Tugas Anti Korupsi KEL 6
Tugas Anti Korupsi KEL 6
MAKALAH
“DAMPAK-DAMPAK KORUPSI”
OLEH:
KELOMPOK 6
Puji syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya. Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh
lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami
sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini
karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.
Kupang,
BAB I
PENDAHULUAN
Korupsi di tanah negeri, ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap
lestari sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap orde yang
datang silih berganti. Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi. Apabila
disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang datang dari diri pribadi sedang
faktor eksternal adalah faktor penyebab terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari luar.
Faktor internal terdiri dari aspek moral, misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu,
aspek sikap atau perilaku misalnya pola hidup konsumtif dan aspek sosial seperti keluarga
yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku korup.
Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara
menyebabkan terjadinya korupsi. Korupsi di Indonesia sudah merupakan patologi social
(penyakit social) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil
keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah
terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh
kalangan anggota legislatif dengan dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lain
sebagainya di luar batas kewajaran. Oleh karena itu, kita harus membangkitkan dorongan
yang lebih kuat dalam diri kita masing – masing untuk membasmi korupsi. Meskipun
pemerintah sudah membentuk sebuah organisasi yang bertujuan besar untuk membebaskan
Negara ini dari kasus korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) namun
kenyataannya korupsi masih meraja lela di negeri kita.
REPORT THIS AD
2.1 Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
Kata “korupsi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti penyelewengan atau
penggelapan (uang negara atau perusahaan) dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau
orang lain. Perbuatan korupsi selalu mengandung unsur “penyelewengan” atau dis-honest
(ketidakjujuran). Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28Tahun 1999 tentang
Penyelewengan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
disebutkan bahwa korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pidana korupsi. Dalam prakteknya,
korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa
ada catatan atau administrasinya. Balas jasa yang diberikan oleh pejabat, disadari atau tidak,
adalah kelonggaran aturan yang semestinya diterapkan secara ketat. Kompromi dalam
pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan jabatan tertentu dalam jajaran birokrasi di
Indonesia inilah yang dirasakan sudah sangat mengkhawatirkan.
Ada beberapa dampak buruk yang akan diterima oleh kaum miskin akibat korupsi,
diantaranya. Pertama, Membuat mereka (kaum miskin) cenderung menerima pelayanan sosial
lebih sedikit. Instansi akan lebih mudah ketika melayani para pejabat dan konglomerat
dengan harapan akan memiliki gengsi sendiri dan imbalan materi tentunya, peristiwa seperti
ini masih sering kita temui di tengah–tengah masyarakat. Kedua, Investasi dalam prasarana
cenderung mengabaikan proyek–proyek yang menolong kaum miskin, yang sering terjadi
biasanya para penguasa akan membangun prasarana yang mercusuar namun minim
manfaatnya untuk masyarakat, atau kalau toh ada biasanya momen menjelang kampanye
dengan niat mendapatkan simpatik dan dukungan dari masyarakat. Ketiga, orang yang miskin
dapat terkena pajak yang regresif, hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki wawasan dan
pengetahuan tentang soal pajak sehingga gampang dikelabuhi oleh oknum. Keempat, kaum
miskin akan menghadapi kesulitan dalam menjual hasil pertanian karena terhambat dengan
tingginya biaya baik yang legal maupun yang tidak legal, sudah menjadi rahasia umum ketika
seseorang harus berurusan dengan instansi pemerintah maka dia menyediakan uang, hal ini
dilakukan agar proses dokumentasi tidak menjadi berbelit–belit bahkan ada sebuah pepatah
“kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah”.
Korupsi, tentu saja berdampak sangat luas, terutama bagi kehidupan masyarakat miskin di
desa dan kota. Awal mulanya, korupsi menyebabkan Anggaran Pembangunan dan Belanja
Nasional kurang jumlahnya. Untuk mencukupkan anggaran pembangunan, pemerintah pusat
menaikkan pendapatan negara, salah satunya contoh dengan menaikkan harga BBM.
Pemerintah sama sekali tidak mempertimbangkan akibat dari adanya kenaikan BBM
tersebut harga-harga kebutuhan pokok seperti beras semakin tinggi biaya pendidikan
semakin mahal, dan pengangguran bertambah. Tanpa disadari, masyarakat miskin telah
menyetor 2 kali kepada para koruptor. Pertama, masyarakat miskin membayar kewajibannya
kepada negara lewat pajak dan retribusi, misalnya pajak tanah dan retribusi puskesmas.
Namun oleh negara hak mereka tidak diperhatikan, karena “duitnya rakyat miskin” tersebut
telah dikuras untuk kepentingan pejabat. Kedua, upaya menaikkan pendapatan negara melalui
kenaikan BBM, masyarakat miskin kembali “menyetor” negara untuk kepentingan para
koruptor, meskipun dengan dalih untuk subsidi rakyat miskin. Padahal seharusnya negara
meminta kepada koruptor untuk mengembalikan uang rakyat yang mereka korupsi, bukan
sebaliknya, malah menambah beban rakyat miskin.
Birokrasi, baik sipil maupun militer, memang merupakan kelompok yang paling rawan
terhadap korupsi. Sebab, di tangan mereka terdapat kekuasaan penyelenggaraan
pemerintahan, yang menjadi kebutuhan semua warga negara. Oleh karena itu, Transparancy
International, lembaga internasional yang bergerak dalam upaya anti korupsi, secara
sederhana mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk
kepentingan pribadi.
Lebih jauh lagi, TI membagi kegiatan korupsi di sektor publik ini dalam dua jenis, yaitu
korupsi administratif dan korupsi politik. Secara administratif, korupsi bisa dilakukan ‘sesuai
dengan hukum’, yaitu meminta imbalan atas pekerjaan yang seharusnya memang dilakukan,
serta korupsi yang ‘bertentangan dengan hukum’ yaitu meminta imbalan uang untuk
melakukan pekerjaan yang sebenarnya dilarang untuk dilakukan.
Pada kasus Indonesia, jenis korupsi pertama terwujud antara lain dalam bentuk uang pelicin
dalam mengurus berbagai surat-surat, seperti Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi,
Akta Lahir atau Paspor agar prosesnya lebih cepat. Padahal seharusnya, tanpa uang pelicin
surat-surat ini memang harus diproses dengan cepat. Sementara jenis korupsi yang kedua,
muncul antara lain dalam bentuk ‘uang damai’ dalam kasus pelanggaran lalu lintas, agar si
pelanggar terhindar dari jerat hukum.
Sementara pada birokrasi militer, peluang korupsi, baik uang maupun kekuasaan,
muncul akibat tidak adanya transparansi dalam pengambilan keputusan di tubuh angkatan
bersenjata serta nyaris tidak berdayanya hukum saat harus berhadapan dengan oknum militer
yang seringkali berlindung di balik institusi militer.
Tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dipimpin oleh Dr. Indria
Samego mencatat empat kerusakan yang terjadi di tubuh ABRI akibat korupsi:
Dalam data Indeks Persepsi Korupsi Transparansi Internasional 2012, India menempati
peringkat ke-94 dengan skor 36, di bawah Thailand, Maroko, dan Zambia. Meskipun India
adalah negara demokrasi, korupsi tetap jadi penyakit yang terus melanda. Sebaliknya, di
Singapura, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih telah menjadi praktik yang lama
berlangsung. Padahal, Singapura bukanlah tergolong negara demokrasi. Skor indeks persepsi
korupsi Singapura adalah 87, menempati peringkat ke-5, di atas Swiss, Kanada, dan Belanda.
Dalam kasus India dan Singapura, demokrasi tak tampak berkorelasi dengan berkurangnya
korupsi.
Di negara-negara demokrasi baru, demokrasi juga seperti tak berpengaruh terhadap
pengurangan korupsi. Sebagai contoh, Indonesia telah menjadi negara demokrasi sejak tahun
1998. Menurut Freedom House, lembaga pemeringkat demokrasi dunia, Indonesia sudah
tergolong negara bebas sepenuhnya (demokrasi) sejak 2004. Namun, Indeks Persepsi Korupsi
2012 menempatkan Indonesia di peringkat ke-118 dengan skor 32. Artinya, masyarakat
merasakan bahwa korupsi masih merajalela di negeri ini.
Mengapa di sejumlah negara, terutama negara-negara demokrasi baru, demokrasi tampak
tidak menihilkan korupsi? Jawabannya terkait dengan kualitas demokrasi di suatu negara.
Ada dua aspek penting yang terkait dengan demokrasi: prosedur dan substansi. Negara-
negara demokrasi baru seperti Indonesia umumnya masih tergolong ke dalam demokrasi
prosedural. Yang sudah berjalan adalah aspek-aspek yang terkait dengan pemilihan umum.
Hal ini tidak cukup menjamin berlangsungnya demokrasi yang dapat meminimalkan korupsi.
Para aktor yang korup dalam demokrasi prosedural dapat memanipulasi pemilihan umum
yang justru membuat mereka menjadi pemegang tampuk kekuasaan.
Korupsi merupakan penyakit moral, oleh karena itu penanganannya perlu dilakukan
secara sungguh-sungguh dan sistematis dengan menerapkan strategi yang komprehensif.
Presiden melalui inpres no 5 tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi
menyatakan langkah-langkah efektif dalam memberantas korupsi adalah sebagai :
Cara lain penanggulangan korupsi adalah dengan menegakkan hukum itu sendiri. Adapun
UU yang mengaturnya yaitu: – Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. –
Rumusan RUU KUHP Tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP ini diatur dalam Bab
XXXI, Pasal 681 sampai dengan 690. Tindak pidana korupsi dalam Rancangan KUHP di
bagi dalam dua jenis tindak pidana yakni, suap dan penyalahgunaan wewenang yang
merugikan keuangan negara. Secara garis besar, Rancangan KUHP dalam perumusan pasal-
pasalnya mengambil pokok-pokok rumusan tindak pidana dalam Undang-undang Korupsi
(Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Korupsi adalah suatu tindakan memperkaya diri yang secara langsung merugikan negara
atau perekonomian negara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek. Aspek
yang memperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan uang
Negara untuk kepentingannya. Adapun penyebabnya antara lain, ketiadaan dan kelemahan
pemimpin, kelemahan pengajaran dan etika, kolonialisme, penjajahan rendahnya pendidikan,
kemiskinan, tidak adanya hukuman yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk
perilaku korupsi, rendahnya sumber daya manusia, serta struktur ekonomi. Dampak korupsi
dapat terjadi di berbagai bidang diantaranya, bidang demokrasi, ekonomi, dan kesejahteraan
negara. Oleh karena itu, korupsi adalah musuh bersama yang harus dibasmi bukan
dilestarikan, karna korupsi bukan budaya.
2. Saran
Dengan penulisan makalah ini, penulis mengharapkan kepada pembaca agar dapat
memilih manfaat yang tersirat didalamnya dan dapat dijadikan sebagai kegiatan motivasi agar
kita tidak terjerumus oleh hal-hal korupsi. Karena korupsi bisa berawal dari hal-hal kecil
yang dianggap sepele.
DAFTAR PUSTAKA
http://makalainet.blogspot.com/2013/10/korupsi.html
http://korupsidampakdalambeebagaiaspek.blogspot.co.id/2016/04/makalah-dampak-tindakan-
korupsi.html