Pengertian Budaya
Budaya merupakan cara hidup yang berkembang serta dimiliki bersama oleh kelompok
orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Sedangkan, pengertian budaya menurut Parsudi
Suparian, Budaya adalah seluruh pengetahuan manusia yang dimanfaatkan untuk mengetahui serta
memahami pengalaman dan lingkungan yang mereka alami. Budaya terbentuk dari berbagai unsur
yang rumit, termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, perkakas, bahasa, bangunan, pakaian,
serta karya seni.Budaya memengaruhi banyak aspek dalam kehidupan manusia. Seiring berjalannya
waktu, budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas dalam peradaban manusia.
Unsur-Unsur Kebudayaan
Kebudayaan setiap masyarakat atau suku bangsa terdiri atas unsur-unsur besar maupun
unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan. Ada
beberapa unsur yang terdapat dalam kebudayaan, di mana kita sebut sebagai cultural universals,
yang meliputi: peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian hidup dan sistem-
sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa (lisan dan tulisan), kesenian, sistem pengetahuan,
religi (sistem kepercayaan). Budaya juga dibedakan menjadi dua, yaitu budaya kecil (little culture),
dan budaya besar (great culture). Budaya kecil adalah budaya yang berada pada suatu masyarakat
yang lingkupnya kecil (dianut oleh beberapa orang saja) atau juga disebut local culture. Sedangkan
budaya besar adalah budaya yang dianut oleh banyak orang dengan jumlah penganutnya yang luas.
Ketika budaya kecil dan budaya besar saling berhubungan melalui proses asimilasi, maka
kemungkinannya budaya kecil tersebut akan tersisihkan atau terkalahkan oleh budaya besar. Hal ini
menunjukkan bahwa eksistensi dari budaya besar tersebut begitu kuat dan luas sehingga dengan
mudah dan cepat bisa masuk kepada budaya kecil yang dianut oleh hanya beberapa orang.
Pengertian Islam
Islam berasal dari kata salam yang berarti “pasrah”, “damai”, “selamat”.10 Kata Islam secara
lengkap berasal dari kata aslama, yuslimu, islam, yang mempunyai beberapa arti, yaitu: (1)
melepaskan diri dari segala penyakit lahir dan batin, (2) kedamaian dan keamanan, dan (3) ketaatan
dan kepatuhan. Harun Nasution menyatakan bahwa Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran
yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai aspek dari kehidupan manusia yang
meliputi aspek akidah, ibadah, hukum, tasawuf, filsafat, politik dan pembaruan. Islam adalah nama
dari agama wahyu yang diturunkan Allah SWT. Kepada Rasulrasul-Nya untuk disampaikan kepada
manusia. Agama Islam berisi ajaran-ajaran Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah,
manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Islam dalam pengertian ini adalah agama yang
dibawa oleh para Rasul Allah, sejak nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW. Islam yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad adalah wahyu Allah terakhir untuk manusia. Oleh karena itu, agama ini
sudah sempurna dan senantiasa sesuai dengan tingkat perkembangan manusia sejak masa
diturunkannya, empat belas abad yang lalu hingga akhir peradaban manusia.
Adapun ciri-ciri Islam dapat dilihat dalam berbagai konsep yang dibawanya, yakni: Pertama,
Konsep teologi Islam yang di dasarkan pada prinsip tawhid sebagai konsep monotheisme dengan
kadar paling tinggi. Kedua, Konsep kedudukan manusia, dalam hubunganya dengan tuhan
(hablumminallah), hubunganya dengan sesama manusia (hablumminannas), bahkan sesama
makhluk, juga hubunganya dengan alam semesta. Ketiga, konsep keilmuan sebagai bagian integratif
dari kehidupan manusia. Keempat, Konsep ibadah dalam Islam. Dari berbagai konsep ini maka Harun
Nasution menganggap bahwa agama (Islam) pada hakikatnya mengandung dua kelompok ajaran.
Kelompok pertama, yang meyakini bahwa wahyu dari Tuhan, bersifat absolut, mutlak, kekal, tidak
berubah dan tidak bisa di ubah. Sedangkan kelompok kedua, mereka yang meyakini bahwa wahyu
dari Tuhan memerlukan penjelasan tentang arti dan pelaksanaannya.
Namun, pada kenyataaanya Islam sendiri baru berkembang pada abad ke-15 di zaman
Majapahit yang artinya ada masa kevakuman dari abad ke-8 sampai abad ke-15 yang mana Islam di
Nusantara ini belum bisa diterima oleh bangsa Nusantara. Kevakuman itulah yang kemudian
dikoreksi oleh para wali dan ternyata ada kesalahan dalam menyampaikan pesan. “Akhirnya
disampaikan dengan bahasa, cara, budaya, tradisi yang berkembang di masyarakat, baru Islam itu
bisa masuk. Dengan cara yang disampaikan para wali itulah akhirnya melahirkan tembang, gending,
syair, babat, serat, sastra dan sebagainya itu. Sehingga dengan kebudayaan ini lebih mudah
diterima,” ujarnya.
Lalu yang kedua digunakannya kebudayaan sebagai metode atau alat dalam menyampaikan
ajaran Islam dikarenakan dengan kebudayaan ini wajah Islam menjadi menyenangkan dan
kompatibel dengan tradisi lokal yang berkembang di masyarakat. “Sebab ada kesenjangan budaya
kesannya kalau kita langsung pakai cara-cara metode Arab itu orang menjadi defence culture.
Kesenjangan kultural inilah yang menyebabkan akhirnya ada defence culture. Nah untuk mengatasi
adanya defence culture itu maka inilah kebudayaan yang menjadi Wasilah,” ujar mantan asisten
pribadi Gus Dur ini.
Dengan cara-cara inilah, menurutnya, Islam menjadi lebih kreatif. Meski ajarannya tidak
diubah, ekspresinya menjadi lebih bisa beragam dan menunjukkan Islam itu kebenarannya akan
tetap abadi di setiap tempat dan waktu. “Karena budaya-budaya yang ada di masing-masing tempat
itu bisa menerima dengan baik dan bisa ekspresikan Islam dengan gayanya masing-masing dari segi
kultural tanpa harus merubah ajaran-ajaran yang sudah baku. Inilah yang perlu dipahami masyarakat
pemeluk agama Islam,” ujarnya. Menurutnya, dengan Islam yang seperti ini, maka orang menjadi
tidak mudah marah. Karena kalau Islam ini sedikit sedikit marah, ditunjukkan dengan emosi ataupun
kemarahan-kemarahan, akhirnya orang menjadi berpikir mengapa ajaran Islam ini ajarannya marah-
marah. “Kita juga perlu marah tetapi harus pada tempatnya. Kalau kita marah dan
mengatasnamakan marah itu pada hal-hal yang sifatnya membesar-besarkan masalah, maka orang
jadi mikir seperti masalah sedikit dibesar-besarkan yang akhirnya sama saja dengan mengkerdilkan
Islam itu sendiri,” ujarnya. Terkait dengan puisinya Sukmawati yang bikin heboh masyarakat,
menurutnya, ini mengindikasikan bahwa taraf keberagamaan masyarakat Indonesia ini cenderung
masih bersifat legal formalistik, di mana masih menjadi orang yang mudah kaget, mudah marah, dan
mudah terkejut. Padahal sebetulnya puisi itu adalah puisi otokritik yang dapat menjadi bahan
refleksi bagi masyarakat semuanya. “Misalnya ketika mbak Sukma mengatakan bahwa ‘Kidung ibu
lebih indah daripada adzan mu’. Nah ‘Mu’ ini tujuannya kemana? ‘Mu’ ini kalau tujuannya kepada
orang yang adzan itu yang kadang suaranya sember, suaranya tak beraturan, kadang juga asal teriak
atau asal bunyi. Secara jujur dan estetik misalnya dibanding dengan kidung-kidung yang merdu, yang
berirama, menyentuh hati secara faktual memang seperti itu,” ujar alumni IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Kondisi seperti ini menurutnya sudah diantisipasi oleh para wali pada zaman dahulu ketika
Sunan Kalijogo mentransformasikan ayat-ayat Allah menggunakan seni, budaya dan tradisi. Karena
hal itu sebagai sarana untuk menyebarkan, mengajarkan, dan menyampaikan pesan-pesan agama
supaya lebih indah, lebih mudah diterima dan lebih menyenangkan ketika didengarkan orang.
“Akhirnya dengan cara seperti itu justru Islam bisa diterima oleh semua orang, dibanding dengan
orang-orang yang berteriak-teriak tetapi suaranya enggak jelas meskipun itu suara yang
mengandung kebaikan. Ini faktual, harus dibedakan antara pesan agama, ajaran agama dengan
metode, cara atau alat menyampaikan pesan,” ujar pria yang memiliki ciri suka memakai blangkon
ini. Karena adzan itu adalah bagian dari ritual agama dalam memanggil orang untuk melaksanakan
shalat dan karena suara adzan itu suara sakral, suara suci dan ritual agama, maka mestinya harus
disampaikan dengan suara yang indah sehingga jangan sampai kalah dengan kidung. “Nah kalau
langgam kalah dengan kidung akhirnya dia menjadi bahan ketawaan orang dan bahan ejekan orang.
Ketika ada orang ada yang merasakan seperti itu ya kita jangan marah, mestinya kita instropeksi lain
kali kalau adzan suara atau langgamnya harus yang bagus, merdu,” ujarnya. Pria kelahiran Pati, 27
Agustus 1966 ini mencontohkan, Sunan Kalijogo dulu ketika membangunkan orang untuk salat
tahajjud tidak langsung mengutip ayat-ayat dalam kitab suci melainkan ditransformasikan menjadi
kidung Rumekso Ing Wengi. “Itu adalah contoh Sunan Kalijogo mencoba memperindah,
mempercantik supaya pesan-pesan agama ini lebih mudah, gampang dan lebih enak diterima oleh
para penyampai pesan. Karena itu sesuai dengan kondisi psikologis, kondisi kultural, kondisi
tradisional masyarakat. Jadi marilah kita sama-sama mencoba untuk menghayati sejarah itu di muka
bumi Indonesia ini,” ujarnya.