Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

BODY DYSMORPHIC DISORDER

Disusun oleh:
Dapot Sianipar

01073190133

Pembimbing:

dr. Ashwin Kandouw, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

SANATORIUM DHARMAWANGSA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

PERIODE SEPTEMBER - OKTOBER 2021


TANGERANG

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………..

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………….

Definisi…………………………………………………………………………

Epidemiologi……………………………………………………………………

Etiologi…………………………………………………………………………

Manifestasi Klinis………………………………………………………………

Diagnosis……………………………………………………………………….

Diagnosis Banding……………………………………………………………..

Tatalaksana…………………………………………………………………….

Komplikasi……………………………………………………………………..

Prognosis……………………………………………………………………….

BAB III KESIMPULAN……………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………….
BAB I

PENDAHULUAN

Body dysmorphic disorder (BDD) atau dysmorphophobia menurut DSM V didefinisikan


sebagai preokupasi yang tidak seimbang dan berlebihan terhadap sedikit kecacatan pada
penampilan fisik oleh pada penampilan seseorang yang tidak disadari atau sedikit disadari oleh
orang lain. Preokupasi ini cukup parah sampai menyebabkan terganggunya aktivitas sosial,
pekerjaan, atau area fungsional lain. Gangguan ini paling banyak ditemukan pada kelompok usia
remaja dengan prevalensi 0,7% - 2,4% pada populasi umum. BDD ini dapat disebabkan oleh
berbagai faktor seperti faktor perkembangan, sosial, budaya, dan neurokognitif yang
mengakibatkan adanya abnormalitas pada bagian tertentu di otak.

Pasien dengan BDD melihat diri mereka seperti tidak menarik, cacat, terlihat seperti
monster sehingga timbul rasa cemas yang mengganggu aktivitas sehari-hari nya. Jika BDD
terlambat disadari, hal ini akan memengaruhi kualitas hidup penderita, bahkan di antaranya
berpikiran atau melakukan percobaan bunuh diri. Sayangnya, dalam hal kesehatan mental,
gangguan ini lebih tersembunyi karena mayoritas pasien merasa tidak memiliki gangguan mental
atau akibat malu jika mengungkapkan apa yang pasien rasakan. Oleh karena itu, kesadaran dan
pemahaman mengenai BDD menjadi sangat penting untuk dilakukan sedini mungkin.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Pada tahun 1891, Enrico Morselli, seorang ahli gangguan jiwa Italia,
menciptakan terminologi dismorfofobia sebagai kondisi seseorang yang menganggap
dirinya memiliki kecacatan tanpa ditemukan adanya deformitas fisik yang jelas. Istilah
ini berasal dari Bahasa Yunani yaitu kata “dysmorfia” yang berarti “ugliness”. Pierre
Janet, seorang ahli gangguan jiwa Perancis, juga menyebut kondisi ini sebagai
“l’obsession de la honte du corps” yang berarti “obsessions of shame of the body”.1

Body Dysmorphic Disorder (BDD) adalah suatu gangguan jiwa berupa


preokupasi yang tidak seimbang dan berlebihan terhadap sedikit cacat pada
penampilan fisik oleh seseorang dengan penampilan yang normal. Preokupasi tersebut
menyebabkan kesulitan atau gangguan yang signifikan secara klinis pada aspek
kehidupan yang penting.2

2.2. Epidemiologi
BDD merupakan suatu kondisi yang jarang diteliti, sebagian karena pasiennya
cenderung untuk memeriksakan dirinya ke ahli penyakit kulit, ahli penyakit dalam,
atau ahli bedah plastik dibanding ke ahli gangguan jiwa mengenai keluhan ini. Suatu
penelitian pada kelompok mahasiswa ditemukan bahwa terdapat lebih dari 50% dari
mereka yang memiliki setidaknya preokupasi terhadap satu aspek penampilannya, dan
pada sekitar 25% dari mahasiswa tersebut terdapat efek yang signifikan pada perasaan
dan kemampuan mereka berfungsi.2 Akan tetapi pada penelitian lain BDD terjadi lebih
banyak dan dicatat memiliki prevalensi sebanyak 0,7% - 2,4 pada populasi umum dan
2% - 13% pada orang dewasa serta dicatat lebih sering daripada skizofrenia atau
anoreksia nervosa.3 DSM-5 melaporkan prevalensi di Amerika Serikat sebanyak
2,4%.2
BDD dapat terjadi dari usia 5 – 80 tahun dengan kejadian paling tinggi pada
kelompok usia remaja dengan usia rata-rata 16 tahun. 2 Penelitian dengan populasi
terbanyak yang dilakukan di Amerika Serikat (n=2048) dan Jerman (n=2552)
menemukan prevalensi BDD di Amerika Serikat sebanyak 2,5% pada wanita dan 2,2%
pada pria sedangkan di Jerman sebanyak 1,9% pada wanita dan 1,4% pada pria
sehingga prevalensi pada wanita dan pria tidak memiliki perbedaan yang signifikan.
Penelitian lain menemukan bahwa individu dengan BDD lebih jarang menikah serta
lebih cenderung untuk bercerai dan tidak bekerja pada populasi umum.4
2.3. Etiologi
1. Faktor perkembangan
Faktor perkembangan pada BDD sebenarnya tidak banyak dilakukan
penelitiannya dibandingkan gangguan lainnya, akan tetapi beberapa enelitian
menunjukan bajwa riwayat penelantaran/pengabaian oleh orang tua atau
kekerasan baik secara emosional, fisik, atau seksual selama masa kanak
berhubungan dengan BDD. Suatu studi menemukan bahwa 38% dari 50 penderita
BDD melaporkan pernah mengalami kekerasan semasa kanak, di mana kekerasan
emosional sebanyak 28%, kekerasan seksual sebanyak 22%, dan kekerasan fisik
sebanyak 14%. Studi lainnya menemukan bahwa 78.7% dari 75 pasien BDD yang
mengisi Childhood Trauma Questionnaire memiliki riwayat penganiayaan masa
kanak (68% emotional neglect, 56% emotional abuse, 34.7% physical abuse,
33.3% physical neglect, dan 28% sexual abuse).5
2. Faktor sosial
Interaksi sosial dapat menjadi sumber sulitnya masa kanak-kanak untuk
sebagian orang. Ejekan yang dilontarkan kepada orang lain yang berkaitan dengan
kondisi fisik, seperti jerawat pada masa remaja, dapat memiliki akibat negatif
jangka panjang pada seseorang yang memengaruhi pikiran dan emosinya. Pikiran
negatif yang pertama kali muncul mengenai penampilannya akibat opini orang
lain dapat terus membekas di pikiran dan perasaan sehingga muncul gejala BDD.
Pada suatu penelitian, individu dengan BDD melaporkan banyaknya riwayat
digodai, khususnya mengenai penampilan dan kompetensi daripada mengenai
kendali mental yang baik.5
3. Faktor budaya
Faktor budaya memegang peranan mengenai bagian tubuh mana yang
menjadi perhatian. Adanya keragaman kultur, ras, maupun etnik di dunia ini akan
memberikan standar kecantikan yang beragam pula. Dengan begitu, faktor ini
juga dapat berpengaruh terhadap bagian tubuh yang pasien cemaskan dan
munculnya gejala BDD.5
4. Fungsi neurokognitif dan neurobiologis
Penelitian fungsi neurokognitif penderita BDD sudah mulai dilakukan
dengan memberikan tugas visuospatial kompleks (Rey-Osterrieth Complex Figure
Test, ROCF) di mana penderita diinstruksikan untuk menggambar figur. Melalui
penelitian ini, didapatkan bahwa penderita BDD cenderung telalu fokus terhadap
detail yang akhirnya mengganggu kemampuan mereka dalam mengingat figur
secara keseluruhan.6 Penelitian lainnya juga menyimpulkan bahwa penderita BDD
mampu mengukur derajat distorsi suatu wajah secara tepat, menangkap suatu
detail objek secara berlebih bukan melihatnya secara global. Suatu studi
menunjukkan bahwa individu yang memiliki keluarga inti dengan BDD
meningkatkan kemungkinan BDD 3-8 kali lebih tinggi dibanding populasi
umumnya.7 Gangguan yang dialami oleh penderita BDD ini juga berhubungan
dengan gangguan neurobiologis.5
2.4. Psikopatologi
Para peneliti menunjukkan adanya abnormalitas pada sirkuit frontostriatal dan
temporoparietaloccipital yang melibatkan visual-spatial processing. Mereka
menemukan adanya aktivitas hemisfer kiri yang lebih besar, khususnya di korteks
prefrontal lateral dan lobus temporal lateral, yang menyebabkan adanya visual facial
processing yang lebih detail. Peneliti juga menunjukkan adanya kemungkinan
perbedaan morfologi otak, dengan korteks frontal orbital dan volume cingulate
anterior yang lebih kecil serta peningkatan total white matter dibandingkan dengan
subjek kontrol yang sehat.1,8
1. Detailed processing and visual processing streams
Berdasarkan data neuroimaging, ditemukan bahwa ketidakserasian antara
2 aliran pemrosesan visual yang menyebabkan timbulnya peningkatan
pemrosesan yang detail pada pasien BDD. Khususnya bukti bahwa adanya jalan
pintas pada jaringan occipitotemporal (VVS), di mana informasi visual pertama di
area V1 dan V2 yang berjalan dari early visual areas ke region temporal hemisfer
sinistra, di mana terdapat penglihatan yang dirincikan dan structural encoding
terjadi. Selain itu, pasien BDD diamati mengalami hipoaktivitas pada korteks
oksipital lateral yang mengindikasikan terjadi penurunan fungsi processing
informasi visual di dorsal visual stream (DVS), yang akhirnya menyebabkan
adanya defisit dalam melihat dan menggambarkan suatu objek secara
keseluruhan. Temuan-temuan ini yang dapat menjelaskan alasan mengapa
penderita BDD mengalami pandangan visual yang detail.9
2. Frontostriatal systems
Peneliti juga menyatakan bahwa defisit neural circuitry subkorteks dan
frontostriata mungkin berperan terhadap perilaku repetitif dan kompulsif dari
penderia BDD. Hiperaktivitas dan penurunan volume grey-matter ditemukan pada
regio orbitofrontal cortex (OFC) bilateral, caudate bilateral, dan thalamus. Hal
demikian juga ditemukan pada pasien dengan obsessive-compulsive disoder
(OCD). Karena adanya kondisi tersebut, pasien dengan BDD mengalami kesulitan
dalam mengontrol executive functioning, termasuk perilaku kompulsif dan
perencanaan.9
3. Temporolimbic system
Walaupun belum banyak dilakukan penelitiannya, terdapat dukungan
adanya disfungsi pada sistem limbik pada penderita BDD. Penderita BDD
terkadang memiliki persepsi diri yang salah sehingga sering menganggap bahwa
orang lain menunjukkan emosi negatifnya kepada penderita karena ‘cacat’.
Temuan menunjukan adanya hiperaktivitas abnormal pada amygdala dextra
selama visual processing. Ditemukan juga bahwa terdapat korelasi signifikan di
mana semakin besar volume amygdala kanan, makan semakin berat derajat gejala
BDD yang diderita.9,10
Gambar 2.1. Skema sistem visual pada pasien BDD9

2.5. Manifestasi Klinis


Individu dengan BDD terobsesi bahwa terdapat sesuatu yang salah dengan
penampilan mereka walaupun sebenarnya kekurangan yang mereka rasakan tersebut
minimal atau bahkan tidak ada. Mereka biasanya mendeskripsikan diri mereka seperti
terlihat tidak menarik atau cacat, atau bahkan menyeramkan seperti monster. Rasa
takut yang dialami penderita sebenarnya bukan karena penderita memiliki keinginan
narsisistik untuk menyempurnakan tubuh melainkan karena rasa malu terhadap tubuh
tersebut. Penderita akan merasa semakin cemas ketika mereka terlihat oleh orang
sekitar dan hal ini yang menyebabkan penderita BDD biasanya sangat kesulitan dalam
fungsi sosialnya. Bagian tubuh yang biasanya mereka fokuskan seringkali adalah
wajah atau kepala (seperti jerawat, warna kulit, hidung, botak, atau ukuran kepala)
tetapi dapat melibatkan bagian tubuh lain atau bahkan seluruh bagian tubuh. Bagian
tubuh lain yang sering menjadi perhatian, yaitu rambut, payudara, dan bagian kelamin.
Preokupasi mengenai penampilan ini sulit untuk ditahan atau dikendalikan dan rata-
rata dalam satu hari dapat menghabiskan waktu 3 – 8 jam.11 Hal tersebut seringkali
disertai dengan rasa takut akan ditolak atau perasaan harga diri yang rendah, malu,
perasaan tidak layak, dan tidak dapat dicintai. Misalnya pada pasien yang percaya
bahwa hidungnya terlalu besar sehingga mereka yakin bahwa mereka akan berakhir
dengan hidup menyendiri dan tidak dicintai karena mereka terlihat seperti penjahat.12
Penderita BDD juga dapat menjadi delusional dengan keyakinan bahwa mereka
terlihat abnormal dan padangan mereka mengenai kecacatannya adalah akurat.
Sebagai tambahan, sebagian dari mereka memiliki ide atau delusion of reference,
berpikir bahwa orang lain benar-benar memerhatikan bagian cacat mereka, bahkan
berpikir bahwa orang-orang melihat, membicarakan, bahkan mengejek mereka secara
diam-diam. Dengan begitu, mereka akan merasa bahwa setiap tawa, tatapan, atau
ucapan orang lain semua merujuk kepada kecatatan yang tidak nyata tersebut. Walau
begitu, kondisi ini tidak dapat disamakan dengan fobia karena penderita BDD hanya
terdistraksi dengan bagian tubuhnya yang dianggap cacat dan masih dapat
mentoleransi bentuk atau bagian tubuh orang lain.13
Banyak penderita menunjukkan kekhawatirannya terhadap kulit, seperti warna
kulit yang terlalu pucat atau kemerahan, pigmentasi kulit, keriput, ukuran pori-pori,
pola vena, jerawat, komedo, atau terhadap wajah, seperti bagaimana seseorang
mendeskripsikan dirinya mengerikan karena letak telinga yang terlalu rendah atau
garis rambut yang terlalu tinggi (kebotakan).14 Orang dengan BDD juga dapat
menyatakan adanya ketakutan bahwa wajahnya menyerupai hewan atau anggota
keluarga. Masalah wajah juga dapat berupa kurangnya kesimetrisan wajah, jumlah tahi
lalat, posisi mata atau alis, bentuk hidung, dan rambut. Pasien perempuan biasanya
mengeluhkan kurangnya feminitas, seperti payudara yang kecil. Sedangkan, pasien
laki-laki mengeluhkan kurangnya maskulinitas, seperti penis yang kecil atau tubuh
yang kurus. Penderita BDD dapat berulang kali melakukan perawatan/pengobatan
dermatologis atau bedah estetika karena merasa tidak puas dengan hasil yang
didapatkannya sebelumnya.15 Terdapat beberapa laporan yang menyatakan bahwa
ketidakpuasan ini menyebabkan dokter penanggung jawab mendapat ancaman. 16 Oleh
karena itu, penting sekali untuk mengenali pasien dengan BDD sebelum melakukan
bedah atau tata laksana serupa.17
Salah satu perilaku yang dapat ditemui pada penderita BDD adalah skin picking
(mengopek) patologis, atau disebut juga neurotic excoriation. Penderita dapat
melakukannya selama 5 - 60 menit tiap episodenya. 8 Dikatakan bahwa perilaku ini
mulanya menghilangkan tekanan pada penderita, namun juga menjadi penyebab ia
merasa stress dan malu. Dengan perilaku ini, pasien juga dapat mengalami infeksi dan
perdarahan.18 Walaupun skin picking menjadi salah satu gejala BDD akibat pikiran
obsesif, perilaku ini juga masih mungkin disebabkan gangguan lainnya atau hanya
sekadar kebiasaan seseorang.13
Beberapa perilaku lainnya yang dapat dijumpai pada penderita BDD adalah sering
membandingkan penampilan fisik dengan orang lain, berkali-kali melihat cermin
(mirror checking), dan memastikan pendapat orang lain mengenai penampilannya
(reassurance seeking).19
Manifestasi klinis yang ditemukan pada penderita BDD ini tentu memengaruhi
kehidupan sosialnya. Dilaporkan juga beberapa kasus di mana penderita pernah absen
dari pekerja, bolos sekolah, bahkan berhenti sekolah secara permanen. Hal ini
disebabkan oleh rasa takut dan malu karena merasa penampilan fisiknya tidak akan
dapat diterima oleh orang sekitarnya. Terkadang, rendahnya tingkat percaya diri
menyebabkan penderita tidak menikah. Kualitas hidup yang rendah dibuktikan dengan
adanya laporan mengenai suicidal ideation (45%-82%) maupun percobaan bunuh diri
(22%-24%) oleh penderita BDD.20
2.6. Diagnosis
BDD dapat menjadi sulit untuk didiagnosis karena banyak pasien yang terlalu
malu untuk menunjukkan gejalanya dan takut bahwa perhatian mereka akan dianggap
tidak penting atau hanya sebuah hal yang sia-sia. Jika BDD tidak ditanyakan dengan
spesifik, diagnosisnya dapat seringkali terlewatkan. Kesalahan mendiagnosis BDD
dapat menjadi masalah karena tatalaksananya mungkin dapat tidak bekerja dan
pasiennya dapat merasa disalahsangkakan.11 Terdapat beberapa perubahan kriteria
BDD dari DMS-IV dengan DSM-5. Pertama, BDD diklasifikasikan yang mulanya
termasuk gangguan somatoform pada DSM-IV menjadi obsessive-compulsive and
related disorder pada DSM-5. Kedua, pada DSM-5, ditambahkan kriteria diagnosis
yang mengindikasikan bahwa pasien harus memiliki perilaku berulang atau tindakan
mental akibat adanya preokupasi penampilan fisik yang cacat yang dirasakan pasien.
Ketiga, ketentuan “dengan muscle dysmorphia” ditambahkan dalam membedakan
pasien dengan BDD. Selanjutnya, BDD tipe delusi sudah tidak digunakan sebagai
kode untuk gangguan delusi (tipe somatik) dan BDD. Berikut ini adalah tabel kriteria
diagnosis BDD berdasarkan DSM-5.21

Tabel 2.1. Kriteria Diagnosis BDD Berdasarkan DSM-V22

Kriteria Diagnosis 300.7 (F45.22)


A. Preokupasi dengan satu atau lebih cacat (defect, flaws) yang dirasakan pada
penampilan fisik yang sebenarnya tidak diamati atau hanya sedikit tampak oleh
orang lain.
B. Pada titik tertentu saat terjadi gangguan, individu menunjukan perilaku repetitif
(misalnya mirror checking, excessive grooming, skin picking, reassurance
seeking) atau tindakan mental (misalnya membandingkan penampilannya dengan
penampilan orang lain) dalam menanggapi kekhawatiran terhadap penampilan.
C. Preokupasi menyebabkan distress atau gangguan sosial, pekerjaan, atau fungsi
lainnya yang signifikan secara klinis.
D. Preokupasi penampilan yang tidak lebih baik dijelaskan oleh kekhawatiran
terhadap lemak tubuh atau berat badan seorang individu yang gejalanya
memenuhi kriteria gangguan makan.
Tentukan jika:
Dengan dismorfia otot: individu disibukkan dengan ide bahwa bentuk
tubuhnya terlalu kecil atau tidak cukup berotot.
Tentukan jika:
Indikasikan derajat isi pikir berdasarkan keyakinan body dysmorphic (misalnya
“Saya terlihat jelek” atau “Saya terlihat cacat”).
Dengan isi pikir baik atau cukup: Individu menyadari bahwa keyakinan
BDD pasti atau mungkin tidak benar atau bahwa mereka mungkin benar atau
salah.
Dengan isi pikir buruk: Individu berpikir bahwa keyakinan body
dysmorphic kemungkinan benar.
Dengan keyakinan delusional/tanpa isi pikir: Individu sepenuhnya yakin
bahwa keyakinan body dysmorphic adalah benar.

Terdapat beberapa alat bantu evaluasi telah dibuat untuk membantu menilai BDD,
yaitu Yale-Brown Obsessive-Compulsive Scale (BDD-YBOCS) dan Body
Dysmorphic Disorder Questionnaire.23 BDD-YBOCS adalah suatu alat berisi 12
pertanyaan untuk menilai derajat BDD selama seminggu terakhir. Skor berkisar antara
0 sampai 48. Penurunan skor sebanyak ≥30% menyatakan setidaknya “jauh lebih
baik”, sedangkan penurunan skor ≥50% menyatakan setidaknya “sangat jauh lebih
baik”. Pemeriksaan ini digunakan hanya bagi orang yang telah terdiagnosis BDD
sebelumnya, sebaiknya tidak digunakan untuk mendiagnosis BDD. Pengisian BDD-
YBOCS dilakukan oleh ahli yang sudah terlatih. Sensitivitasnya mencapai 85%-95%
dan spesifisitas mencapai 92%-95%.24

Body Dysmorphic Disorder Questionnaire (BDDQ) adalah alat bantu skrining


singkat yang dapat diisi sendiri oleh penderita. Kuesioner ini memerlukan follow-up
berupa wawancara langsung untuk mengonfirmasi diagnosis. BDDQ memiliki
sensitivitas yang tinggi (100%) dan spesifisitas yang 10 tinggi (89-93%) dalam
mendiagnosis BDD, baik pada departemen psikiatrik, bedah kosmetik, maupun
dermatologi.23

2.7. Diagnosis Banding


1. Obsessive-compulsive disorder (OCD) lainnya
Gangguan OCD lainnya dengan BDD memiliki kesamaan dalam hal
pikiran dan tidakan yang dilakukan berulang kali untuk mencegah kejadian yang
ditakuti atau mangurangi kecemasan yang sulit dikendalikan. Selain itu gejala
pada OCD juga dapat dipicu karena rasa bosan, sedangkan gejala pada BDD
muncul karena merasa dirinya memiliki kecacatan. Preokupasi pikiran dan
tidakan berulang pada gangguan BDD memiliki perbedaan dimana OCD dapat
bermanifestasi pada hal apa pun, seperti mencuci tangan, berdoa, berhitung, atau
merapikan sesuatu. Sedangkan BDD hanyalah berfokus pada bagian-bagian
tubuhnya saja, seperti mirror checking, seeking reassurance, bahkan sampai skin
picking atau hair pulling jika mereka merasa tidak suka dengan kulit atau
rambutnya. Akan tetapi perbedaannya adalah pasien BDD dapat sampai
melakukan pengobatan tertentu untuk menutupi kekurangan penampilannya,
sedangkan pasien dengan trichillomania dan excoriation disorder hanya akan
menarik rambut atau skin picking saja. Pasien BDD dapat melakukan
pencabutan/pengupasan kulit tubuhnya atau pencabutan rambutnya dengan tujuan
untuk meningkatkan atau memperbaiki kekurangan atau kecacatan yang
dirasakan, namun pada excoriation (skin picking) disorder atau trichotillomania
(hair pulling) disorder, individu melakukan kegiatan tersebut tanpa sadar dan
adanya usaha berulang untuk menghentikan perilaku tersebut.25
2. Eating disorders
Pasien dengan eating disorder dan BDD melihat penampilan dirinya
sebagai suatu kecacatan dan merasa tidak puas dengan fisiknya sehingga muncul
tindakan tertentu untuk mendapatkan kondisi fisik yang mereka inginkan. Pada
individu dengan eating disorder, seperti pada anoreksia nervosa dan bulimia
nervosa, ketakutan akan menjadi gemuk merupakan gejala khas nya dibandingkan
pasien BDD yang perhatiannya terfokus pada bagian-bagian tubuh tertentu. Selain
berat badan, ukuran bagian tubuh tertentu juga dapat menjadi perhatian pasien
eating disorder, seperti ukuran perut atau kaki, sedangkan pasien BDD selain
mengenai ukuran, biasanya perhatian mereka juga tertuju kepada bentuk atau
warna bagian tubuh tertentu. Pasien eating disorder biasanya sudah memiliki
badan yang kurus dan selalu ingin menjadi lebih kurus, sedangkan pasien BDD
belum tentu memiliki badan yang kurus dan tidak selalu ingin kurus, melainkan
ukuran atau bentuk badan yang ideal (dismorfia otot). Pasien dengan BDD juga
biasanya melakukan grooming yang berlebihan, tetapi tidak dengan pasien eating
disorder.26
3. Gangguan depresif mayor / major depressive disorder (MDD)
Gangguan depresi mayor dan BDD memiliki kesamaan gejala karena pada
BDD juga terdapat gejala depresi dimana penderita merasa cacat dan tidak
berharga yang tidak jarang diikuti dengan keinginan bunuh diri. Perasaan ini
merupakan gejala sekunder dari BDD akibat rendahnya tingkat kepercayaan
dirinya atas kecacatan yang dialaminya. Hal yang membedakan dengan gangguan
depresi mayor yaitu pada BDD terdapat preokupasi pikiran yang dominan akan
kecacatannya serta juga adanya tindakan repetitif sebagai usaha untuk menutupi
kecacatan tersebut.27
4. Fobia sosial atau social anxiety disorder (SAD)
Individu yang menderita fobia sosial cenderung akan merasa takut dan
cemas untuk berinteraksi dengan orang lain atau menjadi pusat perhatian karena
takut akan adanya evaluasi negatif mengenai dirinya. Perbedaannya dengan BDD
yaitu pada BDD, individu yakin akan kekurangan atau kecacatan dirinya dan
berusaha menutupinya dengan berdandan berlebihan, seeking reassurance, diet
atau olahraga berlebihan, atau berulang kali mengecek bagian tertentu pada
tubuhnya, sedangkan pada fobia sosial, individu takut dan merasa cemas atas
evaluasi negatif dari luar dirinya yang memunculkan gejala cemas dan perasaan
takut.28
2.8. Tatalaksana
2.8.1. Medikamentosa
1. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI)
SSRI saat ini merupakan salah satu obat pilihan yang cukup efektif
untuk pasien BDD Obat golongan ini merupakan antidepresan yang dapat
mengurangi obsesi dan kebiasaan repetitif pasien. SSRI terbukti
memberikan perbaikan gejala pada pikiran obsesif dan tindakan kompulsif.
Penelitian menemukan bahwa clomipramine lebih unggul dibandingkan
desipramine dalam mengobati gejala BDD. Pada penelitian lain juga
ditemukan bahwa fluoxentine lebih unggul dibandingkan dengan plasebo.
Penelitian lainnya juga membuktikan bahwa pemberian citalopram selama
12 minggu memperbaiki gejala dan kualitas hidup. Penelitian-penelitian
tersebut menggunakan BDD-YBOCS dalam menilai perbaikan BDD.
Hingga saat ini, dosis pasti pemberian SRI belum ditetapkan. Namun
dilaporkan bahwa untuk mencapai efficacy, perlu dosis yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pemberian dosis gangguan psikiatri lainnya.
Peningkatan dosis dilakukan secara perlahan dan dosis maksimal biasanya
tercapai antara minggu ke-5 hingga minggu ke-8. Respons pengobatan
mungkin timbul mulai dari 12-16 minggu. Efek samping SRI diketahui
berupa efek sedasi, insomnia, mual, anorgasmia, dan disfungsi erektil.11,29
Tabel 2.1. Daftar Obat SSRI

Nama obat Sediaan Dosis Keterangan

Fluoxetine - Cap. 20 mg 10 – 40 - Masa kerja 24-96 jam


mg / hari - Paling luas digunakan
- Tab 20 mg
- Meningkatkan kadar
benzodiazepine ,
klozapin, warfarin.
Sertraline Tab. 50 mg 50 – 150 - Lebih selektif terhadap
mg / hari SERT
- Meningkatkan kadar
benzodiazepine ,
klozapin, warfarin.
Flufoksamin Tab. 50 mg 100 – 250 - Efek sedasi dan
mg / hari antimuskarinik kurang
dari fluokxetine
- Cenderung
meningkatkan metabolik
oksidatif
benzodiazepine,
Klozapin, Teofilin, dan
warfarin
Paroksetine Tab. 20 mg 40 – 60 - Waktu paruh 22 jam
mg / hari - Obat ini dapat
meningkatkan kadar
klozapin, teofilin, dan
warfarin
Citalopram Tab. 20 mg 10 – 60 - Selektivitasnya terhadap
mg / hari SERT paling tinggi

2.8.2. Non-Medikamentosa
1. Cognitive-Behavioral Therapy (CBT)
Peneliti merekomendasikan CBT sebagai tatalaksana yang efektif
untuk pengobatan BDD. CBT merupakan pengobatan dengan pendekatan
dari berbagai aspek dan telah tervalidasi efektif untuk menangani berbagai
gangguan. Melalui CBT, akan ditentukan pikiran dan perilaku maladaptif
yang menyebabkan timbulnya gejala BDD diikuti dengan
mengembangkan coping mechanism. Beberapa caranya dapat berupa
latihan relaksasi, termasuk di dalamnya latihan pernapasan dalam dan
relaksasi otot. CBT yang diadaptasi untuk BDD sendiri adalah baku emas
untuk pengobatan non-farmakologi dengan bukti yang mendukung bahwa
efficacy-nya sebagai pengobatan yang berdiri sendiri sebaik dengan jika
digabung farmakoterapi.3,30
2.9. Komplikasi
Komorbid gangguan jiwa ada secara umum pada BDD dan menyebabkan
gangguan fungsional yang lebih besar di mana komorbid yang paling banyak
ditemukan adalah major depressive disorder (MDD). Selain itu, gangguan ansietas,
penyalahgunaan substansi, dan OCD juga merupakan komorbid yang sering terjadi.
Kondisi ini mengakibatkan pasien mengalami kesulitan dalam kehidupan sosial,
akademik, pekerjaan, dan sebagainya. Individu dengan BDD biasanya menghindari
kegiatan sosial, hubungan yang intim, atau ikut serta dalam kegiatan di sekolah atau
pekerjaan. Individu dengan BDD juga dilaporkan memiliki 2.6 kali lebih besar untuk
melakukan percobaan bunuh diri dan empat kali lebih besar berpikiran untuk bunuh
diri dibandingkan dengan individu tanpa BDD. Sekitar sepertiga dari individu BDD
mengalami delusi, dan kondisi ini menyebabkan gejala yang dialami oleh penderita
menjadi lebih berat dan menimbulkan gangguan fungsi yang lebih besar pula.1
2.10. Prognosis
Walaupun BDD dianggap sebagai gangguan kronis, penelitian menunjukkan
bahwa pengobatan berdasarkan bukti memiliki respon yang baik. Penelitian
menunjukkan nilai respon sebesar 50% - 80% dengan pengobatan farmakologi.
Respons obat ini dinilai berdasarkan BDD-YBOCS yang sudah dijelaskan. Pemberian
terapi farmakologi jangka panjang menunjukkan relapse-rate semakin menurun.1

BAB III

KESIMPULAN

Body Dysmorphic Disorder merupakan suatu gangguan kognitif preokupasi yang


membuat pasien merasa memiliki kekurangan/ kecacatan pada penampilan secara berlebihan
sehingga mengakibatkan pasien berperilaku kompulsif yang berhubungan dengan penampilannya
sehingga menyebabkan gangguan yang signifikan dalam beraktivitas dan paling banyak terjadi
pada kelompok usia remaja. Gangguan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor
perkembangan, sosial, budaya, dan neurokognitif akibat adanya abnormalitas pada sirkuit
tertentu di dalam otak. Tatalaksana yang sampai sekarang dapat dilakukan yakni psikoterapi
dengan cognitive-behavioral therapy dikombinasikan dengan pemberian SSRI untuk mengurangi
gejala depresinya. Langkah tersebut dinilai memiliki respon yang baik dan menunjukkan adanya
penurunan relapse-rate penderitanya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Nicewicz HR, Boutrouille JF. Body Dysmorphic Disorder. StatPearls. January 2021.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK555901/. Accessed October 3, 2021.
2. Sarkhel S. Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical
Psychiatry, 10th edition. Indian J Psychiatry. 2009;51(4):331.
/pmc/articles/PMC2802389/. Accessed October 4, 2021.
3. Bjornsson AS, Didie ER, Phillips KA. Body dysmorphic disorder. Dialogues Clin
Neurosci. 2010;12(2):221. doi:10.31887/DCNS.2010.12.2/ABJORNSSON
4. Krebs G, Cruz LF de la, Mataix-Cols D. Recent advances in understanding and managing
body dysmorphic disorder. Evid Based Ment Health. 2017;20(3):71. doi:10.1136/EB-
2017-102702
5. Feusner JD, Neziroglu F, Wilhelm S, Mancusi L, Bohon C. What Causes BDD: Research
Findings and a Proposed Model. Psychiatr Ann. 2010;40(7):349.
/pmc/articles/PMC3859614/. Accessed October 4, 2021.
6. Deckersbach T, Savage CR, Phillips KA, et al. Characteristics of memory dysfunction in
body dysmorphic disorder. J Int Neuropsychol Soc. 2000;6(6):673-681.
doi:10.1017/S1355617700666055
7. Phillips KA, Stein DJ, Rauch SL, et al. Should an obsessive-compulsive spectrum
grouping of disorders be included in DSM-V? Depress Anxiety. 2010;27(6):528-555.
doi:10.1002/DA.20705
8. Mufaddel A, Osman OT, Almugaddam F, Jafferany M. A Review of Body Dysmorphic
Disorder and Its Presentation in Different Clinical Settings. Prim Care Companion CNS
Disord. 2013;15(4). doi:10.4088/PCC.12R01464
9. SA G, I L, RA K, SL R. The neurobiology of body dysmorphic disorder: A systematic
review and theoretical model. Neurosci Biobehav Rev. 2017;83:83-96.
doi:10.1016/J.NEUBIOREV.2017.10.003
10. Feusner JD, Yaryura-Tobias J, Saxena S. The Pathophysiology of Body Dysmorphic
Disorder. Body Image. 2008;5(1):3-12. doi:10.1016/J.BODYIM.2007.11.002
11. Phillips KA. Body dysmorphic disorder: recognizing and treating imagined ugliness.
World Psychiatry. 2004;3(1):12. /pmc/articles/PMC1414653/. Accessed October 5, 2021.
12. Veale D. Body dysmorphic disorder. Postgrad Med J. 2004;80(940):67.
doi:10.1136/PMJ.2003.015289
13. Singh AR, Veale D. Understanding and treating body dysmorphic disorder. Indian J
Psychiatry. 2019;61(Suppl 1):S131.
doi:10.4103/PSYCHIATRY.INDIANJPSYCHIATRY_528_18
14. KA P, SF D. Gender differences in body dysmorphic disorder. J Nerv Ment Dis.
1997;185(9):570-577. doi:10.1097/00005053-199709000-00006
15. M J, RJ J, DF K, JJ G. Body dysmorphic disorder: diagnosis and approach. Plast Reconstr
Surg. 2007;119(6):1924-1930. doi:10.1097/01.PRS.0000259205.01300.8B
16. DB S, CE C. Psychological issues in patient outcomes. Facial Plast Surg. 2002;18(2):125-
133. doi:10.1055/S-2002-32203
17. C P, P S, M M, F M, L P, V V. Psychopathologic aspects of body dysmorphic disorder: a
literature review. Aesthetic Plast Surg. 2008;32(3):473-484. doi:10.1007/S00266-008-
9113-2
18. Neziroglu F, Rabinowitz D, Breytman A, Jacofsky M. Skin Picking Phenomenology and
Severity Comparison. Prim Care Companion J Clin Psychiatry. 2008;10(4):306.
doi:10.4088/PCC.V10N0406
19. Phillips KA. Understanding body dysmorphic disorder: An essential guide. Am Psychol
Assoc. 2009. https://psycnet.apa.org/record/2009-03462-000. Accessed October 5, 2021.
20. KA P, JM S, SL M. Depression, anxiety, anger, and somatic symptoms in patients with
body dysmorphic disorder. Psychiatr Q. 2004;75(4):309-320.
doi:10.1023/B:PSAQ.0000043507.03596.0D
21. Samhsa, CBHSQ. DSM-5 Changes: Implications for Child Serious Emotional Disturbance
[Internet]. Subst Abus Ment Heal Serv Adm. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30199184/.
Accessed October 5, 2021.
22. Vahia VN. Diagnostic and statistical manual of mental disorders 5: A quick glance.
Indian J Psychiatry. 2013;55(3):220. doi:10.4103/0019-5545.117131
23. Wilhelm S, Greenberg JL, Rosenfield E, Kasarskis I, Blashill AJ. The Body Dysmorphic
Disorder Symptom Scale: Development and preliminary validation of a self-report scale
of symptom specific dysfunction. Body Image. 2016;17:82.
doi:10.1016/J.BODYIM.2016.02.006
24. Phillips KA, Hart AS, Menard W. Psychometric evaluation of the Yale-Brown Obsessive-
Compulsive Scale Modified for Body Dysmorphic Disorder (BDD-YBOCS). J Obsessive
Compuls Relat Disord. 2014;3(3):205-208. doi:10.1016/J.JOCRD.2014.04.004
25. Brock H, Hany M. Obsessive-Compulsive Disorder. StatPearls. June 2021.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK553162/. Accessed October 5, 2021.
26. Balasundaram P, Santhanam P. Eating Disorders. StatPearls. June 2021.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK567717/. Accessed October 5, 2021.
27. Bains N, Abdijadid S. Major Depressive Disorder. Major Depress Disord. April 2021:1-
189. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559078/. Accessed October 5, 2021.
28. Rose GM, Tadi P. Social Anxiety Disorder. Curated Ref Collect Neurosci Biobehav
Psychol. July 2021:450-455. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK555890/. Accessed
October 6, 2021.
29. Phillips KA, Najjar F. An open-label study of citalopram in body dysmorphic disorder. J
Clin Psychiatry. 2003;64(6):715-720. doi:10.4088/JCP.V64N0615
30. Thungana Y, Moxley K, Lachman A. Body dysmorphic disorder: A diagnostic challenge
in adolescence. S Afr J Psychiatr. 2018;24. doi:10.4102/SAJPSYCHIATRY.V24I0.1114

Anda mungkin juga menyukai