Anda di halaman 1dari 7

Lo 1.

HEPATITIS B

Hepatitis adalah peradangan sel-sel hati, biasanya disebabkan infeksi (virus, bakteri, parasit),
obat-obatan (termasuk obat tradisional), konsumsi alkohol, lemak berlebih, dan penyakit autoimun.
Hepatitis dapat disebabkan oleh berbagai virus seperti virus hepatitis A (HAV), hepatitis B (HBV),
hepatitis C (HCV), hepatitis D (HDV), dan hepatitis E (HEV). Hepatitis B adalah peradangan hepar
disebabkan virus hepatitis B. Hepatitis akut apabila inflamasi hepar akibat infeksi virus hepatitis
setelah masa inkubasi virus 30- 180 hari atau 8 – 12 minggu; disebut hepatitis kronik apabila telah
lebih dari 6 bulan

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi hepatitis B dibagi atas 5 fase, fase pertama adalah imun toleran, ditandai oleh sistem
imun menghambat replikasi VHB, dimana HBV DNA, HBeAg, dan HBsAg dilepaskan dan dapat
dideteksi dalam serum. Kedua adalah fase imun reaktif, pada fase ini HBeAg positif, kadar alanine
transferase (ALT) meningkat, Anti HBc IgM mulai diproduksi, HBV DNA, HBeAg dan HBsAg semakin
banyak. Fase ketiga adalah replikasi menurun, HBV DNA rendah, HBeAg negatif, tetapi HBsAg masih
ada, fase ini dikenal sebagai inactive carier state, dimana berisiko (10- 20%) untuk reakktivasi
menjadi aktif kembali, fase keempat adalah HBeAg negatif, tetapi pada fase ini, virus yang
mengalami mutasi pada precore, regio promoter core dari genom tetap aktif melakukan replikasi,
sehingga komplikasi/kerusakan hepar terus berlanjut. fase kelima adalah HBsAg negatif, replikasi
virus berhenti, tetapi VHB masih berisiko ditularkan, karena berada dalam reaktifase
MANIFESTASI KLINIS
1. Hepatitis B akut
a. Malaise/lesu/kelelahan.
b. Nafsu makan menurun.
c. Demam ringan.
d. Nyeri abdomen sebelah kanan.
e. Kencing berwarna seperti teh.
f. Ikterik.

2. Hepatitis B kronis
a. HbsAg (Hepatitis B surface Antigen) positif.
b. HbeAg (Hepatitis B E-Antigen, anti-Hbe dalam serum, kadar ALT (Alanin Amino Transferase), HBV
DNA (Hepatitis B Virus-Deoxyyribunukleic Acid) positif.
c. Berlangsung >6 bulan
d. Asimtomatik (tanpa tanda dan gejala)

KLASIFIKASI
Menurut Kemenkes RI (2016), Hepatitis B dibagi menjadi dua, yakni:
1. Hepatitis B Akut
Hepatitis B Akut merupakan hepatitis B dari golongan virus DNA yang penularannya vertikal 95%
terjadi saat masa perinatal (saat persalinan) dan 5% intrauterin. Penularan Horisontal melalui
transfusi darah, jarum suntik tercemar, pisau cukur, tatto dan transplantasi organ. Hepatitis B akut
memiliki masa inkubasi 60-90 hari
2. Hepatitis B Kronik
Hepatitis B kronik merupakan perkembangan dari Hepatitis B akut. Usia saat terjadi infeksi
mempengaruhi kronisitas penyakit. Bila penularan terjadi saat bayi maka 95% akan menjadi
Hepatitis kronik. Sedangkan bila penularan terjadi saat usia balita, maka 20-3- % menjadi penederita
Hepatitis B kronikdan bila penularan saat dewasa maka hanya 5% yang menjadi penderita Hepatitis
kronik.

1. Pemeriksaan Hepatitis B surface Antigen (HBsAg) Pemeriksaan HBsAg bermanfaat untuk


menetapkan hepatitis B akut, timbul dalam darah enam minggu setelah infeksi dan menghilang
setelah tiga bulan. Bila persisten lebih dari enam bulan, maka didefinisikan sebagai pembawa
(carier). HbsAg ditemukan pada hepatitis B akut dini sebelum timbul gejala klinik atau pada akhir
masa tunas.
2. Pemeriksaan Antibodi Hepatitis B surface (AntiHBs) Anti Hbs merupakan antibodi terhadap HBsAg,
jika positif/reaktif, menunjukkan pada fase konvalensi Hepatitis B, pada penderita hepatitis B
(biasanya subklinis) yang sudah lama, atau sesudah vaksinasi HBV. Jenis Hepatitis B subklinis dapat
diketahui dengan Anti HBs dengan atau tanpa Anti HBc pada orang yang menyangkal adanya riwayat
hepatitis akut. HBs Ag yang negatif tetapi anti HBs positif, belum dapat dikatakan seseorang tersebut
bebas dari HBV, sebab adanya superinfeksi dengan HBV mutant, banyak studi yang sudah meneliti,
bahwa HBV DNA dilaporkan positif pada pemeriksaan HBsAg yang negative
3. Pemeriksaan Hepatitis B envelope Antigen (HBeAg) HBeAg timbul bersama atau segera setelah
timbulnya HBsAg dan akan menetap lebih lama dibandingkan HBsAg, biasanya lebih dari 10 minggu.
Bila kemudian HBeAg menghilang dan terbentuk Anti HBe, berpotensi mempunyai prognosis yang
baik.
4. Pemeriksaan antibodi Hepatitis B envelope (AntiHBe) Anti HBe terbentuk setelah HBeAg
menghilang, biasanya terbentuknya AntiHBe memberikan kontribusi bahwa hepatitis B membaik,
infeksi mereda dan tidak akan menjadi kronis.
5. Pemeriksaan antibodi Hepatitis B core (Anti-HBc), berupa IgM anti HBc HBV core tidak ditemukan
dalam darah, tetapi dapat dideteksi antibodi terhadap HBV core berupa IgM anti HBc, yang muncul
segera setelah HBsAg muncul, dan bertahan cukup lama. Anti HBc yang positif tetapi HBsAg negatif,
masih menjadi pertanyaan pada transfusi darah, dimana kondisi tersebut berada pada fase windows
period, sehinggan beresiko untuk menularkan HBV kepada penerima darah (Tas et al, 2012).23 Anti
HBc positif tanpa HBsAg atau anti HBs, dapat diinterpretasikan sebagai berikut, pertama penderita
hepatitis B sudal lama sembuh, dimana sudah kehilangan reaktivasi dari anti HBs. Kedua adalah
penderita Hepatitis B baru sembuh dan masih dalam masa jendela dimana anti HBs belum muncul,
ketiga ada penderita low level carier, dengan titer HBsAg terlalu rendah, sehingga kondisi ini sangat
berbahaya pada kasus transfusi darah, pemberian serum immunoglobulin (gamma globulin).
6. Hepatitis B Virus Desoxyribo Nucleic Acid (HBVDNA) Pengukuran kadar HBV DNA dapat dilakukan
dengan menggunakan PCR, pengukuran dapat dilakukan secara kualitatif maupun direk kuntitatif,
dapat juga menganalisis HBV DNA mutan3

Yulia.D, 2019. Virus Hepatitis B Ditinjau dari Aspek Laboratorium. Journal FK Universitas Andalas
Hilman.K, Prasetya.E, 2017. Penatalaksanaan Hepatitis B. Jurnal Kristen Maranatha

Lo 2. HEPATITIS C

Etiologi
Virus Hepatitis C merupakan penyebab penyakit hepatitis non-A dan non-B NANB). Virus ini
memiliki selubung (envelope) dan RNA yang berupa untaian positif. Partikel virus hepatitis C
berukuran antara 30-60 nm (nanometer). Genom dari virus hepatitis C memiliki 9.600 pasangan
basa yang mengkode pembentukan 10 protein. Virus hepatitis C berada dalam famili
Flaviviridae dan genus Hepacivirus. Virus hepatitis C memiliki 6 genotipe yang berbeda serta
beberapa subtipe yang diduga memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap respon imun
maupun terapi. Meskipun RNA VHC dapat terdeteksi dalam serum, ginjal, maupun nodus limpa
pada pasien yang menderita hepatitis C, namun percobaan secara invivio dan invitro
membuktikan bahwa VHC adalah virus hepatotropic yang hanya bereplikasi dalam sel-sel hati
(hepatocyte)

PATOGENITAS
Sistem imun tubuh manusia berfungsi sebagai pelindung terhadap infeksi virus maupun
bakteri, dimana sel-sel khusus di dalam tubuh berinteraksi bersama menghancurkan berbagai
virus maupun bakteri asing yang dapat mengancam tubuh manusia. Sistem imun tersebut
memiliki struktur fisik dan fungsional. Secara fisik, sistem imun terbentuk oleh sel-sel tubuh,
reseptor, dan bahan kimia. Sedangkan secara fungsional, komponen-komponen sistem imun
tubuh membentuk pertahanan yang sangat kuat melawan invasi sel-sel yang abnormal maupun
organisme asing seperti virus. Karena fungsinya tersebut, maka sistem imun tubuh sudah
semestinya dapat mengeliminasi virus hepatitis C saat menginfeksi tubuh. Beberapa
orang dengan penyakit infeksi VHC yang persisten, dapat terjadi karena virus hepatitis C
yang mampu menghindari, merusak, bahkan memperlemah sistem imun tubuh. Akibatnya
dapat timbul infeksi kronis dengan kerusakan hati yang memungkinkan untuk berkembang
menjadi sirosis, kegagalan fungsi hati, kanker hati, bahkan kematian [24]. Respon imun tubuh
terhadap infeksi virus hepatitis C meliputi respon imun nonspesifik/alami/innate (sel dendritik,
sel natural killer (NK), dan sel kupffer) dan respon imun spesifik/didapat/adaptif (sel T
CD4+ dan sel TCD8+). (29) Virus hepatitis C yang menginfeksi tubuh dapat mempengaruhi
seluruh aspek sistem interferon, seperti induksi interferon β (IFN-β) pada sel-sel yang terinfeksi,
induksi sinyal IFN-α/β melalui jalur Jak-STAT (Janus Kinase –Signal Transducer and Activator
of Transcription), daninduksi IFN karena pemberian antiviral [25]. Aktivasi Sel NK
(Natural Killer) selama fase awal infeksi, turut terlibat dalam pemusnahan partikel-partikel VHC
di dalam tubuh. Jika terjadi penekanan terhadap aktivasi sel NK tersebut, maka dapat
berimplikasiterjadinya infeksi kronis VHC yang persisten

Patofisiologi
hepatitis C diawali dengan infeksi virus hepatitis C (HCV) yang menetap pada
hepatosit sehingga menyebabkan inflamasi dan fibrosis.  Masa inkubasi berkisar antara 14-
180 hari (±45 hari).  Target natural HCV adalah hepatosit. Virion akan melekat pada reseptor
hepatosit yang kemudian akan melepaskan RNA ke dalam sitoplasma hepatosit. Viremia
akan menetap dan menyebabkan inflamasi dan fibrosis pada hepar. Pada HCV terdapat
struktur kapsul glikoprotein (E1 dan E2) dan protein inti yang meningkatkan ikatan virus ke
hepatosit dan limfosit B. Protein inti HCV juga merupakan faktor risiko penting
perkembangan infeksi hepatitis C ke sirosis, karena dapat meningkatkan sinyal regulasi siklus
sel, proliferasi sel, apoptosis, stres oksidatif, dan metabolisme lipid.
Diagnosis
hepatitis C ditegakkan secara klinis, dan didukung dengan pemeriksaan serologi. Pada infeksi
hepatitis C akut, virus hepatitis C (HCV) RNA dapat terdeteksi dalam 7-10 hari setelah
paparan. Kemudian anti-HCV mulai terdeteksi pada 7-8 minggu setelah paparan.
Hepatitis C kronik dapat didiagnosis jika anti HCV dan HCV RNA ditemukan menetap 6
bulan pasca paparan
Kementrian Kesehatan RI. Panduan Singkat Tatalaksana Hepatitis C. 2017.

SIROSIS HATI
Pengertian
Sirosis Hepatis adalah penyakit kronis pada hepar dengan inflamasi dan fibrosis hepar yang
mengakibatkan distrosi struktur hepar dan hilangnya sebagian besar fungsi hepar. Perubahan besar
yang terjadi karena sirosis adalah kematian sel-sel hepar, terbentuknya sel-sel fibrotik (sel mast),
regenerasi sel dan jaringan parut yang menggantikan sel-sel normal (Baradero, 2008). Menurut Black
(2014) sirosis hati adalah penyakit kronis progresif dicirikan dengan fibrosis luas (jaringan parut) dan
pembentukan nodul. Sirosis terjadi ketika aliran normal darah, empedu dan metabolism hepatic
diubah oleh fibrosis dan perubahan di dalam hepatosit, duktus empedu, jalur vaskuler dan sel
retikuler. Aru, (2009) menjelaskan sirosis adalah suatu keadaan yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distrosi dari arsitektur hepar dan
pembentukan nodulus regenerative (dikutip oleh Nurarif & Kusuma, 2015).

Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa sirosis hepatis adalah penyakit
hati kronis yang menyebabkan hilangnya sebagian fungsi hepar yang ditandai oleh pembentukan
nodul regeneratif.

Etiologi
Menurut Nurdjanah (2014), penyebab sirosis bermacam-macam, kadang lebih dari satu sebab ada
pada satu penderita. Di negara barat alkoholisme kronik bersama virus hep atitis C merupakan
penyebab yang sering dijumpai. Sedangkan Black (2014) berpendapat, penyebab sirosis belum
teridentifikasi jelas, meskipun hubungan antara sirosis dengan minum alkohol berlebihan telah
ditetapkan dengan baik. Negara-negara dengan insiden sirosis tertinggi memiliki konsumsi alkohol
per kapita terbesar. Kecenderungan keluarga dengan predisposisi genetik, juga hipersensivitas
terhadap alkohol, tampak pada sirosis alkoholik.

Klasifikasi
Rubenstein, Wayne, dan Bradley (2007) membagi sirosis hepatis dalam beberapa klasifikasi, yaitu:
a. Mikronodular (sirosis portal) ditandai oleh pita fibrotik tebal teratur yang menghubungkan
pembuluh portal dengan vena hepatika, dan disertai nodulnodul regenerative kecil. Hati pada
awalnya membesar dengan tepi rata namun akhirnya mengerut akibat fibrosis progresif. Seringkali
disebabkan oleh alkohol.
b. Makronodular (sirosis pascanekrotik) lebih jarang ditemukan dan ditandai oleh pita fibrosis yang
kasar dan tidak teratur dan hialngnya arsitektur normal serta nodul regenerative yang besar. Jenis ini
diyakini biasanya terjadi setelah hepatitis virus disertai nekrosis yang luas. Hati membesar dan
bentuknya tidak sangat teratur akibat besarnya nodul.
c. Sirosis billiaris lebih jarang dan ditandai oleh fibrosis disekitar duktus intrahepatik yang melebar.
Bisa terjadi setelah kolangitis kronis dan obstruksi bilier, atau idiopatik (primer).
d. Sirosis biliaris primer terjadi kerusakan progresif pada duktus biliaris intrahepatik. Terutama (90%)
mengenai wanita antara 40- 60tahun, dan keluhan utamanya berupa tanda-tanda koleastatis:
pruritus, ikterus, disertai tinja pucat, urin gelap, dan steatorea, pigmentasi, dan xantelasma.

Tanda Dan Gejala


a. Keluhan pasien Biasanya pasien mengeluh pruritis, urin berwarna gelap, ukuran lingkar pinggang
meningkat, turunnya selera makan dan turunnya berat badan, ikterus (kuning pada kulit dan mata)
muncul belakangan
b. Tanda Klasik Tanda klasik yang sering dijumpai antara lain : telapak tangan merah, pelebaran
pembuluh darah, ginekomastia bukan tanda yang spesifik, peningkatan waktu yang protombin
adalah tanda yang lebih khas, ensefalopi hepatis dengan hepatis fulminan akut dapat terjadi dalam
waktu singkat dan pasien akan merasa mengantuk, delirium, kejang, dan koma dalam waktu 24 jam,
onset enselopati hepatis dengan gagal hati kronik lebih lambat dan lemah (Elin, 2009 dikutip oleh
Nurarif & Kusuma, 2015).

Komplikasi
Komplikasi sirosis hepatis yang utama adalah hipertensi portal, asites, peritonitis bakterail spontan,
pendarahan varises esophagus, sindroma hepatorenal, ensefalopati hepatikum, dan kanker hati.
a. Hipertensi Portal Adalah peningkatan hepatik venous pressure gradient (HVPG) lebih 5 mmHg.
Hipertensi portal merupakan suatu sindroma klinis yang sering terjadi. Bila gradient tekanan portal
(perbedaan tekanan antara vena portal dan vena cava inferior) diatas 10-20 mmHg, komplikasi
hipertensi portal dapat terjadi.
b. Asites Penyebab asites yang paling banyak pada sirosis hepatis adalah hipertensi portal, disamping
adanya hipoalbuminemia (penurunan fungsi sintesis pada hati) dan disfungsi ginjal yang akan
mengakibatkan akumulasi cairan dlam peritoniun.
c. Varises Gastroesofagus Varises gastroesofagus merupakan kolateral portosistemik yang paling
penting. Pecahnya varises esophagus (VE) mengakibatkan perdarahan varieses yang berakibat fatal.
Varises ini terdapat sekitar 50% penderita sirosis hepatis dan berhubungan dengan derajat
keparahan sirosis hepatis.
d. Peritonisis Bakterial Spontan Peritonisis bakterial spontan (SBP) merupakan komplikasi berat dan
sering terjadi pada asites yang ditandai dengan infeksi spontan cairan asites tanpa adanya fokus
infeksi intraabdominal.
e. Ensefalopati Hepatikum Sekitar 28% penderita sirtosis hepatis dapat mengalami komplikasi
ensefalopi hepatikum (EH). Mekanisme terjadinya ensefalopati hepatikum adalah akibat
hiperamonia , terjadi penutunan hepatic uptake sebagai akibat dari intrahepatic portalsystemic
shunts dan/atau penurunan sintesis urea dan glutamik.
f. Sindrom Hepatorenal Merupakan gangguan fungsi ginjal tanpa kelainan organik ginjal, yang
ditemukan pada sirosis hepatis lanjut. Sindrom ini sering dijumpai pada penderita sirosis hepatis
dengan asites refrakter. Sindroma Hepatorenal tipe 1 ditandai dengan gangguan progresif fungsi
ginjal dan penurunan klirens kreatinin secara berrmakna dalam 1-2 minggu. Tipe 2 ditandai dengan
penurunan filtrasi glomerulus dengan peningkatan serum kreatinin. Tipe 2 ini lebih baik
prognosisnya daripada tipe 1 (Nurdjanah, dikutip oleh Siti, 2014).

PATOFISIOLOGI
Sirosis adalah tahap akhir pada banyak tipe cidera hati. Sirosis hati biasanya memiliki konsistensi
noduler, dengan berkas fibrosis (jaringan parut) dan daerah kecil jaringan regenerasi. Terdapat
kerusakan luas hepatosit. Perubahan bentuk hati mengubah aliran system vascular dan limfatik serta
jalur duktus empedu. Periode eksaserbasi ditandai dengan statis empedu, endapan jaundis (Black &
Hawks, 2014). Hipertensi vena poerta berkembang pada sirosis berat. Vena porta menerima darah
dari usus dan limpa. Jadi peningkatan didalam tekanan vena porta menyebabkan :
1. Aliran balik meningkat pada tekanan resistan dan pelebaran vena esofagus, umbilicus,dan vena
rektus superior, yang mengakibatkan perdarahan varises.
2. Asites (akibat pergeseran hidrostastik atau osmotic mengarah pada akumulasi cairan didalam
peritoneum)
3. Bersihan sampah metabolic protein tidak tuntas dengan akibat meningkatnya ammonia,
selanjutnya mengarah kepada ensefalopati hepatikum. Kelanjutan proses sebagai akibat penyebab
tidak diketahui atau penyalahgunaan alkohol biasanya mengakibatkan kematian dari ensefalopati
hepatikum, infeksi bakteri (gram negative), peritonitis (bakteri), hepatoma (tumor hati), atau
komplikasi hipertensi porta (Black & Hawks, 2014).

Anda mungkin juga menyukai