Disusun oleh:
Dapot Sianipar
01073190133
Pembimbing:
SANATORIUM DHARMAWANGSA
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………..
Definisi…………………………………………………………………………
Epidemiologi……………………………………………………………………
Etiologi…………………………………………………………………………
Manifestasi Klinis………………………………………………………………
Diagnosis……………………………………………………………………….
Diagnosis Banding……………………………………………………………..
Tatalaksana…………………………………………………………………….
Komplikasi……………………………………………………………………..
Prognosis……………………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
Pasien dengan BDD melihat diri mereka seperti tidak menarik, cacat, terlihat seperti
monster sehingga timbul rasa cemas yang mengganggu aktivitas sehari-hari nya. Jika BDD
terlambat disadari, hal ini akan memengaruhi kualitas hidup penderita, bahkan di antaranya
berpikiran atau melakukan percobaan bunuh diri. Sayangnya, dalam hal kesehatan mental,
gangguan ini lebih tersembunyi karena mayoritas pasien merasa tidak memiliki gangguan mental
atau akibat malu jika mengungkapkan apa yang pasien rasakan. Oleh karena itu, kesadaran dan
pemahaman mengenai BDD menjadi sangat penting untuk dilakukan sedini mungkin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Pada tahun 1891, Enrico Morselli, seorang ahli gangguan jiwa Italia,
menciptakan terminologi dismorfofobia sebagai kondisi seseorang yang menganggap
dirinya memiliki kecacatan tanpa ditemukan adanya deformitas fisik yang jelas. Istilah
ini berasal dari Bahasa Yunani yaitu kata “dysmorfia” yang berarti “ugliness”. Pierre
Janet, seorang ahli gangguan jiwa Perancis, juga menyebut kondisi ini sebagai
“l’obsession de la honte du corps” yang berarti “obsessions of shame of the body”.1
2.2. Epidemiologi
BDD merupakan suatu kondisi yang jarang diteliti, sebagian karena pasiennya
cenderung untuk memeriksakan dirinya ke ahli penyakit kulit, ahli penyakit dalam,
atau ahli bedah plastik dibanding ke ahli gangguan jiwa mengenai keluhan ini. Suatu
penelitian pada kelompok mahasiswa ditemukan bahwa terdapat lebih dari 50% dari
mereka yang memiliki setidaknya preokupasi terhadap satu aspek penampilannya, dan
pada sekitar 25% dari mahasiswa tersebut terdapat efek yang signifikan pada perasaan
dan kemampuan mereka berfungsi.2 Akan tetapi pada penelitian lain BDD terjadi lebih
banyak dan dicatat memiliki prevalensi sebanyak 0,7% - 2,4 pada populasi umum dan
2% - 13% pada orang dewasa serta dicatat lebih sering daripada skizofrenia atau
anoreksia nervosa.3 DSM-5 melaporkan prevalensi di Amerika Serikat sebanyak
2,4%.2
BDD dapat terjadi dari usia 5 – 80 tahun dengan kejadian paling tinggi pada
kelompok usia remaja dengan usia rata-rata 16 tahun. 2 Penelitian dengan populasi
terbanyak yang dilakukan di Amerika Serikat (n=2048) dan Jerman (n=2552)
menemukan prevalensi BDD di Amerika Serikat sebanyak 2,5% pada wanita dan 2,2%
pada pria sedangkan di Jerman sebanyak 1,9% pada wanita dan 1,4% pada pria
sehingga prevalensi pada wanita dan pria tidak memiliki perbedaan yang signifikan.
Penelitian lain menemukan bahwa individu dengan BDD lebih jarang menikah serta
lebih cenderung untuk bercerai dan tidak bekerja pada populasi umum.4
2.3. Etiologi
1. Faktor perkembangan
Faktor perkembangan pada BDD sebenarnya tidak banyak dilakukan
penelitiannya dibandingkan gangguan lainnya, akan tetapi beberapa enelitian
menunjukan bajwa riwayat penelantaran/pengabaian oleh orang tua atau
kekerasan baik secara emosional, fisik, atau seksual selama masa kanak
berhubungan dengan BDD. Suatu studi menemukan bahwa 38% dari 50 penderita
BDD melaporkan pernah mengalami kekerasan semasa kanak, di mana kekerasan
emosional sebanyak 28%, kekerasan seksual sebanyak 22%, dan kekerasan fisik
sebanyak 14%. Studi lainnya menemukan bahwa 78.7% dari 75 pasien BDD yang
mengisi Childhood Trauma Questionnaire memiliki riwayat penganiayaan masa
kanak (68% emotional neglect, 56% emotional abuse, 34.7% physical abuse,
33.3% physical neglect, dan 28% sexual abuse).5
2. Faktor sosial
Interaksi sosial dapat menjadi sumber sulitnya masa kanak-kanak untuk
sebagian orang. Ejekan yang dilontarkan kepada orang lain yang berkaitan dengan
kondisi fisik, seperti jerawat pada masa remaja, dapat memiliki akibat negatif
jangka panjang pada seseorang yang memengaruhi pikiran dan emosinya. Pikiran
negatif yang pertama kali muncul mengenai penampilannya akibat opini orang
lain dapat terus membekas di pikiran dan perasaan sehingga muncul gejala BDD.
Pada suatu penelitian, individu dengan BDD melaporkan banyaknya riwayat
digodai, khususnya mengenai penampilan dan kompetensi daripada mengenai
kendali mental yang baik.5
3. Faktor budaya
Faktor budaya memegang peranan mengenai bagian tubuh mana yang
menjadi perhatian. Adanya keragaman kultur, ras, maupun etnik di dunia ini akan
memberikan standar kecantikan yang beragam pula. Dengan begitu, faktor ini
juga dapat berpengaruh terhadap bagian tubuh yang pasien cemaskan dan
munculnya gejala BDD.5
4. Fungsi neurokognitif dan neurobiologis
Penelitian fungsi neurokognitif penderita BDD sudah mulai dilakukan
dengan memberikan tugas visuospatial kompleks (Rey-Osterrieth Complex Figure
Test, ROCF) di mana penderita diinstruksikan untuk menggambar figur. Melalui
penelitian ini, didapatkan bahwa penderita BDD cenderung telalu fokus terhadap
detail yang akhirnya mengganggu kemampuan mereka dalam mengingat figur
secara keseluruhan.6 Penelitian lainnya juga menyimpulkan bahwa penderita BDD
mampu mengukur derajat distorsi suatu wajah secara tepat, menangkap suatu
detail objek secara berlebih bukan melihatnya secara global. Suatu studi
menunjukkan bahwa individu yang memiliki keluarga inti dengan BDD
meningkatkan kemungkinan BDD 3-8 kali lebih tinggi dibanding populasi
umumnya.7 Gangguan yang dialami oleh penderita BDD ini juga berhubungan
dengan gangguan neurobiologis.5
2.4. Psikopatologi
Para peneliti menunjukkan adanya abnormalitas pada sirkuit frontostriatal dan
temporoparietaloccipital yang melibatkan visual-spatial processing. Mereka
menemukan adanya aktivitas hemisfer kiri yang lebih besar, khususnya di korteks
prefrontal lateral dan lobus temporal lateral, yang menyebabkan adanya visual facial
processing yang lebih detail. Peneliti juga menunjukkan adanya kemungkinan
perbedaan morfologi otak, dengan korteks frontal orbital dan volume cingulate
anterior yang lebih kecil serta peningkatan total white matter dibandingkan dengan
subjek kontrol yang sehat.1,8
1. Detailed processing and visual processing streams
Berdasarkan data neuroimaging, ditemukan bahwa ketidakserasian antara
2 aliran pemrosesan visual yang menyebabkan timbulnya peningkatan
pemrosesan yang detail pada pasien BDD. Khususnya bukti bahwa adanya jalan
pintas pada jaringan occipitotemporal (VVS), di mana informasi visual pertama di
area V1 dan V2 yang berjalan dari early visual areas ke region temporal hemisfer
sinistra, di mana terdapat penglihatan yang dirincikan dan structural encoding
terjadi. Selain itu, pasien BDD diamati mengalami hipoaktivitas pada korteks
oksipital lateral yang mengindikasikan terjadi penurunan fungsi processing
informasi visual di dorsal visual stream (DVS), yang akhirnya menyebabkan
adanya defisit dalam melihat dan menggambarkan suatu objek secara
keseluruhan. Temuan-temuan ini yang dapat menjelaskan alasan mengapa
penderita BDD mengalami pandangan visual yang detail.9
2. Frontostriatal systems
Peneliti juga menyatakan bahwa defisit neural circuitry subkorteks dan
frontostriata mungkin berperan terhadap perilaku repetitif dan kompulsif dari
penderia BDD. Hiperaktivitas dan penurunan volume grey-matter ditemukan pada
regio orbitofrontal cortex (OFC) bilateral, caudate bilateral, dan thalamus. Hal
demikian juga ditemukan pada pasien dengan obsessive-compulsive disoder
(OCD). Karena adanya kondisi tersebut, pasien dengan BDD mengalami kesulitan
dalam mengontrol executive functioning, termasuk perilaku kompulsif dan
perencanaan.9
3. Temporolimbic system
Walaupun belum banyak dilakukan penelitiannya, terdapat dukungan
adanya disfungsi pada sistem limbik pada penderita BDD. Penderita BDD
terkadang memiliki persepsi diri yang salah sehingga sering menganggap bahwa
orang lain menunjukkan emosi negatifnya kepada penderita karena ‘cacat’.
Temuan menunjukan adanya hiperaktivitas abnormal pada amygdala dextra
selama visual processing. Ditemukan juga bahwa terdapat korelasi signifikan di
mana semakin besar volume amygdala kanan, makan semakin berat derajat gejala
BDD yang diderita.9,10
Gambar 2.1. Skema sistem visual pada pasien BDD9
Terdapat beberapa alat bantu evaluasi telah dibuat untuk membantu menilai BDD,
yaitu Yale-Brown Obsessive-Compulsive Scale (BDD-YBOCS) dan Body
Dysmorphic Disorder Questionnaire.23 BDD-YBOCS adalah suatu alat berisi 12
pertanyaan untuk menilai derajat BDD selama seminggu terakhir. Skor berkisar antara
0 sampai 48. Penurunan skor sebanyak ≥30% menyatakan setidaknya “jauh lebih
baik”, sedangkan penurunan skor ≥50% menyatakan setidaknya “sangat jauh lebih
baik”. Pemeriksaan ini digunakan hanya bagi orang yang telah terdiagnosis BDD
sebelumnya, sebaiknya tidak digunakan untuk mendiagnosis BDD. Pengisian BDD-
YBOCS dilakukan oleh ahli yang sudah terlatih. Sensitivitasnya mencapai 85%-95%
dan spesifisitas mencapai 92%-95%.24
2.8.2. Non-Medikamentosa
1. Cognitive-Behavioral Therapy (CBT)
Peneliti merekomendasikan CBT sebagai tatalaksana yang efektif
untuk pengobatan BDD. CBT merupakan pengobatan dengan pendekatan
dari berbagai aspek dan telah tervalidasi efektif untuk menangani berbagai
gangguan. Melalui CBT, akan ditentukan pikiran dan perilaku maladaptif
yang menyebabkan timbulnya gejala BDD diikuti dengan
mengembangkan coping mechanism. Beberapa caranya dapat berupa
latihan relaksasi, termasuk di dalamnya latihan pernapasan dalam dan
relaksasi otot. CBT yang diadaptasi untuk BDD sendiri adalah baku emas
untuk pengobatan non-farmakologi dengan bukti yang mendukung bahwa
efficacy-nya sebagai pengobatan yang berdiri sendiri sebaik dengan jika
digabung farmakoterapi.3,30
2.9. Komplikasi
Komorbid gangguan jiwa ada secara umum pada BDD dan menyebabkan
gangguan fungsional yang lebih besar di mana komorbid yang paling banyak
ditemukan adalah major depressive disorder (MDD). Selain itu, gangguan ansietas,
penyalahgunaan substansi, dan OCD juga merupakan komorbid yang sering terjadi.
Kondisi ini mengakibatkan pasien mengalami kesulitan dalam kehidupan sosial,
akademik, pekerjaan, dan sebagainya. Individu dengan BDD biasanya menghindari
kegiatan sosial, hubungan yang intim, atau ikut serta dalam kegiatan di sekolah atau
pekerjaan. Individu dengan BDD juga dilaporkan memiliki 2.6 kali lebih besar untuk
melakukan percobaan bunuh diri dan empat kali lebih besar berpikiran untuk bunuh
diri dibandingkan dengan individu tanpa BDD. Sekitar sepertiga dari individu BDD
mengalami delusi, dan kondisi ini menyebabkan gejala yang dialami oleh penderita
menjadi lebih berat dan menimbulkan gangguan fungsi yang lebih besar pula.1
2.10. Prognosis
Walaupun BDD dianggap sebagai gangguan kronis, penelitian menunjukkan
bahwa pengobatan berdasarkan bukti memiliki respon yang baik. Penelitian
menunjukkan nilai respon sebesar 50% - 80% dengan pengobatan farmakologi.
Respons obat ini dinilai berdasarkan BDD-YBOCS yang sudah dijelaskan. Pemberian
terapi farmakologi jangka panjang menunjukkan relapse-rate semakin menurun.1
BAB III
KESIMPULAN
1. Nicewicz HR, Boutrouille JF. Body Dysmorphic Disorder. StatPearls. January 2021.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK555901/. Accessed October 3, 2021.
2. Sarkhel S. Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical
Psychiatry, 10th edition. Indian J Psychiatry. 2009;51(4):331.
/pmc/articles/PMC2802389/. Accessed October 4, 2021.
3. Bjornsson AS, Didie ER, Phillips KA. Body dysmorphic disorder. Dialogues Clin
Neurosci. 2010;12(2):221. doi:10.31887/DCNS.2010.12.2/ABJORNSSON
4. Krebs G, Cruz LF de la, Mataix-Cols D. Recent advances in understanding and managing
body dysmorphic disorder. Evid Based Ment Health. 2017;20(3):71. doi:10.1136/EB-
2017-102702
5. Feusner JD, Neziroglu F, Wilhelm S, Mancusi L, Bohon C. What Causes BDD: Research
Findings and a Proposed Model. Psychiatr Ann. 2010;40(7):349.
/pmc/articles/PMC3859614/. Accessed October 4, 2021.
6. Deckersbach T, Savage CR, Phillips KA, et al. Characteristics of memory dysfunction in
body dysmorphic disorder. J Int Neuropsychol Soc. 2000;6(6):673-681.
doi:10.1017/S1355617700666055
7. Phillips KA, Stein DJ, Rauch SL, et al. Should an obsessive-compulsive spectrum
grouping of disorders be included in DSM-V? Depress Anxiety. 2010;27(6):528-555.
doi:10.1002/DA.20705
8. Mufaddel A, Osman OT, Almugaddam F, Jafferany M. A Review of Body Dysmorphic
Disorder and Its Presentation in Different Clinical Settings. Prim Care Companion CNS
Disord. 2013;15(4). doi:10.4088/PCC.12R01464
9. SA G, I L, RA K, SL R. The neurobiology of body dysmorphic disorder: A systematic
review and theoretical model. Neurosci Biobehav Rev. 2017;83:83-96.
doi:10.1016/J.NEUBIOREV.2017.10.003
10. Feusner JD, Yaryura-Tobias J, Saxena S. The Pathophysiology of Body Dysmorphic
Disorder. Body Image. 2008;5(1):3-12. doi:10.1016/J.BODYIM.2007.11.002
11. Phillips KA. Body dysmorphic disorder: recognizing and treating imagined ugliness.
World Psychiatry. 2004;3(1):12. /pmc/articles/PMC1414653/. Accessed October 5, 2021.
12. Veale D. Body dysmorphic disorder. Postgrad Med J. 2004;80(940):67.
doi:10.1136/PMJ.2003.015289
13. Singh AR, Veale D. Understanding and treating body dysmorphic disorder. Indian J
Psychiatry. 2019;61(Suppl 1):S131.
doi:10.4103/PSYCHIATRY.INDIANJPSYCHIATRY_528_18
14. KA P, SF D. Gender differences in body dysmorphic disorder. J Nerv Ment Dis.
1997;185(9):570-577. doi:10.1097/00005053-199709000-00006
15. M J, RJ J, DF K, JJ G. Body dysmorphic disorder: diagnosis and approach. Plast Reconstr
Surg. 2007;119(6):1924-1930. doi:10.1097/01.PRS.0000259205.01300.8B
16. DB S, CE C. Psychological issues in patient outcomes. Facial Plast Surg. 2002;18(2):125-
133. doi:10.1055/S-2002-32203
17. C P, P S, M M, F M, L P, V V. Psychopathologic aspects of body dysmorphic disorder: a
literature review. Aesthetic Plast Surg. 2008;32(3):473-484. doi:10.1007/S00266-008-
9113-2
18. Neziroglu F, Rabinowitz D, Breytman A, Jacofsky M. Skin Picking Phenomenology and
Severity Comparison. Prim Care Companion J Clin Psychiatry. 2008;10(4):306.
doi:10.4088/PCC.V10N0406
19. Phillips KA. Understanding body dysmorphic disorder: An essential guide. Am Psychol
Assoc. 2009. https://psycnet.apa.org/record/2009-03462-000. Accessed October 5, 2021.
20. KA P, JM S, SL M. Depression, anxiety, anger, and somatic symptoms in patients with
body dysmorphic disorder. Psychiatr Q. 2004;75(4):309-320.
doi:10.1023/B:PSAQ.0000043507.03596.0D
21. Samhsa, CBHSQ. DSM-5 Changes: Implications for Child Serious Emotional Disturbance
[Internet]. Subst Abus Ment Heal Serv Adm. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30199184/.
Accessed October 5, 2021.
22. Vahia VN. Diagnostic and statistical manual of mental disorders 5: A quick glance.
Indian J Psychiatry. 2013;55(3):220. doi:10.4103/0019-5545.117131
23. Wilhelm S, Greenberg JL, Rosenfield E, Kasarskis I, Blashill AJ. The Body Dysmorphic
Disorder Symptom Scale: Development and preliminary validation of a self-report scale
of symptom specific dysfunction. Body Image. 2016;17:82.
doi:10.1016/J.BODYIM.2016.02.006
24. Phillips KA, Hart AS, Menard W. Psychometric evaluation of the Yale-Brown Obsessive-
Compulsive Scale Modified for Body Dysmorphic Disorder (BDD-YBOCS). J Obsessive
Compuls Relat Disord. 2014;3(3):205-208. doi:10.1016/J.JOCRD.2014.04.004
25. Brock H, Hany M. Obsessive-Compulsive Disorder. StatPearls. June 2021.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK553162/. Accessed October 5, 2021.
26. Balasundaram P, Santhanam P. Eating Disorders. StatPearls. June 2021.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK567717/. Accessed October 5, 2021.
27. Bains N, Abdijadid S. Major Depressive Disorder. Major Depress Disord. April 2021:1-
189. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559078/. Accessed October 5, 2021.
28. Rose GM, Tadi P. Social Anxiety Disorder. Curated Ref Collect Neurosci Biobehav
Psychol. July 2021:450-455. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK555890/. Accessed
October 6, 2021.
29. Phillips KA, Najjar F. An open-label study of citalopram in body dysmorphic disorder. J
Clin Psychiatry. 2003;64(6):715-720. doi:10.4088/JCP.V64N0615
30. Thungana Y, Moxley K, Lachman A. Body dysmorphic disorder: A diagnostic challenge
in adolescence. S Afr J Psychiatr. 2018;24. doi:10.4102/SAJPSYCHIATRY.V24I0.1114