Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai

adanya mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran

nafas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernafasan kronik. World

Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia

menderita asma. Bahkan jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga

mencapai 180.000 orang setiap tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien

asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat selama

20 tahun belakangan ini. Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik, maka

diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih tinggi lagi pada masa

akan datang serta mengganggu proses tumbuh-kembang anak dan kualitas hidup

pasien(1).

Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya,

dan tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan

untuk menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya

penurunan frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan utama

adalah menghindari faktor penyebab(2).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan kronik yang ditandai

oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran napas sebagai

respon terhadap stimulus yang tidak menyebabkan penyempitan serupa pada

banyak orang(3).

Defenisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK)

Respirologi IDAI pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah mengi

berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut; timbul

secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal), musiman, setelah

aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau

keluarganya(4).

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko(1,5)

Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

1. Faktor genetik

(a) Hiperreaktivitas

(b) Atopi/Alergi bronkus

(c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik

(d) Jenis Kelamin

(e) Ras/Etnik

2
2. Faktor lingkungan

(a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,

alternaria/jamur)

(b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)

(c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,

makanan laut, susu sapi, telur)

(d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker

dll)

(e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)

(f) Ekspresi emosi berlebih

(g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif

(h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan

(i) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika

melakukan aktivitas tertentu

(j) Perubahan cuaca

Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut(1):

Hiperaktivitas bronkus obstruksi

Faktor Genetik
Sensitisasi inflamasi Gejala Asma

Faktor Lingkungan

Pemicu (inducer) Pemacu (enhancer) Pencetus (trigger)

3
2.3 Epidemiologi

Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS

(2003), prevalensi  serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000

anak (jumlah anak 4,2  juta) dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah

dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita  yang mengalami serangan lebih banyak daripada

lelaki. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma.

Sedangkan  berdasarkan laporan NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat

asma atau 1,6 per 100 ribu populasi(2).

2.4 Patofisiologi Asma

Obstruksi saluran respiratori

Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat

disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos

bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi

seperti histamin, triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan

oleh sel mast, neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan

asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang

ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari

otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas.

Namun,dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret

yang banyak, dan tebal.

Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh

penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon

4
trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran

nafas adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk

mendapatkan volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan

hiperinflasi toraks. Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat

mengalirkan udara pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya

compliance pada kedua paru. Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot

diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga

kerjanya menjadi tidak optimal . Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja

otot menyebabkan timbulnya kelelahan dan gagal nafas(8).

Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma: (1,5)

 Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang

5
berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoa, jamur, kapang, ragi, serta

pajanan asap rokok.

 Pemacu: Rhinovirus, ozon, pemakaian β2 agonist.

 Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang,

alergen dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen

seperti serbuk sari, asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di

tempat kerja, udara dingin dan kering, olahraga, menangis, tertawa,

hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis, sinusitis, dan gastroesofageal

refluks).

2.5. Diagnosis

1. Anamnesis

Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan

gejala batuk dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan

batuk dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala

yang timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan, gejala

yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan aktifitasnya

tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah berat anak sulit

mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis

dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata(11).

2. Pemeriksaan fisik

Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya.

Pada serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai

6
adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih dalam

batas normal. Pada serangan sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing

terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan peningkatan frekuensi nafas dan denyut

nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda atau manifestasi alergi,

seperti dermatitis atopi dapat ditemukan(10).

Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi

kronik saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lender, udem dinding

bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme patologi diatas

mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada auskultasi dapat terdengar ronkhi

basah kasar dan mengi. Pada saat serangan dapat dijumpai anak yang sesak

dengan komponen ekspiratori yang lebih menonjol(10).

3. Pemeriksaan Penunjang

Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah

analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada

AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2

(hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru

bila kondisi memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya

penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai normal(10).

Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eusinofil total dapat

membantu penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eusinofil total

umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan

pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau metakolin. Bila uji provokasi

positif, maka diagnosis asma secara definitive dapat ditegakkan(10).

7
2.6 Klasifikasi

Parameter klinis Asma episodic jarang Asma episodic sering Asma persisten
Kebutuhan obat, (asma ringan) (asma sedang) (asma berat)
dan faal paru
1.Frekuensi serangan 3-4x /1tahun 1x/bulan ≥1/bulan
2.Lama serangan <1 minggu ≥1 minggu Hampirsepanjang tahun,
tidak ada remisi
3.Intensitas serangan Ringan Sedang Berat
4.diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam
5.Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
<3x/minggu >3x/minggu
6.Pemeriksaan fisis Normal, tidak Mungkin terganggu Tidak pernah normal
diluar serangan ditemukan kelainan (ditemukan kelainan)
7.Obat pengendali Tidak perlu Perlu, non steroid/ Perlu, steroid inhalasi
steroid inhalasi dosis Dosis ≥400 ụg/hari
100-200 ụg
8.Uji faal paru PEF/FEV1 >80% PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1 < 60%
(di luar serangan0 Variabilitas 20-30%
9.Variabilitas faal paru ≥20% ≥30% ≥50%
(bila ada serangan)
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma anak secara arbitreri PNAA membagi asma anak

menjadi 3 derajat penyakit(10,11)

Parameter klinis, Ringan Sedang Berat Ancaman


Fungsi paru, henti napas
Laboraturium
Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat
Bayi : Bayi :Tangis pendek Bayi :Tidak mau
Menangis keras & lemah Kesulitan minum / makan
menetek dan makan
Posisi Bisa berbaring Lebih suka Duduk Duduk
bertopang lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran Mungkin irritable Biasanya irritable BiasanyaIrritable kebingungan
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Wheezing Sedang, sering Nyaring, Sangat nyaring, Sulit /
hanya pada akhir Sepanjang ekspirasi Terdengar tanpa Tidak terdengar
ekspirasi ± inspirasi Stateskop
Penggunaan otot Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan paradox
Bantu respiratorik Torako-Abdominal
Retraksi Dangkal,Retraksi Sedang, ditambah Dalam, ditambah Dangkal/Hilang
Interkosta Retraksi suprasternal Napas cupinghidung
Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar:
Usia frekuensi napas normal
<2 bulan < 60 / menit
2-12 bulan < 50 /menit
1-5 tahun < 40 / menit
6-8 tahun < 30 / menit

8
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pedoman nilai baku frekuesi nadi pada anak :
Usia Frekuensi nadi normal
2-12 bulan < 160 / menit
1-2 tahun < 120 / menit
3-8 tahun < 110 / menit

Pulsus paradoksus Tidak ada Ada Ada Tidak ada,


<10 mmHg 10-20 mmHg >20 mmHg Tanda kelelahan
Otot respiratorik
PEFR atau FEV1 (% Nilai dugaan/ Nilai terbaik)
Prabronkodilator >60% 40-60% <40%
Pascabronkodilator >80% 60-80% <60%
Respon < 2 jam
SaO2 % >95% 91-95% ≤90%
PaO2 Normal >60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg
Tabel 2. Penetuan Derajat Serangan Asma (10)

2.7 Tatalaksana Asma

Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin

tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan potensi

genetiknya. Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai adalah(9) :

1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak,

termasuk bermain dan berolah raga.

2. Sedikit mungkin angka absensi sekolah.

3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu)

4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang

mencolok pada PEF.

5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga

hari, dan tidak ada serangan.

6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin

timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

9
Tujuan tatalaksana saat serangan:4

- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin

- Mengurangi hipoksemia

- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya

- Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah

kekambuhan.

2.7.1 Tatalaksana Medikamentosa

Terdapat pengobatan asma dengan menggunakan obat-obat pereda.

Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik

saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan

walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan

pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai

6 – 8 minggu(9).

Obat – obat Pereda

A. Bronkodilator

a. Short-acting β2 agonist

Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP

menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang

menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens

mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan

mediator sel mast(11).



Epinefrin/adrenalin

Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek

10
bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama

pada jantung dan CNS(11).



β2 agonis selektif(11)

Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.

Dosis salbutamol oral: 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.

Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum

5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5

mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).

Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.

Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek

puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.

Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak

dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.

Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.

Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.

Serangan berat : MDI 10 semprotan.

Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat karena pada

keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek

samping takikardi lebih sering terjadi.

Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB

setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.

11
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan

dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.

Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,

palpitasi, dan takikardi.

b. Methyl xanthine

Obat ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2

agonist dan anticholinergick(11). Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah

pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM harus dihindarkan

karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Eliminasinya terutama melalui

metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin.13

Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :



1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam


6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam


1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam


> 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam

Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada

konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia.11

c. Anticholinergics

Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan

nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis

anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam.12

Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk

usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya

12
adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak

direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak.11

B. Kortikosteroid

Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan.11

 Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan

yang cukup lama.

 Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan

kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.

 Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.

Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon

dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali

sehari.11

Obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin,

menghambat sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan

leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vascular.13

Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi

kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek

mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1

mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6

jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari

setiap 6 – 8 jam.11

13
2.7.2 .Terapi Suportif(12)

a. Terapi oksigen

Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula

hidung, masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen,

sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).

b. Campuran Helium dan oksigen

Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit

sebagai tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama

dengan nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna

menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi

sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi karena

helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen menjadi

laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.

c. Terapi cairan

Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada asma berat terjadi

peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yan memudahkan

terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada puncak

inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan yang

diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.

14
1. Pemberian Obat(10)

UMUR ALAT INHALASI


< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
2-4 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler

Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler) dengan alat

perenggang (spacer)
5-8 tahun Nebuliser

MDI dengan spacer

Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler,

Turbuhaler)
>8 tahun Nebuliser

MDI (metered dose inhaler)

Alat Hirupan Bubuk

Autohaler

2. Prevensi dan Intervensi Dini(13)

- Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak da ri asap rokok, tidak

memelihara hewan berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi

kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan

tungau.

- Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan

- Menghindari makanan berpotensi allergen.

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

15
Asma merupakan penyakit yang cukup banyak dijumpai pada anak-anak.

Asma didefenisikan sebagai wheezing dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai

berikut : timbul secara episodik dan/atau kronis, cenderung pada malam hari

(nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktifitas fisik, dan

bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya

riwayat asma atau atopi pada pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain

sudah disingkirkan. Karena asma merupakan penyakit yang berhubungan dengan

imunologi, maka penderita asma dapat mengalami serangan berulang. Asma dapat

diklasifikasikan sebagai asma episodik jarang, episodik sering, dan asma

persisten. Sedangkan jika terjadi serangan, dapat diklasifikasikan sebagai asma

serangan ringan, sedang, dan berat. Serangan asma yang tidak terkontrol dapat

menyebabkan terjadinya apnea. Oleh karena itu, penatalaksanaan serangan asma

tergantung kepada derajat serangannya. Serangan asma ditanggulangi dengan

pemberian bronkodilator, baik secara oral, parenteral, maupun inhalasi.

Tatalaksana asma diluar serangan dapat dilakukan dengan menghindari

faktor pencetus asma serta penggunaan obat pengendali (controller). Diharapkan

dengan dilakukannya tatalaksana asma jangka panjang dapat mengurangi

terjadinya serangan asma, sehingga dapat meningkatkan quality of life dari

penderita asma.

3.2 Saran

1. Perlunya pemahaman mengenai gejala klinis dan kriteria diagnosis agar

tidak terjadi kesalahan dalam penegakan diagnosis sehingga penangannya

16
menjadi lebih tepat dan adekuat.

2. Perlunya pemahaman mengenai penatalaksanaan asma pada saat serangan

dan tidak serangan sehingga dapat meningkatkan quality of life pasien.

3. Perlunya informasi mengenai asma kepada masyarakat

DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik

17
Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan

RI ;2009; 5-11.

2. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,

Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.

edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.

3. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk.

Global Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ;

2006.

4. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,

Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.

edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.105-18.

5. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak.

Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI; 2009.

6. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science

(USA);2003.

7. John M. Weiler, Sergio Bonini, Robert Coifman, Timothy Craig, Luı´s

Delgado, Miguel Capa o-Filipe. Asthma & Immunology Work Group

Report : Exercise-induced asthma. Iowa City, Iowa, Rome and Siena, Italy,

Millville, NJ, Hershey, Pa, Porto, Portugal, and Colorado Springs, Colo :

American Academy of Allergy : 2007

8. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak.

dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar

Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008.

18
h.85-96.

9. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno

B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.

Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104.

10. Rahajoe N. Deteksi dan Penanganan Jangka Asma Anak. dalam :

Manajemen Kasus Respiratorik Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Edisi

pertama. Jakarta : Yapnas Suddharprana; 2007.h. 97-106.

11. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS,

Rusmil K, dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.

Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2005.

12. Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN,

Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.

edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.

13. Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,

Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.

edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.134-46.

14. Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid,

Analog Sintetik dan Antagonisnya. dalam: Gunawan SG, penyunting.

Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h.

496-500.

19

Anda mungkin juga menyukai