Anda di halaman 1dari 6

Kegawatdaruatan Anak

Kondisi kegawatdarutan pada bayi dan anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang
bergantung pada usia. Pada anak lebih dari 1 tahun selain penyakit infeksi, renjatan, penyebab
terbanyak lain adalah cedera, seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan sepeda, luka bakar,
cedera senjata api, dan tenggelam (Cullen, 2002; Djalil, 2011). Sebagian besar kasus
kegawatdaruratan pada anak yang menyebabkan henti jantung sering disebabkan oleh hipoksia,
pada anak jarang dijumpai gangguan primer jantung yang dapat menyebabkan henti jantung
mendadak. Hipoksia jaringan dapat berawal dari gagal napas dengan kurangnya oksigenasi yang
adekuat atau terjadi hipoperfusi berat yang disebabkan oleh gagal sirkulasi. Gagal napas dan
gagal sirkulasi yang tidak teratasi dengan baik, ditambah kondisi anak yang semakin memburuk,
memicu terjadinya henti napas dan sirkulasi (European Resuscitation Council, 2015).
Penilaian kegawatan pada bayi dan anak yang sakit berat seringkali tidak mudah.
Gangguan sistem respirasi dan sirkulasi pada bayi dan anak dapat memburuk dalam waktu
singkat. Diperlukan penilaian yang cepat dan terintegrasi untuk membuat keputusan terapi dalam
waktu cepat tanpa atau dengan adanya pengalaman klinis perawatan anak-anak yang sakit kritis
(Djalil, 2011; De Caen, 2015; Fuch, 2016; Somasetia, 2016).
Pediatric Assesment Triangle
Penilaian umum observasi cepat (< 60 detik) dengan menggunakan Pediatric Assesment
Triangle (PAT) merupakan penilaian kegawatdaruratan tanpa memegang anak yang
berdasarkan pada 3 komponen klinis yaitu (Djalil, 2011; De Caen, 2015; Fuch, 2016;
Somasetia, 2016): Appearance/penampilan, Breathing/pernapasan, dan Circulatory status/
statussirkulasi.
1. Appearance/penampilan
Penampilan anak meliputi penilaian tonus otot, status mental, dan gambaran sistem
respiratorik, sirkulasi dan fungsi otak yang adekuat. Penampilan anak seringkali merupakan
cerminan kecukupan ventilasi dan oksigenasi otak. Namun demikian beberapa keadaan lain,
dapat pula memengaruhi penampilan anak seperti hipoglikemi, keracunan, infeksi otak,
perdarahan atau edema otak atau juga penyakit kronik pada susunan saraf pusat (Djalil, 2011;
Pediatric Advanced Life Support, 2015; Fuch, 2016; Somasetia, 2016).
Penampilan anak dapat dinilai dengan berbagai skala. Metoda “Ticles” meliputi penilaian
tonus (T = Tone), interaksi (I = Interactiveness), konsolabilitas (C = Consolability), cara
melihat (L = look/Gaze), dan berbicara atau menangis (S=Speech/cry).
1. Tonus/Tone: Bagaimana tonus otot bayi, baik, atau lumpuh? Apakah anak bergerak aktif
atau menolak pemeriksaan? Pada anak yang sakit kritis sering dijumpai tonus otot yang
menurun atau tampak lemas dan lemah.
2. Interaksi/Interactiveness: Apakah anak bergerak dan interaktif, atau acuh tak acuh pada
lingkungan? Anak yang meraih mainan atau menunjukkan kecemasan pada lingkungan
baru namun sesuai dengan perkembangannya tidak mengkhawatirkan, lain halnya bila anak
tidak merespons pengasuh atau tidak menolak ketika dilakukan pemeriksaan fisik lengkap.
Apakah suara memengaruhinya?
3. Konsolabilitas/Consolability: Apakah anak dapat ditenangkan atau dialihkan perhatiannya
oleh orang tua atau pengasuh? Atau anak menangis terus? Menangis mungkin merupakan
gejala non spesifik yang tidak menunjukkan kecemasan atau rasa lapar, bukan rasa tidak
nyaman yang hebat.
4. Pandangan mata/posisi paksa/Look/Gaze: Apakah anak fokus pada orang atau objek di
lingkungannya atau pandangan mata tidak fokus? Tatapan yang tidak responsif, pandangan
kosong menunjukkan gangguan status mental (kesadaran).
5. Bicara/Tangisan/Speech/Cry: Apakah menangis nyaring dan kuat atau lemah? Tangisan
lemah merupakan indikasi penting penyakit serius. Sebagai tambahan suara serak atau
redup menunjukkan obstruksi saluran napas atas.
Kita harus waspada pada anak yang lemas, tidak interaktif, lesu, dan menangis lemah (Djalil,
2011; Pediatric Advanced Life Support, 2015; Fuch, 2016; Somasetia, 2016).

2. Breathing/pernapasan (Upaya Napas)


Anak yang memiliki gangguan oksigenasi dan atau ventilasi mungkin memiliki masalah
pernapasan, hal ini ditunjukkan dengan peningkatan upaya napas. Penurunan usaha napas
tampak saat pasien tampak kelelahan berisiko mengalami gagal napas dan henti napas.
Karakteristik hal yang dinilai adalah:
a. Suara napas tambahan: Suara napas abnormal yang dapat didengar tanpa stetoskop sering
merupakan indikasi terjadinya distress napas. Contohnya stridor, mendengkur, merintih,
dan mengi.
b. Posisi: Agar jalan napas lebih bebas saat terjadi obstruksi, anak mungkin memposisikan
diri dengan posisi menghidu/“sniffing position“ (leher fleksi, kepala sedikit ekstensi) untuk
meluruskan poros saluran napas dan memperbaiki aliran udara. Untuk anak yang lebih
besar, posisi tripod–anak duduk dan condong ke depan, dengan kedua lengan bertumpu di
samping sehingga tampak lebih nyaman.
c. Penggunaan otot tambahan: Pasien bayi dan anak dengan oksigenasi atau ventilasi yang
tidak adekuat sering menggunakan otot napas tambahan (kelompok otot supraklavikula,
interkosta, dan atau substernum) untuk meningkatkan volume tidal sehingga memperbaiki
ventilasi semenit. Retraksi terjadi karena penggunaan otot napas tambahan, baik
supraklavikula, interkostal, dan atau substernum. Head bobbing (ekstensi kepala saat
inhalasi dan bergerak ke depan saat ekshalasi) dan napas cuping hidung merupakan
indikator lain penggunaan otot napas tambahan dan terjadinya distres napas (Djalil, 2011,
Pediatric Advanced Life Support 2015, Fuch 2016, Somasetia, 2016).

3. Circulatory status/status sirkulasi.


Pucat atau sianosis adalah salah satu tanda terjadinya hipoksemia atau gangguan perfusi ke
kulit. Waktu pengisian kapiler yang buruk atau kulit yang teraba dingin juga menunjukkan
keadaan perfusi yang buruk. Suhu lingkungan yang dingin dapat menyebabkan vasokonstriksi
perifer pada anak sehat yang mengakibatkan tampak bercak kebiruan (mottling) di kulit anak
dengan sirkulasi normal. Acrocyanosis (sebagai akibat instabilitas vasomotor) mungkin
merupakan kondisi normal pada anak berusia < 2 bulan (Djalil, 2011; Pediatric Advanced
Life Support, 2015; Fuch 2016; Somasetia, 2016).

Pucat atau sianosis adalah salah satu tanda terjadinya hipoksemia atau gangguan perfusi ke
kulit. Waktu pengisian kapiler yang buruk atau kulit yang teraba dingin juga menunjukkan
keadaan perfusi yang buruk. Suhu lingkungan yang dingin dapat menyebabkan vasokonstriksi
perifer pada anak sehat yang mengakibatkan tampak bercak kebiruan (mottling) di kulit anak
dengan sirkulasi normal. Acrocyanosis (sebagai akibat instabilitas vasomotor) mungkin
merupakan kondisi normal pada anak berusia < 2 bulan (Djalil, 2011; Pediatric Advanced Life
Support, 2015; Fuch 2016; Somasetia, 2016).
Penilaian Utama
Pemeriksaan fisik utama mencakup hal berikut ini:
1. Evaluasi respirasi: laju napas dan pola napas harus diamati. Pemeriksaan auskultasi
untuk mengevaluasi suara saluran napas atas atau bawah, suara napas simetri atau tidak.
2. Pemeriksaan jantung: denyut jantung, tekanan darah, dan evaluasi perfusi organ akhir
memberikan evaluasi yang lebih tepat mengenai status sirkulasi anak. Suara jantung
abnormal (seperti irama gallop atau murmur) dapat menunjukkan kelainan jantung seperti
gagal jantung.
3. Pemeriksaan neurologi: derajat kesadaran memberikan petunjuk penting perfusi otak.
Derajat kesadaran dapat dipilah secara cepat menggunakan skala AVPU (A = alert/siaga-
waspada, V = verbal/respons terhadap perintah verbal, P = pain/respons terhadap
rangsang nyeri, dan U = unresponsive/ tidak berespons terhadap rangsang fisik. Status
mental yang abnormal dapat disebabkan oleh penyebab nonneurologi (seperti hipoksia
atau syok hipovolemik) atau karena gangguan neurologi primer. Diperiksa juga
abnormalitas respons pupil, gerakan ekstraokuli atau gangguan aktivitas motorik.
4. Kulit: pemeriksaan kulit dapat memberi informasi status sirkulasi pasien bayi dan anak,
sesuai dengan kondisi khusus yang mendasarinya. Contohnya, petekie atau purpura
menunjukkan proses infeksi seperti meningokokseia sementara urtikaria mungkin
menunjukkan terjadinya anafilaksis (Fuch, 2016; Somasetia, 2016).

Tatalaksana :
a. Stabilisasi Awal : Bila terdapat abnormalitas atau gangguan pada pemeriksaan PAT maka
anak yang sakit kritis membutuhkan intervensi segera (Fuch, 2016; Somasetia DH, 2016).
b. Terapi Oksigen : Pemberian oksigen harus selalu dipikirkan pada setiap anak yang
tampak sakit berat menurut penilaian PAT. Sebagai acuan umum, setiap pasien bayi dan
anak dengan dua atau lebih abnormalitas pada PAT membutuhkan terapi oksigen.
Sebagian besar pasien dengan saturasi oksigen SpO 2 ≤ 94% harus diberi suplementasi

oksigen. Pada anak yang bernapas spontan : pemberian oksigen konsentrasi rendah dapat
diberikan dengan menggunakan nasal kanul atau sungkup wajah sederhana. Sungkup
wajah nonrebreathing dengan reservoir dipakai untuk pemberian oksigen kadar tinggi.
Pulse oximetry harus dipakai untuk memantau pasien yang mendapat terapi oksigen
(Fuch, 2016; Somasetia, 2016).
c. Bantuan Ventilasi/Assisted Ventilation : Anak yang mengalami apnea atau bradipnea
membutuhkan bantuan ventilator. Pemberian dukungan ventilator sebaiknya didahului
dengan pemberian ventilasi balon-sungkup (Bag Mask Ventilation/BMV). Intubasi
endotrakea mungkin diperlukan pada pasien dengan keadaan yang diperkirakan tidak
dapat membaik dengan segera (Fuch, 2016; Somasetia, 2016).
d. Bantuan Sirkulasi : Pasien bayi dan anak dengan perfusi tidak adekuat yang tampak dari
penurunan status mental perfusi kulit yang buruk, waktu pengisian kapiler memanjang
dan/atau didapatkan abnormalitas tanda vital (takikardi dan takipnea) dianggap
mengalami renjatan. Akses vaskular harus segera tersedia dan dilakukan resusitasi cairan.
Pada keadaan ini tatalaksana awal renjatan harus segera diberikan (Fuch, 2016;
Somasetia, 2016).
e. Pemantauan/Monitoring : Anak yang mengalami sakit kritis membutuhkan penilaian
klinis yang berulang dan dilakukan pemantauan tanda vital terus menerus, terutama
denyut jantung dan pulse oximetry. Hal ini penting untuk mengevaluasi efektivitas tata
laksana dan identifikasi penurunan kondisi klinis (Fuch, 2016; Somasetia, 2016).

Pasien yang mengalami gawat darurat yang tidak segera ditangani berisiko terjadi henti
napas dan henti jantung. Beberapa studi mengemukakan hubungan dengan insiden kerusakan
otak dengan henti jantung, yakni semakin lama bayi mengalami henti jantung, semakin berat
kerusakan otak yang akan dialaminya. Hal tersebut dikarenakan henti jantung yang lama akan
menyebabkan tidak adekuatnya Cerebral Perfusion Pressure (CPP) yang selanjutnya akan
berdampak pada kejadian iskemik yang menetap dan infark kecil di suatu bagian otak.
Komplikasi yang berat adalah kematian otak dan kegagalan multiorgan (Cullen, 2002).
Pasien bayi dan anak yang mengalami kondisi gawat darurat berisiko mengalami henti
napas dan henti jantung. Pasien yang mendapat resusitasi bantuan hidup lanjut mempunyai risiko
kematian yang lebih tinggi. Interval waktu saat melakukan resusitasi merupakan prediktor
kematian dan harapan hidup. Resusitasi yang dilakukan lebih dari 20 menit mempunyai risiko
kematian 78% (Lopez-Herce, 2004).

De Caen, AR., Berg, MD., Chameide, L., Gooden, CK., Hickey, RW., dan Scott, HF et al. 2015.
Pediatric Advanced Life Support 2015 American Heart Association Guidelines Update for
cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation, vo1. 32,
pp. S526–542.

Djalil, D. 2013. Resusitasi jantung paru pada bayi dan anak. In Pudjiadi A, Latief A,
Budiwardhana (eds.), Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat, Edisi 2. Jakarta: UKK Pediatri
Gawat Darurat, Ikatan Dokter Anak Indonesia, pp. 203–229.

European Resuscitation Council. 2015. European Paediatric Advanced Life Support. In Van de
Voorde (ed.), ERC Guidelines Edition, pp. 926.

Fuch, S., Torrey, SB., dan Willey, IL. 2016. Initial Assessment and Stabilization of Children
with Respiratory or Circulatory Compromise. Kluwer: Wolters. Diakses dari
www.update.com pada tanggal 12 Juli 2017.

Lopez-Herce, J., Garcia, C., Dominguez, P., Carrillo, A., Rodriguez-Nunez, A., Calvo C et al.
2004. Characteristics and outcome of cardiorespiratory arrest in children. Resuscitation,
vol. 63, pp. 311–20.

Cullen, PM. 2002. Paediatrics. Cardiorespiratory arrest. Anesthesia and Intensive Care
Medicine. UK: The medicine publishing company, pp. 437–440.

Somasetia, DH. 2016. Penilaian Awal Dan Stabilisasi Anak Yang Mengalami Gangguan
Respirasi dan Sirkulasi. Dalam UKK Emergensi dan Rawat Intensif Anak (ed.), Post
Resuscitation-Stabilization Management in Critically Ill Children. Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IKADI), pp. 2–19.

Anda mungkin juga menyukai