Blurb 14 Revisi
Blurb 14 Revisi
Elleinder muda harus menggantikan ayahanda yang baru saja meninggal, terutama
mengikuti kehendak ibundanya untuk menikahi calon permaisuri terpilih. Ia menerima
Evellyn bukan sekadar cinta apalagi kecantikannya. Namun, entah kenapa takdir
mempertemukan keduanya dalam permainan kesedihan.
***
Elleinder Bardolf—raja Skyvarna berusia 24 tahun yang baru saja naik takhta—
terkejut dengan titah sang ibunda untuk menikah dengan Eilaria Windsor, putri Duke of
Cornwevic. Tak pernah mengira bahwa dirinya harus terjebak dengan pengantin yang
ditukar. Bukan menikahi Eilaria, ia harus hidup bersama dengan Evellyn, saudari
kembarnya.
Semua menjadi lebih rumit ketika akhirnya cinta hadir di hati Evellyn.
Elleinder yang tak terlalu menuhankan cinta harus beradaptasi dengan tingkah
manja permaisurinya. Cinta berujung luka. Itulah yang terjadi ketika semua kedok
Evellyn terbongkar.
Bagaimana reaksi raja muda Skyvarna? Lalu, apakah yang akan terjadi jika Eilaria
kembali menuntut haknya?
Sometimes I hopefully
Time to die instansly
Without giving birth to an estuary in pain
Like a prolonged lie
“Apa pasukan khusus sudah disiapkan?” tanya Elleinder kepada Brain, menteri
perang Skyvarna.
“Hampir enam puluh persen, Yang Mulia,” lapor lelaki bertubuh kekar itu.
Pertemuan di ruang singgasana hanya dihadiri lima orang kepercayaan raja.
Pertama, George, sang penasihat. Lelaki setengah baya yang khas dengan ketenangan
dan ucapan penuh pemikiran. Bagi Elleinder, George adalah sosok sahabat, ayah, dan
musuh debatnya.
Kedua dan ketiga, si kembar Glaw dan Glyn, menteri perhubungan Skyvarna-
Locko-Helyan. Tiga negara yang dekat meski tak bersinggungan takhta.
Keempat, Henry, saudara kandung Elleinder. Pemuda yang memiliki kesamaan
warna rambut dengannya merupakan satu-satunya keluarga yang menjelma sebagai
tangan kanan raja. Dan tentu yang terakhir adalah Brain. Orang yang dipercaya menjaga
keutuhan Skyvarna di garis terdepan.
“Aku ingin laporan perkembangan setiap minggunya, Brain!” titah Elleinder mutlak.
“Baik, Paduka.”
“Saya tahu apa yang Anda pikirkan, Yang Mulia,” George berucap lembut, “tapi
utamakan kesehatan Anda terlebih dulu. Kami tidak melarang Anda membongkar
Skyvarna habis-habisan.”
Raja menerawang ke depan, sesekali menatap kertas berstempel Cornwevic di
tangannya. “Apakah yang kulakukan sudah benar?”
“Ya, Anda terlalu memaksakan diri,” tegur Henry.
“Aku tidak tahu, Henry. Apakah ia akan memaafkanku begitu saja? Skyvarna
terlanjur hancur dari dalam. Tidakkah itu menjadi bukti ketidakmampuanku?”
“Ya, bila Anda memeras Skyvarna lebih dalam lagi. Dan tidak, Anda baru beberapa
bulan memegang kekuasaan.” Henry hanya ingin kakaknya itu berjalan lebih tegar.
“Katakan padaku sejauh mana keadaan rakyat selama aku duduk di sini?” Elleinder
tak ingin kecolongan.
“Kami telah mengubah sedikit demi sedikit peraturan yang memberatkan, Yang
Mulia. Bahkan sempat terdengar kabar, ada sekelompok orang yang ikut membantu
kehidupan Skyvarna.” Glaw menjelaskan dengan nada lega.
“Siapa mereka?” tanya Brain penasaran.
“Kami juga tidak tahu. Mereka datang dan pergi secara diam-diam. Sepertinya
bekerja di bawah komando seseorang,” ucap Glyn.
“Sulit untuk mengenali kawan atau musuh,” sambung Glaw. “Lebih baik kita tetap
selalu waspada agar semua ini berakhir memuaskan. Kita harus bertindak saling
mendukung.”
Semua setuju. Skyvarna—negeri yang tidak begitu besar, tetapi menjanjikan
kekayaan melimpah. Rakyat sangat berbahagia. Mereka tak ragu berpendapat jikalau
ada wilayah yang membutuhkan bantuan.
Itu dulu, sebelum Raja Geraint berkhianat. Kini, penderitaan muncul di mana-mana.
Rakyat hidup di bawah bayang-bayang pajak yang membengkak. Sulit menjadi kaya,
sulit bertahan hidup. Mereka punya, mereka semena-mena. Sedangkan yang miskin
semakin tak mampu bersuara.
“Aku tahu, aku bisa memercayai kalian,” ujar Raja Elleinder puas.
“Serahkan kepada kami, Paduka. Skyvarna juga rumah kami,” jawab George yang
diangguki keempat lainnya.
“Ya, tinggal diriku yang harus banyak berdoa,” gumam Elleinder lirih, sehingga
mungkin hanya angin yang mendengarnya.
Putra serigala, Elleinder Bardolf. Duduk di atas singgasana ketika usia dua puluh
empat tahun. Sewaktu kecil ia keheranan, mengapa orang tuanya jarang menemui dan
banyak waktu mereka terbuang untuk istana.
Hubungan Geraint dan putranya tidak bisa dikatakan akrab. Putra pertama Bardolf
itu harus kesepian seorang diri. Terkadang, Maryam—pengasuhnya yang akan
mengingatkan waktu Elleinder.
Kesibukan Geraint sebagai menteri ternyata belum cukup memenuhi ambisinya.
Begitu ia menaiki takhta, urusan kerajaan bertambah setiap menit. Sebagai seorang
putra tunggal, Elleinder dituntut untuk menguasai semua sistem pemerintahan.
Belajar dan belajar menjadi kebosanan Elleinder muda. Sampai suatu saat, ia
melihat dengan mata telanjang, Geraint membunuh sang bibi. Kala itu, ia menyangkal
betapa kejam ayahnya.
Roda terus berputar. Kebencian sang putra meningkat pesat begitu datang seorang
wanita yang mengaku selir raja. Darinya, Elleinder mendapatkan seorang adik, Henry
Bardolf. Nyatanya... Henry tak seburuk yang ia pikirkan. Meski rentang usia mencapai
enam tahun, Elleinder menyayangi Henry, begitupun sebaliknya.
Puncak kebencian Elleinder semakin menumpuk ketika Geraint meninggalkan
keluarga dan rakyat dalam situasi mencekam. Ditambah mahkota yang kini mengikat
erat hidupnya.
Baru satu minggu menghadapi rakyat, Elleinder kembali dikekang untuk
mempersunting calon ratu pilihan. Lelaki tampan itu pusing dengan segala kemanjaan
Eilaria Windsor. Ia bahkan tak segan mengusir Eilademi membenahi sifatnya.
Hampir dua bulan kemudian, Elleinder sulit bernapas lega. Debora, sang ibunda,
menuntut ketidakpedulian putranya kepadaWindsor.
“Stuart, panggil putri Duke of Cornwevic untuk kembali ke istana. Katakan,
pernikahan akan dipercepat,” perintah Debora kepada pelayan pribadi Elleinder.
“Baik, Yang Mulia.”
“Ibu, saya—”
“Elleinder, diamlah. Kau tinggal menuruti apa kata Ibu,” potong wanita setengah
baya itu.
Raja muda Skyvarna terlihat menghela napas, jengkel. Ia coba menyetujui tanpa
banyak berbicara. Tak seorang pun tahu, ia telah mengirim puluhan guru tata krama
menuju kediaman Duke of Cornwevic.
Dan... ketika Eila masuk melalui pintu gerbang, Elleinder melihatnya dari jendela
kamar. Aura gadis itu berubah seratus delapan puluh derajat, mengingat cara
berpakaiannya yang lebih sederhana.
Gaun ungu berlapis brokat bunga menyaingi keindahan pagi di istana. Anggun,
lembut, dan tak bersisa gelagat manja di mata Elleinder. Mengingat kondisinya yang
cukup lemah, Elleinder menyuruh seorang pelayan untuk membawa gadis itu
beristirahat.
“Dia berbeda. Atau... diriku yang terlalu lama tak melihatnya?” tanya sang raja pada
diri sendiri.
***
“Perempuan itu sutra. Perempuan itu duri.
Dua sisi yang saling melengkapi.”
***
Keadaan negeri belum sepenuhnya stabil. Pemberontakan masih terus bermunculan.
Hingga, tanggung jawab Elleinder pun dipandang sebelah mata oleh bangsawan sekitar
Skyvarna.
Cuaca pada siang hari cukup untuk memanggang seonggok daging. Keringat deras
tampak mengucuri wajah-wajah pejabat. Rasa letih berkepanjangan menguasai tubuh
mereka. Tak terkecuali Raja Muda Elleinder.
Ia tengah menerima tamu. Rush Denio, putra Earl of Clementine yang meminta izin
untuk menemui Eilaria. Lelaki bermata hijau itu, Elleinder tak kenal dekat.
Nama Rush Denio hanya beberapa kali menjadi pembahasan bangsawan Skyvarna.
Putra tunggal Earl itu cukup tertutup dan jarang mengikuti keramaian. Tersiar kabar jika
ia tengah menempuh pendidikan di negeri seberang.
“Bolehkah saya menemui El, Yang Mulia?” tanya Rush.
Elleinder mengernyit. “Siapa El?”
“Mohon maaf, maksud saya Eilaria. Saya memanggil beliau dengan nama El,” jelas
lelaki yang tak kalah tampan dari sang raja.
Elleinder mengangguk paham meskipun ada rasa tak nyaman menyeludup dalam
dadanya. “Prajurit, antarkan Lord Denio menuju istana ratu!” perintah raja.
Mereka pun segera mengundurkan diri dari ruang kerja Elleinder dan segera menuju
Ruang Mutiara. Seperti namanya, seluruh ruang penuh dengan mutiara. Lantainya
terbuat dari marmer yang membuat kesejukan di musim panas. Namun, saat musim
dingin tiba, ruangan itu bukan pilihan yang bagus.
Evellyn—Eila yang palsu, sudah menempati istana ratu semenjak usai pesta
penyambutan. Ruang Mutiara menjadi ruang bisnisnya di bawah pengawasan Elleinder.
Ketukan di pintu mengagetkan Evellyn. Ia dengan cepat menyembunyikan pedang
yang tengah dipegangnya.
“Lord Rush Denio ingin bertemu, Yang Mulia,” lapor prajurit penjaga.
“Biarkan dia masuk.” Nada Evellyn terdengar senang sebab orang yang ia anggap
sebagai kakak masih sudi menemuinya.
Lalu, pintu terbuka memberi jalan pada Rush. “Selamat siang, Yang Mulia,” ucap
lelaki itu dengan mengedipkan mata, menggoda adik kesayangannya.
“Selamat datang, Lord Denio,” balas Evellyn.
Suara pintu yang tertutup, seolah menarik kaki Putri Cornwevic untuk berlari
menuju pelukan Putra Clementine. Keduanya saling melepas rindu. Sejauh yang diingat,
sudah lama mereka tak bertemu.
Clementine mengharuskan seorang pewaris mencari ilmu hingga kelak gelar Earl
menyambung namanya. Sedangkan Cornwevic masih berkubang dengan problematik
keluarga.
“Apa kabar, Adik Kecil?” tanya Rush sembari mengusap air mata yang meluruhi
wajah Evellyn.
“Bisakah kita pergi?” Kerinduan yang menguap, menghilangkan akal sehat putri
Duchess of Cornwevic itu.
“Hei, dengar!” Rush memegang lembut wajah Evellyn. “Skyvarna masih
membutuhkanmu, Sayangku.”
“Tetapi... kenapa harus aku, Kak?” bantahnya.
“Karena memang harus dirimu.”
Rush tersenyum melihat ketidakpuasan di mata Evellyn. Ia tahu saudari Eilaria itu
tak bisa bertahan dalam sangkar emas terlalu lama.
“Aku selalu bersamamu, El. Ingatlah itu.” Janji yang terdengar dari bibir Rush
meyakinkan di telinga.
Evellyn pun menyambutnya dengan pelukan panjang. Seringkali ia merasa sedih
dan kesepian tanpa ada orang yang mau mendukungnya. Setiap langkah seakan
bertakdir dalam kesendirian. Keluarga kandungnya tak menghiraukan. Calon suaminya
menganggap ia sebagai boneka pajangan.
“Aku menyayangimu, Kak,” ucap Evellyn yang tak menyadari bahwa bukan hanya
dua pasang telinga yang mendengar. Ada bayangan mengintip di depan pintu. Diam dan
mengeratkan geraham.
***
BAB 4
“Aku yakin engkau lelah. Beristirahatlah, Eila. Setelah hilang lelahmu, temui aku di
ruang kerja. Ada hal yang ingin kubahas mengenai rencana pernikahan kita,” bujuk
Elleinder sepulang dari Katedral.
Evellyn yang patuh, hanya mengangguk dan berjalan menuju istana ratu. Dengan
tenang, ia melintasi aula istana raja yang disesaki banyak orang. Ia tetap mendengar
orang-orang itu berbisik-bisik, tetapi tak dihiraukannya dan terus melangkah elegan.
Skyvarna telanjur dipenuhi para pembual. Kota-kota besar seperti Cornwevic dan
Clementine ditawari kehidupan. Kota-kota kecil seperti Machiavell dianaktirikan. Tak
terkecuali, petinggi negeri yang saling menjatuhkan.
Evellyn berjanji akan menunjukkan kuasanya. Orang berdosa akan dikenai
hukuman. Ratu adalah raja kedua. Maka dari itu, tangan raja pertanda tangan kirinya.
“Tolong panggilkan Madam Beliora untukku,” suruh Evellyn begitu melintasi
prajurit yang berjaga di depan kamar.
“Baik, Paduka.”
Sesuatu mengganggu rencana Evellyn. Ia ingin memeriksanya tanpa kentara. Hanya
ada dua cara, dirinya atau sang pelayan yang bertugas menjalankan lilin dalam
kegelapan. Evellyn tak berani mengambil risiko kembali. Madam Beliora atau Grissham
adalah pilihan yang tepat. Taktik jitu keduanya tak diragukan lagi.
Tok! Tok! Tok!
“Saya menghadap, Yang Mulia.” Madam Beliora masuk dengan wajah keibuannya.
Siapa pun pasti tertipu. Wajah lembut itu merupakan senjata dari sesepuh Helmentra.
“Aku ingin kau melakukan sesuatu, Bibi,” pinta putri berdarah biru itu.
“Sesuai kehendak, Tuan Putri.”
Mata Evellyn menerawang, seolah menembus peristiwa beberapa jam lalu. “Pastur
Maynard, Katedral Agung Westminster. Cari asal-usulnya!”
“Mengapa, Putri? Bolehkah saya tahu alasannya?” Nada bicara itu terdengar
penasaran.
“Tato ditengkuknya tak sengaja tertangkap mataku. Kau ingat ceritamu tentang
insiden pengejaran Paman Devian? Kurasa ia ada hubungannya dengan hal itu.”
“Saya mengerti. Saya harap Anda tetap berhati-hati, Putri. Skyvarna belum
sepenuhnya aman dari musuh,” nasihat wanita yang telah Evellyn anggap sebagai
ibunya.
Mayoritas rakyat menginginkan raja turun takhta. Mereka seolah kenyang
merasakan pukulan bertubi-tubi dari penguasa. Tempo hari, Evellyn tak sengaja
berkunjung ke Lordline, sebuah kawasan perdagangan yang menyatukan antara rakyat
biasa dan bangsawan.
Selama ini, ia hanya mendengar dari cerita. Lordline memang sumbernya gosip.
Tatapan mereka tidak berjarak, bahkan penduduk setempat berani membicarakan
bangsawan tanpa mengenal muka.
“Suatu saat Ratu Skyvarna pun akan dimusuhi rakyat. Aku yakin itu,” komentar
seorang pemanggul barang di samping Evellyn yang tengah memilih sayuran.
“Apa kau lupa? Ratu berasal dari kalangan atas. Duke of Cornwevic amat sibuk
dengan pemerintahan, belum tentu tata krama putrinya patut diacungi jempol.”
Evellyn tengah bersusah payah menelan kekecewaannya.
Berapa banyak rakyat yang hidup seperti mereka? Termakan gosip tak jelas.
Demi kepucatan Evellyn, Nyonya Odelia—pelayan yang disuruh menemaninya
berlagak tertawa geli. “Rupanya kalian terlalu asyik bergosip. Adakah yang bisa
membantu kami mengangkat barang belanjaan ini?”
“Ah, maafkan kami. Kondisi Skyvarna benar-benar sesuatu yang indah untuk
dibicarakan,” ucap si pemanggul, mendekati tumpukan barang belanja milik Evellyn.
“Anda semua tidak perlu khawatir. Saya akan menyampaikan langsung pesan ini
kepada Yang Mulia Ratu,” jawab Evellyn kalem.
Mereka terbelalak. Jantung mereka seakan melompat cepat akibat kalimat itu. Siapa
gadis yang berani berhadapan langsung dengan ratu? Apakah ia pelayannya? Tapi,
apa mungkin seorang pelayan ratu berbelanja di kawasan ramai seperti ini?
“Tuan Putri!” teriak Nyonya Odelia cemas.
“Pu—putri?” ringis si penjual sayur.
“Ampuni saya atas kekacauan ini,” sela Evellyn dengan anggun, “Sampai berjumpa
lagi. Terima kasih atas masukan Anda semua.” Setelahnya, Evellyn berlalu pergi.
“Siapa dia?” Dari kejauhan masih terdengar dengung kebingungan.
“Kalian tidak mengenalnya? Itu Putri Evellyn Windsor, kembaran Yang Mulia
Eilaria Windsor.”
Evellyn tak lagi ingin mendengarkannya. Toh, ia sengaja membongkar semuanya.
“Brain, kita kembali ke istana,” lontar Evellyn selepas duduk di kursi kereta.
Kereta bermotif sederhana itu melaju membelah keramaian Lordline. Di dalamnya,
sang putri sedang memijat kepala. Ia bahkan menyuruh Nyonya Odelia untuk membawa
belanjaan dengan kuda yang lain. Murka di wajah Elleinder adalah ekspresi yang bisa
jadi sudah menantinya.
“Brain, bukannya kau ini ahli perang? Kenapa malah menjadi pengawal pribadiku?”
keluh Evellyn.
“Saya hanya mengikuti titah Yang Mulia Raja, Paduka.”
Evellyn merasa bagai anak durhaka, butuh diawasi ke mana-mana. Grissham yang
berjanji mendampinginya juga menghilang selesai mengantar Evellyn hingga pintu
gerbang sesaat setelah pertemuan rahasia itu.
Melihat langsung ketidaksukaan rakyat, mengetuk hati Evellyn. Dari lubang jendela,
ia memandangi tumbuhan sekitar jalan yang tampak semakin menghijau dari hari ke
hari. Akan tetapi, semua itu belum bisa disebut keberhasilan.
Berbondong-bondong bantuan datang dari segala penjuru. Kesadaran sedikit demi
sedikit terpenuhi. Evellyn merasa tindakan Elleinder sudah tepat. Ia tidak mungkin
menyerahkan takhta pada orang lain sebelum memperbaiki kesalahan ayahnya.
“Kupikir lebih baik pura-pura tidak tahu,” gumam Evellyn seusai menapak di ruang
kerja Elleinder.
Di sepanjang melewati koridor, pelayan-pelayan tidak tampak berlalu lalang, sepi.
Prajurit yang terbiasa menjaga pintu juga tak tahu di mana.
Evellyn mengetuk dan membuka ruang kerja perlahan. Ia takut dianggap tidak sopan
berkunjung jika tuannya pergi.
“Eila!” Elleinder terkejut melihat gadis itu berdiri di ambang pintu. “Apa kau selesai
beristirahat?”
Gadis itu tidak menjawab pertanyaan Elleinder. Dengan tenang, ia mendekati meja
kerja Elleinder.
Si pemilik ruangan berdiri dan mendekat. Ia membawa Evellyn ke kursi depan meja
kerja. “Duduklah,” katanya.
Elleinder kemudian duduk di depan Evellyn dan bertanya, “Apakah jadwalmu
kosong, Eila?”
“Ya, Yang Mulia.” Elleinder sedikit kagum dengan ketenangan Evellyn dalam
berucap.
“Kalau begitu, aku langsung saja. Ehem... dua hari lagi kita akan menikah. Aku
harap kau tidak keberatan. Gaun pengantinmu sudah selesai dikerjakan. Apa ada
tambahan yang kau perlukan lagi?”
“Cukup, Yang Mulia. Untuk kurangnya, akan saya katakan melalui Madam
Beliora.” Evellyn berpikir andai bencana itu tidak pernah terjadi, mungkin Elleinder
akan ramah dalam arti sesungguhnya.
“Eila, kelak aku adalah suamimu. Artinya melindungimu itu prioritasku. Jangan
sungkan untuk mengatakan setiap masalahmu. Entah mengapa aku merasa dirimu akan
membawa sebuah kejutan,” tandas Elleinder dengan terkekeh.
Gadis itu diam saja. Ia sama sekali tidak bergerak ketika Elleinder menatapnya
dengan saksama, menebak-nebak isi pikiran gadis di hadapannya.
“Saya akan berusaha keras, Yang Mulia.”
“Aku tahu kau sudah melakukan yang terbaik,” puji Elleinder. “Aku harap kita bisa
saling dekat satu sama lain.”
Walau seharian mereka bersama, kedekatan masih dipertaruhkan. Evellyn yang
kaku, Elleinder yang malang. Kontras dengan dendam di hati masing-masing. Warna
jingga yang merapati bumi menjadi saksi pertarungan batin keduanya.
***
“Apa kau sudah menemukan pengawal yang cocok, Brain? Aku takut Putri Windsor
terkena imbas kerajaan ini.” Elleinder memang buruk di mata rakyat. Meskipun begitu,
ia masih menghormati seorang wanita.
“Saya menemukannya, Paduka. Kekuatan fisik dan teknik bela diri yang cukup
memuaskan.”
“Perintahkan ia menghadap padaku segera!”
“Saya mengerti, Yang Mulia.” Brain memberi hormat lalu berjalan memunggungi
ruang singgasana.
Hanya anak menteri ingin memimpin negeri?
Tak peduli berapa orang yang meragukannya, Elleinder tetap hidup hingga
sekarang. Sang ayah seperti telah berjudi dan ia mendapatkan apa yang mereka impikan.
Ketika menyetujui permintaan ayahnya yang sedang sakit, Elleinder kurang percaya
diri. Sugesti-sugesti buruk mulai bermunculan.
Lagipula, ia tidak menyangka akan mendapatkan kerajaan beserta pendamping
sekaligus. Tidak sedikitpun terbesit dalam pikiran, Skyvarna dan Putri Windsor adalah
satu kesatuan yang menjadi batu sandungnya.
“Anda memanggil saya, Paduka?” Elleinder lekas mengangkat kepalanya dari
berkas laporan yang sedang ia baca.
Di sana, laki-laki berkulit sedikit gelap memandang sang raja dengan heran. Tiga
malam terakhir, ia menyiapkan Helmentra termasuk menguntit Pastur Maynard.
Kemudian sekarang, Raja Elleinder menyuruhnya hadir di ruang keramat itu. Ada apa
gerangan?
Seperti yang telah diramalkan Elleinder, prajurit di hadapannya memiliki aura
berbeda. “Namamu Grissham?”
“Hamba, Paduka.”
Elleinder mengangguk puas. Ia bukanlah tipe yang suka campur tangan dalam
urusan orang lain. “Kau bisa menjalankan tugasmu untuk mengawal ratu?”
Kabar gembira. Evellyn pasti menyukainya. Ketika tuan putri itu mengeluhkan
gencarnya gosip yang terus berkembang kepada Grissham, tentu ia tak akan melepaskan
Evellyn dari pengawasannya begitu saja.
“Baik, Paduka.” Grissham tidak perlu berpikir dua kali untuk menyanggupi.
Sebuah senyuman terukir di wajah tampan Elleinder dan ia mendekat. “Jagalah
Evellyn dengan nyawamu, Griss. Aku mohon.”
Grissham yang pendiam lagi-lagi termenung. Raja Elleinder tak seperti berita yang
mereka gemborkan. Ia tampak lebih perhatian dan lemah lembut.
“Kau boleh melakukannya mulai hari ini,” titah Elleinder.
Ketika berita pemilihan pengawal pribadi untuk calon ratu terkuak, para penghuni
istana terdiam sejenak. Mereka tak percaya dengan keputusan Elleinder. Mereka
bertanya-tanya, untuk apa ratu dijaga sedangkan rajalah yang mungkin akan
menusuknya.
Dewi malam menampakkan diri ketika Grissham telah mengunjungi junjungannya.
Di ruangan tersebut ada ia, Putri Evellyn, dan sang ibu. Ketiganya mencuri waktu di
sela penugasan. Dan itu adalah hal yang lumrah, mengingat Helmentra masih mencari
dalang yang sesungguhnya.
“Hamba mohon Anda memikirkannya kembali, Tuan Putri,” sesal Madam Beliora.
“Hanya aku yang mampu, Bibi. Berlayar ke Negeri Locko dan menyamar sebagai
duta besar Skyvarna untuk mencari Paman Devian di sana.” Sayang sekali Evellyn
adalah putri yang keras kepala.
“Menyamar itu cukup riskan, Putri. Locko belum tentu mengizinkan kita masuk.”
Tanpa sadar, suara Grissham meninggi karena khawatir. Pasalnya, alasan pada raja saja
belum ditemukan.
“Tenang, Griss. Kita ke sana tidak sendiri. Elleinder yang akan menuntun kita.
Selalu ada kesempatan untuk setiap rencana, bukan?”
“Ah, saya mengerti, Putri. Helmentra akan melindungi Anda selagi memenuhi
undangan Raja Locko, tetapi demi keselamatan Anda, bolehkah saya memberi saran?”
Evellyn mengangguk. “Katakan!”
“Rakyat Locko memiliki tradisi memakai cadar meskipun hanya beberapa. Dengan
memakai cadar penyamaran, kemungkinan, minim sekali Anda dikenali,” ujar lelaki dua
puluh tujuh tahun itu.
“Bagus, Ketua. Kau mengerti banyak tentang Locko,” puji Evellyn seraya
tersenyum.
Lelaki yang duduk di depan Evellyn tersipu malu. Ketika orang berspekulasi dengan
dugaan-dugaan mereka, Evellyn mengenal Grissham luar dalam. “Kau betah tinggal di
sini, Ketua?”
“Saya suka Skyvarna dari pada Cornwevic, Putri,” bebernya.
“Aku pun begitu,” gumam Evellyn sembari mengamati ibu dan putra yang telah
berjasa mengabdi padanya.
“Saya turut senang, Tuan Putri.” Madam Beliora menatap Evellyn berbinar.
“Kami akan menepati janji tujuh belas tahun lalu kepada Yang Mulia Beatrix untuk
membahagiakan Anda,” tegas Grissham yang diangguki Madam Beliora, sementara
Evellyn tak mampu menahan matanya yang berkaca-kaca.
BAB 6
Ratu Evellyn duduk di bingkai jendela emas, kamar peraduannya. Ini memang
bukan saatnya termenung, tetapi, Locko masih terbayang jauh dari jangkauan mata.
Seharian penuh mereka berlayar mengarungi lautan, merasakan angin laut yang
berembus membuatnya menggigil kedinginan. Belum lagi gelapnya seolah menyatu
dengan langit malam menuju pagi.
Evellyn ingin Elleinder segera kembali. Buaian ombak-ombak kecil itu
menjadikannya terombang-ambing tanpa menapak tanah.
“Kukira kau masih tertidur, Eila.” Suara itu membuat Evellyn berpaling.
Ia tak pernah merasa sebahagia itu—tidak karena laut mengingatkannya pada
peristiwa di masa lalu. “Anda dari mana, Yang Mulia?”
“Mengapa kau mendesah seperti itu? Apa terjadi sesuatu?” Elleinder meletakkan
teko dan gelas di meja samping ranjang.
“S—saya sedikit mabuk laut, Paduka. Entah kenapa saya—”
“Eila!” Beruntungnya, Raja Skyvarna siap menangkap tubuh yang limbung itu.
Namun, karena ada ombak yang terasa cukup kuat menghantam. Sang raja ikut meluruh
bersamaan dengan tubuh ratunya yang ambruk.
“Kau tidak apa-apa, Sayang?”
Wajah istrinya memucat. Evellyn sendiri merasa apa yang ia makan malam
sebelumnya mulai naik ke tenggorokan. Kepalanya berputar, pening tak karuan. Ia
bersyukur Elleinder mau memeluk pinggangnya dengan erat.
“Sebaiknya kau kembali tiduran, Eila,” ucap lelaki yang baru menikah dengannya
itu sembari membopong Evellyn.
Di pembaringan, Ratu Skyvarna mencengkeram baju Elleinder kuat-kuat. Masih ia
rasakan getaran di tubuh mungil itu. Wajah dan bibirnya berubah sepucat kapas.
“Aku akan mengambilkanmu obat. Tunggulah di sini.”
Evellyn seketika panik. Cengkeramannya semakin tak ingin mengendur. “Aku ingin
pulang.” Inilah sisi kemanjaan Evellyn yang selama ini disembunyikan.
“Sst... kau akan baik-baik saja, Sayang,” bisik Elleinder di telinga Evellyn.
Tangannya bergerak membelai rambut gadis itu.
“Ta—tapi aku ingin pulang,” gerutunya tidak sependapat, ditambah lagi
kesopanannya hilang entah ke mana.
Elleinder tidak mempermasalahkan itu. Ia malah semakin cemas dengan keadaan
Evellyn. Dengan cepat, ia memencet bel di saku bajunya. “Dari sini kita akan mendarat
ke kota terdekat, Eila.” Menyadari hal ini, tidak menenangkan Evellyn. Ia buru-buru
mengimbuhi, “Beliora tengah mengambil obatmu. Tenanglah dulu.”
Evellyn mendesah dengan menahan rasa mual yang masih berkumpul di perut dan
mulutnya. Elleinder lantas menumpuk bantal sebagai sandaran punggung. Sedangkan
gadis belia itu melingkarkan tangannya di sekeliling leher Elleinder, mencegahnya pergi
dengan menyembunyikan kepalanya di dada sang raja.
Tok! Tok! Tok!
“Masuk.”
“Anda perlu sesuatu, Yang Mulia?” tanya Beliora seraya menatap khawatir keadaan
junjungannya yang terlihat tak sehat.
“Tolong minta obat tidur pada Dokter Lauwren. Perintahkan juga Harry di ruang
kemudi untuk mencari pelabuhan terdekat. Kita harus mendarat sejenak sampai keadaan
Eila membaik,” titah Raja Skyvarna yang tampak begitu menyayangi sang istri hingga
wajahnya disesaki rasa khawatir.
“Baik, Yang Mulia.” Beliora berlari sekuat mungkin. Keadaan Evellyn sedang tak
main-main. Trauma itu terus saja mendiami tubuh putri mendiang Ratu Beatrix.
Obat dan kapal adalah perpaduan hidup Evellyn di atas laut. Semasa kecil, laut
menjadi tempat bermain Evellyn. Ia menyukai laut. Tak peduli jika dimarahi Duke atau
pun Duchess, ia akan kembali bersembunyi di balik karang.
Eilaria Windsor memang mendapatkan segalanya, kecuali perhatian seorang lelaki.
Begitu banyak pemuda yang disodorkan orang tuanya, Evellyn menjadi batu sandungan.
Terutama ketika Stephen, Putra Viscount of Wailyn yang terkenal akan
ketampanannya berkunjung ke kediaman Duke. Eilaria tertarik pada Stephen, tetapi tak
sedikit pun kepedulian ia dapatkan. Justru, Evellyn-lah yang dipilih lelaki dua puluh
tahun itu untuk menemaninya.
Rasa dengki yang berkobar menyebabkan Eila menempuh jalan sesat. Dengan
teganya, ia membius sang saudari, kemudian meletakkan tubuhnya pada sebuah kapal
berukuran kecil untuk dihanyutkan ke laut.
Selama dua hari, Evellyn hidup dalam ketakutan. Meski menyukai ombak, ia tak
bisa berenang. Jiwanya terombang-ambing dalam kematian. Hingga, doanya terkabul
dan Tuhan masih menyayangi Evellyn. Ada seorang pelaut yang menemukannya dalam
keadaan mengenaskan. Tanpa selimut, makanan, dan minuman.
Kemudian mereka membawanya pada Duke of Cornwevic. Tersiar berita, kejadian
ini adalah tulah untuk Evellyn yang terlalu suka bermain ke lautan luas.
Semenjak itulah, Duke dan Duchess memperlakukan Evellyn berbeda dari Eilaria.
Madam Beliora-lah yang mengetahui semua cerita asli yang meluncur tak sengaja dari
bibir saudari kembar Evellyn.
“Aku menyesal tidak mengetahui apa pun tentangmu, Ratu,” bisik Elleinder lirih.
“Katakan apa yang harus kita lakukan untuk menunggu obatmu?”
Evellyn mengangkat kepalanya dan menggeleng tidak tahu. Pikiran gadis berambut
lurus keunguan itu tengah terpecah belah.
“Kalau begitu, kau hanya boleh memelukku sepanjang hari,” goda sang Raja
Skyvarna.
Evellyn tertegun. Baru kali ini mereka bersentuhan sangat rapat. Apa lagi, Elleinder
membiarkan tubuhnya sebagai tempat tidur Evellyn yang setengah berbaring.
Sementara, tangan lelaki itu memeluk pinggangnya erat-erat. Nyaman dan
memabukkan.
Rasa damai yang baru sekali ia peroleh, membuat mata Evellyn terasa berat hendak
menutup, kemudian terdengar ketukan dari depan.
“Masuklah,” jawab Elleinder.
Beliora muncul dengan nampan di tangannya. “Ini obatnya, Yang Mulia.”
“Ayo, minum obatmu, Eila.” Elleinder menuntun sang istri untuk duduk dengan
tubuhnya sendiri.
“Tapi....”
Elleinder tidak melewatkan kesempatan bagus. Ketika Evellyn membuka mulutnya,
cepat-cepat ia meraih gelas dan menyodorkannya di bibir merah muda itu. “Obat ini
akan membuatmu lebih baik. Berbaringlah!”
Evellyn kemudian meneguk tanpa menolak. Tatkala itu, tangan dari istri Elleinder
tak lepas dari pinggang suaminya, sekaligus membawa sang raja turut serta berbaring
saling menghadap. “Tidurlah. Kita akan segera berlabuh,” lanjut Elleinder setengah
mengantuk.
Madam Beliora membiarkan keduanya kembali hanyut dalam rasa lelah sendiri dan
ia meninggalkan mereka secara diam-diam.
“Yang Mulia akan baik-baik saja, Griss.” Senyum simpul saling menimpali di depan
pintu kamar raja dan ratu yang baru saja tertutup rapat.
***
“Batas—sering diartikan sekat yang tidak boleh dilewati.
Sedangkan, cinta memiliki batas yang bahkan harus dimasuki oleh keduanya.”
***
“Bagaimana perasaanmu sekarang, Eila?”
“Saya sudah baik-baik saja, Paduka,” jawab Evellyn singkat.
Mereka telah mendarat di salah satu pelabuhan yang masih termasuk daerah
Skyvarna. Meski perjalanan akan memakan waktu beberapa hari, untuk mencapai
Kerajaan Locko, Raja tak akan mengorbankan keadaan ratunya.
Kota Marchandise adalah wilayah Kerajaan Elleinder yang terpisah jarak oleh Laut
Locko, seolah kota tua itu menjadi titipan Skyvarna untuk Locko.
Evellyn memperhatikan sekelilingnya. Pelabuhan cukup ramai di siang hari. Bahkan
ia sempat melihat para prajurit tengah mendirikan tenda. Ia rasa Elleinder sedang
memerintahkan mereka untuk berkemah sehari.
“Apa kau juga ingin mendirikan tenda?”
Evellyn menggeleng. Sedari awal Elleinder terus saja menemaninya. Setiap perintah
yang keluar, selalu melalui pelayan atau prajurit. Evellyn merasa tak enak, seperti
memiliki pengasuh sendiri, apa pun akan disiapkan Elleinder.
“Aku rasa mereka terlalu ribut. Apa kau ingin ikut, Eila?”
Dari geladak kapal, terlihat beberapa prajurit turun menyeret perahu berukuran tiga
orang. Sedangkan yang lainnya, membantu dengan membawa alat pancing. Seumur
hidup, Evellyn tidak pernah diajari cara memancing. Kehidupan setelah peristiwa kelam
itu membawanya dalam kegelapan. Kemewahan memang ia dapatkan, tetapi
kebebasannya terkekang.
“Bisakah saya mencobanya, Yang Mulia?”
Elleinder tersenyum geli. “Kau bertambah cantik saat matamu berbinar-binar.”
Belum sempat Evellyn mengeluh, tubuhnya sudah terangkat di gendongan sang
suami. “Apa yang—”
Rajukan Evellyn terhenti. Telinganya memerah mendengar ledekan beberapa
prajurit yang tak sengaja berpapasan dengan mereka.
“Apanya, Sayang?” Bagi Elleinder, Evellyn sungguh cocok dengan ekspresi
malunya itu. Wajah mungil yang terlalu cantik, tapi kekanak-kanakkan. Mata hitam
keunguannya menyampaikan rasa sungkan yang menarik untuk dipandang.
“Apa yang Anda tertawakan?” Evellyn tak berniat mencibir kesal.
“Ini.” Elleinder menyentuh bibir Evellyn, menatapnya lekat dengan ekspresi yang
sulit diartikan.
Sentuhannya yang lembut, mendinginkan rasa kesal Evellyn dan malah membuat
dadanya berdebar kencang.
“Kau sungguh menggemaskan, Eila. Ekspresi kesalmu sangat mahal,” bisik
Elleinder sambil mendekatkan wajah, tanpa ragu-ragu ingin mencium Evellyn yang
berada dalam gendongannya.
Sang istri terlihat pasrah, menutup mata. Toh, Elleinder adalah suami yang berhak
atas dirinya. Jarak yang begitu dekat, membuat Evellyn dapat merasakan embusan
napas Elleinder di wajahnya. Apa lagi, detak jantung keduanya saling berbalas.
“Yang Mulia!” Belum sempat momen itu terjadi, tiba-tiba seorang prajurit menyela
dengan raut takut.
“Ada apa?” Sesungguhnya Elleinder terkejut. Untung ia bisa mengendalikan roman
mukanya. Sementara itu, wajah Evellyn memerah padam.
“Peralatan Anda sudah siap, Paduka.”
“Terima kasih.” Itu suara Evellyn yang teredam di dada sang suami.
Ketika mereka sampai ke tujuan, Elleinder segera naik dengan hati-hati. Ia
membantu Evellyn duduk tenang karena harus terbiasa oleh ombak yang menghantam
perahu kecil itu.
Dayung mulai bergerak ketika Evellyn melihat beberapa perahu mengikuti mereka.
Jumlah yang cukup banyak bagi pasukan pengawal Raja dan Ratu.
Semakin berlayar jauh, Evellyn menyadari betapa besar kapal yang membawanya
menuju Locko. Tiang-tiang tinggi tegak menjulang, terutama di bagian atas, terlihat
mewah dan angkuh.
Perahu yang ditumpangi Raja dan Ratu Skyvarna mendekati kerumunan prajurit
yang tengah asyik memancing. Mereka tak sadar oleh kedatangan sang junjungan.
Namun, teriakan pengawal Raja menarik atensi mereka hingga menuai kegaduhan.
“Paduka Raja dan Paduka Ratu datang!” teriak salah seorang dari mereka.
“Lanjutkan kesenangan kalian. Anggap saja kami sebagai kawan,” tukas Elleinder.
Meski memancing dengan jarak cukup jauh, mereka saling meneriaki satu sama lain
jika mendapatkan hasil tangkapan. Evellyn bisa tertawa saat seorang prajurit sengaja
menjahili teman di sampingnya dengan mencuri ikan dari ember.
“Anda belum mendapatkan apa pun, Yang Mulia,” cela Evellyn mulai berani.
Elleinder yang tengah berkonsentrasi, bersungut-sungut sambil menggerutu. “Aku
sudah lama tidak memancing, Sayang. Hidupku hanya di belakang meja dan perburuan.
Aku lebih bisa menunggang kuda dari pada mendayung perahu.”
Ya, ternyata itulah alasan mereka duduk bertiga di dalam perahu. Prajurit yang
mendayung di depan, Evellyn di tengah, dan sang raja di belakang dengan alat
pancingnya.
“Sepertinya ikan-ikan di tempat ini tahu akan Anda pancing sehingga kabur semua,”
gurau sang istri menerbitkan delikan mata Elleinder.
“Harusnya kau menyemangatiku, bukan malah meledekku. Ck!”
Hari yang menyenangkan. Evellyn seperti memiliki keluarga baru. Bukan hanya
suami, ia bahkan mendapat bawahan yang bisa membuatnya bebas tertawa.
***
“Anda yakin akan melakukannya, Tuan Putri?” tanya Madam Beliora gelisah
sembari menggigiti kuku jarinya.
“Untuk apa berlama-lama, Bibi?” Evellyn kesulitan mencari bukti yang valid.
“Kenapa harus Anda? Ada banyak anggota Helmentra yang siap bertugas,” saran
Grissham. “Saya juga tidak mampu dua puluh empat jam mengawasi Anda.”
“Aku akan berhati-hati. Ini adalah kesempatan yang tak bisa diabaikan. Elleinder
diundang untuk bermusyawarah dengan Raja Locko dan itu pasti menghabiskan waktu
yang lama.”
“Kediaman Lord Devian tidak mengizinkan sembarang orang bisa masuk, Putri,”
sanggah ibu beranak satu itu.
“Aku berkeyakinan Paman telah menyiapkan segalanya.” Kedua tangan Evellyn
mengacungkan jempolnya.
“Sebaiknya Anda bergegas memutuskan. Beliau cepat mengerti apa yang harus
dilakukan,” kata Beliora yang masih menganggap ide itu terlalu gila.
Evellyn menikmati perjalanan. Lima hari menginap di kapal, cukup
memberitahunya mengenai sifat dan sikap Elleinder. Tak seburuk bayangan, ia adalah
raja yang tampan, romantis, juga perhatian, jarang sekali mengeluh di depan Evellyn.
Saat matahari telah meninggi, Evellyn mengganti bajunya dengan cadar. Keadaan
Istana Raja William, Raja Kerajaan Locko, terjaga ketat. Berkat itu, Evellyn sedikit
meminta kelonggaran pada Elleinder. Ia berkata hendak mengunjungi pasar Locko
untuk membeli oleh-oleh. Izin itu didapatkan setelah suaminya mengultimatum bahwa
jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan, maka Evellyn harus mencari bantuan terdekat.
Tentu saja, tawa Evellyn yang terkesan lancang di situasi serius, menyentuh titik
posesif seorang Elleinder. Ia sampai memanggil lima prajurit untuk menemani istrinya.
Bermacam-macam peringatan memenuhi telinganya.
Padahal dalam hati Evellyn, ia belum bisa memastikan mengapa pamannya tak
menangkap Maynard dengan tangannya sendiri. Dari kesimpulannya ia memang
korban. Ia telah melihat dengan matanya sendiri bahwa Pastur itu memiliki hubungan
dengan Geraint.
Memakai baju ketat berwarna hitam di balik gaun sedikit menyulitkannya untuk
berkelana.
“Streng House di belakang Pasar Brasch. Dari sana kau akan dibimbing oleh
seorang wanita bercadar merah dengan sulaman mawar emas. Selalu waspada, Eve. Aku
tak mau kau terluka hanya gara-gara si berengsek itu,” perintah Devian tempo lalu tetap
terngiang di pikirannya.
“Wanita itu kekasih Paman?” tanya Evellyn menyeleweng dari pembicaraan yang
diharuskan.
“Hei, Bocah. Kau ini mendengarkan apa? Kenapa malah mengurusi kehidupan
pribadiku?” Omelan yang membuat beberapa anggota yang hadir tertawa tertahan.
“Hanya Paman yang berbicara, untuk apa aku mendengarkan orang lain?”
“Lalu kenapa kau menanyai tentang Fulvia?” sewot lelaki setengah baya yang
sampai sekarang belum melepas masa lajangnya.
“Oh, Bibi Fulvia. Aku yakin ia khilaf memilih Paman.” Pertengkaran yang
melunturkan suasana tegang di dalam ruangan.
“APA? Kau tidak lihat aku tampan? Tentu saja Fulvia memilihku karena
perhatianku selama ini. Justru ia yang pertama kali mencintaiku. Aku ini lelaki berharga
diri tinggi, maka mencintaiku adalah anugerah,” jelas Devian panjang lebar.
“Anda bilang Nyonya Fulvia adalah orang yang menarik, makanya kami harus
mempersiapkan pesta untuk menyatakan cinta. Lalu, kenapa sekarang Anda bilang
Nyonya Fulvia yang menyatakan terlebih dulu?”
Martabat Devian sebagai Putra Mahkota Skyvarna hancur seketika. Tawa para
anggota di sana-sini membanjir sebelum ucapan Bernat selesai. Sang ponakan dengan
bengisnya memukul pundak pamannya demi meredakan tawa yang masih menghiasi
bibir.
“Kau benar-benar minta dipecat, ya?” Devian membeliak tajam pada pelayan
kesayangannya itu. Sedangkan yang diancam hanya mengangkat bahu singkat.
“Ya Tuhan, Paman. Sekali-sekali Anda harus berucap jujur. Seorang pemimpin
adalah cerminan bawahannya. Kalau Anda tidak jujur, jangan marah kalau-kalau Paman
Berniat mengerjai Anda.”
Muka lelaki yang kematiannya disembunyikan itu malah melongo. Baru kali ini ia
bertemu seseorang seaneh Evellyn yang sialnya—adalah keponakannya sendiri.
Kasihan Devian.
BAB 8
“Tidak bisakah saya ikut berburu?” Evellyn benci harus memohon seperti itu,
sedangkan suaminya malah menatap dengan tajam.
“Kau belum bisa. Duduklah tenang di kereta atau diamlah di tepian.”
Ya, Lord! Bolehkah ia menjahit bibir Elleinder? Apa gunanya ikut berburu, tapi
hanya melihat dari jauh? Apa lelaki ini berpikir mata Evellyn semacam laser yang bisa
langsung membidik mangsa?
“Kalau begitu, saya berburu dengan Anda saja,” pintanya dengan nada sedikit kesal.
“Tidak. Kau akan merepotkan.” Elleinder menatap lekat wajah lembut itu dan
mendengkus keras seakan bingung dengan sesuatu.
“Terserah Anda.” Sesaat lalu Evellyn bersikeras melakukannya, tapi sedetik ini ia
lelah berdebat dengan Elleinder yang bahkan tak menghargainya sama sekali. Biarlah,
ia berkuda dengan Grissham saja.
“Mau ke mana kau?” tanya Elleinder bernada tajam.
“Berkuda dengan Grissham.” Tubuh mungil yang terbalut seragam berkuda itu
melangkah cepat menjauhi kerumunan pengawal. Kakinya sedikit dihentak-hentakan
ketika mengingat betapa manisnya Elleinder beberapa menit lalu di hadapan para putri
bangsawan Skyvarna.
Sebelum bibir Evellyn memanggil Grissham yang tengah ikut membantu prajurit
menyiapkan peralatan berburu, sebuah tangan lebih tangkas menarik dan menyudutkan
Evellyn ke sebuah pohon. “Apa aku menyuruhmu ikut berburu?”
Kalau saja Evellyn tak memakai sepatu berkuda dengan ujung belakang runcing, ia
akan menginjak kaki lelaki tampan di depannya itu. “Lalu, untuk apa saya berpakaian
seperti ini?”
“Kau masih bisa duduk bersantai dengan para wanita,” sanggah Elleinder penuh
emosi. Ia merasa Evellyn seperti menguras hatinya, lelah.
“Bergosip hal tak penting? Tidak, Yang Mulia. Lebih baik saya ikut prajurit saja.” Ia
kembali ingin melangkah. Lagi dan lagi, tangan Elleinder menyambar pinggangnya.
“Eila, aku mohon. Ini demi keselamatanmu.” Ada secercah kekhawatiran yang
Evellyn tangkap dari sorot mata Elleinder.
“Saya hanya ingin ikut sekali,” lirihnya dengan menunduk.
Elleinder benar-benar dibuat pusing oleh kelakuan Evellyn. “Baik, aku akan
mengizinkanmu.” Jawaban itu membuat mata Evellyn penuh binar-binar terang.
Selalu ada kata tapi dan tapi. Berburu macam apa yang tali kekang kudanya bahkan
dipegang orang lain sedangkan si pemburu hanya duduk manis?
“Saya ingin berkuda sendiri!” sentak Evellyn sembari menatap kesal wajah tampan
suaminya.
“Diam saja!” suruh Elleinder dengan alis berkedut.
Evellyn membuang muka. Saat ini perlombaan belum dimulai. Mungkin mereka
masih mencoba menjajal kemampuan masing-masing. Jumlah peserta lebih dari jumlah
undangan karena putra dan putri para bangsawan itu ikut meramaikan suasana.
Elleinder sendiri tak bisa berbuat banyak dengan keadaan membawa Evellyn
bersamanya. Ia lebih suka mengagumi pahatan wajah sang istri yang terkesan lembut.
Biarlah ia kalah, yang terpenting keselamatan Evellyn bisa tercapai.
Acara jamuan makan siang telah digelar. Mereka sepakat berburu akan dilakukan
waktu sore menjelang malam. Agar lebih mudah mendapatkan hasil, kata Henry.
“Makanlah dengan kenyang!” perintah Elleinder seraya menaruh beberapa lauk di
piring gadisnya itu.
Sementara Evellyn malah bersungut-sungut. Pikirnya, jika kenyang pasti mudah
mengantuk. Setidaknya itulah tuduhan yang masuk akal untuk Elleinder.
Ada dua meja besar menjadi tempat hidangan kala itu. Evellyn tentu duduk di
samping Elleinder. Selanjutnya, ada urutan bangsawan seperti Grand Duke, Duke, Earl,
Viscout, Baron, dll.
Duke of Cornwevic duduk tak berapa jauh dari putrinya. Ia datang berdua dengan
sang sekretaris, tapi sepertinya sang anak pungut yang duduk telalu anggun di sana...
mengacuhkan keberadaannya.
Evellyn sesungguhnya merasakan tatapan itu. Ia hanya ingin menghindar dari situasi
yang tak diinginkan. Apa lagi ketika sang raja menyeret kursi untuk duduk ratunya, ada
banyak mata menatap penuh kebencian pada Evellyn.
Kebahagiaan putri mendiang Raja Alzevin sudah diatur sedemikian rupa. Akan ada
masanya kedudukan ini harus ia lepaskan. Janji harus ditepati dan Evellyn tak
menginginkan rasa sakitnya makin menjadi.
“Ada apa, Ratu? Kau tidak suka makanannya?”
Ah, Elleinder dan mulut besarnya. Baru beberapa menit lalu ia membentak Evellyn,
sekarang... di hadapan para petinggi Skyvarna, sang raja tengah mengkhawatirkan
kondisi istrinya. Apa ini sebuah lelucon? Seolah semua orang di hadapan Evellyn
bermain dengan topeng mereka.
“Saya terlalu kenyang, Yang Mulia.” Evellyn masih mengatur wajahnya lebih
anggun meskipun terasa kaku.
“Tapi Anda menyisakan terlalu banyak,” sindir seorang gadis anggun bergaun
merah menyala yang sering memperlihatkan wajah angkuhnya.
“Maafkan saya, Yang Mulia.” Jawaban Evellyn lebih ditujukan untuk Elleinder
daripada untuk Daisy Murdolk, putri Baron Murdolk, sekaligus mantan tunangan Yang
Mulia Raja.
Elleinder tak mengatakan apa pun, Evellyn juga tidak mengambil pusing untuk itu.
Ia memilih menuang teh yang ada di teko ke gelasnya, karena para pelayan juga tengah
makan di meja mereka.
Prang!
Belum sempat gelas itu mendarat di bibir Evellyn, ada sebuah tangan yang sengaja
—atau mungkin tidak—menyenggol pegangan sang ratu.
“Aduh, maafkan saya, Paduka.” Wajahnya yang cantik terlihat panik. Ia bahkan
mengambil cepat sapu tangan dari balik bajunya untuk membantu membersihkan air
yang menodai gaun Evellyn.
Liliana Tabitha, putri Viscount of Machiavell yang kotanya menjadi awal
pemberontakan di Skyvarna. Gadis berusia setara dengan Evellyn itu sangat pendiam
dan jarang mengikuti kegiatan dunia luar. Ini kedua kalinya Evellyn bertemu Liliana.
Pertama saat Viscount Howell berulang tahun yang ke empat puluh tujuh, minggu lalu.
“Tidak apa-apa, Lady. Saya bisa menggantinya,” sahut Evellyn.
Berbicara tentang respons, sejak tadi mereka hanya memandang sang ratu dengan
sinis. Evellyn yakin mereka puas dan menganggap Liliana membalas ketidaksukaan
mereka.
“Saya undur diri dulu, Yang Mulia. Mari.” Putri Windsor itu sudah tak tahan dengan
keadaan. Ia lebih ingin melarikan diri.
“Tunggu!” sergah Elleinder dengan nada bersahabat, “Mohon maaf, bolehkah aku
undur diri? Aku harus membantu istriku sebentar. Silakan lanjutkan perbincangan
kalian.”
Evellyn menatapnya tak mengerti. Untuk apa Elleinder harus membantu?
Sedangkan, ada banyak dayang yang selalu mengikutinya. Meski begitu, Evellyn tak
protes sama sekali. Ia membalikkan badan tanpa menunggu suaminya.
“Aku yakin kau akan kesusahan,” tandas Elleinder. “Engkau mau ke sana sendiri
atau kugendong?”
Wajah Evellyn memanas hingga ke telinga. Untung saja hanya beberapa dayang dan
pengawal yang mendengar. “Tidak. Terima kasih, Yang Mulia.”
Seharian ini, tingkah laku Raja Skyvarna benar-benar membingungkan Evellyn.
Terkadang ia dingin, tapi tak dipungkiri ia berlaku lembut di saat tertentu. Seperti
malam ini. Tangan kirinya memeluk pinggang Evellyn, lalu yang kanan memegang
kendali kuda.
“Yang Mulia, Anda tidak ikut berlomba?” tanya Ratu Skyvarna heran.
“Tidak. Kalau aku ikut, sudah bisa ditebak siapa yang menang. Toh, aku hanya
perlu menyiapkan hadiah.” Suara itu terdengar sombong.
Evellyn mencibir diam-diam. Dia baru mengetahui suaminya begitu narsistik. “Lalu,
untuk apa kita berkuda?”
“Menikmati keindahan malam.” Elleinder menjawab tenang seraya makin
merapatkan tubuh Evellyn ke belakang.
“Y—yang Mulia?” Evellyn takut jantungnya meledak. Bahkan iramanya sudah
mencapai telinga. Apa mungkin Elleinder juga mendengarnya?
“Aku sedang dalam misi, Sayang.”
“Misi? Misi apa?” gumam Evellyn lagi lehernya terus-terusan geli. Tingkah sang
suami yang sengaja mengembuskan napas berulang-ulang. “Bisakah Anda berhenti?”
“Misiku rahasia, tapi jelas aku membutuhkan dirimu,” jawab Elleinder dengan suara
maskulin.
Harusnya ini menjadi hari Evellyn bersenang-senang, bukannya dikurung dalam
dekapan. Mimik Ratu Skyvarna itu berubah suram. Bibirnya maju beberapa senti
sembari terdengar gerutuan.
***
“Jadi, sesuai keputusan juri, pemenang lomba berburu kali ini jatuh kepada Viscount
of Machiavell! Selamat!” ucap Henry yang disahuti tepuk tangan para undangan Hari
Berburu.
Elleinder lumayan menikmati pertandingan malam ini. Ada banyak hasil perburuan
yang bisa mereka nikmati. Mulai dari babi, rusa, sampai kelinci sekalipun. Misinya
memang belum berhasil, tapi setidaknya senyum Evellyn telah kembali.
Perayaan seolah menjelma pesta. Musnah sudah keanggunan bangsawan ketika
dihadapkan pada sebotol alkohol. Walaupun Elleinder dikenal sebagai putra
pengkhianat dan raja yang kejam, tetapi para bangsawan tetap menghormati—atau
mungkin berpura-pura.
Berbagai jenis hidangan daging menjamu mereka dengan puas. Akan tetapi, itu tak
berlangsung lama setelah terdengar bentakan keras. Evellyn yang tengah bercanda
dengan beberapa bangsawan, cukup terkejut.
“APA YANG KAU LAKUKAN?” Daisy bersila pinggang dan memelototi Putri
Viscount of Machiavell. “Apa kau tidak punya tata krama?”
Mereka menjadi perhatian. Sedangkan Evellyn melirik sang suami yang tak
terganggu dengan keadaan sedikitpun. Ia malah menyesap minuman dengan santai.
“Saya hanya melakukan yang harus dilakukan,” jawab Liliana tenang.
“APA? Kau menyiram gaunku! Kau pikir gaun ini bisa kau beli dengan uangmu?”
Itu jelas-jelas perkataan yang menghina.
“Membalas perkataan menyakitkan lebih berharga daripada sebuah gaun. Bukan
begitu, Paduka Ratu?”
Sekarang justru Evellyn terseret ke dalamnya. Ia tak paham, apakah harus dirinya
yang turun tangan?
“Bisakah kalian memberitahuku dengan jelas?” tanya ratu Skyvarna dengan nada
lembutnya.
Mereka tidak ada yang mengeluarkan suara. Apa mungkin ini jebakan untuk Evellyn
di depan puluhan bangsawan Skyvarna?
“Walau aku tak mengetahui apa yang terjadi. Sebagai senior Liliana, aku memohon
maaf atas gaunmu, Lady Daisy. Lady Liliana mungkin tak nyaman dengan ucapan
Anda.”
Kerumunan itu berdengung ramai. Mereka menatap sang ratu dengan raut aneh.
Menurut mereka, apakah Evellyn menyalahkan Liliana?
“Dan Anda, Lady Daisy. Perkataan seorang putri adalah cerminan dirinya.
Setidaknya Anda harus berhati-hati dalam mengucap,” saran Evellyn yang begitu
mendayu dengan senyum malaikatnya, “terutama ketika Anda di hadapkan oleh
bangsawan yang lebih di atas Anda.”
Tidak seorang pun dari mereka yang membuka suara. Malahan, tangan Daisy
terkepal di samping tubuhnya. Sindiran itu jelas untuk siapa. Evellyn memang tak
melihat secara langsung pertengkaran mereka, tetapi ia bisa melihat senyum mengejek
di wajah mantan tunangan suaminya itu ditujukan untuk dirinya.
Malam dipenuhi kegaduhan dan kondisi mencekam. Pertengkaran Liliana dan Daisy
jelas memberi efek pada mereka. Kecuali Elleinder yang terus saja tersenyum di
sepanjang sisa pesta.
Suasana yang semula tampak bising, berganti dengan keheningan malam. Hanya
sinar lampu dari dalam tenda sebagai pengingat bahwa hutan itu dikunjungi tamu.
“Mereka sulit dikendalikan. Aku lelah.”
Satu tenda untuk berdua benar-benar membuat Evellyn kewalahan. Mungkin jika
hanya tidur berjauhan, ia masih bisa tertidur nyenyak. Tapi apa? Elleinder dengan
nyamannya memeluk Evellyn dari arah belakang. Padahal, ini baru pertama kali mereka
tidur saling berpelukan.
Malam semakin panjang. para penghuninya telah lelap menggapai mimpi. Tak
disadari oleh mereka akan ada badai di pagi hari. Di sebuah tenda yang cukup mewah,
tergeletak sesosok tubuh berlumuran darah. Entah bernyawa atau tidak, Bahkan tak
mengganggu tidur kawannya. Esok Skyvarna akan gempar dengan berita.
BAB 11
“Ratu!” teriak Elleinder yang terpaku di depan pintu, mengejutkan para dayang
Evellyn. Sedangkan si empu yang dipanggil tak menoleh sama sekali. Ia terlalu fokus
dengan latihan.
Ketika tiba di ruang kerja tadi, sang istri meninggalkan tugasnya hingga
terbengkalai. Marah? Tentu saja. Walaupun ia yakin, Evellyn memiliki alasan tersendiri
atas kelakuannya ini.
“Anda sudah kembali, Yang Mulia?” Sang ratu bertanya sembari merentangkan
busur panah tanpa memberi salam. Ini menyebalkan bagi Elleinder.
“Kenapa kau di sini? Apakah jadwalmu telah selesai?” Pertanyaan dijawab
pertanyaan, begitulah akhirnya. Raja Skyvarna mungkin dalam suasana hati tak baik.
Hari tentram Skyvarna, ternyata juga mengubah ketentraman hidup Evellyn. Saat
terjadi teror, jadwalnya sebagai ratu Skyvarna terbebas. Namun kini, bertemu istri dan
putri bangsawan seolah tujuan hidup Elleinder untuknya. Padahal, apa yang mereka
bahas hanya diulang-ulang. Khusus Evellyn, itu bukan sesuatu yang menarik dan tentu
membuatnya pening.
“Bukankah kau masih memilki jadwal bertemu Lady Daisy?”
Mata Evellyn langsung berpindah menatap wajah tanpa dosa di belakangnya. Apa
yang diinginkan suaminya ini? “Mengapa tidak Anda saja? Saya sudah memiliki
kegiatan lain.”
“Untuk apa aku menemuinya?” Bingung Elleinder.
“Entahlah, Yang Mulia.” Kembali gadis dengan mata terpercik keunguan itu
melepaskan anak panah dan tepat menemui titik tengah.
Elleinder tentu tengah terkagum-kagum. Kemampuan istrinya meningkat pesat.
Meski begitu, ia tak menyukai sikap cuek Evellyn terhadapnya. Apa dirinya sudah
melakukan kesalahan?
Tok! Tok! Tok!
“Yang Mulia Ratu, mohon maaf memotong pembicaraan,” sesal Madam Beliora
yang baru saja tiba.
“Ada apa, Bibi?”
Ia tak langsung menjawab, malahan menatap junjungannya dengan cemas. “Duke of
Cornwevic ingin menemui Anda, Yang Mulia.”
Mata Evellyn membesar. Duke Axton? Ada angin apa sampai pembesar Cornwevic
ingin menemuinya? Apa mungkin mereka ingin menagih janji?
“Katakan padanya, aku akan berganti baju sebentar,” suruh Evellyn, kemudian
membungkuk memberi salam pada sang raja. “Hamba izin terlebih dahulu, Yang
Mulia.”
“Pergilah. Aku akan menyusulmu.”
Evellyn segera undur diri diikuti dayang dan pengawal, menjauhi ruang latihan
Skyvarna. Ia akan mendatangi asal muasal kebenciannya terpupuk.
***
Saat memasuki ruang tamu istana, Evellyn melihat Duke dan seorang lady duduk
dengan angkuhnya. Mereka tampak cocok berada di sekitar kemewahan, gemerlap gaun
dan tata krama yang patut diacungi jempol.
“Selamat datang, Ayahanda,” salam Evellyn dengan nada hormat.
Nyatanya, semua tak masuk perhitungan ketika wajah bagai pinang dibelah dua itu
bersirobok pandangan. Ya Tuhan, ini benar-benar kejutan. Evellyn tak menyangka,
Eilaria Windsor akan datang ke hidupnya secepat ini.
Dengan gaun biru langit yang semakin menguatkan keindahan mata ungunya,
Eilaria yang Evellyn kenal sudah kembali seperti semula. Bulu mata lentik dan
senyumnya mengingatkan ratu Skyvarna terhadap dirinya sendiri. Waktu berlalu sangat
cepat, batinnya.
“Apa kabar, Eve?” tanya Eila, mengulurkan tangan hendak memeluknya.
Ia merasa kabar buruk akan menghantuinya mulai dari sekarang. Wajah yang sering
menyiratkan kebencian untuk Evellyn, kini hadir kembali. Tampaknya mereka tak ingin
memberi belas kasih untuk perjuangannya selama ini.
“Apa kabar? Kulihat kau menikmati semua ini,” kata lelaki bermata merah yang
bersedekap, mengulangi pertanyaan putri kesayangannya ketika Evellyn tak menyambut
pelukan sama sekali.
“Ada apa kalian mencariku?” tanya Evellyn langsung pada tujuan. Dari pada
bermain emosi, lebih baik ia duduk tenang untuk menunjukkan kedudukannya.
“Kau tidak perlu angkuh, Yang Mulia. Aku datang sebagai ayahmu, bukan
bangsawan Cornwevic. Dan, tentu saja, Eila hendak menemui saudarinya. Apakah itu
salah?”
“Aku tidak yakin untuk itu.” Evellyn menyesap sedikit teh yang telah disediakan
pelayan.
“Wah, wah, kau benar-benar menikmati peranmu, ya? Aku salut, Evellyn. Kupikir
kau akan mengingat kami, ternyata kebebasan yang kutawarkan kau manfaatkan dengan
baik.”
“Silakan diminum, Ayah. Aku akan menjawab pertanyaan kalian perlahan-lahan.” Ia
bukan lagi Evellyn Windsor, tetapi Ratu Kerajaan Skyvarna. Gelar itu memang milik
Eila. Tapi, itu sebelum mereka mengirimnya untuk menggantikan saudari yang licik itu.
“Katakan, sampai sejauh mana rencanamu berhasil?” Cangkir berlapis emas itu
sudah terhirup sedikit.
“Rencana saya berubah arah,” kata Evellyn mencoba jujur.
Trak!
Duke Axton rupanya mulai terganggu ketenangannya. Ia setengah membanting
gelas yang kini menjadi titik fokus Evellyn.
Lelaki setengah baya itu menyelami putrinya dengan tajam. “Kau pikir apa yang kau
lakukan?” Suaranya sangat dalam tanpa emosi. Walaupun begitu, Evellyn bisa
mendengar nada dingin darinya.
“Skyvarna lebih membutuhkan saya dari pada putri kesayangan Anda ini,” jawab
Evellyn lugas sembari menunjuk tepat ke arah Eila. Berulangkali melihat kesombongan
Elleinder, membuatnya mudah untuk meniru.
“Memangnya apa yang sudah kau lakukan untuk Skyvarna?”
“Menyelamatkan mantan calon suami saudariku,” jawab Evellyn dengan mata
bersinar tajam, mengingatkan Duke Axton tentang seberapa berbahayanya Evellyn.
“Kau yang telah menjebak Eila. Dan sekarang kau menyalahkan kami?” cibir lelaki
munafik itu dengan kentara.
Evellyn berdecak. “Anda yang menjebak saya melalui Eila. Maka sekarang,
nikmatilah apa yang menjadi tanggung jawab kalian.”
“Apa maksudmu, Eve? Kami tidak menjebakmu. Malah inilah cara untuk
membebaskanmu,” sergah Eilaria.
“Dengan apa? Menukar kita lagi?” tanya Evellyn lantas berdiri. “Tidak, terima
kasih. Silakan Anda berdua pulang. Saya terlalu sibuk.” Ia berjalan anggun tanpa
menunjukkan sisi kerapuhannya.
Tapi..., itu tak berselang lama. Dari arah pintu datanglah Elleinder yang menatap
Evellyn dengan sorot penuh selidik. Apa mungkin raja Skyvarna telah mendengar
semuanya? Ada rasa takut yang menggelayuti hati putri yang dinomorduakan itu.
“Salam, Yang Mulia,” ucap Eilaria dan Duke Axton secara bersamaan. Mereka juga
sama-sama terkejut dengan kehadiran Elleinder.
“Kenapa terburu-buru? Apakah sudah selesai bertukar rindunya?” Suara raja
terdengar misterius.
“Saya lihat Paduka Ratu sibuk dengan jadwal kerajaan, Yang Mulia. Kami takut
mengganggunya.” Itu seperti sebuah sindiran.
“Wah, ternyata kau memiliki saudari kembar, ya, Sayang? Kenapa tak
memperkenalkan kami?” Elleinder menjawabnya dengan ucapan lain.
Evellyn berharap ia tenggelam saat ini juga.
“Perkenalkan, ini putri saya yang lain, namanya Evellyn Windsor,” jawab Duke of
Cornwevic. Oh ternyata, semua masih harus dirahasiakan. Eve menjadi Eila dan Eila
menjadi Eve.
“Aku tak menyangka kalian sangat mirip tanpa bisa dibedakan. Kecuali melalui
nada suara. Lain kali, kita harus berbincang-bincang untuk saling mengenal.” Elleinder
mengedipkan mata kirinya, menggoda Eila.
“Te—terima kasih, Yang Mulia.” Nada manja dari bibir saudarinya terdengar
menyebalkan untuk Evellyn. “Kalau begitu, kami permisi dulu. Saya harap ini tidak
mengganggu Anda, Paduka Ratu.”
“Ya. Istriku memang sibuk dengan urusan negara sampai melupakan waktu makan
siangnya.” Sang raja Skyvarna menjawab.
Baru lima menit lalu Evellyn mengatakan jadwal telah selesai. Dan, bibir manis
seorang Eila membuatnya terlihat buruk.
“Kalian tidak ingin beristirahat sejenak?”
“Tidak apa-apa, Yang Mulia. Kami harus pamit. Ada keperluan penting.”
“Baiklah. Maafkan kami yang tidak bisa mengantar kalian.”
Begitu kereta yang membawa Duke dan putrinya hilang peredaran dari pintu
gerbang, Evellyn harus terdampar di ruang makan dengan kecanggungan luar biasa.
“Anda marah, Yang Mulia?”
Suara lirih itu membuat sendok Elleinder berhenti di udara demi menatap wajah
sang istri. “Kenapa aku harus marah?” Ia menghela napas dan melanjutkan makannya.
Evellyn juga tak tahu. Kedatangan Duke yang terlalu gegabah membuat gadis itu
khawatir. Tekanan yang perlahan hilang ketika bertemu Elleinder, tiba-tiba saja kembali
lagi.
“Saya takut Anda marah karena tidak memperkenalkan kembaran saya.” Evellyn
menahan pertanyaannya.
“Tidak. Aku tidak marah, hanya terkejut. Banyak bangsawan mengatakan kepadaku
bahwa Axton hanya memiliki seorang putri. Dan hari ini, kalian membawa sebuah
berita besar,” kata Elleinder sembari menyeka mulutnya dengan serbet.
“Maaf, Yang Mulia.” Ratu Bardolf tersebut tak mengerti maaf seperti apa... yang
patut untuk dirinya.
“Dapatkah engkau menceritakan tentang keluargamu untukku? Eila mungkin?”
Evellyn terkejut mendengar permintaan Elleinder, ia tidak menduga lelaki ini akan
memintanya menceritakan tentang keluarga. Keluarga yang mana? Yang asli atau
palsu? Ia berharap suaminya lekas melupakan pertanyaannya, sebab Evellyn bingung
harus mengakui kejujuran atau sebuah kebohongan lagi.
“Bolehkah saya memikirkan dulu, Yang Mulia?”
“Ada apa? Apa mungkin ada yang kalian sembunyikan?”
Untung saja Evellyn sudah selesai makan, kalau tidak ia pasti tersedak. “Bu—bukan
begitu. Saya—”
“Aku bercanda, Queen. Maklum, kau terlihat tidak terlalu dekat dengan mereka.
Jika sudah waktunya, kuharap kamu mau menceritakan semuanya,” ucap Elleinder
lembut sembari menghampiri Evellyn dan mendekapnya dengan khidmat.
Ribuan maaf berdengung di kepala sang ratu Skyvarna. Ia mencintai Elleinder
semenjak mereka bertemu di altar. Wibawa dan sifat sang suami tak pernah dirinya
dapatkan dari lelaki lain. Mereka yang mengaku menyukainya, hanya menginginkan
harta, takhta, dan kecantikan semata. Sedangkan untuk Grissham dan Rush, ia
menganggap keduanya sebagai sahabat sekaligus saudara.
Hanya saja, dengan cinta ini, ia takut mengkhianati saudarinya. Ia takut semua
hanya mimpi. Ia takut bagi Elleinder, ia hanya teman sehari-hari. Ia takut cinta akan
kembali menyakiti.
“Terima kasih dan maaf, Yang Mulia,” lirihnya.
***
“Cinta itu jebakan,
untuk mencari yang terkuat dari yang paling kuat”
***
“Apa kita harus bercerita yang lain?”
Semalaman kemarin, mereka telah memiliki jadwal untuk bertukar pikiran tentang
sesuatu. Sejarah Marcopolo menjadi topik hangat di atas ranjang raja-ratu Skyvarna.
Meski terkadang, mereka juga berkeluh kesah satu sama lain.
“Saya tidak pernah membaca buku lain, Yang Mulia,” jawab Evellyn yang
meletakan kepalanya di pundak sang suami. Ia sedikit mengantuk karena elusan
Elleinder di rambutnya.
“Kalau begitu, ceritakan tentang Helmentra,” tukas lelaki yang mulai menciumi
kepala sang istri. Sebagai orang yang baru mengenal Evellyn, masih banyak hal yang
tidak ia mengerti.
“Apa yang harus saya katakan? Tak ada yang spesial dari Helmentra.”
“Ilmu silat kalian mungkin?” Kamar ini terasa hangat untuk sepasang pengantin
yang baru saling mendekatkan diri. Elleinder teringat di waktu Evellyn mengajarkan
suatu ilmu terhadap para Helmentra. Ya, sebagai apresiasi tertingginya menumpas
pemberontak, istana Skyvarna menjadi markas mereka.
“Anda tidak akan percaya, jika saya katakan bahwa Helmentra belajar nin-jutsu
Jepang,” ujar Evellyn kalem sembari bangkit menyandarkan diri.
“Wow, benarkah? Apa mereka seorang ninja? Kukira hanya pakaian saja yang
mirip,” kata Elleinder ikut menyamankan tubuh di samping istrinya.
“Saya memiliki seorang guru yang berasal dari Jepang. Hanya sekali dalam sebulan
kami bisa bertemu. Bahkan, seisi Cornwevic tidak ada yang mengetahuinya. Di mata
mereka, Helmentra hanyalah pasukan pelindung. Nama beliau adalah Kunoichi, yang
artinya ninja wanita. Kami bertemu pertama kali di sungai dekat Cornwevic, ketika saya
berumur sepuluh tahun. Beliau adalah perantau yang sedang meneliti Skyvarna.
“Setelah itu, kami menjadi dekat. Beliau bagaikan ibu untuk saya. Hingga suatu hari
Kunoichi mengajari caranya membela diri. Turun temurun, saya menjadi perantara
antara Helmentra dan nin-jutsu. Dan... seperti yang Anda lihat sekarang, Helmentra
menjadi pasukan saya. Selesai,” cerita Evellyn, sangat panjang. Sampai-sampai
Elleinder menganga tak percaya. Apa benar ini istrinya?
“Ada apa, Yang Mulia?” tanya sang ratu heran.
“Ah, tidak. Aku terkagum-kagum dengan ceritamu. Di usia muda, kau sudah bisa
mempelajari sesuatu yang sulit. Lalu, apa itu nin-jutsu?”
“Nin-jutsu adalah nama seni bela diri, strategi, dan taktik perang para ninja. Ada
sekitar delapan belas cabang dari nin-jutsu. Salah satu di antaranya bernama hentso
jutsu, ilmu menyamar dan membaur untuk mengalihkan perhatian orang dan sulit
dilacak. Sampai sekarang, saya belum bisa mempelajari ilmu tersebut.”
Malam berbintang menjadi saksi kebersamaan mereka. Menerbitkan rasa saling
membutuhkan dan meninggalkan masa lampau. Evellyn memang memiliki ilmu ninja,
tapi tidak sepenuhnya ilmu itu boleh digunakan. Ada kalanya, darah perempuan
bangsawan yang mengalir dalam tubuhnya menjadi penyekat kesembronoannya.
“Terima kasih sudah menceritakannya, Ratu.”
Mereka kembali berbaring saling memeluk. Malam sudah cukup larut untuk tetap
terjaga.
“Dan kuharap selanjutnya adalah cerita tentang dirimu atau keluargamu,” lanjut
Elleinder sembari bersiap menjemput mimpi. Ia bahkan tak sadar kata-katanya membuat
kegelisahan menyelinap di hati sang istri.
“Selamat tinggal, Eve. Hiduplah dengan baik, carilah seseorang yang akan
melihatmu apa adanya.” Seperti itulah perkataan Kunoichi sebelum ia menghilang,
meninggalkan Evellyn dalam kesendirian.
“Saya takut kejujuran akan membuat Anda membenciku, Raja. Dan mungkin
setelahnya, kegelapan akan mengurungku kembali,” gumam Evellyn di pelukan
Elleinder.
BAB 13
“Apa yang Ayahanda lakukan?” tanya Elleinder kecil dari balik pintu kamar utama.
“Hei, Nak? Kau belum tidur?” Ya, ini sudah hampir pukul sebelas malam. Para
penghuni istana timur telah menuju peraduan masing-masing. Tak ada pelayan atau
penjaga berlalu lalang, kecuali di gerbang utama.
“Nanny melupakan air minum untuk saya,” jawab Elleinder dua belas tahun.
“Kalau begitu, cepatlah tidur. Ayah akan mengambilkannya untukmu. Kau tidak
ingin dimakan hantu, kan?” Cerita klise dari Geraint Bardolf untuk sang putra.
Elleinder bergidik ngeri. Ia sering mendengar cerita hantu dari sang ayah. Setiap
pukul dua belas malam, ia tidak boleh berkeliaran di luar, harus menutup jendela dan
pintu kamar rapat-rapat. Jangan menginjakan kaki ke lorong barat, kalau tidak, hantu itu
akan muncul dari sana.
Pernah suatu hari Elleinder mencoba melanggar perintah orang tuanya. Ia berjalan
ke ruangan barat tanpa alas kaki. Bahkan Ayah, Ibu, dan Nanny tak ada yang tahu. Ia
berpura-pura ingin menyelamatkan sang putri dari cengkeraman hantu.
Kaki mungilnya berjalan mengendap-endap. Kepala kecilnya menyisiri penjuru
mata angin untuk melihat adakah yang masih berjaga. Ketika semua aman, Elleinder
berjingkat, sedikit berlari menuju lorong-lorong berlapis emas itu. Rasa bangga bisa
bermain tanpa ditemui hantu mulai membuncah.
Akan tetapi, semua tak berselang lama. Elleinder kecil dikejutkan dengan suara
teriakan seseorang. Itu terdengar familier. Karena penasaran, ia mendekati asal suara.
Bahkan teriakan itu mulai menggema di kepalanya.
“T-to... tolong. To... long, ja... ngan.... Jangan lakukan, Kak. Akh!” Suara-suara itu
disusul erangan kesakitan dari seseorang.
Dari celah pintu yang tak tertutup sempurna, mata Elleinder membelalak lebar. Ya
Tuhan, itu bibinya, Sandrina Bardolf. Ada banyak darah menetes dari kepala dan perut,
sedangkan lebam menghiasi tubuh setengah telanjangnya.
“Dasar kau, adik tidak berguna! Apa kau pikir dengan membeberkan rencanaku,
Raja Alzevin akan memercayaimu? Dasar bodoh! Kau tak lebih dari parasit di hidupku!
Dan ketika kakakmu ini ingin berjaya, kau malah ingin menjegalku. Apa maumu,
Sialan?” Suara ayahnya terdengar mengerikan di telinga Elleinder.
Ruangan itu cukup gelap untuk mengaburkan semuanya, tapi Elleinder tahu itu
suara ayahnya, sedangkan bibinya terluka.
“Tapi..., An... da..., Anda keter... laluan, Kak.” Terdengar Sandrina menahan rasa
sakitnya.
“APA YANG KAU BILANG KETERLALUAN?” Perkataan itu menggelegar
seolah hendak meruntuhkan gedung.
“Tentu saja... ting... tingkah An... da,” lirihnya, berganti tangisan dan cukup
membuat hening ruangan yang Elleinder yakini sebagai penjara karena banyak tali
berserakan. Ditambah lagi ruangan itu menjadi tempat haram di kediaman Bardolf.
“Kenapa Anda membalas beliau dengan hal seperti ini? Sadarlah, Kak,” lanjutnya
dengan suara parau.
“Kau yang tidak sadar, San. Apa kau pikir cintamu bisa mengalihkan perhatian
Alzevin dari istrinya? Hanya dengan cara ini kita bisa menguasai Skyvarna dan
membalaskan dendam cintamu.” Penjelasan sang ayah terdengar dalam dan
menjanjikan.
“Lebih baik aku mati daripada mengikuti rencana busukmu, Kak!” bentaknya
dengan sangat egois.
“Kau benar-benar tak tahu diuntung! Pergilah kau ke neraka!”
Setelah itu, Elleinder mendengar bibinya mengatakan, “El... Ellein... der a... kan...
mem... ben... cimu, Kak. Selamat tinggal.”
Elleinder hanya bisa menahan teriakannya dengan telapak mungil itu. Ia berlari
seperti dikejar sesuatu, bahkan berkali-kali terjatuh. Bangkit, berlari, lalu jatuh kembali.
Langkah kecilnya terseok-seok menuju tempat tidur. Untuk anak seusia itu, melihat
kekejaman sang ayah di depan mata memukul keras psikologisnya. Ia mual, tapi
dibungkam kuat-kuat, takut lelaki yang ia panggil ayah mendengar tangisannya.
Apalagi, ada suara langkah kaki di depan kamarnya.
“Bibi San,” lirihnya, membayangkan mata sang bibi saat tak sengaja menangkap
kehadirannya dengan tersenyum. “Maafkan aku, Bi,” lanjutnya. Kemudian, Elleinder
yang malang pingsan, membawa mimpi buruk ke masa depan.
“Maafkan aku, Bi. Maaf.”
Rintihan itu membangunkan Evellyn dari tidur lelapnya. Ia menatap lekat sang
suami yang tampak tak nyaman dengan tidurnya. Ada kerutan di dahi yang dialiri
keringat. Bibirnya membuka menutup seperti orang kesakitan.
“Yang Mulia? Bangun, Yang Mulia!” desak Evellin khawatir.
Mata itu terbuka, masih sedikit terlihat luka yang dibalut kebingungan. “A—ada
apa?” napas Elleinder terdengar tak beraturan.
“Anda bermimpi buruk, Yang Mulia?” tanya ratu Skyvarna itu dengan mengelus
lembut garis wajah suaminya.
“Ya,” gumam Elleinder sembari tersedot lamunan.
Evellyn merapatkan tubuhnya ke sisi Elleinder. “Saya di sini, Elleinder. Selalu di
sini. Di sampingmu.”
Raja Skyvarna menghela napas dan tersenyum merasakan kelembutan kulit sang
istri di telapak tangannya. “Terima kasih, Sayang.”
“Anda ingin bercerita?” Suara mengantuk Evellyn teredam di dada Elleinder.
Hening, seakan waktu membisu. Mata Elleinder menyiratkan luka terlampau basah.
Ia belum berani mengatakan yang sebenarnya tentang mimpi buruk ini. “Aku takut,
Ratu. Aku takut menyakitimu.”
Tak ada jawaban. Elleinder menengok ke wajah yang terkubur di dadanya. Ia
tersenyum lembut ketika mendengar dengkuran kecil menghiasi bibir sang kekasih.
“Terima kasih.” Selesai mengatakannya, sang empu mencium lembut dahi Evellyn
yang tersenyum teduh dalam tidurnya.
***
Hari masih pagi, tetapi Elleinder terlihat sibuk di ruang kerjanya dengan tumpukan
laporan tebal dan surat pemanggilan untuk para menteri. Ia menekuni pekerjaannya
dengan serius seolah tak terusik apa pun.
Ketukan pintu membuat Elleinder mendongak, disusul suara seseorang, “Saya
datang menghadap, Yang Mulia.”
Elleinder mempersilakan. “Masuklah, Bran.”
Lelaki berpakaian menteri pada umumnya itu masuk dengan membawa beberapa
berkas. “Ini data yang Anda minta, Yang Mulia.”
“Duduklah dulu. Aku akan mempelajarinya sebentar,” kata raja muda itu dengan
membolak-balikkan kertas yang diterima.
“Ada berapa menteri yang dipenjarakan ayahku? Kenapa hampir semua pegawai
baru?” tanya Elleinder tampak tidak terkejut. Malahan dari awal ia sudah menduganya.
Skyvarna memang mulai membaik secara finansial, hanya saja beberapa laporan
data tidak valid, antara pengeluaran dan pemasukan mempunyai perbedaan besar. Justru
penjara Skyvarna terlalu dipenuhi oleh orang-orang yang menjunjung tinggi kejujuran.
Orang miskin yang tak membayar pajak, orang kaya yang membangkang Geraint, dan
para pegawai terdahulu yang lebih setia dengan Raja Alzevin.
Elleinder bersyukur mereka dikelompokkan sesuai kesalahannya. Tentu mudah
untuknya mengeluarkan siapa-siapa saja yang tak salah.
“Berapa penjara yang berada di luar istana?” tanya Elleinder, menerka beberapa
tahanan dikurung di luar kerajaan.
“Dua di antaranya berada di Cornwevic dan satu berada di Clementine,” jelas
Brandon, si kepala penjara.
Elleinder mengangguk, lalu mulai menyeleksi mereka yang bersalah dan tidak.
“Tolong bebaskan mereka yang kucoret menggunakan tinta merah. Kelompokkan di
mana saja mereka dikurung dan laporkan hasilnya padaku.”
“Baik, Yang Mulia.”
“Tapi ingat, tugas ini jangan kau wakilkan pada siapa pun. Aku percaya kau bisa
melakukannya sebaik mungkin,” titah lelaki bermata hitam itu.
“Saya akan berusaha, Yang Mulia.” Kemudian ia undur diri dan pergi dengan
pundak terangkat dan senyum semringah yang menular pada Elleinder.
Raja Skyvarna itu yakin, Brandon sudah lama menjadi pelayan setia ayahnya demi
kebebasan. Lelaki empat puluh tujuh tahun yang harus menghidupi istri dan kedua
anaknya itu kini bisa tersenyum lega setelah keluar surat resmi pembebasan kawan
seperjuangannya.
Menjelang sore, ribuan lelaki gagah dan paruh baya datang ke aula istana demi
mengucap terima kasih pada sang raja. Sekarang mereka bisa menghirup udara luar
dengan tenang. Tak ada lagi bunuh-membunuh. Bagi mereka, Elleinder bukan serigala
seperti ayahnya.
“Anda berhasil, Yang Mulia,” ucap Evellyn di balkon kamar kerajaan yang kini
resmi menjadi kamar utama raja-ratu.
“Belum, Ratu.”
Akhir-akhir ini keduanya begitu intim satu sama lain. Saling memeluk, berbisik, dan
bercanda mesra. Tak ada kecanggungan yang tertinggal sedikit pun.
“Mengapa?” tanya Evellyn seraya mengelus kepala sang suami yang menyender di
bahunya, menikmati suasana indah Skyvarna di balik keindahan senja.
Tangan Elleinder menempel erat di perut Evellyn. Ia tengah memeluk istrinya dari
arah belakang. “Aku belum mengevaluasi para menteri. Kupikir akan memakan waktu
lebih lama. Huh, rasanya lelah. Tidak bisakah kita kabur dan liburan ke mana pun?” Ini
perilaku baru seorang raja Skyvarna. Manja dan mudah menempel pada Evellyn.
“Sabar.... Akan ada masanya kita melepas lelah. Toh, ini demi negara,” nasihat sang
istri cantik yang terlalu muda untuk mengemban tanggung jawab di mata dunia.
“Ya, kuharap itu secepatnya.”
“Anda ingat tentang Rowlands, Yang Mulia? Kudengar putri beliau tengah ikut
sayembara pencarian permaisuri Kerajaan Locko. Tidakkah itu melanggar ketentuan?”
Evellyn mengubah topik pembicaraan. Sesungguhnya, jantungnya tengah berdisko ria.
Berasa ribuan kupu-kupu mengaduk perut akibat dekatnya bibir sang suami dengan
tengkuknya.
“Tidak, Sayang. Skyvarna tak akan melarang putri bangsawan mengejar
keinginannya. Tapi..., akan kasihan jika itu sia-sia,” sahut Elleinder mengangkat kepala.
“Apa yang sia-sia?” Kebingungan menyelimuti Evellyn.
“Aku tak yakin esok Rowlands akan terbebas. Karena menurut laporan, ia terlibat
dengan rencana ayahku. Ditambah lagi, catatan kriminalnya yang membawa lari uang
rakyat demi kepentingan pribadi.”
Evellyn sendiri tahu, Rowlands adalah tangan kanan Geraint, meskipun penasihat
kerajaan masih dipegang oleh George. Ayah Drystan itu menentang raja secara diam-
diam. Ia lebih suka mengomentari langsung sistem pemerintahan daripada merebut
kekuasan.
“Apakah Skyvarna akan kembali seutuhnya, Yang Mulia?” gumam Evellyn.
“Aku belum yakin seratus persen. Namun, aku yakin rakyat selalu mendukung
kinerja kita,” kata Elleinder tenang. “Sudahlah, kita lupakan sejenak tentang masalah
menteri. Aku ingin bertanya, Ratu. Aku belum pernah mendengar bahasa yang kau
gunakan kemarin.”
“Bahasa apa, Paduka?”
Elleinder membalik tubuh sang istri, menghadap ke arahnya. “Bahasa yang kau
gunakan bersama Helmentra kemarin pagi.”
Ah, gadis itu ingat. Helmentra tengah melaksanakan tugas khusus darinya, yaitu
untuk memata-matai keadaan Cornwevic. Tentu saja, ia tak ingin Elleinder mendengar
itu, maka Evellyn dan Grissham berbicara menggunakan bahasa khusus yang diajarkan
Kunoichi.
“Ah, itu. saya menggunakan Bahasa Jepang.” Jujurnya dengan raut semanis
mungkin agar tak dicurigai.
“Kau bisa Bahasa Jepang?” tanya Elleinder tertarik.
Dengan kepala mengangguk kuat, Evellyn mencoba mengalihkan perhatian sang
suami agar tidak menanyakan tentang apa yang ia katakan dengan Ketua Helmentra.
“Bisakah kau mengajariku?” ujar lelaki nomor satu di Skyvarna itu.
“Untuk apa, Yang Mulia? Anda tidak akan berlibur ke Jepang, bukan?” tanya
Evellyn dengan mengerutkan kening. Jangan sampai Elleinder fasih menggunakan
bahasa itu. Ini akan menjadi senjata makan tuan untuknya.
“Tidak. Aku hanya ingin mencoba mengerti pembicaraanmu dengan anggota lain.”
Mata Elleinder memancarkan cahaya permohonan. Tentu saja akan sulit ditolak oleh
sang istri.
“Ba—baiklah. Akan saya usahakan.”
“Benar, ya?” Tingkah raja Skyvarna persis seperti anak berusia lima tahun yang
dibelikan roti.
Menghabiskan sore menjelang malam dengan saling menggoda adalah hal terbaik di
hidup Evellyn. Ia bisa merasakan kasih sayang Elleinder untuknya, meski sang suami
belum mengatakan cinta sekali pun.
“Yang Mulia,” tegur Nanny yang berdiri di pintu penghubung kamar dan balkon.
Awalnya ia tertegun melihat kemesraan junjungannya. Namun, ia bersyukur Skyvarna
mulai menampakkan sinar melalui kedekatan raja dan ratu.
“Ada apa?” tanya Elleinder.
“E... makan malam sudah siap, Yang Mulia. Kami takut Anda berdua sakit karena
meninggalkan makan siang.”
Evellyn tersenyum dan menarik tangan Elleinder untuk lepas dari tubuhnya. Ia
menghampiri Nanny, pelayan pribadi sang suami yang sekaligus ia anggap sebagai
ibunya sendiri.
“Kau sudah makan, Bibi?” Ya, sama seperti dirinya memanggil Madam Beliora,
Evellyn juga memanggil Nanny dengan sebutan bibi.
“S—saya akan makan nanti bersama Nyonya Beliora saja, Yang Mulia Ratu.”
Tak ada ratu seramah Evellyn yang mau mengajak pelayan dan pengawal bergabung
untuk makan bersama mereka di meja makan. Toh, bagi Evellyn, selama belum
memiliki putra ataupun putri, meja makan raja dan ratu bebas untuk siapa saja.
“Kau tidak mengambilkan untukku, Sayang?” tegur Elleinder seraya tersenyum
melihat tingkah ratunya yang begitu baik pada orang lain.
Gadis bergaun hijau dengan brokat emas itu, melupakan isi piring suaminya dan
malah mengambilkan isi piring beberapa pelayan atau pengawal.
“Ah, maafkan saya, Yang Mulia.” Dengan cekatan, Evellyn memenuhi keperluan
suaminya. Walaupun ada pelayan yang ingin menyiapkan makanan untuknya dan
Elleinder, Evellyn tak segan untuk membantu mereka.