Pengantar
Sains dan teknologi adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dan akan terus
berkembang. Sains menurut Baiquni, adalah himpunan pengetahuan manusia
tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar, melalui penyimpulan
secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data pengukuran
yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam. Sedangkan teknologi adalah
himpunan pengetahuan manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang
diperoleh dari penerapan sains, dalam kerangka kegiatan yang produktif ekonomis
(Baiquni, 1995: 58-60).
Telah diartikan oleh banyak tokoh, filsuf, ilmuan, bahkan budayawan. Sains di
Indonesia diartikan sebagai ilmu pengetahuan. Ilmu dan pengetahuan memiliki
makna yang sangat berbeda. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui
manusia melalui tangkapan panca indra, intuisi, dan firasat. Sedangkan Ilmu adalah
pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi dan
diinterpretasi, sehingga menghasilkan kebenaran objektif yang nyata, dan dapat diuji
ulang secara ilmiah (buku ajar pendidikan agama Islam universitas brawijaya).
Teknologi adalah produk dari ilmu pengetahuan. Tapi berbeda dengan ilmu
pengetahuan, teknologi lebih bersifat bebas, maksudnya dalam situasi tertentu akan
berpotensi berdampak ke arah negatif berupa ketimpangan – ketimpangan dalam
kehidupan manusia dan lingkungannya yang berakibat kehancuran alam semesta.
Meskipun begitu jika teknologi dimanfaatkan dengan baik maka akan memberikan
kemajuan yang signifikan dan kesejahterahan bagi manusia. Iptek memiliki peranan
yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Tetapi kemajuan iptek yang sangat pesat
di era moderen dapat berdampak negatif jika kita menyalah gunakannya. Oleh karena
itu bagaimana kita menyikapi perkembangan iptek yang semakin pesat ini jika dilihat
dari sisi al-Qur’an.
Paradigma al-Qur’an berarti bagaimana kita menyikapi suatu masalah atau
realitas berdasarkan al-Qur’an. Juga merupakan sebuah konstruksi pengetahuan
yang awalnya dibangun untuk membentuk perilaku yang sejalan dengan sistem
Islam, termasuk sistem ilmu pengetahuan modern dapat berdampak negatif jika kita
menyalahgunakannya. Oleh karena itu bagaimana kita menyikapi perkembangan
iptek yang semakin pesat ini jika dilihat dari sisi al-Qur’an. Paradigma al-Qur’an
berarti bagaimana kita menyikapi suatu masalah atau realitas berdasarkan al-Qur’an.
Juga merupakan sebuah konstruksi pengetahuan yang awalnya dibangun untuk
membentuk perilaku yang sejalan dengan sistem Islam, termasuk sistem ilmu
pengetahuannya.
1
Istilah paradigma jarang digunakan dalam percakapan sehari–hari. Walaupun
demikian, sebagai masyarakat akademik tetap harus mengetahui makna / arti kata
paradigma yang sebenarnya. Kata paradigma pertama kali diperkenalkan oleh
seorang ilmuan bernama Thomas Kuhn melalui buku buatannya yang berjudul The
Structure of Scientific Revolution.
Pradigma berkaitan erat dengan prinsip–prinsip dasar yang menentukan
berbagai macam pandangan manusia terhadap dunia sebagai bagian dari sistem
bricoluer. Sebuah paradigma biasanya meliputi tiga elemen utama yaitu elemen
metodologi, elemen epistemologi, dan elemen ontologi. Dengan menggunakan tiga
elemen ini, manusia menggunakan paradigma untuk meraih berbagai macam
pengetahuan mengenai dunia dan berbagai macam fenomena yang terjadi di
dalamnya.
2
Menurut C. J. Ritzer, paradigma adalah pandangan mendasar para
ilmuan mengenai apa yang menjadi pokok permasalahan yang
seharusnya dipelajari oleh satu cabang ilmu pengetahuan tertentu.
4. Guba
Menurut Guba, pengertian paradigma adalah sekumpulan keyakinan
dasar yang membimbing tindakan manusia.
5. Sedangkan menurut Patton (1975)
Sebuah pandangan dunia, sebuah sudut pandang umum, atau cara
untuk menguraikan kompleksitas dunia nyata.
Berdasarkan pendapat dari para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa
paradigma adalah sekumpulan landasan pandangan atau cara, pola, atau model para
ilmuwan untuk membentuk pandangan untuk mengenal realita. Hal ini berkaitan
juga dengan studi yang dilakukan untuk membimbing tindakan manusia.
(https//pengertian definisi com)
3
3. Iptek dalam Al-Qur’an
Islam merupakan agama yang komperhensif yang juga mengandung iptek
atau sains. Banyak ayat- ayat al-Qur’an yang menjelaskan bagaimana pentingnya
iptek atau sains. Iptek merupakan suatu alat untuk mempermudah memahami ajaran
Islam. Ajaran Islam memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur
kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dalam ilmu pengetahuan sehingga al-Qur’an
dan al-Hadist menjadi landasan pemikiran, yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun
seluruh konsep pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia. Islam memerintahkan
manusia untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan
lepas dari aqidah itu. Ini dapat kita pahami dari ayat yang pertama kali turun: Qs.
Al_Alaq ayat 1 yang artinya:―Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu.
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna
memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikiran
pemahaman itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra‘ haruslah dengan
bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Islam.
Ilmu pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau cara berpikir manusia yang
bersifat sempit, melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi
segala sesuatu.
Firman Allah SWT:
―Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu. (anNisa: 126)―Dan
sesungguhnya Allah, Ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (al-Thalaq:12)
Aqidah Islam sebagai dasar dari segala pengetahuan seorang muslim, sehingga
mencetak muslim–muslim yang taat dan soleh tetapi sekaligus cerdas dalam iptek.
Dapat dilihat dari masa kejayaan iptek dunia Islam pada tahun 700 – 1400 M.
Pada masa inilah dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia
termansyur, al-Khawarizmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, al-
Battani (w. 858) sebagai ahli astronomi dan matematika, al-Razi (w.884) sebagai pakar
kedokteran, ophtalmologi, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli
kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi. Paradigma al-Qur’an dalam
memahami Iptek Paradigma al-Qur’an berarti sebuah konstruksi pengetahuan yang
awalnya dibangun untuk membentuk perilaku yang sejalan dengan sistem Islam,
termasuk sistem ilmu pengetahuannya. Paradigma al-Qur’an dimanfaatkan sebagai
mode of thought, mode of inquiry yang menghasilkan mode of knowing. Sehingga dalam
hal ini al-Qur’an diharapkan dapat membangun suatu konsep pengetahuan untuk
memahami realitas sebagaimana al-Qur’an memahaminya. Untuk dapat menjadikan
al-Qur’an sebagai paradigma merumuskan nilai–nilainya normatifnya ke dalam
iptek, maka perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu:
4
Pada era globalisasi atau modernisasi yang ciri utama kehidupan modern
adalah adanya pembangunan yang berhasil dan membawa kemajuan, kemakmuran,
dan pemerataan. Pembangunan yang berkesinambungan yang berimplikasi terhadap
perubahan pola hidup masyarakat ke arah kemajuan, dan kesejahteraan itu
merupakan bagian dari indikator kehidupan modern.
Paradigma Qur’ani dalam pengembangan Iptek, akan memungkinkan
munculnya ilmu-ilmu alternatif yang khas yang tentu saja tidak sekularistik.
Paradigma Qur’ani dalam perkembangan budaya, juga akan melahirkan budaya
masyarakat yang Islami yang tidak sekuler dalam proses, hasil, dan aktualisasinya.
Misalnya, Pengembangan ekonomi yang berlandaskan paradigma Qur’ani akan
melahirkan konsep dan kegiatan ekonomi yang bebas bunga, riba, dan gharar yang
jelas merupakan sesuatu yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Paradigma
Qur’ani dalam menyoroti segala persoalan harus tetap menjadi komitmen umat Islam
agar umat tidak kehilangan jati dirinya dalam menghadapi tantangan modernitas.
Kehidupan modern yang pada hakikatnya merupakan implementasi kemajuan Iptek
akan memberi manfaat dan terus berkembang untuk membawa kemajuan yang harus
dipandu dan diarahkan oleh wahyu (Al-Qur’an) agar umat tidak terjebak dalam
kehidupan sekularis. Sekularisasi hanya akan mengikis keimanan yang ada di hati
umat dan akan melahirkan generasi yang ambivalen bersikap mendua) dalam
kehidupan.
Di satu sisi ia sebagai seorang muslim, di sisi lain ia meminggirkan ajaran Islam
dari dirinya dan kehidupannya sehingga Islam lepas dari aktivitas hidupnya, yaitu
suatu sikap hipokrit yang harus dijauhkan dari kepribadian umat Islam. Umat Islam
akan maju kalau Al-Qur’an menjadi tuntunan dan Rasulullah sebagai panutan. Umat
Islam akan tertinggal, dan masuk pada situasi stagnasi kalau Al-Qur’an dijauhkan
dari kehidupan dirinya.
Paradigma Qur’ani adalah proses menghadapi realitas sekaligus tujuan yang
harus digapai dalam perjalanan hidup umat Islam. Sejarah membuktikan
kemunduran umat Islam pada abad kedelapan belas, yang biasa disebut abad stagnasi
keilmuan, adalah karena beberapa faktor. Pertama, justru karena umat Islam
meninggalkan peran Al-Qur’an sebagai paradigma dalam menghadapi segala
persoalan. Kedua, hilangnya semangat ijtihad di kalangan umat Islam. Ketiga,
kesalahan lainnya, menurut Muhammad Iqbal, karena umat Islam menerima paham
Yunani mengenai realitas yang pada pokoknya bersifat statis, sedangkan jiwa Islam
bersifat dinamis dan berkembang. Keempat, para ilmuwan keliru memahami
pemikiran Al-Ghazali, yang dianggapnya al-Ghazali mengharamkan filsafat dalam
bukunya ―Taḫāfutul Falāsifah, padahal Al-Ghazali menawarkan sikap kritis, analitis
dan skeptis terhadap filsafat, agar dikembangkan lebih jauh dalam upaya
menggunakan paradigma Qur’ani dalam pengembangan falsafah. Faktor kelima,
karena sikap para khalifah yang berkuasa pada zaman itu tidak mendukung
5
pengembangan keilmuan karena takut kehilangan pengaruh yang berakibat terhadap
hilangnya kekuasaan mereka. Karena sikap demikian, kehidupan politik umat Islam
pun, pada abad itu menjadi lemah, pecah, dan semrawut di tengah hegemoni
kekhilafahan Islam yang mulai memudar dalam menghadapi peradaban Barat yang
mulai menggeliat dan perlahan maju dengan percaya diri.
Perkembangan berikutnya, dunia Islam masuk dalam perangkap kolonialisme
Barat dan bangsa Barat menjadi penjajah yang menguasai segala aspek di dunia Islam.
Dewasa ini dunia Islam telah masuk ke fase modern. Langkah- langkah untuk lebih
maju agar tidak tertinggal oleh peradaban Barat, kiranya pemikiran Ismail Razi al-
Faruqi perlu dikaji. Menurut Al- Faruqi, sebagaimana ditulis Juhaya S Praja (2002: 73),
kunci sukses dunia Islam tentu saja adalah kembali kepada Al-Qur’an. Al-Faruqi
menjabarkannya dengan langkah sebagai berikut.
1. Memadukan sistem pendidikan Islam. Dikotomi pendidikan umum dan
pendidikan agama harus dihilangkan.
2. Meningkatkan visi Islam dengan cara mengukuhkan identitas Islam
melalui dua tahapan; Tahap pertama yaitu mewajibkan bidang studi
sejarah peradaban Islam; Tahap kedua yaitu Islamisasi ilmu
pengetahuan.
3. Untuk mengatasi persoalan metodologi ditempuh langkah-langkah
berupa penegasan prinsip-prinsip pengetahuan Islam sebagai berikut :
a. The unity of Allah
b. The unity of creation
c. The unity of truth and knowledge
d. The unity if life
e. The unity of humanity.
Selanjutnya, al-Faruqi menyebutkan bahwa langkah-langkah kerja yang harus
ditempuh adalah sebagai berikut.
1. Menguasai disiplin ilmu modern
2. Menguasai warisan khazanah Islam
3. Membangun relevansi yang Islami bagi setiap bidang kajian atau
wilayah penelitian pengetahuan modern.
4. Mencari jalan dan upaya untuk menciptakan sintesis kreatif antara
warisan Islam dan pengetahuan modern.
5. Mengarahkan pemikiran Islam pada arah yang tepat yaitu sunatullah.
Berdasarkan paparan di atas ada poin dari semua ini yaitu sebagai umat
Islam sudah seharusnya menanamkan paradigma Qur’ani dalam
kehidupan sehari-hari, karena al-Qur’an adalah sebagai referensi dalam
berpikir dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari agar terhindar
dari jalan yang salah.
6
Hal ini mengingat nilai-nilai dalam al-Qur’an mengandung kebenaran yang
mutlak (tidak diragukan lagi).