hitam yang mendominasi, tak
sesuai perkiraan, Elleinder menyukai warna yang sedikit cerah.
Jauh dari kerumunan orang yang melakukan kunjungan, ruang duduk itu lebih tepat
dikatakan—tempat bersantai raja. Ruangan yang cocok untuk orang dengan kelemahan
mengontrol emosi. Lengang dan tak sembarang orang bisa datang.
“Terima kasih,” ucap Evellyn begitu sampai di depan Elleinder.
“Sama-sama, Paduka Ratu,” jawab Drystan yang ternyata masih tak memercayai
keayuan tingkah calon ratunya.
Kerajaan Skyvarna mewajibkan Ratu memegang takhta menginjak usia dua puluh
lima tahun karena beliau dan raja harus berusaha memiliki keturunan di usia tersebut.
Agar waktu untuk menempa kekuatan sang penerus semakin panjang.
Hal itu disadari penuh oleh Ibu Suri Debora. Melalui pernikahan Elleinder dan Putri
Windsor yang baru berusia delapan belas tahun, kesempatan untuk memiliki seorang
putra akan mengundang banyak peluang. Drystan mengakui itu pilihan terbaik dari
Kerajaan Skyvarna.
Muda, cantik, dan lemah lembut. Ratu Skyvarna periode ini akan terkenang sebagai
ratu termuda sepanjang sejarah.
“Pergilah, Drys,” suruh Elleinder.
“Hei, kau ini tidak bisa menghormati tamu? Tamu itu raja,” keluh Drystan kala
menangkap nada tak peduli Elleinder.
“Kau bukan raja, akulah raja.” Mengenai itu, siapa pun juga bisa menebaknya.
Drystan tahu Elleinder ingin membicarakan hal yang bersifat pribadi dengan
istrinya. Meski dilingkupi rasa iri dan cemburu, ia lantas menyeret Grissham pergi
menjauhi ruangan. “Ayo, temani aku!”
Melalui anggukan kepala, Evellyn merelakan sang pengawal menemani Drystan
selagi ia dilindungi oleh Elleinder sendiri.
“Ada yang ingin Anda katakan pada saya?” tanya Evellyn begitu pintu tertutup
rapat.
“Aku mempunyai kejutan untukmu, Eila. Aku yakin engkau pasti senang.” Elleinder
membunyikan bel dan tak lama kemudian Madam Beliora datang membawa sebuah
gaun yang amat dikagumi bola mata bernuansa ungu itu. Setelahnya, pelayan pribadi
Evellyn izin undur diri.
Evellyn mengerutkan kening menatap Elleinder. “Saya sudah memiliki terlalu
banyak gaun, Yang Mulia.”
“Aku tahu. Ini kupesan khusus untukmu. Dan masih banyak lagi gaun-gaun yang
akan dikirim ke Locko.”
“Untuk apa, Yang Mulia? Apakah permintaan saya ikut ke Locko Anda kabulkan?”
Sebuah senyum terbit di bibir Evellyn.
“Tentu saja, Sayang. Kau istriku, belahan jiwaku. Maka ke mana pun aku pergi, kau
harus ada di sampingku.”
Rayuan itu membuat Evellyn terpaku. Walau selama ini berada dalam kekangan
Cornwevic, ia tidak pernah ketinggalan berita tentang Raja Skyvarna yang dingin
terhadap wanita.
Lalu, apa yang terjadi dengan Elleinder saat ini? Apakah sekadar memikat atau
sungguhan mendekatinya? Evellyn takut hal ini memengaruhi hubungan hati keduanya.
Senyum di wajah Evellyn kian mengembang. “Jangan katakan Anda jatuh cinta
pada saya?” Ia termasuk gadis yang agresif. Mata dibalas mata. Baginya, Elleinder juga
harus merasakan yang ia selami.
“Mengapa tidak kaucari tau sendiri, Ratuku?” Elleinder masih belia. Jiwa mudanya
tengah berkobar. Menggoda Evellyn seolah menjadi jadwal keseharian lelaki itu selepas
masa lajangnya berakhir.
“Kelihatannya Anda memiliki kepercayaan diri yang tinggi,” urai Evellyn sengaja.
“Engkau salah. Kepercayaan diriku menipis ketika dihadapkan dengan wajahmu.”
Lagi dan lagi sang raja memprovokasi.
Tengah asyik-asyiknya mereka saling menggoda, datang ketukan dari arah pintu.
Evellyn menghela napas lega. Karena tanpa kehadiran tamu itu, mukanya akan langsung
merah padam bila Elleinder terus-terusan menyanggah ucapannya.
“Sudah hampir waktu makan siang, Paduka. Saya rasa Anda bisa bersiap-siap
sekarang,” kata Nanny, pelayan pribadi Elleinder.
“Terima kasih, Nanny. Kau bisa membawanya kemari. Aku akan makan siang
bersama istriku.”
Wanita setengah baya itu lantas menepuk tangan untuk memanggil beberapa
pelayan. “Tolong bawakan hidangannya ke sini.”
Tak menunggu waktu lama, makanan berdatangan. Evellyn terlihat sangat canggung
ketika berbagai masakan telah tersaji dan pelayan meninggalkan ia bersama Elleinder
saja. Rasa tertarik melihat olahan mewah dari juru masak istana, Evellyn tahan.
“Kenapa kau tidak ingin makan, Eila?”
“Tidak, saya lapar, Yang Mulia. Ups!” Suara keceplosan itu terdengar menggelikan.
“Kau tidak perlu menungguku, Eila. Kau bisa mengambilnya terlebih dulu,” nasihat
Elleinder. Malahan ia tengah memilih dan memilah berbagai macam makanan
kemudian menata dengan cantik di atas piring lalu menyajikannya untuk Evellyn.
“Terima kasih, Yang Mulia.” Evellyn terharu melihat Elleinder lebih
mengutamakannya. Perhatian kecil yang mengetuk pintu hatinya.
“Aku akan meminta balasannya segera, Eila.” Senyum yang sedikit janggal, tetapi
menyihir Evellyn.
Semua tampak seolah biasa saja. Tidak seorang pun tahu apa yang akan terjadi ke
depannya. Pandangan setiap orang memang menyiratkan kekuatan tersembunyi. Seperti
Skyvarna di tengah pandangan dua orang yang menjalin janji, tetapi memiliki pendapat
masing-masing.
BAB 7

Ratu Evellyn duduk di bingkai jendela emas, kamar peraduannya. Ini memang
bukan saatnya termenung, tetapi, Locko masih terbayang jauh dari jangkauan mata.
Seharian penuh mereka berlayar mengarungi lautan, merasakan angin laut yang
berembus membuatnya menggigil kedinginan. Belum lagi gelapnya seolah menyatu
dengan langit malam menuju pagi.
Evellyn ingin Elleinder segera kembali. Buaian ombak-ombak kecil itu
menjadikannya terombang-ambing tanpa menapak tanah.
“Kukira kau masih tertidur, Eila.” Suara itu membuat Evellyn berpaling.
Ia tak pernah merasa sebahagia itu—tidak karena laut mengingatkannya pada
peristiwa di masa lalu. “Anda dari mana, Yang Mulia?”
“Mengapa kau mendesah seperti itu? Apa terjadi sesuatu?” Elleinder meletakkan
teko dan gelas di meja samping ranjang.
“S—saya sedikit mabuk laut, Paduka. Entah kenapa saya—”
“Eila!” Beruntungnya, Raja Skyvarna siap menangkap tubuh yang limbung itu.
Namun, karena ada ombak yang terasa cukup kuat menghantam. Sang raja ikut meluruh
bersamaan dengan tubuh ratunya yang ambruk.
“Kau tidak apa-apa, Sayang?”
Wajah istrinya memucat. Evellyn sendiri merasa apa yang ia makan malam
sebelumnya mulai naik ke tenggorokan. Kepalanya berputar, pening tak karuan. Ia
bersyukur Elleinder mau memeluk pinggangnya dengan erat.
“Sebaiknya kau kembali tiduran, Eila,” ucap lelaki yang baru menikah dengannya
itu sembari membopong Evellyn.
Di pembaringan, Ratu Skyvarna mencengkeram baju Elleinder kuat-kuat. Masih ia
rasakan getaran di tubuh mungil itu. Wajah dan bibirnya berubah sepucat kapas.
“Aku akan mengambilkanmu obat. Tunggulah di sini.”
Evellyn seketika panik. Cengkeramannya semakin tak ingin mengendur. “Aku ingin
pulang.” Inilah sisi kemanjaan Evellyn yang selama ini disembunyikan.
“Sst... kau akan baik-baik saja, Sayang,” bisik Elleinder di telinga Evellyn.
Tangannya bergerak membelai rambut gadis itu.
“Ta—tapi aku ingin pulang,” gerutunya tidak sependapat, ditambah lagi
kesopanannya hilang entah ke mana.
Elleinder tidak mempermasalahkan itu. Ia malah semakin cemas dengan keadaan
Evellyn. Dengan cepat, ia memencet bel di saku bajunya. “Dari sini kita akan mendarat
ke kota terdekat, Eila.” Menyadari hal ini, tidak menenangkan Evellyn. Ia buru-buru
mengimbuhi, “Beliora tengah mengambil obatmu. Tenanglah dulu.”
Evellyn mendesah dengan menahan rasa mual yang masih berkumpul di perut dan
mulutnya. Elleinder lantas menumpuk bantal sebagai sandaran punggung. Sedangkan
gadis belia itu melingkarkan tangannya di sekeliling leher Elleinder, mencegahnya pergi
dengan menyembunyikan kepalanya di dada sang raja.
Tok! Tok! Tok!
“Masuk.”
“Anda perlu sesuatu, Yang Mulia?” tanya Beliora seraya menatap khawatir keadaan
junjungannya yang terlihat tak sehat.
“Tolong minta obat tidur pada Dokter Lauwren. Perintahkan juga Harry di ruang
kemudi untuk mencari pelabuhan terdekat. Kita harus mendarat sejenak sampai keadaan
Eila membaik,” titah Raja Skyvarna yang tampak begitu menyayangi sang istri hingga
wajahnya disesaki rasa khawatir.
“Baik, Yang Mulia.” Beliora berlari sekuat mungkin. Keadaan Evellyn sedang tak
main-main. Trauma itu terus saja mendiami tubuh putri mendiang Ratu Beatrix.
Obat dan kapal adalah perpaduan hidup Evellyn di atas laut. Semasa kecil, laut
menjadi tempat bermain Evellyn. Ia menyukai laut. Tak peduli jika dimarahi Duke atau
pun Duchess, ia akan kembali bersembunyi di balik karang.
Eilaria Windsor memang mendapatkan segalanya, kecuali perhatian seorang lelaki.
Begitu banyak pemuda yang disodorkan orang tuanya, Evellyn menjadi batu sandungan.
Terutama ketika Stephen, Putra Viscount of Wailyn yang terkenal akan
ketampanannya berkunjung ke kediaman Duke. Eilaria tertarik pada Stephen, tetapi tak
sedikit pun kepedulian ia dapatkan. Justru, Evellyn-lah yang dipilih lelaki dua puluh
tahun itu untuk menemaninya.
Rasa dengki yang berkobar menyebabkan Eila menempuh jalan sesat. Dengan
teganya, ia membius sang saudari, kemudian meletakkan tubuhnya pada sebuah kapal
berukuran kecil untuk dihanyutkan ke laut.
Selama dua hari, Evellyn hidup dalam ketakutan. Meski menyukai ombak, ia tak
bisa berenang. Jiwanya terombang-ambing dalam kematian. Hingga, doanya terkabul
dan Tuhan masih menyayangi Evellyn. Ada seorang pelaut yang menemukannya dalam
keadaan mengenaskan. Tanpa selimut, makanan, dan minuman.
Kemudian mereka membawanya pada Duke of Cornwevic. Tersiar berita, kejadian
ini adalah tulah untuk Evellyn yang terlalu suka bermain ke lautan luas.
Semenjak itulah, Duke dan Duchess memperlakukan Evellyn berbeda dari Eilaria.
Madam Beliora-lah yang mengetahui semua cerita asli yang meluncur tak sengaja dari
bibir saudari kembar Evellyn.
“Aku menyesal tidak mengetahui apa pun tentangmu, Ratu,” bisik Elleinder lirih.
“Katakan apa yang harus kita lakukan untuk menunggu obatmu?”
Evellyn mengangkat kepalanya dan menggeleng tidak tahu. Pikiran gadis berambut
lurus keunguan itu tengah terpecah belah.
“Kalau begitu, kau hanya boleh memelukku sepanjang hari,” goda sang Raja
Skyvarna.
Evellyn tertegun. Baru kali ini mereka bersentuhan sangat rapat. Apa lagi, Elleinder
membiarkan tubuhnya sebagai tempat tidur Evellyn yang setengah berbaring.
Sementara, tangan lelaki itu memeluk pinggangnya erat-erat. Nyaman dan
memabukkan.
Rasa damai yang baru sekali ia peroleh, membuat mata Evellyn terasa berat hendak
menutup, kemudian terdengar ketukan dari depan.
“Masuklah,” jawab Elleinder.
Beliora muncul dengan nampan di tangannya. “Ini obatnya, Yang Mulia.”
“Ayo, minum obatmu, Eila.” Elleinder menuntun sang istri untuk duduk dengan
tubuhnya sendiri.
“Tapi....”
Elleinder tidak melewatkan kesempatan bagus. Ketika Evellyn membuka mulutnya,
cepat-cepat ia meraih gelas dan menyodorkannya di bibir merah muda itu. “Obat ini
akan membuatmu lebih baik. Berbaringlah!”
Evellyn kemudian meneguk tanpa menolak. Tatkala itu, tangan dari istri Elleinder
tak lepas dari pinggang suaminya, sekaligus membawa sang raja turut serta berbaring
saling menghadap. “Tidurlah. Kita akan segera berlabuh,” lanjut Elleinder setengah
mengantuk.
Madam Beliora membiarkan keduanya kembali hanyut dalam rasa lelah sendiri dan
ia meninggalkan mereka secara diam-diam.
“Yang Mulia akan baik-baik saja, Griss.” Senyum simpul saling menimpali di depan
pintu kamar raja dan ratu yang baru saja tertutup rapat.
***
“Batas—sering diartikan sekat yang tidak boleh dilewati.
Sedangkan, cinta memiliki batas yang bahkan harus dimasuki oleh keduanya.”
***
“Bagaimana perasaanmu sekarang, Eila?”
“Saya sudah baik-baik saja, Paduka,” jawab Evellyn singkat.
Mereka telah mendarat di salah satu pelabuhan yang masih termasuk daerah
Skyvarna. Meski perjalanan akan memakan waktu beberapa hari, untuk mencapai
Kerajaan Locko, Raja tak akan mengorbankan keadaan ratunya.
Kota Marchandise adalah wilayah Kerajaan Elleinder yang terpisah jarak oleh Laut
Locko, seolah kota tua itu menjadi titipan Skyvarna untuk Locko.
Evellyn memperhatikan sekelilingnya. Pelabuhan cukup ramai di siang hari. Bahkan
ia sempat melihat para prajurit tengah mendirikan tenda. Ia rasa Elleinder sedang
memerintahkan mereka untuk berkemah sehari.
“Apa kau juga ingin mendirikan tenda?”
Evellyn menggeleng. Sedari awal Elleinder terus saja menemaninya. Setiap perintah
yang keluar, selalu melalui pelayan atau prajurit. Evellyn merasa tak enak, seperti
memiliki pengasuh sendiri, apa pun akan disiapkan Elleinder.
“Aku rasa mereka terlalu ribut. Apa kau ingin ikut, Eila?”
Dari geladak kapal, terlihat beberapa prajurit turun menyeret perahu berukuran tiga
orang. Sedangkan yang lainnya, membantu dengan membawa alat pancing. Seumur
hidup, Evellyn tidak pernah diajari cara memancing. Kehidupan setelah peristiwa kelam
itu membawanya dalam kegelapan. Kemewahan memang ia dapatkan, tetapi
kebebasannya terkekang.
“Bisakah saya mencobanya, Yang Mulia?”
Elleinder tersenyum geli. “Kau bertambah cantik saat matamu berbinar-binar.”
Belum sempat Evellyn mengeluh, tubuhnya sudah terangkat di gendongan sang
suami. “Apa yang—”
Rajukan Evellyn terhenti. Telinganya memerah mendengar ledekan beberapa
prajurit yang tak sengaja berpapasan dengan mereka.
“Apanya, Sayang?” Bagi Elleinder, Evellyn sungguh cocok dengan ekspresi
malunya itu. Wajah mungil yang terlalu cantik, tapi kekanak-kanakkan. Mata hitam
keunguannya menyampaikan rasa sungkan yang menarik untuk dipandang.
“Apa yang Anda tertawakan?” Evellyn tak berniat mencibir kesal.
“Ini.” Elleinder menyentuh bibir Evellyn, menatapnya lekat dengan ekspresi yang
sulit diartikan.
Sentuhannya yang lembut, mendinginkan rasa kesal Evellyn dan malah membuat
dadanya berdebar kencang.
“Kau sungguh menggemaskan, Eila. Ekspresi kesalmu sangat mahal,” bisik
Elleinder sambil mendekatkan wajah, tanpa ragu-ragu ingin mencium Evellyn yang
berada dalam gendongannya.
Sang istri terlihat pasrah, menutup mata. Toh, Elleinder adalah suami yang berhak
atas dirinya. Jarak yang begitu dekat, membuat Evellyn dapat merasakan embusan
napas Elleinder di wajahnya. Apa lagi, detak jantung keduanya saling berbalas.
“Yang Mulia!” Belum sempat momen itu terjadi, tiba-tiba seorang prajurit menyela
dengan raut takut.
“Ada apa?” Sesungguhnya Elleinder terkejut. Untung ia bisa mengendalikan roman
mukanya. Sementara itu, wajah Evellyn memerah padam.
“Peralatan Anda sudah siap, Paduka.”
“Terima kasih.” Itu suara Evellyn yang teredam di dada sang suami.
Ketika mereka sampai ke tujuan, Elleinder segera naik dengan hati-hati. Ia
membantu Evellyn duduk tenang karena harus terbiasa oleh ombak yang menghantam
perahu kecil itu.
Dayung mulai bergerak ketika Evellyn melihat beberapa perahu mengikuti mereka.
Jumlah yang cukup banyak bagi pasukan pengawal Raja dan Ratu.
Semakin berlayar jauh, Evellyn menyadari betapa besar kapal yang membawanya
menuju Locko. Tiang-tiang tinggi tegak menjulang, terutama di bagian atas, terlihat
mewah dan angkuh.
Perahu yang ditumpangi Raja dan Ratu Skyvarna mendekati kerumunan prajurit
yang tengah asyik memancing. Mereka tak sadar oleh kedatangan sang junjungan.
Namun, teriakan pengawal Raja menarik atensi mereka hingga menuai kegaduhan.
“Paduka Raja dan Paduka Ratu datang!” teriak salah seorang dari mereka.
“Lanjutkan kesenangan kalian. Anggap saja kami sebagai kawan,” tukas Elleinder.
Meski memancing dengan jarak cukup jauh, mereka saling meneriaki satu sama lain
jika mendapatkan hasil tangkapan. Evellyn bisa tertawa saat seorang prajurit sengaja
menjahili teman di sampingnya dengan mencuri ikan dari ember.
“Anda belum mendapatkan apa pun, Yang Mulia,” cela Evellyn mulai berani.
Elleinder yang tengah berkonsentrasi, bersungut-sungut sambil menggerutu. “Aku
sudah lama tidak memancing, Sayang. Hidupku hanya di belakang meja dan perburuan.
Aku lebih bisa menunggang kuda dari pada mendayung perahu.”
Ya, ternyata itulah alasan mereka duduk bertiga di dalam perahu. Prajurit yang
mendayung di depan, Evellyn di tengah, dan sang raja di belakang dengan alat
pancingnya.
“Sepertinya ikan-ikan di tempat ini tahu akan Anda pancing sehingga kabur semua,”
gurau sang istri menerbitkan delikan mata Elleinder.
“Harusnya kau menyemangatiku, bukan malah meledekku. Ck!”
Hari yang menyenangkan. Evellyn seperti memiliki keluarga baru. Bukan hanya
suami, ia bahkan mendapat bawahan yang bisa membuatnya bebas tertawa.
***
“Anda yakin akan melakukannya, Tuan Putri?” tanya Madam Beliora gelisah
sembari menggigiti kuku jarinya.
“Untuk apa berlama-lama, Bibi?” Evellyn kesulitan mencari bukti yang valid.
“Kenapa harus Anda? Ada banyak anggota Helmentra yang siap bertugas,” saran
Grissham. “Saya juga tidak mampu dua puluh empat jam mengawasi Anda.”
“Aku akan berhati-hati. Ini adalah kesempatan yang tak bisa diabaikan. Elleinder
diundang untuk bermusyawarah dengan Raja Locko dan itu pasti menghabiskan waktu
yang lama.”
“Kediaman Lord Devian tidak mengizinkan sembarang orang bisa masuk, Putri,”
sanggah ibu beranak satu itu.
“Aku berkeyakinan Paman telah menyiapkan segalanya.” Kedua tangan Evellyn
mengacungkan jempolnya.
“Sebaiknya Anda bergegas memutuskan. Beliau cepat mengerti apa yang harus
dilakukan,” kata Beliora yang masih menganggap ide itu terlalu gila.
Evellyn menikmati perjalanan. Lima hari menginap di kapal, cukup
memberitahunya mengenai sifat dan sikap Elleinder. Tak seburuk bayangan, ia adalah
raja yang tampan, romantis, juga perhatian, jarang sekali mengeluh di depan Evellyn.
Saat matahari telah meninggi, Evellyn mengganti bajunya dengan cadar. Keadaan
Istana Raja William, Raja Kerajaan Locko, terjaga ketat. Berkat itu, Evellyn sedikit
meminta kelonggaran pada Elleinder. Ia berkata hendak mengunjungi pasar Locko
untuk membeli oleh-oleh. Izin itu didapatkan setelah suaminya mengultimatum bahwa
jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan, maka Evellyn harus mencari bantuan terdekat.
Tentu saja, tawa Evellyn yang terkesan lancang di situasi serius, menyentuh titik
posesif seorang Elleinder. Ia sampai memanggil lima prajurit untuk menemani istrinya.
Bermacam-macam peringatan memenuhi telinganya.
Padahal dalam hati Evellyn, ia belum bisa memastikan mengapa pamannya tak
menangkap Maynard dengan tangannya sendiri. Dari kesimpulannya ia memang
korban. Ia telah melihat dengan matanya sendiri bahwa Pastur itu memiliki hubungan
dengan Geraint.
Memakai baju ketat berwarna hitam di balik gaun sedikit menyulitkannya untuk
berkelana.
“Streng House di belakang Pasar Brasch. Dari sana kau akan dibimbing oleh
seorang wanita bercadar merah dengan sulaman mawar emas. Selalu waspada, Eve. Aku
tak mau kau terluka hanya gara-gara si berengsek itu,” perintah Devian tempo lalu tetap
terngiang di pikirannya.
“Wanita itu kekasih Paman?” tanya Evellyn menyeleweng dari pembicaraan yang
diharuskan.
“Hei, Bocah. Kau ini mendengarkan apa? Kenapa malah mengurusi kehidupan
pribadiku?” Omelan yang membuat beberapa anggota yang hadir tertawa tertahan.
“Hanya Paman yang berbicara, untuk apa aku mendengarkan orang lain?”
“Lalu kenapa kau menanyai tentang Fulvia?” sewot lelaki setengah baya yang
sampai sekarang belum melepas masa lajangnya.
“Oh, Bibi Fulvia. Aku yakin ia khilaf memilih Paman.” Pertengkaran yang
melunturkan suasana tegang di dalam ruangan.
“APA? Kau tidak lihat aku tampan? Tentu saja Fulvia memilihku karena
perhatianku selama ini. Justru ia yang pertama kali mencintaiku. Aku ini lelaki berharga
diri tinggi, maka mencintaiku adalah anugerah,” jelas Devian panjang lebar.
“Anda bilang Nyonya Fulvia adalah orang yang menarik, makanya kami harus
mempersiapkan pesta untuk menyatakan cinta. Lalu, kenapa sekarang Anda bilang
Nyonya Fulvia yang menyatakan terlebih dulu?”
Martabat Devian sebagai Putra Mahkota Skyvarna hancur seketika. Tawa para
anggota di sana-sini membanjir sebelum ucapan Bernat selesai. Sang ponakan dengan
bengisnya memukul pundak pamannya demi meredakan tawa yang masih menghiasi
bibir.
“Kau benar-benar minta dipecat, ya?” Devian membeliak tajam pada pelayan
kesayangannya itu. Sedangkan yang diancam hanya mengangkat bahu singkat.
“Ya Tuhan, Paman. Sekali-sekali Anda harus berucap jujur. Seorang pemimpin
adalah cerminan bawahannya. Kalau Anda tidak jujur, jangan marah kalau-kalau Paman
Berniat mengerjai Anda.”
Muka lelaki yang kematiannya disembunyikan itu malah melongo. Baru kali ini ia
bertemu seseorang seaneh Evellyn yang sialnya—adalah keponakannya sendiri.
Kasihan Devian.
BAB 8

Setelah menginginkan kebebasan, Evellyn merasapengap diikuti prajurit. Rasa teh


yang ia telan bahkan sepat, bukannya manis seperti susu yang dicampur di sana. Oh,
tapi tenang saja. Evellyn bukan hanya sekadar nama. Ia mengedipkan sebelah mata pada
Grisham, dan laki-laki itu tahu apa yang harus dilakukan. Bundelan hitam yang selalu ia
bawa adalah solusi dari semuanya.
“Ada yang salah dengan tehku. Apa kalian bisa memeriksanya?” Evellyn
mendorong cangkir tehnya ke pinggiran meja terjauh dari tempat duduknya seraya
menutup penciuman dengan punggung tangan.
Prajurit yang mendekat seketika merasa bersalah. “P—paduka, saya r—rasa saya h
—harus izin sebentar.” Ia berjalan mundur saat merasa limbung dan sebelum benar-
benar ambruk tak berdaya.
Bruk!
Satu per satu pengawal Evellyn ikutan tumbang, sebab racun tanpa aroma yang
ditebar Grissham dari buntelannya mampu memengaruhi mereka. Ratu Skyvarna tentu
tersenyum, antara menjawab, geli, dan kasihan.
“Anda terlampau kejam, Putri,” protes Grissham seraya menatap lima tubuh
bergelimpangan di depannya.
“Karena kau tidak mau membereskan mereka. Bisa jadi, koki istana yang akan
terkena imbasnya karena memberi makan sebelum bertugas.” Tawa Evellyn terdengar
mengejek.
Tentu saja koki yang menjadi kambing hitam. Baru beberapa saat lalu, Evellyn
memergoki mereka membawa semacam roti kering, camilan yang dikirim bagian dapur.
“Pergilah mengawasi sekitar, Griss,” lanjutnya mengibaskan tangan tanda mengusir
pengawal pribadinya itu.
Waktu adalah emas, makanya Evellyn berpikir untuk melepas gaunnya segera.
Kakinya lantas memasuki ruang ganti Brasch yang sepi. Sungguh itu memberi
kesempatan Evellyn untuk memulai aksinya. Baju hitam ketat dengan penutup kepala
dan celana, ditambah lagi cadar, membuat Sang Tamu Agung Locko tak bisa dikenali.
Tengah serius melipat gaun, Evellyn merasa seseorang menepuknya dari belakang.
Cadar mewah bersulam gambar emas di wajah si penepuk menjadi petunjuk yang ia
ingat.
“Bibi Fulvia?” tanya Evellyn dengan berbisik.
Fulvia tidak tau bagaimana harus menggambarkan gadis cantik di hadapannya. Di
satu waktu ia tampak anggun, lembut, dan menggemaskan. Di satu kesempatan, ia
menakutkan. Dan di saat lainnya, Fulvia merasa kasihan.
Beberapa hari terakhir, ia melihat sendiri sisi berlainan dari gadis itu. Keponakan
Devian tampak tak tersentuh oleh dunia luar, matanya akan berbinar ketika melihat hal
baru. Tetapi, dia adalah pemilik Helmentra dengan segala ilmu bela diri yang turun
temurun.
Bisa saja Evellyn pergi melalui atap atau pepohonan. Tubuh mungil itu menyimpan
kelincahan tersendiri. Namun, dua pengawal yang menyayangi putri mendiang Raja
Alzevin itu tak pernah mengindahkan bahaya mendekati sang junjungan.
“Kita terpaksa mengubah rencana, Yang Mulia,” ujar Fulvia dengan ragu-ragu.
“Kenapa, Bibi? Apa Paman menemukan sesuatu?”
“Saya minta maaf jika ini menyakiti Anda. Lord Devian pagi ini telah diculik anak
buah Maynard.” Suaranya terdengar sedih.
“A—apa?” Evellyn tak memercayai pendengarannya.
Pikirnya, sekuat apa anak buah si berengsek itu sampai sang paman pun bisa
dikalahkan.
“Streng House telah kosong. Beberapa di antara kami tengah mencari keadaan
beliau. Setengahnya lagi meminta bantuan pada Helmentra,” jelas wanita yang telah
berumur itu.
Pantas saja Madam Beliora dan Grissham mencemaskan dirinya. Mereka tak berani
jujur dengan apa yang terjadi.
“Lalu, apa rencananya?” Ruang ganti yang cukup hening tempat mereka bertemu,
jauh dari keramaian pasar.
“Kami akan menyerbu langsung pada Markas Maynard. Kami harap Anda kembali
pada Yang Mulia Raja.”
Evellyn duduk dengan gelisah. “Kenapa aku harus pergi? Pamanku berada dalam
bahaya.”
“Tetapi, ini juga berbahaya untuk Anda, Paduka.” Fulvia meminta pengertian gadis
kesayangan dari lelaki yang dicintainya itu.
“Aku tidak peduli nyawaku akan hilang. Setidaknya, aku bisa mengulur waktu
selama kalian membebaskan Paman Devian,” tegas Evellyn.
Untuk Evellyn, Devian satu-satunya keluarga kandung yang tersisa. Ia yang
mengajarkan jalan kebenaran hingga bisa terlepas dari jerat Duke of Cornwevic. Tak
seperti Eilaria yang termakan nafsu angkara.
Sedangkan untuk Fulvia, Devian adalah orang yang menariknya dari kegelapan.
Seorang penyihir yang terbuang dari keturunannya, ialah Fulvia Magdalena. Datang dari
negeri seberang, tanpa uang saku dan tanpa ilmu. Bagi orang tua Fulvia, penyihir tanpa
keahlian patut untuk diasingkan. Sejauh ini, hanya Devian yang mau menerima
keadaannya.
“Aku berjalan di depan, Bibi.”
Keduanya keluar dari persembunyian. Rasa khawatir akan kondisi Devian terlihat
dari ekspresi masing-masing. Berbagai pertanyaan muncul di kepala. Apa si paman
jelek itu masih hidup? Atau ia telah menjadi penghuni katedral?
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak panjang, mengarah langsung ke rumah
dengan jendela-jendela yang berjajar rapi di dindingnya. Pepohonan dan semak belukar
yang menjulang tinggi seolah mengaburkan lokasi. Ini satu-satunya tujuan yang ada di
hutan. Menurut Fulvia, anak buah Devian tengah berjaga di sekitar.
“Bibi, tunggu di sini. Setelah aku masuk, carilah paman dan bebaskan dia. Kalau
terjadi sesuatu yang buruk, katakan saja pada King, aku tak sengaja tersesat di hutan.”
Tidak! Tunggu dulu!
Fulvia tidak dapat menjamin Ratu akan dalam keadaan selamat ketika pasukan
istana mulai menyisir kediaman Maynard. Jangan-jangan kedatangan pasukan malah
membahayakan nyawa Ratu.
“Tapi..., Yang Mulia?”
Evellyn tak menggubris rasa keberatan Fulvia. Ia yakin mereka bisa diandalkan.
Dengan anggun, ia mengetuk pintu depan yang bertuliskan nama Maynard.
“SIAPA?” teriakan itu sangat kencang.
Evellyn tak menjawab, tapi terus menerus mengetuknya hingga sang empu rumah
mau membukakan jalan. Belum sempat ia membuka suara, seseorang menarik tangan
Evellyn dan tangan yang lain membungkam mulutnya.
Ratu Skyvarna itu jelas terkejut. Ia berusaha melepaskan diri dari tarikan kuat itu
dan mencoba berteriak memanggil pasukan Helmentra. Namun, kain yang menutupi
mulut meredam suaranya.
Beberapa menit kemudian, kesadarannya kian kabur tanpa mengizinkan Evellyn
mengetahui tujuan. Ketika Evellyn membuka mata, ia telah diikat dalam ruangan
berdebu yang pengap.
Pastur palsu—si berengsek Maynard sudah berdiri di depannya dengan senyum
puas. Di sisinya, ada juga seorang lelaki yang menatap Evellyn sembari tersenyum
mengejek.
“Apa kabar, Yang Mulia? Sudah lama tak jumpa.”
Evellyn sadar ia tak bisa berbicara sebab kain yang menutup mulutnya, sementara
kedua tangannya terikat ke belakang. Hanya sorot mata keunguan yang melotot marah
menjadi bukti jawaban gadis itu.
“Aduh, maafkan kelancangan hamba, Ratu.” Seolah merasa kasihan, Maynard
menarik keras kain di wajah Evellyn.
Geraman kecil itu berganti ejekan. “Aku baik-baik saja, Pastur. Kenapa Anda di
sini? Bukankah katedral membutuhkan Anda? Sebagai penghuni salah satu makam
bersama Geraint, mungkin?”
“Apa?” Lelaki jahanam itu tertawa geli. “Bukan saya, Yang Mulia. Bisa jadi
malahan Anda yang menyusul Alzevin dan Beatrix.”
“Wah..., wah.... Kau penebak ulung, Maynard. Tak kusangka busukmu terbongkar
sendiri.” Tak ada nada takut dalam suara anggun itu. Setelahnya, Evellyn mengangkat
kaki untuk menghantam perut lelaki tua yang sengaja mengejek begitu dekat.
Jerit kesakitan meluncur dari bibir yang tadi tersenyum menyebalkan. Tangannya
terkepal seolah hendak memukul Evellyn. “Ternyata kau tak sebaik yang diceritakan.”
“Tak ada orang baik di dunia ini, Pastur. Kecuali kepalamu terlepas dari badan,
maka aku berjanji menjadi orang baik.” Janji dengan senyum mematikan yang pasti
menggetarkan tenggorokan siapa pun.
“Wahaha.... Jangan terlalu terburu-buru memutuskan, Paduka. Ah, bukan Eila—atau
mau kupanggil Evellyn? Apa gunanya saya membawa Anda ke sini, kalau bukan untuk
menikmati kematian gadis di hadapan saya secara perlahan?”
Bedebah satu ini benar-benar lihai mempermainkan seseorang. Evellyn berusaha
sekuat tenaga melepaskan tali yang menyakiti tangannya.
“Mereka akan membunuhmu, Maynard! Aku bersumpah kepalamu sulit kembali ke
badan busukmu!” Evellyn mengulur waktu. Matanya menangkap bayangan hitam
mengintip di balik jendela.
Lelaki tua itu menghunuskan pedang pada leher Evellyn. “Aku ingin menjahit
mulutmu yang tajam itu agar wajah cantikmu tidak akan membuat Elleinder jatuh cinta.
Biarkan ia mengikuti jalan ayahnya,” ucap Maynard seraya menempelkan ujung
tajamnya.
Eleanor meludah ke wajah Maynard. Ia tahu Elleinder tak akan mengampuni lelaki
di hadapannya saat ini.
Maynard murka. “Aku akan membunuhmu!”
“Berhenti, Tuan! Anda akan mendapat masalah.” Lelaki yang sedari tadi diam,
menahan Maynard tepat sebelum ia menusukkan pedangnya ke perut Evellyn.
Evellyn tidak memejamkan matanya sama sekali. Sinar hitam keunguan itu menatap
dengan menantang. “Anda berdua tengah memperebutkan nyawaku? Dasar tidak
mengerti. Kalianlah yang tak pantas hidup.”
“APA? K—KAU!” Emosi keduanya mulai sulit dibendung.
Maynard siap menghujamkan pedang ke tubuh Evellyn, tetapi dobrakan dari arah
pintu dan jendela mengejutkan mereka. Keempat orang berbaju hitam muncul dari
depan pintu dan dengan cepat mengalungkan kunai ke leher Maynard dan kawannya.
Mereka anggota Helmentra yang selama ini melindungi Evellyn. “Sebaiknya kalian
berlutut segera. Orang-orang kalian di luar telah kami lumpuhkan.”
Rupanya ancaman itu tak menyurutkan kemarahan si penjahat. Ia malah menarik
sebuah pisau untuk melawan Helmentra dan terjadilah pertarungan yang tak seimbang,
dua lawan empat.
Evellyn sendiri tengah dibantu seseorang yang datang dari jendela. Begitu ikatan
terbuka, pandangan matanya kosong.
Helmentra bukan sekelompok orang yang suka bermain-main. Dalam waktu singkat,
keduanya lumpuh dengan darah mengucur dari kaki yang tertancap kunai.
“Bawa mereka!” Suara itu mengejutkan Evellyn. Dingin, familier, dan sering ia
patuhi. Siapa lagi kalau bukan sang suami, Elleinder.
“A—Anda? Anda di sini, Yang Mulia?”
Siapa sangka orang yang membantu Evellyn dengan cadar di wajahnya adalah Yang
Mulia Paduka Raja Skyvarna. Putri Windsor itu tak paham dari mana Elleinder bisa
menyusul secepat itu. Ia khawatir sang suami mengenali penyamarannya, apalagi nama
Evellyn tak sengaja diucapkan si berengsek Maynard.
“Kau harus dihukum, Sayang.” Ucapan Elleinder membuat istrinya merinding.
Evellyn sudah membalik badan dan hendak menanyai Grissham yang juga berada di
ruangan itu ketika Quinn berkata, “Kau mau pulang tidak?”
Evellyn sedikit takut, tetapi tetap mengangguk dan mengikuti punggung Raja
Skyvarna. Begitu keluar dari rumah yang tak terawat itu, Evellyn tertegun ketika
melihat sebuah kereta kerajaan tengah menunggunya.
“Tidak ingin naik?” tegur Elleinder yang sudah duduk anteng di dalam.
Lagi-lagi Evellyn hanya menjawab dengan anggukan kepala. Ia tak melihat
Elleinder yang sedikit tersenyum geli karena melihat kebingungan gadisnya.
Setelah Ratu Skyvarna masuk, kereta itu berjalan cukup pelan, meninggalkan
anggota Helmentra dan pasukan kerajaan yang bersyukur akan keadaan sang ratu.
“Kukira Yang Mulia akan memarahi Ratu. Nyatanya tidak,” ucap seorang prajurit
kerajaan terdengar lega.
“Yang Mulia terlalu menyayangi Ratu,” celetuk salah seorang kawannya.
Yang lain tidak memberi tanggapan apa pun, dalam artian menyetujui.
***
“Merasa sayang belum tentu merasa cinta.
Karena sejatinya cinta, menawarkan hal yang lebih dari rasa khawatir.”
***
“Mohon maafkan saya, Yang Mulia,” pinta Evellyn yang sudah seharian ini tak
digubris oleh Elleinder.
Sepertinya Raja Skyvarna tengah memendam amarah. Kebohongan yang dilakukan
istrinya membuat Elleinder semakin trauma dengan orang lain. Dulu..., Elleinder kecil
harus menerima dusta orang tuanya.
“Ayah akan cepat pulang.”
“Ibu pergi sebentar.”
“Tunggu kami dengan Nanny, ya.”
Ujung-ujungnya mereka tak menepati ucapan. Setidaknya, itulah ingatan buruk yang
masih melekat di benak lelaki dua puluh empat tahun itu.
Elleinder duduk di kursinya dan mendesah panjang. “Aku tidak mengerti denganmu,
Eila. Apa kau pikir nyawamu adalah mainan? Kalau menurutmu iya, kenapa tak
sekalian kau bunuh diri sebelum datang ke hidupku?”
Ya Tuhan, Evellyn benar-benar membuat Elleinder lelah. Ia memang anggun di
depan, tetapi sekarang apa? Butuh lebih dari satu kepala untuk mengekangnya.
“Saya hanya ingin menyelamatkan saudara saya yang diculik, Yang Mulia. Apa
tindakan saya salah?” tanya Evellyn dengan raut campur aduk. Ia takut, sedih, dan tak
tahu harus melakukan apa selain minta maaf.
“Tidak. Aku tidak menyalahkan kelakuanmu. Tapi..., tak bisakah kau berkata tolong
pada suamimu ini? Apa yang akan dikatakan Duke jika melihat sang putri menantang
bahaya tanpa pengawasan suaminya?”
Duke tak akan menyesal, mungkin itulah yang diharapkannya sejak dulu. “Saya
janji tak mengulanginya, Yang Mulia,” lanjut Evellyn.
“Sudahlah, saat ini masih belum jelas apa keterlibatanmu dengan rencana Pastor
Maynard.” protes Elleinder.
Bisa diyakinkan Elleinder tak suka dibohongi. “Lalu, siapa saudaramu yang diculik?
Ketika aku sampai di sana, malah dirimu yang berada dalam keadaan terikat,”
sambungnya.
Evellyn lupa, pamannya tidak boleh diketahui dunia luar. Ia bersyukur Devian pergi
sebelum Elleinder datang. “Maksud saya, saudara Grissham yang sudah saya anggap
saudara sendiri.”
Lelaki beristri itu menatap tak percaya dengan perkataan Evellyn. “Dan hanya
karena itu, sampai-sampai kau mengorbankan diri?”
“Nyawanya dalam bahaya, Yang Mulia. Tentu saja, saya tidak tinggal diam,”
sanggah Evellyn dengan nada tak terima.
“Lalu, nyawamu tidak?”
Skakmat! Evellyn kehabisan kata-kata. Ia menunduk dan sesekali menatap Elleinder
yang tak bergeming dari kursinya.
“Aku khawatir, Eila. Bagaimana pertanggungjawabanku di hadapan Tuhan sebagai
suamimu. Aku takut terjadi hal buruk denganmu,” akunya dengan mata berkaca-kaca.
Putri kandung Raja Alzevin itu masih menunduk dan terkejut ketika ada tangan
yang menyelubungi tubuhnya. Sejak awal, Evellyn membenci Elleinder. Ia membenci
anak dari pembunuh orang tuanya. Akan tetapi, sekarang ia mulai nyaman dengan
kehadiran sang suami.
“E... Elleinder...,” lirih Evellyn. Air matanya menganak sungai membasahi baju
kebesaran sang raja. Ada rasa lega, ia masih bisa mendekap tubuh kekar ini.
“Eila, dalam waktu dekat ini aku akan memastikan kau baik-baik saja. Aku berjanji
padamu, asalkan kau juga berjanji mengatakan apa pun tentang masalahmu.” Elleinder
termenung. Ia hampir mati melihat keadaan Evellyn yang terikat kuat. Ditambah lagi,
pedang Maynard teracung seolah hendak menerkam nyawa istrinya.
“Saya tidak bisa berjanji sepenuhnya, Yang Mulia. Bagaimana kalau Anda-lah
masalah saya? Apa yang akan Anda lakukan?” keluh Evellyn.
“Mungkin aku akan mengurungmu selamanya.” Tantangan yang terdengar dari
mulut Elleinder menyedihkan untuk keduanya.
Evellyn tak terlalu mengenal isi hati Elleinder, begitu pun sebaliknya. Mereka hanya
suka saling menerka. Ragu-ragu, apakah orang di hadapannya ini lawan atau kawan.
“Teruslah di sampingku, Yang Mulia. Saya membutuhkan Anda.”
“Ya. Aku sedang berusaha,” gumam Elleinder, terus mendekap Evellyn demi
merasakan kehangatan yang dua hari lalu mencekiknya dalam kecemasan.
BAB 9

“Bukankah musim perburuan masih lama?” tanya Drystan dengan menatap


Elleinder seolah temannya itu gila, “Apa yang masuk ke perutmu hari ini, Elleinder?”
“Aku sedang dalam misi, Drys.”
“Misi apa? Orang gila mana yang mau pergi berburu ketika hewan-hewan bersiap-
siap untuk berhibernasi?” tandas Drystan, tidak puas dengan kelakuan raja muda itu.
“Huh..., kalau kau tidak ingin campur tangan, aku juga tidak memaksa,” putus Raja
Skyvarna yang ikut-ikutan jengkel.
Wajah Drystan tampak menyerah. Ia sering mengakui kehebatan ayahnya dalam
menghadapi tingkah Elleinder yang sepertinya suka memakan hati. Kelak, ketika ia
menggantikan ayahnya, ia harus berguru terlebih dahulu.
“Penjaga!” teriak lelaki bermahkota itu dari dalam.
Seorang prajurit tergopoh-gopoh menghampirinya. “Ya, Paduka?”
“Tolong panggilkan Ratu segera. Sebelumnya tanyakan, apa ia tidak ada jadwal
untuk hari ini?” titah Elleinder.
Prajurit itu segera membungkuk dan pergi, meninggalkan Drystan yang masih
menerka-nerka misi apa yang sampai melibatkan sang ratu. Elleinder memang
menceritakan kejadian yang menimpa Eilaria, tapi bukankah harus berhati-hati
membawa ratu pergi ke luar?
Sebenarnya ada yang aneh dengan putra Geraint. Drystan sering memergokinya
termenung tak jelas di ruang takhta. Untuk ukuran raja yang memerintah begitu tegas,
Elleinder melamun dan tak fokus dengan urusan kerajaan, tak jauh berbeda dengan
orang yang dilanda asmara.
Apa mungkin? Drystan mengalihkan pandangannya pada Elleinder. Dan ya,
kawannya itu tengah memandang kosong kejauhan, sedangkan tangannya tengah
memangku kepala.
“Hei, Yang Mulia?” panggil putra Grand Duke itu.
Yang dipanggil tak bergeming sedikit pun. “YANG MULIA RATU!” sapa Drystan
dengan berteriak menarik perhatian sang raja.
Dan..., gotcha!
Elleinder tertangkap basah. Matanya mengerjap dan memindai sekeliling mencari
Eilaria. Padahal, itu hanya trik Drystan yang suka iseng mengelabuhi lelaki di
depannya.
“Mana? Tak ada Eilaria.” Elleinder menatap bingung ke mata Drystan.
Putra Mackleton menjadi saksi kekonyolan Raja Skyvarna. Ia mengerutkan dahi dan
bertanya, “Kau mulai menyukai Yang Mulia Ratu, ya? Wah... wah.... Tak kusangka,
seorang Elleinder akhirnya jatuh cinta.”
Elleinder bergidik geli. “Jatuh cinta? Siapa yang kau bilang jatuh cinta? Sampai
kapan pun aku tidak akan mencintainya.”
“Benarkah? Tapi kulihat kau selalu mencarinya, Elleinder. Aku tau kau memiliki
rencana yang lebih hebat dari sebelumnya. Tapi, ingatlah. Ia masih polos. Jangan
sampai kau menyesalinya,” ejek Drystan dan hanya dihadiahi gerutuan Elleinder.
“Yang Mulia Ratu telah tiba.” Pengumuman dari arah luar mengejutkan keduanya
yang sedang menyelami pemikiran masing-masing.
Suara gemerisik gaun yang dikenakan Evellyn untuk berjalan, membuat jantung
Elleinder berdegup kencang. Matanya membelalak, mulutnya melebar. Ia seakan merasa
darahnya berhenti mengalir. Bahkan oksigen dalam dadanya tersedot habis.
“Anda memanggil saya, Yang Mulia?”
Di sana, di dekat pintu, Evellyn memakai baju putih dengan aksesoris berwarna
emas, pakaian resmi seorang ratu Kerajaan Skyvarna. Ia tampak menakjubkan. Gaunnya
membalut pas di tubuh langsing Evellyn. Rambut hitam keunguannya tersanggul rapi
dan menyisakan beberapa helai jatuh alami di leher jenjangnya. Tak lupa mahkota emas
bermatakan mutiara bertengger indah di kepalanya.
Sebenarnya, Evellyn merasa kurang percaya diri memakainya, apalagi gaun itu
cukup berat. Namun, karena kedudukannya sudah berubah, maka akan menjadi
kewajibannya mengikuti peraturan kerajaan. Termasuk, memakai pakaian resmi meski
di dalam istananya sekali pun.
“Yang Mulia?” panggil Evellyn setengah kebingungan..
Ia berdiri canggung di hadapan dua lelaki yang mematung tak jelas. Apa ia tidak
cocok memakainya? Atau ini terlalu berlebihan? Tidak, batinnya. Gaun ini adalah
pilihan Madam Beliora dari sekian gaun resmi yang telah Elleinder pilih untuknya.
“Wow! Anda sungguh cantik, Yang Mulia!” Drystan tak tahan untuk memuji
Evellyn. Kecantikan sang ratu muda seolah mengalahkan puluhan lukisan ratu yang
berjejer di ruang singgasana.
“Te—terima kasih, My Lord.” Evellyn membungkuk sopan.
Sejujurnya, Evellyn senang dikatakan cantik oleh seorang lelaki. Beberapa menit
lalu, hanya Grissham yang berani mengatakan hal tersebut. Namun, apakah ini bagus?
Sedangkan suaminya malah menatap dengan sedikit datar. Apa aku melakukan
kesalahan? Akhir-akhir ini Evellyn sering bertanya-tanya jika bertemu dengan
Elleinder.
“Duduklah, Eila!” perintah sang raja dengan menunjuk kursi takhta di sampingnya,
kursi seorang ratu.
Evellyn memberi salam dan berjalan mendekati Elleinder. Ia berusaha bersikap
biasa di depan Elleinder. Baru kali ini, Evellyn merasa hatinya berat sebelah, seakan
kelakuan Elleinder benar-benar menyakitkan dan mengecewakan.
“Penjaga, tolong panggilkan Brain dan Henry untuk menghadapku.”
Mata Evellyn menyipit. Ia bertanya-tanya apa yang akan disampaikan suaminya
hingga memanggil orang penting Skyvarna.
Dua orang yang masih berjaga di depan pintu mengangguk dan memberi salam,
kemudian menutup rapat ruang pemerintahan. Belakangan ini, suasana antara Evellyn
dan Elleinder berada di batas kecanggungan, seolah sedang terjadi perang dingin di
antara keduanya.
Ia bahkan masih mengingat kejadian tempo hari, di mana itu adalah akar
permasalahannya. Elleinder mencoba mengajari sang istri cara memanah. Menjadi
anggota Helmentra, tidak menjadi titik tumpuan bahwa Evellyn memiliki semua
keahlian. Ia hanya ahli pedang dan berkuda.
Berulang kali Evellyn merengut kesal ketika anak panahnya tak menemui sasaran.
Tubuh Elleinder yang seenak jidatnya terlalu dekat mengganggu konsentrasi Evellyn.
“Bisakah Anda mundur sedikit?” bisik Evellyn seraya memberi jarak.
“Kenapa?” Justru Elleinder makin merapatkan tubuhnya.
“Anda membuat saya gugup, Yang Mulia. Bergeserlah sedikit!” perintah Evellyn
pada Elleinder untuk pertama kalinya.
Lelaki bermata hitam itu tersenyum geli melihat tingkah gelisah istrinya. “Mengapa
harus gugup, Sayang? Aku tidak akan memakanmu, kecuali kau sudah
mengizinkannya,” bisik Elleinder yang membuat Evellyn mendelik kesal.
Demi malaikat penghuni surga, setengah hari saja mereka berdua, tak ada kata
tenang di telinga para pengawal. Elleinder yang senang menggoda, membuat gerutuan
Evellyn menghiasi ruang latihan istana.
Urat malu mereka kembali seperti semula setelah tepergok langsung oleh Drystan
Mackleton. Jarak mereka semakin memanjang setelah Elleinder melihat Evellyn di
pelukan Grissham. Hari itu, Evellyn menangis bahagia mendengar keadaan pamannya
yang baik-baik saja. Namun, Elleinder tengah dilanda kesalahpahaman.
Tok! Tok! Tok!
“Kami menghadap, Yang Mulia,” salam Brain dan Henry secara beriringan.
“Duduklah kalian!” Elleinder sudah tak sabar menyampaikan perintahnya.
Kelima orang yang berada di ruangan itu duduk tenang, meski firasat Evellyn
mengatakan akan ada sesuatu.
“Kau mengenal tradisi Hari Berburu, Eila?”
“Maksud Yang Mulia?” tanya Evellyn tak mengerti keinginan suami tampannya itu.
“Aku ingin memajukan jadwal berburu untuk dua hari ke depan. Aku ingin semua
ikut. Kita akan mengadakan perlombaan di sana,” kata sang raja dengan mimik penuh
harap.
“Tapi..., saya tidak bisa berburu,” rajuk Evellyn setelah mendengar penuturan
Elleinder.
“Hmm... kau tidak perlu ikut berlomba, ratuku. Kau hanya perlu menungguku di
dalam kereta. Aku berjanji, kita hanya sehari berada di hutan. Dan, kuharap kita bisa
sedikit berlibur sejenak dari urusan kerajaan.” Lelaki berhidung mancung yang masih
terlalu muda untuk mengemban tugas itu tersenyum penuh arti.
“Lalu, apakah kita perlu mengundang kerajaan tetangga, Paduka?” tawar Brain.
“Aku pikir, untuk tradisi berburu di sistem pemerintahanku kali ini, kita cukup
mengundang bangsawan Skyvarna tanpa mengikutsertakan rakyat di dalamnya. Kita
juga harus selalu waspada, kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.”
Mendengar perintah raja, mereka mengangguk setuju. Jika raja sudah memerintah
sesuatu, sudah pasti itu keputusan yang telah dipikir matang-matang.
Dari hasil rapat, diundanglah dua puluh tiga bangsawan Skyvarna untuk mengikuti
Hari Berburu, termasuk keluarga Duke of Cornwevic. Evellyn hendak menyampaikan
rasa keberatan. Namun, terlambat. Raja telah menutup kemungkinan pendapat lain
untuk masuk.
Beberapa saat kemudian, Elleinder mengunjungi sang istri di istana ratu. Pertama
kalinya untuk minggu ini, sang raja Skyvarna bersedia hadir di kamar Evellyn.
“Yang Mulia akan segera datang, Tuan Putri,” ucap Madam Beliora, memberi
informasi.
Dengan cekatan, ia meminta seorang pelayan membuatkan jamuan untuknya dan
raja, sekaligus bersiap makan siang. Setelah memastikan semua siap, Evellyn bergegas
duduk sembari menanti suaminya.
Kemudian, terdengar ketukan pintu beberapa kali. Bergegas ia membuka pintu
kamar dengan sopan. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Ada rasa tak nyaman melihat
wajah raja yang memamerkan senyum datar di sana.
“Bolehkah aku masuk?” Suasananya terlalu canggung. Lalu, sejak kapan pula
Elleinder meminta izin kepada seseorang?
“Silakan, Paduka.” Evellyn menundukkan pandangan, tak kuat dengan pesona dari
sosok di depannya.
Dengan langkah berwibawa, Elleinder duduk pada sofa kamar. Ia cukup terkejut
melihat kesigapan Evellyn dalam menyajikan makanan kesukaannya di atas meja.
“Apakah ada pesta, Eila? Kenapa banyak sekali makanan di sini?”
Agak ragu, Evellyn duduk di samping suaminya meski ada jarak yang cukup lebar
menengahi mereka. “S—saya ingin mengajak Anda makan siang, Yang Mulia.”
“Suatu kebetulan, cacing di perutku sedikit berontak.” Elleinder mengendurkan
batas dingin itu.
Dalam hati, Raja Elleinder sempat mengutuk dirinya sendiri. Kenapa merasa
canggung ketika berdekatan dengan ratunya ini? Padahal, kebersamaan mereka bukan
lagi dikatakan sebentar.
“Mari makan, Yang Mulia.” Tiba-tiba Evellyn bersuara setelah beberapa lama
mereka saling diam.
Ratu Skyvarna itu dengan cekatan melayani isi piring rajanya. Untuk beberapa lama,
hanya terdengar suara piring dan sendok yang beradu. Sampai pelayan kembali
mengambilnya, hanya ada kecanggungan di antara Evellyn dan Elleinder.
“Bolehkah saya mengatakan sesuatu?” tanya Evellyn menyeruak keheningan.
“Bicaralah.” Raja menjawab pelan.
“Apakah Cornwevic harus diundang, Yang Mulia?” tanya Evellyn setelah agak lama
terdiam.
“Aku tidak terlalu mengenal banyak soal keluargamu, Eila. Kurasa kau lebih
berwenang untuk memutuskannya sendiri. Atau ada sesuatu yang kau sembunyikan?"
Seketika pancaran mata Evellyn meredup. Jika mengatakan kejujuran, artinya ia
harus membongkar semua masa lalunya. Ia takut itu akan menyakiti hati Elleinder dan
hatinya juga.
“S—saya belum bisa mengatakannya, Yang Mulia,” lirihnya sepelan angin.
Kembali lelaki dua puluh empat tahun itu mengangguk, kemudian mengucap
dengan nada dingin, “Bersikaplah dewasa, Eila. Kau sekarang seorang ratu. Apa baik
mencampurkan urusan pribadi dengan urusan kerajaan?”
Langkah Elleinder menggema dalam kegelapan hati Evellyn. Setetes demi setetes
air mata membasahi gaunnya. Rasa kecewa terhadap diri sendiri mengantarkan Evellyn
pada rasa sakit. Jika ia diberikan pilihan untuk hidup, ia lebih menginginkan berjuang
sebagai rakyat biasa. Mereka mungkin miskin, tetapi hati mereka kaya dengan
kebahagiaan.
***
“Hati yang sering berdarah,
tak menutup kemungkinan ada kebaikan di dalamnya.”
***
“Undangan sudah disebar. Bahkan Cornwevic akan ikut berpartisipasi. Saya dengar
Duke dan Duchess tengah bersiap-siap,” lapor Grissham.
“Apa mereka akan mengusikku, Griss?” tanya Evellyn dalam keputusasaan.
“Saya harap Anda kuat, Putri.”
Dendam Evellyn tak sepenuhnya tuntas. Apalagi bangsawan Cornwevic itu masih
mengganggu ketenangan hidupnya.
“Aku hanya takut Elleinder seperti ayahnya. Jikalau sampai terjadi, aku mungkin
memilih pergi dari sini, Griss,” keluh sang ratu.
“Saya selalu mendukung Anda.”
Kasak-kusuk penggosip Skyvarna mampir di telinga Evellyn. Mereka mencoba
mengorek keterangan dari beberapa pelayan yang menjadi dayang utama ratu. Mengapa
raja terlihat dingin? Apa mungkin ratu tak melakukan tugasnya dengan baik?
Setidaknya, begitulah cerita Madam Beliora.
Dahulu kala, ketika Evellyn dibujuk Duke of Cornwevic untuk menggantikan
saudarinya, sikap mereka terlampau baik dari biasanya. Keadaan Eilaria yang tak
memungkinkan untuk menjadi istri seorang Elleinder, menyebabkan Evellyn
mendapatkan misi utama. Setelah tawar-menawar yang cukup alot, akhirnya Evellyn
menyetujui dengan upah kebebasan dirinya.
Selama beberapa hari menjabat sebagai ratu Skyvarna, Evellyn bebas menyisihkan
sebagian hadiah untuk Elora dan Daniel, dua orang terpenting dalam hidupnya. Bagi
Evellyn, nyawa mereka berdua lebih berharga dari pada nyawanya.
“Aku minta tolong, Griss. Tetap awasi Elora dan Daniel untukku. Jika kau ada
urusan lain, perintahkan seseorang demi diriku,” suruhnya dengan nada parau.
Elora dan Daniel adalah kunci utama dari kehancuran Skyvarna dan Cornwevic.
Mereka tinggal di sebuah kota kecil sesuai kehendak dan selera Evellyn.
“Anda tidak perlu khawatir. Akan saya pastikan tuan dan putri kecil pasti jauh dari
Skyvarna dan Cornwevic.” Grissham sesekali menatap wajah lelah Evellyn, seolah
paham begitu berat penderitaan gadis di depannya ini.
Betapa pun kerasnya Evellyn tak enak hati terhadap bantuan Grissham dan ibunya,
gadis bermata indah itu terpaksa mengalah pada keinginan mendiang orang tuanya.
“Aku ingin semua indah pada waktunya.” Doa yang mungkin akan menembus
tangan Tuhan di atas sana.
BAB 10

“Mata seseorang menyiratkan isi hatinya,


begitu pun aku, kau, dan dia”

“Tidak bisakah saya ikut berburu?” Evellyn benci harus memohon seperti itu,
sedangkan suaminya malah menatap dengan tajam.
“Kau belum bisa. Duduklah tenang di kereta atau diamlah di tepian.”
Ya, Lord! Bolehkah ia menjahit bibir Elleinder? Apa gunanya ikut berburu, tapi
hanya melihat dari jauh? Apa lelaki ini berpikir mata Evellyn semacam laser yang bisa
langsung membidik mangsa?
“Kalau begitu, saya berburu dengan Anda saja,” pintanya dengan nada sedikit kesal.
“Tidak. Kau akan merepotkan.” Elleinder menatap lekat wajah lembut itu dan
mendengkus keras seakan bingung dengan sesuatu.
“Terserah Anda.” Sesaat lalu Evellyn bersikeras melakukannya, tapi sedetik ini ia
lelah berdebat dengan Elleinder yang bahkan tak menghargainya sama sekali. Biarlah,
ia berkuda dengan Grissham saja.
“Mau ke mana kau?” tanya Elleinder bernada tajam.
“Berkuda dengan Grissham.” Tubuh mungil yang terbalut seragam berkuda itu
melangkah cepat menjauhi kerumunan pengawal. Kakinya sedikit dihentak-hentakan
ketika mengingat betapa manisnya Elleinder beberapa menit lalu di hadapan para putri
bangsawan Skyvarna.
Sebelum bibir Evellyn memanggil Grissham yang tengah ikut membantu prajurit
menyiapkan peralatan berburu, sebuah tangan lebih tangkas menarik dan menyudutkan
Evellyn ke sebuah pohon. “Apa aku menyuruhmu ikut berburu?”
Kalau saja Evellyn tak memakai sepatu berkuda dengan ujung belakang runcing, ia
akan menginjak kaki lelaki tampan di depannya itu. “Lalu, untuk apa saya berpakaian
seperti ini?”
“Kau masih bisa duduk bersantai dengan para wanita,” sanggah Elleinder penuh
emosi. Ia merasa Evellyn seperti menguras hatinya, lelah.
“Bergosip hal tak penting? Tidak, Yang Mulia. Lebih baik saya ikut prajurit saja.” Ia
kembali ingin melangkah. Lagi dan lagi, tangan Elleinder menyambar pinggangnya.
“Eila, aku mohon. Ini demi keselamatanmu.” Ada secercah kekhawatiran yang
Evellyn tangkap dari sorot mata Elleinder.
“Saya hanya ingin ikut sekali,” lirihnya dengan menunduk.
Elleinder benar-benar dibuat pusing oleh kelakuan Evellyn. “Baik, aku akan
mengizinkanmu.” Jawaban itu membuat mata Evellyn penuh binar-binar terang.
Selalu ada kata tapi dan tapi. Berburu macam apa yang tali kekang kudanya bahkan
dipegang orang lain sedangkan si pemburu hanya duduk manis?
“Saya ingin berkuda sendiri!” sentak Evellyn sembari menatap kesal wajah tampan
suaminya.
“Diam saja!” suruh Elleinder dengan alis berkedut.
Evellyn membuang muka. Saat ini perlombaan belum dimulai. Mungkin mereka
masih mencoba menjajal kemampuan masing-masing. Jumlah peserta lebih dari jumlah
undangan karena putra dan putri para bangsawan itu ikut meramaikan suasana.
Elleinder sendiri tak bisa berbuat banyak dengan keadaan membawa Evellyn
bersamanya. Ia lebih suka mengagumi pahatan wajah sang istri yang terkesan lembut.
Biarlah ia kalah, yang terpenting keselamatan Evellyn bisa tercapai.
Acara jamuan makan siang telah digelar. Mereka sepakat berburu akan dilakukan
waktu sore menjelang malam. Agar lebih mudah mendapatkan hasil, kata Henry.
“Makanlah dengan kenyang!” perintah Elleinder seraya menaruh beberapa lauk di
piring gadisnya itu.
Sementara Evellyn malah bersungut-sungut. Pikirnya, jika kenyang pasti mudah
mengantuk. Setidaknya itulah tuduhan yang masuk akal untuk Elleinder.
Ada dua meja besar menjadi tempat hidangan kala itu. Evellyn tentu duduk di
samping Elleinder. Selanjutnya, ada urutan bangsawan seperti Grand Duke, Duke, Earl,
Viscout, Baron, dll.
Duke of Cornwevic duduk tak berapa jauh dari putrinya. Ia datang berdua dengan
sang sekretaris, tapi sepertinya sang anak pungut yang duduk telalu anggun di sana...
mengacuhkan keberadaannya.
Evellyn sesungguhnya merasakan tatapan itu. Ia hanya ingin menghindar dari situasi
yang tak diinginkan. Apa lagi ketika sang raja menyeret kursi untuk duduk ratunya, ada
banyak mata menatap penuh kebencian pada Evellyn.
Kebahagiaan putri mendiang Raja Alzevin sudah diatur sedemikian rupa. Akan ada
masanya kedudukan ini harus ia lepaskan. Janji harus ditepati dan Evellyn tak
menginginkan rasa sakitnya makin menjadi.
“Ada apa, Ratu? Kau tidak suka makanannya?”
Ah, Elleinder dan mulut besarnya. Baru beberapa menit lalu ia membentak Evellyn,
sekarang... di hadapan para petinggi Skyvarna, sang raja tengah mengkhawatirkan
kondisi istrinya. Apa ini sebuah lelucon? Seolah semua orang di hadapan Evellyn
bermain dengan topeng mereka.
“Saya terlalu kenyang, Yang Mulia.” Evellyn masih mengatur wajahnya lebih
anggun meskipun terasa kaku.
“Tapi Anda menyisakan terlalu banyak,” sindir seorang gadis anggun bergaun
merah menyala yang sering memperlihatkan wajah angkuhnya.
“Maafkan saya, Yang Mulia.” Jawaban Evellyn lebih ditujukan untuk Elleinder
daripada untuk Daisy Murdolk, putri Baron Murdolk, sekaligus mantan tunangan Yang
Mulia Raja.
Elleinder tak mengatakan apa pun, Evellyn juga tidak mengambil pusing untuk itu.
Ia memilih menuang teh yang ada di teko ke gelasnya, karena para pelayan juga tengah
makan di meja mereka.
Prang!
Belum sempat gelas itu mendarat di bibir Evellyn, ada sebuah tangan yang sengaja
—atau mungkin tidak—menyenggol pegangan sang ratu.
“Aduh, maafkan saya, Paduka.” Wajahnya yang cantik terlihat panik. Ia bahkan
mengambil cepat sapu tangan dari balik bajunya untuk membantu membersihkan air
yang menodai gaun Evellyn.
Liliana Tabitha, putri Viscount of Machiavell yang kotanya menjadi awal
pemberontakan di Skyvarna. Gadis berusia setara dengan Evellyn itu sangat pendiam
dan jarang mengikuti kegiatan dunia luar. Ini kedua kalinya Evellyn bertemu Liliana.
Pertama saat Viscount Howell berulang tahun yang ke empat puluh tujuh, minggu lalu.
“Tidak apa-apa, Lady. Saya bisa menggantinya,” sahut Evellyn.
Berbicara tentang respons, sejak tadi mereka hanya memandang sang ratu dengan
sinis. Evellyn yakin mereka puas dan menganggap Liliana membalas ketidaksukaan
mereka.
“Saya undur diri dulu, Yang Mulia. Mari.” Putri Windsor itu sudah tak tahan dengan
keadaan. Ia lebih ingin melarikan diri.
“Tunggu!” sergah Elleinder dengan nada bersahabat, “Mohon maaf, bolehkah aku
undur diri? Aku harus membantu istriku sebentar. Silakan lanjutkan perbincangan
kalian.”
Evellyn menatapnya tak mengerti. Untuk apa Elleinder harus membantu?
Sedangkan, ada banyak dayang yang selalu mengikutinya. Meski begitu, Evellyn tak
protes sama sekali. Ia membalikkan badan tanpa menunggu suaminya.
“Aku yakin kau akan kesusahan,” tandas Elleinder. “Engkau mau ke sana sendiri
atau kugendong?”
Wajah Evellyn memanas hingga ke telinga. Untung saja hanya beberapa dayang dan
pengawal yang mendengar. “Tidak. Terima kasih, Yang Mulia.”
Seharian ini, tingkah laku Raja Skyvarna benar-benar membingungkan Evellyn.
Terkadang ia dingin, tapi tak dipungkiri ia berlaku lembut di saat tertentu. Seperti
malam ini. Tangan kirinya memeluk pinggang Evellyn, lalu yang kanan memegang
kendali kuda.
“Yang Mulia, Anda tidak ikut berlomba?” tanya Ratu Skyvarna heran.
“Tidak. Kalau aku ikut, sudah bisa ditebak siapa yang menang. Toh, aku hanya
perlu menyiapkan hadiah.” Suara itu terdengar sombong.
Evellyn mencibir diam-diam. Dia baru mengetahui suaminya begitu narsistik. “Lalu,
untuk apa kita berkuda?”
“Menikmati keindahan malam.” Elleinder menjawab tenang seraya makin
merapatkan tubuh Evellyn ke belakang.
“Y—yang Mulia?” Evellyn takut jantungnya meledak. Bahkan iramanya sudah
mencapai telinga. Apa mungkin Elleinder juga mendengarnya?
“Aku sedang dalam misi, Sayang.”
“Misi? Misi apa?” gumam Evellyn lagi lehernya terus-terusan geli. Tingkah sang
suami yang sengaja mengembuskan napas berulang-ulang. “Bisakah Anda berhenti?”
“Misiku rahasia, tapi jelas aku membutuhkan dirimu,” jawab Elleinder dengan suara
maskulin.
Harusnya ini menjadi hari Evellyn bersenang-senang, bukannya dikurung dalam
dekapan. Mimik Ratu Skyvarna itu berubah suram. Bibirnya maju beberapa senti
sembari terdengar gerutuan.
***
“Jadi, sesuai keputusan juri, pemenang lomba berburu kali ini jatuh kepada Viscount
of Machiavell! Selamat!” ucap Henry yang disahuti tepuk tangan para undangan Hari
Berburu.
Elleinder lumayan menikmati pertandingan malam ini. Ada banyak hasil perburuan
yang bisa mereka nikmati. Mulai dari babi, rusa, sampai kelinci sekalipun. Misinya
memang belum berhasil, tapi setidaknya senyum Evellyn telah kembali.
Perayaan seolah menjelma pesta. Musnah sudah keanggunan bangsawan ketika
dihadapkan pada sebotol alkohol. Walaupun Elleinder dikenal sebagai putra
pengkhianat dan raja yang kejam, tetapi para bangsawan tetap menghormati—atau
mungkin berpura-pura.
Berbagai jenis hidangan daging menjamu mereka dengan puas. Akan tetapi, itu tak
berlangsung lama setelah terdengar bentakan keras. Evellyn yang tengah bercanda
dengan beberapa bangsawan, cukup terkejut.
“APA YANG KAU LAKUKAN?” Daisy bersila pinggang dan memelototi Putri
Viscount of Machiavell. “Apa kau tidak punya tata krama?”
Mereka menjadi perhatian. Sedangkan Evellyn melirik sang suami yang tak
terganggu dengan keadaan sedikitpun. Ia malah menyesap minuman dengan santai.
“Saya hanya melakukan yang harus dilakukan,” jawab Liliana tenang.
“APA? Kau menyiram gaunku! Kau pikir gaun ini bisa kau beli dengan uangmu?”
Itu jelas-jelas perkataan yang menghina.
“Membalas perkataan menyakitkan lebih berharga daripada sebuah gaun. Bukan
begitu, Paduka Ratu?”
Sekarang justru Evellyn terseret ke dalamnya. Ia tak paham, apakah harus dirinya
yang turun tangan?
“Bisakah kalian memberitahuku dengan jelas?” tanya ratu Skyvarna dengan nada
lembutnya.
Mereka tidak ada yang mengeluarkan suara. Apa mungkin ini jebakan untuk Evellyn
di depan puluhan bangsawan Skyvarna?
“Walau aku tak mengetahui apa yang terjadi. Sebagai senior Liliana, aku memohon
maaf atas gaunmu, Lady Daisy. Lady Liliana mungkin tak nyaman dengan ucapan
Anda.”
Kerumunan itu berdengung ramai. Mereka menatap sang ratu dengan raut aneh.
Menurut mereka, apakah Evellyn menyalahkan Liliana?
“Dan Anda, Lady Daisy. Perkataan seorang putri adalah cerminan dirinya.
Setidaknya Anda harus berhati-hati dalam mengucap,” saran Evellyn yang begitu
mendayu dengan senyum malaikatnya, “terutama ketika Anda di hadapkan oleh
bangsawan yang lebih di atas Anda.”
Tidak seorang pun dari mereka yang membuka suara. Malahan, tangan Daisy
terkepal di samping tubuhnya. Sindiran itu jelas untuk siapa. Evellyn memang tak
melihat secara langsung pertengkaran mereka, tetapi ia bisa melihat senyum mengejek
di wajah mantan tunangan suaminya itu ditujukan untuk dirinya.
Malam dipenuhi kegaduhan dan kondisi mencekam. Pertengkaran Liliana dan Daisy
jelas memberi efek pada mereka. Kecuali Elleinder yang terus saja tersenyum di
sepanjang sisa pesta.
Suasana yang semula tampak bising, berganti dengan keheningan malam. Hanya
sinar lampu dari dalam tenda sebagai pengingat bahwa hutan itu dikunjungi tamu.
“Mereka sulit dikendalikan. Aku lelah.”
Satu tenda untuk berdua benar-benar membuat Evellyn kewalahan. Mungkin jika
hanya tidur berjauhan, ia masih bisa tertidur nyenyak. Tapi apa? Elleinder dengan
nyamannya memeluk Evellyn dari arah belakang. Padahal, ini baru pertama kali mereka
tidur saling berpelukan.
Malam semakin panjang. para penghuninya telah lelap menggapai mimpi. Tak
disadari oleh mereka akan ada badai di pagi hari. Di sebuah tenda yang cukup mewah,
tergeletak sesosok tubuh berlumuran darah. Entah bernyawa atau tidak, Bahkan tak
mengganggu tidur kawannya. Esok Skyvarna akan gempar dengan berita.
BAB 11

“Tuhan memberi manusia hati yang bersih.


Meski akhirnya, semua tak luput dari keserakahan.”

“Aaa!” Jeritan panjang terdengar sangat histeris, bahkan sampai membangunkan


para penghuni tenda untuk mencari tahu asal dan penyebabnya.
“Apa yang terjadi, Yang Mulia?” tanya Evellyn dengan kepala tertumpu di lengan
suaminya.
“Entahlah. Mungkin ada dinosaurus,” jawab Elleinder asal, masih setengah
mengantuk. Ia tak bisa terlelap akibat memandangi wajah tidur Evellyn semalaman.
“Yang Mulia, Anda harus bangun! Bagaimana kalau terjadi pemberontakan di sini?”
tegur sang istri sambil menggoyang-goyangkan tubuh lelaki suaminya itu.
“Iya, iya.”
Satu per satu dari mereka keluar tenda. Begitu sampai di sumber suara, mata
Evellyn membelalak.
“ADA APA INI?” bentak raja Skyvarna untuk mengalahkan suara jeritan, tangisan,
dan rasa penasaran.
Dengan matanya, Brain menunjuk ke arah samping. Tentu tak terpelakkan, Evellyn
maupun Elleinder terkejut setengah mati. Di sana... Daisy tengah menjerit histeris.
Bagaimana Putri Baron Murdolk tak histeris jika tubuhnya berlumuran darah dari
seorang dayang yang terbunuh di sisi tempat tidur?
Ruangan itu berbau anyir tanpa ada tanda-tanda perlawanan. Tak perlu seorang
dokter untuk mengetahui bahwa dayang itu telah meninggal. Bahkan, matanya yang
terbelalak memperkuat keyakinan Evellyn.
Elleinder bergegas menyuruh beberapa prajurit membawa korban dari tempat
perkara. “Cari! Apakah ada tanda-tanda orang luar yang melakukan semua ini?”
Perintah diucapkannya dengan nada dingin. Rahangnya bergemeletuk, menahan
amarah.
Beberapa prajurit dan bangsawan segera menyisir sungai dan pepohonan di sekitar
hutan. Sedangkan Baron of Hinterland tengah menenangkan putrinya. Suasana sangat
kacau. Beruntungnya mereka tak membawa para pencetak koran.
Mereka berburu tanpa anjing pelacak, tentu sulit mengetahui pelakunya. “Perburuan
ini cukup sampai di sini,” kata lelaki nomor satu di Skyvarna itu.
Seperti kesepakatan awal, Hari Berburu mulai dibubarkan. Banyak dari mereka yang
sudah berkemas dan siap berpulang. Iring-iringan kerajaan sendiri mulai berjalan ke
arah selatan, meninggalkan para bangsawan yang disediakan dua pengawal untuk setiap
kepala keluarga demi menjaga keselamatan mereka selama perjalanan.
“Aku tak mengerti. Siapa yang tega melakukan hal seperti itu pada orang tak
berdosa?” gumam Evellyn yang kini berada di dalam kereta. Matanya menatap
pepohonan yang kian menghilang.
Elleinder terdiam. Matanya ikut memandang jauh hutan dari jendela Evellyn.
Namun tak disangka, tangannya meraih jemari kiri sang ratu untuk digenggam. “Itu
seperti peringatan.”
“Apa Anda akan mengusutnya hingga tuntas, Yang Mulia?” tanya Evellyn seraya
meremas jemari yang lebih besar dari miliknya.
“Aku harap.”
Hening. Tak ada yang bercakap-cakap. Bahkan para pengawal sekali pun, mereka
masih syok dengan yang terjadi hari ini. Evellyn sendiri tak didampingi Helmentra
setelah Elleinder mengusir mereka sebelum berangkat berburu. Sesekali hanya suara
ringkikan dan tapak kuda yang mengiringi perjalanan menuju Istana Skyvarna.
Manusia memang makhluk yang mudah berandai-andai. Andaikata kematian bisa
menyelesaikan sakit hati, maka membunuh adalah cara mereka membalas dendam.
Akan tetapi, Evellyn tak memahami maksud sang pembunuh. Untuk apa ia menyebar
darah di tubuh majikan korban?
Kalau ia dendam dengan sang pelayan, ia bisa saja membunuh diam-diam dan
dihanyutkan ke sungai. Berdasarkan fakta yang ada, si pembunuh adalah orang yang
memiliki dendam kesumat dengan Daisy Murdolk.
“Anda baik-baik saja, Paduka Ratu?” Nanny, pelayan pribadi Elleinder menyambut
Evellyn dengan raut cemasnya.
Elleinder dan Evellyn saling berpandangan. Apakah ada yang memberi tahu wanita
setengah baya ini?
“Dari mana Nanny tahu?” tanya Elleinder.
“Seluruh penduduk Skyvarna sudah mengetahuinya, Yang Mulia. Mereka bilang, di
setiap sudut kota terdapat selebaran kertas berisi berita di Hutan Darkline,” jelas Nanny
dengan raut benar-benar pucat.
Matahari yang mulai tenggelam di pucuk barat menjadi saksi betapa mencekamnya
Kerajaan Skyvarna. Pengumuman teror telah resmi dikeluarkan oleh istana, bahkan
kewaspadaan perang telah diperketat.
***
“Aku harus apa, Eila?” tanya Elleinder dengan wajah bergurat lelah.
Sudah empat hari Skyvarna dirundung teror. Banyak pemberontakan menyusul di
setiap daerah. Bahkan, di hari sebelumnya, negeri ini harus menimpa kerugian besar
akibat pencurian dana bantuan dari bangsawan untuk rakyat.
Duduk di depan meja membuat Elleinder sakit kepala. Ia sendiri harus turun tangan
mengatasi peperangan antarsaudara. Jika lebih dari dua hari lagi Skyvarna tak kunjung
membaik, maka keputusan ada di suara rakyat. Elleinder mungkin harus lengser dari
atas takhta.
“Mungkin..., kalau saja aku tak menyetujui keputusan ayahku,” ucapnya terdengar
parau, “Skyvarna akan hidup di hari ini. Mereka akan tersenyum untukku. Menjabat
tangan atas semua kesalahan keluargaku. Tak akan ada yang terluka. Dan mungkin...,
kau juga tak perlu terkurung bersamaku. Aku tak sanggup lagi menanggung semuanya,
Eila.”
Harusnya Evellyn senang ketika Elleinder hancur. Ia akan tertawa mengejek
ketidakbecusan sang raja, menudingnya sebagai penyebab kematian Raja Alzevin,
ayahnya. Tapi apa? Hatinya ikut sakit menatap wajah yang biasa tegas dan dingin, kini
menitikkan air mata di hadapannya.
Kepala Elleinder menunduk di pundak Evellyn. Sepulang dari rapat para petinggi, ia
membuka kasar kamar tidur ratu, tak memedulikan dayang yang tengah mengikat gaun
istrinya. Kemudian ia tarik gadis itu ke dalam pelukan penuh kesakitan.
“Bolehkah aku menyerah?” Tak terdengar isak tangis, hanya lelehan panas yang
membasahi pakaian Evellyn.
“Anda adalah kunci Skyvarna. Jika pintu tanpa kunci, bagaimana kami bisa masuk?
Apakah kami harus mencari jendela yang bahkan belum tentu mengizinkan kedatangan?
Lalu, haruskah kami mendobraknya? Tidakkah pintu itu akan rusak? Apakah Anda
menginginkan Skyvarna hancur dalam sekejap mata?” tanya Evellyn bertubi-tubi.
Dendam itu luntur seketika. Kini, ia memahami berada di mana Elleinder berdiri.
Suaminya juga korban dari ketidakadilan penguasa.
“Skyvarna telah membenciku. Bagi mereka, aku adalah aib negara. Untuk apa
seorang aib hidup? Sedangkan, ia tidak mampu memperbaiki kesalahannya sendiri.”
Evellyn mengeratkan pelukannya. Belum setahun ia mengenal Elleinder, tapi
banyak kejutan yang didapat dari sifat sang suami. Adakalanya, Elleinder terlihat
bingung dengan keadaan, harus ke mana, dan akan melakukan apa.
“Saya tidak akan menuntut Anda, Yang Mulia. Bagi saya, Anda-lah separuh napas
pernikahan ini. Kita dipertemukan oleh takdir, tentu Tuhan tak menjadikannya sia-sia.
Jika Anda berpikir mundur, masalah akan selesai, maka itu salah. Masih ada banyak
nyawa yang bergantung tulus pada kekuatan Anda.”
“Lalu, aku harus apa, Eila? Para petinggi menuntut pertanggungjawabanku. Padahal,
aku sudah mati-matian mencari jalan keluar,” lirih Elleinder.
“S—saya akan membantu Anda, Yang Mulia,” jawab Evellyn dengan nada
meyakinkan. “Saya akan menyerahkan Helmentra untuk istana Skyvarna, asalkan Anda
tidak mengusiknya dan memenuhi persyaratan saya.”
Kali ini, sang ratu Skyvarna tengah mengambil keputusan berisiko. Biarlah ia
menjilat ludah sendiri. Karena Skyvarna dibangun dengan keringat para leluhurnya,
akan berdosa baginya jika ia diam saja melihat keruntuhan kerajaan.
“Apa syaratnya?” tanya Elleinder, mengernyitkan kening.
Evellyn tersenyum dan menjawab, “Saya akan menagihnya ketika waktu tiba.”
Grissham tentu kelimpungan mendengar permintaan itu. Secara tak sengaja, sang
junjungan membuka kedoknya. Apalagi selain menjadi pengawal pribadi ratu, ia juga
Ketua Helmentra, maka secara resmi tugasnya bertambah.
Teror itu berasal dari arah utara. Waktu penyampaian kabar berselang setiap satu
jam. Helmentra dari awal memang ikut menyelidiki, tapi hanya Evellyn yang mendapat
laporan. Namun kini, Elleinder berpegangan pada kepercayaan Evellyn. Lagipula, ibu
suri Skyvarna terlalu menikmati masa tuanya tanpa memberi saran pada sang putra.
Titik awal hujan darah itu dari Machiavell. Perlahan, mereka merebak di setiap
perkampungan. Begitu selebaran itu sampai di tangan Evellyn, ia hanya bisa terdiam
kaku. Sebelumnya, ia memang mencurigai seseorang. Tetapi, bukti pertama
membantahnya.
Gelagat mereka terlalu tenang seolah tak takut kematian akan menghampiri.
Skyvarna akan hancur dan Tuhan merestuinya. Raja Elleinder tak akan bisa
mengubah takdir, karena seseorang menginginkan dirinya menjadi ventilasi Tuhan.
Lautan darah akan menjadi titik awal datangnya pembaruan.
Tertanda Lita
(Sang Pembunuh Waktu)
Evellyn merapal doa. Sesungguhnya, yang ada dibenaknya menjadi kenyataan.
“Saya tahu siapa dia, Yang Mulia.”
“Kau menemukan bukti baru, Sayang?” tanya Elleinder memastikan.
“Ya. Saya harap ini tidak keliru.” Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Ia
takut bukti ini membuat gempar Skyvarna.
“Anda pernah mendengar sebuah nama yang dilarang di Kerajaan Skyvarna, Yang
Mulia?” tanya Evellyn yang hanya dijawab gelengan Elleinder.
“Lita—dalam bahasa Spanyol artinya penderitaan. Dahulu, raja pertama Skyvarna
pernah memiliki seorang selir bernama Lita. Label kesayangan menjadikan derita di
kehidupannya. Berulangkali ia hamil, tetapi celaka tanpa sebab yang jelas. Ternyata,
keiridengkian selir lainlah yang membuatnya menyerah dan bunuh diri. Semenjak saat
itu, raja melarang nama Lita dipergunakan rakyat Skyvarna,” jelas Evellyn panjang
lebar.
“Lalu, kenapa masih ada yang menggunakan nama Lita?”
“Menurut saya, ini hanya nama samaran. Liliana Tabitha adalah nama asli Lita,”
jawab gadis berusia delapan belas tahun itu dengan nada yakin.
“Bisakah kau mengatakan, penyebab kau menuduh Lady Liliana? Aku tak ingin kau
menyesal, Ratu.” Mata Elleinder bersinar tajam.
“Jika Anda lebih teliti, ada sepuluh huruf yang ditulis menggunakan latin, Yang
Mulia. Huruf c-m-l-h-i-a-e-v-a-l. Di negeri Skyvarna, hanya ada satu kota yang
menggunakan huruf dobel L. MACHIAVELL,” ucap Evellyn dengan penekanan kuat.
Elleinder tak menyangka dalang dari semuanya adalah seorang gadis anggun yang
tampak berpendidikan tinggi. Pantas saja ia membunuh dayang Lady Daisy sebagai
peringatan agar tak macam-macam.
Tak kurang dari tiga jam, Skyvarna benar-benar dibuat gempar. Mendengar Liliana
Tabitha menjadi pelaku pemberontakan dan teror. Bahkan pembunuhan beruntun satu
tahun lalu menewaskan dua petinggi Skyvarna, seorang Baron dan putrinya. Semua
dengan bukti sama, yaitu surat ancaman atas nama Lita.
Machiavell tak ambil suara dalam pemberitaan, seolah mereka menutupi apa pun
dan menyerahkan segalanya pada istana. Liliana datang dengan gaun hitam. Evellyn
sempat bertatap muka dengan wajah tak berekspresi itu. Matanya kosong, bibirnya
terkatup rapat, ketika hukuman mati telah ditentukan.
“Skyvarna akan hancur dari dalam.” Begitulah kata terakhir Putri Viscount of
Machiavell sebelum dibawa ke hutan eksekusi. Tak terlihat sedikit pun batang hidung
keluarganya untuk mengantar Liliana ke peristirahatan terakhir.
***
“Keserakahan mudah menang.
Kecuali, sejatinya hati yang mampu dibolak-balikkan Tuhan.”
***
“Rasanya sangat nyaman, Queen. Aku bisa tertidur nyenyak di pelukanmu.” Leher
Evellyn sedikit geli ketika suaminya dengan seenak jidat menyusupkan kepala dalam-
dalam.
Evellyn tidak pernah mendengar Elleinder begitu lega, begitu bertenaga seperti ini.
Panggilan sayang dan ratu akhir-akhir ini kerap Elleinder lontarkan untuknya.
“Anda telah berjuang keras, Yang Mulia,” puji gadis bersurai hitam keunguan itu.
“Skyvarna pasti bangga memiliki Anda. Saya sanggup menjamin, saat ini mereka
tengah bergosip tentang kehebatan Yang Mulia.”
Elleinder mengangkat tubuhnya mendengar rentetan rasa kagum itu. “Bukan aku
yang hebat, Sayang. Tapi, lihatlah dirimu. Tanpa kecerdasanmu, mungkin aku tidak
akan merasakan kelegaan ini.”
“Saya hanya sekadar membantu saja,” ucap Evellyn merendah.
Hubungan keduanya semakin rekat. Kondisi Skyvarna menjadi penghubung
interaksi mereka.
Elleinder menatap ke dalam mata Evellyn. “Berjanjilah, Ratu. Kau akan selalu
mendampingiku.”
Sang istri memberikan senyuman termanis yang ia punya dan mengatakan, “Saya
berjanji sampai Anda sendiri yang meminta saya pergi dari sisi, Yang Mulia.”
“Tidak akan.” Elleinder pun menyambutnya dengan pelukan sepanjang malam.
Luasnya langit pasti diketahui laut, begitu pun sebaliknya. Maka ketika rahasia
Skyvarna terbongkar, mungkin hanya laut atau langit sekitar yang memberi tahu
tuannya.
BAB 12

“Cinta mulai tumbuh


karena pupuk-pupuk kebersamaan”

“Ratu!” teriak Elleinder yang terpaku di depan pintu, mengejutkan para dayang
Evellyn. Sedangkan si empu yang dipanggil tak menoleh sama sekali. Ia terlalu fokus
dengan latihan.
Ketika tiba di ruang kerja tadi, sang istri meninggalkan tugasnya hingga
terbengkalai. Marah? Tentu saja. Walaupun ia yakin, Evellyn memiliki alasan tersendiri
atas kelakuannya ini.
“Anda sudah kembali, Yang Mulia?” Sang ratu bertanya sembari merentangkan
busur panah tanpa memberi salam. Ini menyebalkan bagi Elleinder.
“Kenapa kau di sini? Apakah jadwalmu telah selesai?” Pertanyaan dijawab
pertanyaan, begitulah akhirnya. Raja Skyvarna mungkin dalam suasana hati tak baik.
Hari tentram Skyvarna, ternyata juga mengubah ketentraman hidup Evellyn. Saat
terjadi teror, jadwalnya sebagai ratu Skyvarna terbebas. Namun kini, bertemu istri dan
putri bangsawan seolah tujuan hidup Elleinder untuknya. Padahal, apa yang mereka
bahas hanya diulang-ulang. Khusus Evellyn, itu bukan sesuatu yang menarik dan tentu
membuatnya pening.
“Bukankah kau masih memilki jadwal bertemu Lady Daisy?”
Mata Evellyn langsung berpindah menatap wajah tanpa dosa di belakangnya. Apa
yang diinginkan suaminya ini? “Mengapa tidak Anda saja? Saya sudah memiliki
kegiatan lain.”
“Untuk apa aku menemuinya?” Bingung Elleinder.
“Entahlah, Yang Mulia.” Kembali gadis dengan mata terpercik keunguan itu
melepaskan anak panah dan tepat menemui titik tengah.
Elleinder tentu tengah terkagum-kagum. Kemampuan istrinya meningkat pesat.
Meski begitu, ia tak menyukai sikap cuek Evellyn terhadapnya. Apa dirinya sudah
melakukan kesalahan?
Tok! Tok! Tok!
“Yang Mulia Ratu, mohon maaf memotong pembicaraan,” sesal Madam Beliora
yang baru saja tiba.
“Ada apa, Bibi?”
Ia tak langsung menjawab, malahan menatap junjungannya dengan cemas. “Duke of
Cornwevic ingin menemui Anda, Yang Mulia.”
Mata Evellyn membesar. Duke Axton? Ada angin apa sampai pembesar Cornwevic
ingin menemuinya? Apa mungkin mereka ingin menagih janji?
“Katakan padanya, aku akan berganti baju sebentar,” suruh Evellyn, kemudian
membungkuk memberi salam pada sang raja. “Hamba izin terlebih dahulu, Yang
Mulia.”
“Pergilah. Aku akan menyusulmu.”
Evellyn segera undur diri diikuti dayang dan pengawal, menjauhi ruang latihan
Skyvarna. Ia akan mendatangi asal muasal kebenciannya terpupuk.
***
Saat memasuki ruang tamu istana, Evellyn melihat Duke dan seorang lady duduk
dengan angkuhnya. Mereka tampak cocok berada di sekitar kemewahan, gemerlap gaun
dan tata krama yang patut diacungi jempol.
“Selamat datang, Ayahanda,” salam Evellyn dengan nada hormat.
Nyatanya, semua tak masuk perhitungan ketika wajah bagai pinang dibelah dua itu
bersirobok pandangan. Ya Tuhan, ini benar-benar kejutan. Evellyn tak menyangka,
Eilaria Windsor akan datang ke hidupnya secepat ini.
Dengan gaun biru langit yang semakin menguatkan keindahan mata ungunya,
Eilaria yang Evellyn kenal sudah kembali seperti semula. Bulu mata lentik dan
senyumnya mengingatkan ratu Skyvarna terhadap dirinya sendiri. Waktu berlalu sangat
cepat, batinnya.
“Apa kabar, Eve?” tanya Eila, mengulurkan tangan hendak memeluknya.
Ia merasa kabar buruk akan menghantuinya mulai dari sekarang. Wajah yang sering
menyiratkan kebencian untuk Evellyn, kini hadir kembali. Tampaknya mereka tak ingin
memberi belas kasih untuk perjuangannya selama ini.
“Apa kabar? Kulihat kau menikmati semua ini,” kata lelaki bermata merah yang
bersedekap, mengulangi pertanyaan putri kesayangannya ketika Evellyn tak menyambut
pelukan sama sekali.
“Ada apa kalian mencariku?” tanya Evellyn langsung pada tujuan. Dari pada
bermain emosi, lebih baik ia duduk tenang untuk menunjukkan kedudukannya.
“Kau tidak perlu angkuh, Yang Mulia. Aku datang sebagai ayahmu, bukan
bangsawan Cornwevic. Dan, tentu saja, Eila hendak menemui saudarinya. Apakah itu
salah?”
“Aku tidak yakin untuk itu.” Evellyn menyesap sedikit teh yang telah disediakan
pelayan.
“Wah, wah, kau benar-benar menikmati peranmu, ya? Aku salut, Evellyn. Kupikir
kau akan mengingat kami, ternyata kebebasan yang kutawarkan kau manfaatkan dengan
baik.”
“Silakan diminum, Ayah. Aku akan menjawab pertanyaan kalian perlahan-lahan.” Ia
bukan lagi Evellyn Windsor, tetapi Ratu Kerajaan Skyvarna. Gelar itu memang milik
Eila. Tapi, itu sebelum mereka mengirimnya untuk menggantikan saudari yang licik itu.
“Katakan, sampai sejauh mana rencanamu berhasil?” Cangkir berlapis emas itu
sudah terhirup sedikit.
“Rencana saya berubah arah,” kata Evellyn mencoba jujur.
Trak!
Duke Axton rupanya mulai terganggu ketenangannya. Ia setengah membanting
gelas yang kini menjadi titik fokus Evellyn.
Lelaki setengah baya itu menyelami putrinya dengan tajam. “Kau pikir apa yang kau
lakukan?” Suaranya sangat dalam tanpa emosi. Walaupun begitu, Evellyn bisa
mendengar nada dingin darinya.
“Skyvarna lebih membutuhkan saya dari pada putri kesayangan Anda ini,” jawab
Evellyn lugas sembari menunjuk tepat ke arah Eila. Berulangkali melihat kesombongan
Elleinder, membuatnya mudah untuk meniru.
“Memangnya apa yang sudah kau lakukan untuk Skyvarna?”
“Menyelamatkan mantan calon suami saudariku,” jawab Evellyn dengan mata
bersinar tajam, mengingatkan Duke Axton tentang seberapa berbahayanya Evellyn.
“Kau yang telah menjebak Eila. Dan sekarang kau menyalahkan kami?” cibir lelaki
munafik itu dengan kentara.
Evellyn berdecak. “Anda yang menjebak saya melalui Eila. Maka sekarang,
nikmatilah apa yang menjadi tanggung jawab kalian.”
“Apa maksudmu, Eve? Kami tidak menjebakmu. Malah inilah cara untuk
membebaskanmu,” sergah Eilaria.
“Dengan apa? Menukar kita lagi?” tanya Evellyn lantas berdiri. “Tidak, terima
kasih. Silakan Anda berdua pulang. Saya terlalu sibuk.” Ia berjalan anggun tanpa
menunjukkan sisi kerapuhannya.
Tapi..., itu tak berselang lama. Dari arah pintu datanglah Elleinder yang menatap
Evellyn dengan sorot penuh selidik. Apa mungkin raja Skyvarna telah mendengar
semuanya? Ada rasa takut yang menggelayuti hati putri yang dinomorduakan itu.
“Salam, Yang Mulia,” ucap Eilaria dan Duke Axton secara bersamaan. Mereka juga
sama-sama terkejut dengan kehadiran Elleinder.
“Kenapa terburu-buru? Apakah sudah selesai bertukar rindunya?” Suara raja
terdengar misterius.
“Saya lihat Paduka Ratu sibuk dengan jadwal kerajaan, Yang Mulia. Kami takut
mengganggunya.” Itu seperti sebuah sindiran.
“Wah, ternyata kau memiliki saudari kembar, ya, Sayang? Kenapa tak
memperkenalkan kami?” Elleinder menjawabnya dengan ucapan lain.
Evellyn berharap ia tenggelam saat ini juga.
“Perkenalkan, ini putri saya yang lain, namanya Evellyn Windsor,” jawab Duke of
Cornwevic. Oh ternyata, semua masih harus dirahasiakan. Eve menjadi Eila dan Eila
menjadi Eve.
“Aku tak menyangka kalian sangat mirip tanpa bisa dibedakan. Kecuali melalui
nada suara. Lain kali, kita harus berbincang-bincang untuk saling mengenal.” Elleinder
mengedipkan mata kirinya, menggoda Eila.
“Te—terima kasih, Yang Mulia.” Nada manja dari bibir saudarinya terdengar
menyebalkan untuk Evellyn. “Kalau begitu, kami permisi dulu. Saya harap ini tidak
mengganggu Anda, Paduka Ratu.”
“Ya. Istriku memang sibuk dengan urusan negara sampai melupakan waktu makan
siangnya.” Sang raja Skyvarna menjawab.
Baru lima menit lalu Evellyn mengatakan jadwal telah selesai. Dan, bibir manis
seorang Eila membuatnya terlihat buruk.
“Kalian tidak ingin beristirahat sejenak?”
“Tidak apa-apa, Yang Mulia. Kami harus pamit. Ada keperluan penting.”
“Baiklah. Maafkan kami yang tidak bisa mengantar kalian.”
Begitu kereta yang membawa Duke dan putrinya hilang peredaran dari pintu
gerbang, Evellyn harus terdampar di ruang makan dengan kecanggungan luar biasa.
“Anda marah, Yang Mulia?”
Suara lirih itu membuat sendok Elleinder berhenti di udara demi menatap wajah
sang istri. “Kenapa aku harus marah?” Ia menghela napas dan melanjutkan makannya.
Evellyn juga tak tahu. Kedatangan Duke yang terlalu gegabah membuat gadis itu
khawatir. Tekanan yang perlahan hilang ketika bertemu Elleinder, tiba-tiba saja kembali
lagi.
“Saya takut Anda marah karena tidak memperkenalkan kembaran saya.” Evellyn
menahan pertanyaannya.
“Tidak. Aku tidak marah, hanya terkejut. Banyak bangsawan mengatakan kepadaku
bahwa Axton hanya memiliki seorang putri. Dan hari ini, kalian membawa sebuah
berita besar,” kata Elleinder sembari menyeka mulutnya dengan serbet.
“Maaf, Yang Mulia.” Ratu Bardolf tersebut tak mengerti maaf seperti apa... yang
patut untuk dirinya.
“Dapatkah engkau menceritakan tentang keluargamu untukku? Eila mungkin?”
Evellyn terkejut mendengar permintaan Elleinder, ia tidak menduga lelaki ini akan
memintanya menceritakan tentang keluarga. Keluarga yang mana? Yang asli atau
palsu? Ia berharap suaminya lekas melupakan pertanyaannya, sebab Evellyn bingung
harus mengakui kejujuran atau sebuah kebohongan lagi.
“Bolehkah saya memikirkan dulu, Yang Mulia?”
“Ada apa? Apa mungkin ada yang kalian sembunyikan?”
Untung saja Evellyn sudah selesai makan, kalau tidak ia pasti tersedak. “Bu—bukan
begitu. Saya—”
“Aku bercanda, Queen. Maklum, kau terlihat tidak terlalu dekat dengan mereka.
Jika sudah waktunya, kuharap kamu mau menceritakan semuanya,” ucap Elleinder
lembut sembari menghampiri Evellyn dan mendekapnya dengan khidmat.
Ribuan maaf berdengung di kepala sang ratu Skyvarna. Ia mencintai Elleinder
semenjak mereka bertemu di altar. Wibawa dan sifat sang suami tak pernah dirinya
dapatkan dari lelaki lain. Mereka yang mengaku menyukainya, hanya menginginkan
harta, takhta, dan kecantikan semata. Sedangkan untuk Grissham dan Rush, ia
menganggap keduanya sebagai sahabat sekaligus saudara.
Hanya saja, dengan cinta ini, ia takut mengkhianati saudarinya. Ia takut semua
hanya mimpi. Ia takut bagi Elleinder, ia hanya teman sehari-hari. Ia takut cinta akan
kembali menyakiti.
“Terima kasih dan maaf, Yang Mulia,” lirihnya.
***
“Cinta itu jebakan,
untuk mencari yang terkuat dari yang paling kuat”
***
“Apa kita harus bercerita yang lain?”
Semalaman kemarin, mereka telah memiliki jadwal untuk bertukar pikiran tentang
sesuatu. Sejarah Marcopolo menjadi topik hangat di atas ranjang raja-ratu Skyvarna.
Meski terkadang, mereka juga berkeluh kesah satu sama lain.
“Saya tidak pernah membaca buku lain, Yang Mulia,” jawab Evellyn yang
meletakan kepalanya di pundak sang suami. Ia sedikit mengantuk karena elusan
Elleinder di rambutnya.
“Kalau begitu, ceritakan tentang Helmentra,” tukas lelaki yang mulai menciumi
kepala sang istri. Sebagai orang yang baru mengenal Evellyn, masih banyak hal yang
tidak ia mengerti.
“Apa yang harus saya katakan? Tak ada yang spesial dari Helmentra.”
“Ilmu silat kalian mungkin?” Kamar ini terasa hangat untuk sepasang pengantin
yang baru saling mendekatkan diri. Elleinder teringat di waktu Evellyn mengajarkan
suatu ilmu terhadap para Helmentra. Ya, sebagai apresiasi tertingginya menumpas
pemberontak, istana Skyvarna menjadi markas mereka.
“Anda tidak akan percaya, jika saya katakan bahwa Helmentra belajar nin-jutsu
Jepang,” ujar Evellyn kalem sembari bangkit menyandarkan diri.
“Wow, benarkah? Apa mereka seorang ninja? Kukira hanya pakaian saja yang
mirip,” kata Elleinder ikut menyamankan tubuh di samping istrinya.
“Saya memiliki seorang guru yang berasal dari Jepang. Hanya sekali dalam sebulan
kami bisa bertemu. Bahkan, seisi Cornwevic tidak ada yang mengetahuinya. Di mata
mereka, Helmentra hanyalah pasukan pelindung. Nama beliau adalah Kunoichi, yang
artinya ninja wanita. Kami bertemu pertama kali di sungai dekat Cornwevic, ketika saya
berumur sepuluh tahun. Beliau adalah perantau yang sedang meneliti Skyvarna.
“Setelah itu, kami menjadi dekat. Beliau bagaikan ibu untuk saya. Hingga suatu hari
Kunoichi mengajari caranya membela diri. Turun temurun, saya menjadi perantara
antara Helmentra dan nin-jutsu. Dan... seperti yang Anda lihat sekarang, Helmentra
menjadi pasukan saya. Selesai,” cerita Evellyn, sangat panjang. Sampai-sampai
Elleinder menganga tak percaya. Apa benar ini istrinya?
“Ada apa, Yang Mulia?” tanya sang ratu heran.
“Ah, tidak. Aku terkagum-kagum dengan ceritamu. Di usia muda, kau sudah bisa
mempelajari sesuatu yang sulit. Lalu, apa itu nin-jutsu?”
“Nin-jutsu adalah nama seni bela diri, strategi, dan taktik perang para ninja. Ada
sekitar delapan belas cabang dari nin-jutsu. Salah satu di antaranya bernama hentso
jutsu, ilmu menyamar dan membaur untuk mengalihkan perhatian orang dan sulit
dilacak. Sampai sekarang, saya belum bisa mempelajari ilmu tersebut.”
Malam berbintang menjadi saksi kebersamaan mereka. Menerbitkan rasa saling
membutuhkan dan meninggalkan masa lampau. Evellyn memang memiliki ilmu ninja,
tapi tidak sepenuhnya ilmu itu boleh digunakan. Ada kalanya, darah perempuan
bangsawan yang mengalir dalam tubuhnya menjadi penyekat kesembronoannya.
“Terima kasih sudah menceritakannya, Ratu.”
Mereka kembali berbaring saling memeluk. Malam sudah cukup larut untuk tetap
terjaga.
“Dan kuharap selanjutnya adalah cerita tentang dirimu atau keluargamu,” lanjut
Elleinder sembari bersiap menjemput mimpi. Ia bahkan tak sadar kata-katanya membuat
kegelisahan menyelinap di hati sang istri.
“Selamat tinggal, Eve. Hiduplah dengan baik, carilah seseorang yang akan
melihatmu apa adanya.” Seperti itulah perkataan Kunoichi sebelum ia menghilang,
meninggalkan Evellyn dalam kesendirian.
“Saya takut kejujuran akan membuat Anda membenciku, Raja. Dan mungkin
setelahnya, kegelapan akan mengurungku kembali,” gumam Evellyn di pelukan
Elleinder.
BAB 13

“Mimpi buruk adalah ekspresi seseorang,


ketika ia takut atau lelah terhadap masalahnya.”

“Apa yang kau lakukan, Sialan?” tanya Evellyn tak percaya.


“Apa lagi? Tentu saja ingin merebut suamimu,” jawab Eilaria dengan wajah
menyiratkan kegilaan.
Meski kenyataannya Elleinder tidak mencintainya, bagi Evellyn, laki-laki itu
tetaplah suaminya. Tak ada seorang istri pun mau kekasih hatinya direbut orang lain.
Jika ada, mungkin wanita itu hanya ingin memberi kebahagiaan sang suami bersama
wanita lain.
“Aku tak akan menyerah begitu saja. Elleinder sudah menjadi suamiku. Tentu hakku
untuk mempertahankannya,” jelas Evellyn bernada tegas.
“Wah! Wah! Lihatlah, siapa yang mengatakan itu?” ejek Eila. “Kau tidak mengingat
tentang janjimu, saudariku? Atau mungkin, kau ingin dikatakan sebagai pengkhianat?”
Evellyn marah. Tidakkah Eila melihat ini semua sebagai kesalahannya sendiri?
“Kalau kau tidak ingin menyerahkan Raja Skyvarna, maka tak seorang pun boleh
memilikinya.” Entah dari mana Eila mendapatkan sebuah pisau.
Elleinder yang sedang tertawa bersama Henry di lorong istana dengan jarak
lumayan dekat darinya, menjadi incaran Eila. Ia berlari dengan aura membunuh yang
pekat. Bahkan secara visualisasi, wajah Eila berubah bagaikan monster.
“Elleinder! Lari!” teriak Evellyn sekuat tenaga. “Larilah dari situ! Aku mohon,
Elleinder. Ayo, lari!”
Evellyn ingin menghentikan Eila, tetapi kakinya seolah terpaku di tempat.
Tangannya hendak menggapai tubuh Elleinder yang sudah berhadapan dengan sang
saudari.
“Kumohon, Elleinder. Dengarkan aku...,” ucapnya kesulitan karena mulai menangis.
“Evellyn!” Kini malah teriakan sang suami yang mengejutkan ratu Skyvarna.
Dari tempatnya berdiri, Evellyn bisa melihat dada Elleinder telah tertusuk. Darahnya
mengalir deras. Sedangkan wajah tampan itu tampak memelas dan gemetar. Walaupun
hujan deras tiba-tiba mengguyur bumi, itu tak mengaburkan wajah kaku Elleinder.
“Tidak! Kumohon..., hiks, jangan ambil suamiku. TIDAK!” Jeritan Evellyn
memenuhi lorong istana yang mulai dibanjiri warna merah darah.
Sedangkan Henry yang menangkap tubuh terkulai Elleinder, menatap Evellyn
dengan raut penuh kebencian. Matanya tajam seolah menuduh, “Ini semua salahmu,
Eve. Sa-lah-mu.”
“Ini salahku? Apa benar ini salahku? Tidak! Bukan aku, tapi mereka,” kata Evellyn
seraya menjambak rambutnya, kemudian melihat darah itu mengaliri kaki, darah
suaminya. “Tidak! Jangan! TIDAK!”
“Hei, hei. Kau kenapa, Ratu?” Di depan Evellyn, terpampang nyata wajah Elleinder
yang dipenuhi kekhawatiran. “Kau bermimpi buruk?”
“El... Elein... Eleinder...,” lirih Evellyn. Tubuhnya bergetar. Ia tak bisa memikirkan
akan hidup tanpa keberadaan suaminya.
Sekuat tenaga, ia merangsek masuk ke dalam pelukan Elleinder. Menangis keras,
mencoba mengeluarkan semua rasa sesaknya. Menjerit dalam-dalam hingga sang suami
bertambah cemas.
“Sst... ada apa, Sayang? Aku di sini,” kata Elleinder, mencoba menenangkan
Evellyn dengan mengelus-elus punggungnya.
“Jangan, tinggalkan aku, Elleinder....”
Evellyn merasa tidak berdaya ketika mengingat keadaan Elleinder yang terbujur
kaku di hadapannya. Wajah yang sering dingin dan penuh emosi itu tak mungkin akan
diam saja. Elleinder masih di sini, di depan Evellyn. Ia masih mengeratkan pelukan
untuk istrinya. Elleinder masih selamat.
Jerit dan air mata ratu Skyvarna tak sia-sia. Evellyn lebih merasa lega di saat sang
suami berkata, “Aku akan selalu bersamamu, Ratu.”
Duke dan Eila sialan. Ini semua gara-gara mereka. Evellyn semakin membenci
Cornwevic beserta seluruh isinya. Ia bahkan tak mengindahkan ingatan tentang sang ibu
yang mengatakan, “Ayahmu sedang terpengaruh kekuasaan. Dia bukanlah suami ibu.
Karena orang yang ibu cintai, tak pernah mengorbankan nyawa keluarga untuk
kesenangannya.”
“Tidurlah, Sayang. Ini terlalu pagi untuk bangun,” usul Elleinder seraya menarik
Evellyn ke dadanya. Hati Elleinder ikut sakit untuknya.
Mimpi seperti apa yang membuat ratuku seolah trauma? batinnya dalam diam
sembari mengelus punggung sang istri.
***
Elleinder termenung menatap kertas di tangannya. Sepanjang hari, pikiran sang raja
hanya tertuju pada ratunya. Ia memang belum bisa mengatakan cinta, tetapi rasa
nyaman ketika bersama Eila membawa keterikatan tersendiri.
“Paduka?” George memecahkan lamunan Elleinder. “Anda terlihat gelisah. Apa ada
masalah?”
Elleinder diam termenung di kursinya, membuat keenam petinggi yang hadir di
ruang singgasana saling berpandangan, seolah bertanya-tanya, Apa telah terjadi
sesuatu?
“Anda bisa menceritakan kepada kami, Yang Mulia,” ujar Henry, memecahkan
keheningan. “Toh, kita semua tidak pernah merahasiakan sesuatu.”
Elleinder tidak melihat adanya celah untuk membantah ucapan itu. “Aku hanya
sedang memikirkan istriku. Kupikir akan baik-baik saja ketika masalah kami selesai.
Nyatanya, ada saja badai yang sering menerpa.” Akhirnya ia membuka mulut.
“Anda hanya perlu bersabar, Yang Mulia. Cobalah memercayai beliau. Saya yakin
Yang Mulia Ratu mempunyai alasan sendiri,” nasihat Brain, walaupun sebenarnya ini
pertama kali ia membicarakan ratu di hadapan raja.
“Ck! Kau ini aneh sekali, Elleinder. Tingkahmu seperti remaja yang dimabuk
asmara,” celetuk Drystan tiba-tiba.
“Drystan!” teriak sang ayah, tak terima dengan tingkah putranya, “Maafkan saya,
Yang Mulia, tidak bisa mendidiknya dengan benar.”
“Sudahlah, George. Biarkan saja. Aku tak memerlukan kesopansantunan kalian,”
jawab Elleinder kepada lelaki bergelar Grand Duke tersebut.
Ya, tak semua orang tahu bahwa George adalah ayah dari Drystan. Kedudukan
keduanya lebih tinggi dari Elleinder sebelum Geraint, ayahnya menjadi raja.
“Menurut saya, Yang Mulia Ratu takut masalahnya memengaruhi Skyvarna,
makanya beliau memendamnya sendiri.” Henry berkata serius.
“Tapi..., bukankah sekarang Skyvarna tidak perlu mengkhawatirkan apa pun? Para
pemberontak telah terkurung di penjara.”
Semua memalingkan wajah ke arah Glin yang sedang membaca laporan kriminal
negara. “Memang. Tapi menurutku, selama ekonomi di penjuru negeri masih rendah,
bisa jadi itu adalah faktor untuk menumbuhkan kriminalitas.”
Mereka mengangguk, menyetujui perkataan Glaw. Kembar tak selalu berpikiran
sama. Bahkan, di luar sana terkadang anak yang berbagi rahim bisa saling menjatuhkan.
Untunglah, Elleinder bertemu dengan si kembar yang tak ambil pusing dalam
pemerintahan.
“Kita harus menambah pasukan untuk menyalurkan pembagian bantuan. Aku ingin
kita benar-benar mengubah Skyvarna seperti sediakala.” Raja menghentikan
kesibukannya dalam memikirkan sang ratu.
Tujuan hidup Elleinder adalah membenahi kesalahan ayahnya saat memerintah
Kerajaan Skyvarna. Ia tak ingin anak-cucunya nanti malu dengan apa yang terjadi di
masa kini.
“Sekarang kita menuju Machiavell. Rakyat di sana sering mengeluhkan keadaan
ekonomi dan airnya, Paduka,” ucap Brain.
Biasanya, setiap kali selesai menyelesaikan suatu kegiatan, Elleinder akan selalu
bertanya, “Daerah mana yang belum?” Dan untuk kali ini, masalah Machiavell bukan
sekadar omong kosong belaka. Meskipun sering menjadi markas pemberontak, raja tak
bisa mengabaikan begitu saja rakyat yang memerlukan haknya.
Beberapa saat kemudian, kereta kuda telah menanti rombongan raja dan tangan
kanannya di depan gedung utama. Mereka menyamar menjadi bangsawan biasa.
Menurut Elleinder, mereka tidak bisa diam saja. Sekali-kali petinggi harus melihat
sendiri keadaan rakyat Skyvarna.
“Saya tidak diajak, Yang Mulia?” cibir Evellyn ketika tak ada yang memberitahunya
rencana ini. Bahkan, beberapa anggota Helmentra diikutsertakan dengan kegiatan sang
suami.
“Kau menunggui istana saja, Ratu. Kami tidak akan lama.” Seolah hendak pergi
berperang, Elleinder melarang istrinya untuk turun tangan.
“Padahal saya ingin melihat dunia luar lagi,” gumam Evellyn dengan raut murung.
Sang raja Skyvarna menghela napas. “Aku akan meluangkan waktuku untukmu,
Ratu. Kita akan berlibur ke suatu tempat.”
“Benarkah? Ke mana?” Mata hitam keunguan itu berbinar kuat.
“Nanti kupikirkan, ya, Sayang.”
Jawaban itu membuat Evellyn cemberut.
“Kalau tidak, kau saja yang mencari tempat terbagus di Skyvarna. Bagaimana?”
lanjutnya setelah tak tahan menatap kegelapan di wajah cantik itu.
“Baiklah. Sesuai kehendak Anda, suamiku. Tapi..., jangan sampai keselamatan
Anda terancam.” Sang ratu membungkuk anggun yang dihadiahi kecupan di dahinya.
Prajurit segera membukakan pintu kereta untuk Elleinder dan keenam orang penting
kerajaan. Baju kuno yang mereka kenakan mustahil bisa membongkar identitas aslinya.
Wajah tegas Elleinder berubah menjadi senyum ramah ketika kereta berhenti di
sebuah pemukiman miskin, daerah Machiavell. Penduduk setempat keheranan melihat
kedatangan rombongan itu.
Lalu, keheranan itu berubah menjadi keterkejutan ketika seorang prajurit berteriak,
“Kami datang untuk membawa bantuan bagi kalian! Bila kalian ingin, silakan
mengantre!”
Mereka terdiam, bahkan juga ada yang berbisik-bisik. Elleinder segera mengambil
beberapa mainan dan mendekati beberapa anak dalam gubuk reyot yang berbinar karena
melihat kedatangan mereka.
Orang-orang dalam kereta segera melompat mengikuti sang junjungan. Mereka
mulai membagi tugas, antara menyerahkan bantuan atau melindungi raja. Anak-anak
kecil yang melihat temannya diberi mainan segera mendekati Elleinder, beramai-ramai
mereka berebut hadiah.
“Ayo, antri dulu. Semuanya akan dapat. Jangan berebut,” kata Elleinder seraya
membagi rata mainan di tangannya.
Sedangkan, beberapa orang tua mulai tertarik dengan pakaian dan makanan yang
dibagikan, satu per satu membentuk barisan. Roti-roti kecil yang dibagikan perlahan,
mereka santap dengan lahap. Elleinder tersenyum terenyuh dibarengi rasa haru. Ia tak
menyangka, Skyvarna masih memberatkan kekuasaan tanpa memandang rakyat jelata.
“Untuk yang belum kebagian, kalian bisa mengambil makanan sebanyak-banyaknya
di kereta!” teriak Henry begitu melihat penduduk yang menatap kawannya dengan rasa
penasaran.
Dalam waktu singkat, keheningan Machiavell menjelma sorakan bahagia yang
diimbuhi teriakan para prajurit. Bahkan, prajurit di sekitar kereta terlihat kewalahan
melayani penduduk yang berusaha masuk untuk mengambil sendiri.
Hampir lebih dari tiga jam mereka berbaur bersama rakyat. Banyak cerita dan
candaan yang membuat Elleinder nyaman di tengah-tengah mereka, bahkan duduk di
atas tanah tanpa membandingkan kedudukan.
“Saya rasa Yang Mulia Raja-lah yang sudah mengirim kalian ke sini,” kata seorang
tetua desa.
Elleinder terkejut. Dari mana mereka bisa menyimpulkan semudah itu?
Tetapi, Henry lebih terkejut ketika mendengar sebuah sorakan. “Raja Skyvarna
sekarang lebih baik dari ayahnya! Saya yakin beliau akan dianugerahi umur yang
panjang!”
“Setuju!”
“Iya, benar!”
“Salam keagungan untuk Yang Mulia Elleinder!”
Setidaknya, begitu keramaian yang ditawarkan Machiavell siang itu. Bagi Elleinder,
ini pertama kalinya ia dipuji rakyat. Padahal dulu, hanya caci maki yang ia dapatkan
ketika ayahnya bertakhta.
“Kita harus kembali, Yang Mulia. Sebelum mereka menyadari Anda adalah Raja,”
bisik Brain yang sedari awal menjadi pengawal di samping Elleinder.
“Baiklah, Tuan dan Nona. Maafkan kami tak bisa berlama-lama di sini,” celetuk
Henry yang mungkin mendengar keluhan Brain.
Segera pasukan kerajaan termasuk Helmentra melompat ke kereta setelah Elleinder
memberi kode mata untuk menyudahi kunjungan ini. Sang kusir pun mulai melajukan
keretanya.
“Terima kasih, Tuan Bangsawan. Semoga kebaikan Anda dibalas Tuhan.” Kata-kata
mereka masih terus terngiang di kepala Raja Skyvarna. Dari dalam kereta, ia melihat
mereka berlutut di tanah dan mengucapkan terima kasih berkali-kali hingga suara-suara
itu tertelan lebatnya pepohonan.
Selama perjalanan, hanya keheningan yang menghiasi kereta. Mereka bersyukur
respons rakyat sangat positif. Kebencian akan raja terdahulu, tak menimbulkan
kebencian lain untuk raja sekarang.
“Terima kasih kalian sudah mau membantuku,” celetuk Elleinder tiba-tiba,
mengejutkan Henry dan Brain yang berada satu kereta dengannya.
“Anda terlalu berlebihan, Paduka. Tugas kami adalah terus menjaga dan melindungi
Anda,” jawab Brain, terdengar tulus.
Henry sempat menatap raut kakaknya yang seolah mendapat hadiah besar, meskipun
hanya berasal dari rakyat.
Tak lama kemudian, kereta berhenti di depan pintu istana.
“Yang Mulia Raja Elleinder telah tiba,” lapor penjaga pintu yang disambut dengan
dibukanya pintu menuju ke dalam.
“Anda sudah pulang, Yang Mulia,” sambut Evellyn yang tak dinyana tengah
menunggu suaminya di halaman kerajaan.
Elleinder kembali merasakan ketukan di hatinya. Rembesan air mata mulai
menuruni wajah tampan itu. Dengan berjalan tergesa, ia menghampiri gadis cantik di
sana.
Elleinder sepertinya terlalu kuat mendekap Evellyn. Sang ratu hanya tertawa geli
dan mengira sang suami tengah bercanda dengannya. “Ada apa, Yang Mulia? Anda
takut dengan sesuatu?”
Gelengan Elleinder makin merapatkan tubuh mereka. “Aku bahagia, Ratu. Skyvarna
tak membenciku. Malahan mereka mendukungku.”
Evellyn tersenyum seraya mengelus punggung kekar yang melunglai lega itu. “Saya
juga akan selalu mendukung Anda, suamiku.”
Dalam hati keduanya sudah tak bersisa kebencian kepada Geraint. Toh, tanpa raja
angkara murka itu, mereka mungkin tak bisa saling bertemu. Tuhan Maha Adil, Ia maha
berbelas kasih pada sang hamba. Maka, ketika matahari mulai condong ke sisi barat,
perasaan kedua insan itu menyatu, membentuk labirin cinta yang tinggal menunggu
waktu merestui.
BAB 14

“Manusia adalah makhluk lemah,


terutama jika dihadapkan dengan harta.
Jika tak berhati kuat, maka hancurlah kebaikan mereka”

“Apa yang Ayahanda lakukan?” tanya Elleinder kecil dari balik pintu kamar utama.
“Hei, Nak? Kau belum tidur?” Ya, ini sudah hampir pukul sebelas malam. Para
penghuni istana timur telah menuju peraduan masing-masing. Tak ada pelayan atau
penjaga berlalu lalang, kecuali di gerbang utama.
“Nanny melupakan air minum untuk saya,” jawab Elleinder dua belas tahun.
“Kalau begitu, cepatlah tidur. Ayah akan mengambilkannya untukmu. Kau tidak
ingin dimakan hantu, kan?” Cerita klise dari Geraint Bardolf untuk sang putra.
Elleinder bergidik ngeri. Ia sering mendengar cerita hantu dari sang ayah. Setiap
pukul dua belas malam, ia tidak boleh berkeliaran di luar, harus menutup jendela dan
pintu kamar rapat-rapat. Jangan menginjakan kaki ke lorong barat, kalau tidak, hantu itu
akan muncul dari sana.
Pernah suatu hari Elleinder mencoba melanggar perintah orang tuanya. Ia berjalan
ke ruangan barat tanpa alas kaki. Bahkan Ayah, Ibu, dan Nanny tak ada yang tahu. Ia
berpura-pura ingin menyelamatkan sang putri dari cengkeraman hantu.
Kaki mungilnya berjalan mengendap-endap. Kepala kecilnya menyisiri penjuru
mata angin untuk melihat adakah yang masih berjaga. Ketika semua aman, Elleinder
berjingkat, sedikit berlari menuju lorong-lorong berlapis emas itu. Rasa bangga bisa
bermain tanpa ditemui hantu mulai membuncah.
Akan tetapi, semua tak berselang lama. Elleinder kecil dikejutkan dengan suara
teriakan seseorang. Itu terdengar familier. Karena penasaran, ia mendekati asal suara.
Bahkan teriakan itu mulai menggema di kepalanya.
“T-to... tolong. To... long, ja... ngan.... Jangan lakukan, Kak. Akh!” Suara-suara itu
disusul erangan kesakitan dari seseorang.
Dari celah pintu yang tak tertutup sempurna, mata Elleinder membelalak lebar. Ya
Tuhan, itu bibinya, Sandrina Bardolf. Ada banyak darah menetes dari kepala dan perut,
sedangkan lebam menghiasi tubuh setengah telanjangnya.
“Dasar kau, adik tidak berguna! Apa kau pikir dengan membeberkan rencanaku,
Raja Alzevin akan memercayaimu? Dasar bodoh! Kau tak lebih dari parasit di hidupku!
Dan ketika kakakmu ini ingin berjaya, kau malah ingin menjegalku. Apa maumu,
Sialan?” Suara ayahnya terdengar mengerikan di telinga Elleinder.
Ruangan itu cukup gelap untuk mengaburkan semuanya, tapi Elleinder tahu itu
suara ayahnya, sedangkan bibinya terluka.
“Tapi..., An... da..., Anda keter... laluan, Kak.” Terdengar Sandrina menahan rasa
sakitnya.
“APA YANG KAU BILANG KETERLALUAN?” Perkataan itu menggelegar
seolah hendak meruntuhkan gedung.
“Tentu saja... ting... tingkah An... da,” lirihnya, berganti tangisan dan cukup
membuat hening ruangan yang Elleinder yakini sebagai penjara karena banyak tali
berserakan. Ditambah lagi ruangan itu menjadi tempat haram di kediaman Bardolf.
“Kenapa Anda membalas beliau dengan hal seperti ini? Sadarlah, Kak,” lanjutnya
dengan suara parau.
“Kau yang tidak sadar, San. Apa kau pikir cintamu bisa mengalihkan perhatian
Alzevin dari istrinya? Hanya dengan cara ini kita bisa menguasai Skyvarna dan
membalaskan dendam cintamu.” Penjelasan sang ayah terdengar dalam dan
menjanjikan.
“Lebih baik aku mati daripada mengikuti rencana busukmu, Kak!” bentaknya
dengan sangat egois.
“Kau benar-benar tak tahu diuntung! Pergilah kau ke neraka!”
Setelah itu, Elleinder mendengar bibinya mengatakan, “El... Ellein... der a... kan...
mem... ben... cimu, Kak. Selamat tinggal.”
Elleinder hanya bisa menahan teriakannya dengan telapak mungil itu. Ia berlari
seperti dikejar sesuatu, bahkan berkali-kali terjatuh. Bangkit, berlari, lalu jatuh kembali.
Langkah kecilnya terseok-seok menuju tempat tidur. Untuk anak seusia itu, melihat
kekejaman sang ayah di depan mata memukul keras psikologisnya. Ia mual, tapi
dibungkam kuat-kuat, takut lelaki yang ia panggil ayah mendengar tangisannya.
Apalagi, ada suara langkah kaki di depan kamarnya.
“Bibi San,” lirihnya, membayangkan mata sang bibi saat tak sengaja menangkap
kehadirannya dengan tersenyum. “Maafkan aku, Bi,” lanjutnya. Kemudian, Elleinder
yang malang pingsan, membawa mimpi buruk ke masa depan.
“Maafkan aku, Bi. Maaf.”
Rintihan itu membangunkan Evellyn dari tidur lelapnya. Ia menatap lekat sang
suami yang tampak tak nyaman dengan tidurnya. Ada kerutan di dahi yang dialiri
keringat. Bibirnya membuka menutup seperti orang kesakitan.
“Yang Mulia? Bangun, Yang Mulia!” desak Evellin khawatir.
Mata itu terbuka, masih sedikit terlihat luka yang dibalut kebingungan. “A—ada
apa?” napas Elleinder terdengar tak beraturan.
“Anda bermimpi buruk, Yang Mulia?” tanya ratu Skyvarna itu dengan mengelus
lembut garis wajah suaminya.
“Ya,” gumam Elleinder sembari tersedot lamunan.
Evellyn merapatkan tubuhnya ke sisi Elleinder. “Saya di sini, Elleinder. Selalu di
sini. Di sampingmu.”
Raja Skyvarna menghela napas dan tersenyum merasakan kelembutan kulit sang
istri di telapak tangannya. “Terima kasih, Sayang.”
“Anda ingin bercerita?” Suara mengantuk Evellyn teredam di dada Elleinder.
Hening, seakan waktu membisu. Mata Elleinder menyiratkan luka terlampau basah.
Ia belum berani mengatakan yang sebenarnya tentang mimpi buruk ini. “Aku takut,
Ratu. Aku takut menyakitimu.”
Tak ada jawaban. Elleinder menengok ke wajah yang terkubur di dadanya. Ia
tersenyum lembut ketika mendengar dengkuran kecil menghiasi bibir sang kekasih.
“Terima kasih.” Selesai mengatakannya, sang empu mencium lembut dahi Evellyn
yang tersenyum teduh dalam tidurnya.
***
Hari masih pagi, tetapi Elleinder terlihat sibuk di ruang kerjanya dengan tumpukan
laporan tebal dan surat pemanggilan untuk para menteri. Ia menekuni pekerjaannya
dengan serius seolah tak terusik apa pun.
Ketukan pintu membuat Elleinder mendongak, disusul suara seseorang, “Saya
datang menghadap, Yang Mulia.”
Elleinder mempersilakan. “Masuklah, Bran.”
Lelaki berpakaian menteri pada umumnya itu masuk dengan membawa beberapa
berkas. “Ini data yang Anda minta, Yang Mulia.”
“Duduklah dulu. Aku akan mempelajarinya sebentar,” kata raja muda itu dengan
membolak-balikkan kertas yang diterima.
“Ada berapa menteri yang dipenjarakan ayahku? Kenapa hampir semua pegawai
baru?” tanya Elleinder tampak tidak terkejut. Malahan dari awal ia sudah menduganya.
Skyvarna memang mulai membaik secara finansial, hanya saja beberapa laporan
data tidak valid, antara pengeluaran dan pemasukan mempunyai perbedaan besar. Justru
penjara Skyvarna terlalu dipenuhi oleh orang-orang yang menjunjung tinggi kejujuran.
Orang miskin yang tak membayar pajak, orang kaya yang membangkang Geraint, dan
para pegawai terdahulu yang lebih setia dengan Raja Alzevin.
Elleinder bersyukur mereka dikelompokkan sesuai kesalahannya. Tentu mudah
untuknya mengeluarkan siapa-siapa saja yang tak salah.
“Berapa penjara yang berada di luar istana?” tanya Elleinder, menerka beberapa
tahanan dikurung di luar kerajaan.
“Dua di antaranya berada di Cornwevic dan satu berada di Clementine,” jelas
Brandon, si kepala penjara.
Elleinder mengangguk, lalu mulai menyeleksi mereka yang bersalah dan tidak.
“Tolong bebaskan mereka yang kucoret menggunakan tinta merah. Kelompokkan di
mana saja mereka dikurung dan laporkan hasilnya padaku.”
“Baik, Yang Mulia.”
“Tapi ingat, tugas ini jangan kau wakilkan pada siapa pun. Aku percaya kau bisa
melakukannya sebaik mungkin,” titah lelaki bermata hitam itu.
“Saya akan berusaha, Yang Mulia.” Kemudian ia undur diri dan pergi dengan
pundak terangkat dan senyum semringah yang menular pada Elleinder.
Raja Skyvarna itu yakin, Brandon sudah lama menjadi pelayan setia ayahnya demi
kebebasan. Lelaki empat puluh tujuh tahun yang harus menghidupi istri dan kedua
anaknya itu kini bisa tersenyum lega setelah keluar surat resmi pembebasan kawan
seperjuangannya.
Menjelang sore, ribuan lelaki gagah dan paruh baya datang ke aula istana demi
mengucap terima kasih pada sang raja. Sekarang mereka bisa menghirup udara luar
dengan tenang. Tak ada lagi bunuh-membunuh. Bagi mereka, Elleinder bukan serigala
seperti ayahnya.
“Anda berhasil, Yang Mulia,” ucap Evellyn di balkon kamar kerajaan yang kini
resmi menjadi kamar utama raja-ratu.
“Belum, Ratu.”
Akhir-akhir ini keduanya begitu intim satu sama lain. Saling memeluk, berbisik, dan
bercanda mesra. Tak ada kecanggungan yang tertinggal sedikit pun.
“Mengapa?” tanya Evellyn seraya mengelus kepala sang suami yang menyender di
bahunya, menikmati suasana indah Skyvarna di balik keindahan senja.
Tangan Elleinder menempel erat di perut Evellyn. Ia tengah memeluk istrinya dari
arah belakang. “Aku belum mengevaluasi para menteri. Kupikir akan memakan waktu
lebih lama. Huh, rasanya lelah. Tidak bisakah kita kabur dan liburan ke mana pun?” Ini
perilaku baru seorang raja Skyvarna. Manja dan mudah menempel pada Evellyn.
“Sabar.... Akan ada masanya kita melepas lelah. Toh, ini demi negara,” nasihat sang
istri cantik yang terlalu muda untuk mengemban tanggung jawab di mata dunia.
“Ya, kuharap itu secepatnya.”
“Anda ingat tentang Rowlands, Yang Mulia? Kudengar putri beliau tengah ikut
sayembara pencarian permaisuri Kerajaan Locko. Tidakkah itu melanggar ketentuan?”
Evellyn mengubah topik pembicaraan. Sesungguhnya, jantungnya tengah berdisko ria.
Berasa ribuan kupu-kupu mengaduk perut akibat dekatnya bibir sang suami dengan
tengkuknya.
“Tidak, Sayang. Skyvarna tak akan melarang putri bangsawan mengejar
keinginannya. Tapi..., akan kasihan jika itu sia-sia,” sahut Elleinder mengangkat kepala.
“Apa yang sia-sia?” Kebingungan menyelimuti Evellyn.
“Aku tak yakin esok Rowlands akan terbebas. Karena menurut laporan, ia terlibat
dengan rencana ayahku. Ditambah lagi, catatan kriminalnya yang membawa lari uang
rakyat demi kepentingan pribadi.”
Evellyn sendiri tahu, Rowlands adalah tangan kanan Geraint, meskipun penasihat
kerajaan masih dipegang oleh George. Ayah Drystan itu menentang raja secara diam-
diam. Ia lebih suka mengomentari langsung sistem pemerintahan daripada merebut
kekuasan.
“Apakah Skyvarna akan kembali seutuhnya, Yang Mulia?” gumam Evellyn.
“Aku belum yakin seratus persen. Namun, aku yakin rakyat selalu mendukung
kinerja kita,” kata Elleinder tenang. “Sudahlah, kita lupakan sejenak tentang masalah
menteri. Aku ingin bertanya, Ratu. Aku belum pernah mendengar bahasa yang kau
gunakan kemarin.”
“Bahasa apa, Paduka?”
Elleinder membalik tubuh sang istri, menghadap ke arahnya. “Bahasa yang kau
gunakan bersama Helmentra kemarin pagi.”
Ah, gadis itu ingat. Helmentra tengah melaksanakan tugas khusus darinya, yaitu
untuk memata-matai keadaan Cornwevic. Tentu saja, ia tak ingin Elleinder mendengar
itu, maka Evellyn dan Grissham berbicara menggunakan bahasa khusus yang diajarkan
Kunoichi.
“Ah, itu. saya menggunakan Bahasa Jepang.” Jujurnya dengan raut semanis
mungkin agar tak dicurigai.
“Kau bisa Bahasa Jepang?” tanya Elleinder tertarik.
Dengan kepala mengangguk kuat, Evellyn mencoba mengalihkan perhatian sang
suami agar tidak menanyakan tentang apa yang ia katakan dengan Ketua Helmentra.
“Bisakah kau mengajariku?” ujar lelaki nomor satu di Skyvarna itu.
“Untuk apa, Yang Mulia? Anda tidak akan berlibur ke Jepang, bukan?” tanya
Evellyn dengan mengerutkan kening. Jangan sampai Elleinder fasih menggunakan
bahasa itu. Ini akan menjadi senjata makan tuan untuknya.
“Tidak. Aku hanya ingin mencoba mengerti pembicaraanmu dengan anggota lain.”
Mata Elleinder memancarkan cahaya permohonan. Tentu saja akan sulit ditolak oleh
sang istri.
“Ba—baiklah. Akan saya usahakan.”
“Benar, ya?” Tingkah raja Skyvarna persis seperti anak berusia lima tahun yang
dibelikan roti.
Menghabiskan sore menjelang malam dengan saling menggoda adalah hal terbaik di
hidup Evellyn. Ia bisa merasakan kasih sayang Elleinder untuknya, meski sang suami
belum mengatakan cinta sekali pun.
“Yang Mulia,” tegur Nanny yang berdiri di pintu penghubung kamar dan balkon.
Awalnya ia tertegun melihat kemesraan junjungannya. Namun, ia bersyukur Skyvarna
mulai menampakkan sinar melalui kedekatan raja dan ratu.
“Ada apa?” tanya Elleinder.
“E... makan malam sudah siap, Yang Mulia. Kami takut Anda berdua sakit karena
meninggalkan makan siang.”
Evellyn tersenyum dan menarik tangan Elleinder untuk lepas dari tubuhnya. Ia
menghampiri Nanny, pelayan pribadi sang suami yang sekaligus ia anggap sebagai
ibunya sendiri.
“Kau sudah makan, Bibi?” Ya, sama seperti dirinya memanggil Madam Beliora,
Evellyn juga memanggil Nanny dengan sebutan bibi.
“S—saya akan makan nanti bersama Nyonya Beliora saja, Yang Mulia Ratu.”
Tak ada ratu seramah Evellyn yang mau mengajak pelayan dan pengawal bergabung
untuk makan bersama mereka di meja makan. Toh, bagi Evellyn, selama belum
memiliki putra ataupun putri, meja makan raja dan ratu bebas untuk siapa saja.
“Kau tidak mengambilkan untukku, Sayang?” tegur Elleinder seraya tersenyum
melihat tingkah ratunya yang begitu baik pada orang lain.
Gadis bergaun hijau dengan brokat emas itu, melupakan isi piring suaminya dan
malah mengambilkan isi piring beberapa pelayan atau pengawal.
“Ah, maafkan saya, Yang Mulia.” Dengan cekatan, Evellyn memenuhi keperluan
suaminya. Walaupun ada pelayan yang ingin menyiapkan makanan untuknya dan
Elleinder, Evellyn tak segan untuk membantu mereka.

Anda mungkin juga menyukai