Anda di halaman 1dari 4

Artikel ilmiah

Salah Kaprah Banjir Tahunan DKI Jakarta di anggap Normal

Cynthia Phungky 315180060

Latar belakang

Banjir yang terjadi di Jakarta pada Febuari 2021 membuktikan bahwa Jakarta tidak sedang baik-baik
saja. Jakarta yang memiliki kepadatan penduduk tinggi menglaju sejalan dengan berkembangnya
pembangunan infrastruktur, pemukiman, dan gedung pencakar langit. Pada kenyataannya,
pembangunan tersebut memberikan efek positif dan negatif salah satunya adalah bencana banjir.

Sudah berulang kali terjadi banjir di Jakarta setiap tahunnya, namun sering dianggap sebagai sesuatu
yang normal. Pada 2020, curah hujan di wilayah DKI Jakarta merupakan yang tertinggi sejak 154 tahun
yang lalu. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memaparkan catatan curah hujan
terkait banjir di tahun sebelumnya dan menyatakan bahwa banjir 2020 disebabkan hujan lebat yang
menimpa DKI Jakarta.

Tingginya intensitas hujan dan fungsi lahan yang masif serta perubahan iklim global mengakibatkan
limpasan air hujan yang jatuh (run off) yang tidak dapat diserap sepenuhnya oleh tanah akibat
pembangunan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan. Pembangunan menyebabkan kurangnya
daerah resapan air. Daerah resapan air dapat didukung salah satunya dengan ruang terbuka hijau
(RTH). Menurut UU nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah menyatakan bahwa setiap
kota rencana tata ruang wilayahnya diwajibkan mengalokasi minimal 30% dari wilayahnya untuk RTH.
Nyatanya, per Desember 2020 DKI Jakarta hanya memiliki 9,98% RTH. Namun kurangnya RTH ini tidak
bukan merupakan satu-satunya faktor yang mengakibatkan banjir di Jakarta.

Peruntukan lahan yang tidak sesuai

Menurut Nirwono Joga, pengamat perkotaan dari universitas Trisakti bahwa lebih dari 80% tata ruang
di DKI Jakarta menyalahi peruntukan lahan maka dari itu mudah terjadi banjir di kawasan Kelapa
Gading, dan Pantai Indah Kapuk.

Penyalahgunaan lahan terjadi dalam skala kecil dan besar. Skala kecil seperti perubahan fungsi
komersial, dan skala besar seperti lahan peruntukan Ruang Terbuka Hijau diubah menjadi perubahan
dan komersial. Alih fungsi peruntukan lahan ini terjadi secara bertahap. Di Kemang, Jakarta
sebelumnya terdiri dari 70% hunian serta resapan air, sehingga hanya 30% uang dapat digunakan
untuk kepentingan komersial. Namun kini sudah per 2016, sudah 70% berubah fungsi menjadi daerah
komersial. Selain itu, dari data 4 buah masterplan Jakarta, menunjukan bahwa:

- Rencana Induk Djakarta 1965-1985) terdapat 37,2% RTH


- Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) 1985-2005 RTH menurun menjadi 25,85%
- Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2000-2010 RTH menurun menjadi 13,9%
- Rencana Tata Ruang Jakarta (RTRJ) 2010-2030 RTH menurun menjadi 9,98%
Adanya kemungkinan dapat mengembalikan fungsi lahan sesuai dengan peruntukan namun tidak
dapat dikembalikan 100%. Contohnya jika ingin dilakukan pengembalian peruntukan di Pantai Indah
Kapuk sangat tidak mungkin, perlu ada kesepakatan dan sosialisasi perubahan RTRW pada masyarakat
dan pengembang.

Dinamika dan pembangunan wilayah perkotaan

Pembangunan oleh pemerintah perkotaan dan negara untuk meningkatkan kualitas kehidupan
rakyatnya. Manik (2018) menyatakan bahwa setiap anggota masyarakat tidak hanya membutuhkan
materi (pendapatan) saja, namun juga kebutuhan biologis, spiritual, dan sosial budaya untuk
keberlangsungan hidupnya. Pembangunan adalah perubahan yang sengaja dilakukan oleh manusia
untuk mendayagunakan sumber daya yang ada, nyatanya kegiatan pembangunan selalu menimbulkan
dampak lingkungan positif dan negatif.

Menurut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (2010) telah banyak terjadi perubahan dari wajah DKI
Jakarta sejak 1920. Pertumbuhan penduduk, perluasan kawasan pemukiman serta berkembangnya
industri perdagangaan mengakibatkan kondisi alam yang berubah drastis. Pembangunan fisik yang
terjadi kini telah menutup daerah resapan air. Karena luasan daerah yang tidak terbangun di DKI
Jakarta sedikit, air hujan yang turun langsung dialirkan ke sungai dan saluran lainnya yang kemudian
dialirkan kembali ke laut.

Demografi di perkotaan mengurangi daerah resapan air dan penurunan wilayah

Berdasarkan hasil proyeksi dari sesnus penduduk tahun 2018 adalah sebanyak 10,37 juta jiwa.
Kemudian menurut data BPS (2015) dan Herdiansyah (2019), jumlah penduduk di ibu kota negara
bertambah sebanyak 269 jiwa setiap hari setara dengan 11 orang per jamnya. Ditambah lagi adanya
permasalahan antara manusia dengan lingkungan seperti yang terjadi di wilayah DKI Jakarta,
masyarakat membuang sampah dan membangun tempat tinggal tidak pada tempat yang seharusnya,
sehingga menyebabkan banjir. Selain itu juga akibat lahan yang sebelumnya daerah resapan air
dilakukan untuk betonisasi dan aspalisasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Peningkatan
jumlah tempat tinggal menyebabkan pengambilan air tanah terus menerus dapat menyebabkan
turunnya permukaan tanah (land subsidence) sebesar 20% atau 30%. Sebenarnya land subsidence
bisa disebabkan juga oleh beban bangunan gedung dan pemadatan tanah. Tetapi di Jakarta
penurunan lebih banyak disebabkan oleh penggunaan air tanah berlebihan dan bangunan gedung
tinggi. Diperkirakan dalam 10 tahun ke depan, penurunan di daerah Pluit mencapai 1,2 meter.

curah hujan tinggi dan banjir di DKI Jakarta

DKI Jakarta berulang kali dilanda banjir. Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim dari
Kementrian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa banjir sebagai momen serangga penyebar penyakit
marak bereproduksi, hal ini menyebabkan tingginya kasus penyakit malaria dan demam berdarah
dengue.

Topografi DKI Jakarta pada aspek ketinggian lahan dan kemiringan lereng terletak pada dataran
rendah dengan ketinggian rata-rata 8 meter di atas permukaan laut. Faktanya, sekitar 40% permukaan
tanah DKI Jakarta berada 1-1,5 meter di bawah muka laut pasang. Selain itu, banjir juga disebabkan
lokasi kota Jakarta yang memiliki kemiringan lereng relatif landai.
makin minimnya ruang terbuka hijau (RTH)

pengalihfungsiaan lahan, intensitas hujan tinggi, dan perubahan iklim global mengakibatkan
munculnya banjir di Jakarta. Air hujan yang jatuh (run off) tidak dapat diserap oleh tanah karena
pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan dan berkurangnya daerah resapan air karena
alih fungsi lahan. Daerah resapan air dapat didukung oleh Ruang Terbuka Hijau. Fungsi Ruang Terbuka
Hijau (RTH) diatur dalam Permendagri Nomor 1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Perkotaan dapat berfungsi secara ekologis, sosial/budaya, arsitektur, dan ekonomi. Dalam
aspek ekologis, RTH bisa meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara,
dan menurunkan temperatur kota. RTH perkotaan dengan fungsi ekologis dapat dibentuk dengan
sabuk hijau kota, hutan kota, taman botani, dan sempadan sungai. Menurut UU Nomor 26/2007
tentang Penataan Ruang mensyaratkan kota harus memiliki Ruang Terbuka Hijau minimal sebesar 30%
dari total keseluruhan. Sedangkan per Juni 2019, DKI Jakarta hanya memiliki sekitar 14,9% Ruang
Terbuka Hijau. Hal ini menunjukan RTH di Jakarta masih kurang.

Kesimpulan

Jakarta kerap kali terkena bencana banjir. Bencana banjir di Jakarta diakibatkan oleh beberapa faktor.
Yang pertama adalah peruntukan lahan yang tidak sesuai. Pada realisasinya, banyak lahan yang
dialihfungsikan dari zonasi penggunaannya, sejaak tahun 1965 pun area RTH sebagai resapan air
berkurang hampir 30%. Adanya urbanisasi ke kota DKI Jakarta menyebabkan pembangunan
bangunan, dan infrastruktur yang kian meningkat sehingga banyak lahan tertutupi sehingga resapan
air makin minim. Pembangunan ini juga mengakibatkan permukaan tanah menurun akibat beban
bangunan. Selain itu, Jakarta juga memiliki relatif landai yang membuat Jakarta menjadi ujung aliran
air. Faktor terakhir adalah minimnya RTH yang berdampak sehingga tidak banyak lahan yang bisa
meresapi air.

Perlu ada sosialisasi dan kerjasama dari pemerintah dengan masyarakat DKI Jakarta mengenai
lingkungan dan rasa tanggung jawab dan merawat lingkungan. Warga bisa berperan aktif dengan
membuat RTH Privat di kawasan rumah atau bangunannya sesuai dengan luas yang diharuskan terkait
peraturan pembangunan. Selain itu juga bisa membuat lubang biopori di lahan yang kosong sebagai
upaya daur ulang limbah organik dan meningkatkan daya serap air oleh tanah.

https://tirto.id/lebih-dari-80-persen-tata-ruang-di-kota-jakarta-salah-bFEg

http://green.ui.ac.id/banjir-di-jakarta-apakah-sebatas-fenomena-alam/

http://repository.uki.ac.id/483/1/2.%20Sri%20Pare%20Eni.pdf

https://icel.or.id/isu/kegagalan-konsep-penataan-ruang-jakarta-banjir-jakarta-dan-sekelumit-
penyebabnya/

https://icel.or.id/isu/kegagalan-konsep-penataan-ruang-jakarta-banjir-jakarta-dan-sekelumit-
penyebabnya/
file:///C:/Users/USER/Downloads/16242-33308-1-SM.pdf

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210224133418-20-610341/klhk-sebut-banjir-jakarta-
dipicu-penyusutan-tutupan-lahan-dki

https://www.liputan6.com/news/read/4374029/pentingnya-ruang-terbuka-hijau-untuk-warga-
perkotaan-seperti-jakarta

https://kabar24.bisnis.com/read/20190507/79/919413/ruang-terbuka-hijau-yang-masih-
terpinggirkan-di-indonesia

https://megapolitan.kompas.com/read/2020/12/23/20303351/luas-rth-di-jakarta-masih-jauh-dari-
target-pansus-dprd-ingatkan-pemprov

https://stp-mataram.e-journal.id/JIP/article/view/203/175

https://metro.tempo.co/read/895343/penyebab-permukaan-tanah-di-jakarta-turun-12-cm-per-
tahun

Anda mungkin juga menyukai