Anda di halaman 1dari 25

SOSIOLOGI AGAMA

AGAMA DAN PENGELOMPOKAN SOSIAL

DOSEN PENGAMPU:

Dr. Argyo Demartoto,.M.Si

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2017
PENDAHULUAN

Agama ditemukan di hampir semua masyarakat bahkan pada setiap


individu di dunia. Agama merupakan suatu jenis sistem social yang dibuat
oleh penganut-penganutnya yang diproses pada kekuatan-kekuatan non-
empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai
keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas umumnya. Dalam kamus
sosiologi pengertian agama ada tiga macam yaitu 1) kepercayaan pada hal-
hal yang spiritual, 2) perangkat kepercayaan dan praktek spiritual yang
dianggap sebagai tujuan tersendiri, dan 3) ideologi mengenai hal-hal yang
bersifat supranatural. Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai
sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Dimana
hal tersebut berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu
maupun kelompok. Sehingga, setiap perilakunya akan terkait dengan sistem
keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial
digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang berdasar pada nilai-nilai ajaran
agama yang menginternalisasi sebelumnya.

Di dalam masyarakat terdapat kelompok, organisasi ataupun


golongan. Hal tersebut juga terjadi dalam lingkup keagamaan. Dalam
masyarakat agama memiliki fungsi dimana ia berperan dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan
secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian.
Sehingga diharapkan agama dapat menjadikan masyarakat lebih sejahtera,
aman, dan stabil.

Agama dalam penggolongan sosial di masyarakat ada beberapa hal


dalam pembahasannya. Diantaranya agama dan kerukunan umat manusia;
agama dan stratifikasi sosial; kaum awam dan pemimpin agama; jemaah dan
tarekat; serta mazhab, aliran, dan sekte. Penggolongan agama dalam
masyarakat erat kaitannya dengan kemampuan seseorang dalam mendalami
agamanya tersebut. Penggolongan itu juga menjadikan pembeda diantara
mereka. Namun pembeda itu dapat menjadikan kerukunan antar umat
beragama itu sendiri. Dengan terciptanya kerukunan antar umat beragama di
masyarakat hal tersebut membuktikan bahwa fungsi agama dalam
masyarakat telah berjalan dengan baik.
PEMBAHASAN

A. Agama dan Persatuan Umat Manusia

Peranan sosial agama harus dilihat terutama sebagai sesuatu


yang mempersatukan. Dalam pengertian harfiahnya, agama
menciptakan suatu ikatan bersama, baik di antara anggota-anggota
beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang
membantu mempersatukan mereka. Karena nilai-nilai yang mendasari
sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-
kelompok keagamaan, maka agama menjamin adanya persetujuan
bersama dalam masyarakat.

Agama cenderung melestarikan dan memelihara nilai-nilai


sosial, fakta bahwa nilai-nilai keagamaan itu sakral berarti bahwa nilai-
nilai keagamaan tersebut tidak mudah diubah karena adanya perubahan-
perubahan dalam konsepsi-konsepsi kegunaan dan kesenangan duniawi.

Peranan agama di dalam masyarakat sebagai kekuatan yang


mempersatukan, mengikat dan melestarikan, namun juga memiliki
fungsi lain yaitu sebagai kekuatan mencerai-beraikan, memecah belah
dan bahkan dapat menghancurkan. Masyarakat yang tidak
menginginkan terjadinya suatu yang terpecah memerlukan agama di
dalam masyarakat. Agama di nilai menjadi sebagai salah satu
penghambat tatanan sosial yang telah mapan, tetapi agama juga
memiliki kecenderungan dengan memperlihatkan kemampuannya yang
revolusioner. Ciri agama sebagai pemersatu aspirasi manusia, sebagai
sejumlah moralitas sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin
individu sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia
beradab.

Agama memainkan peranan yang bersifat kreatif, inovatif dan


bahkan revolusioner khususnya saat dibidang sosial dan ekonomi
terjadi perubahan besar. Peran agama tidak selalu bersifat memelihara
dan menstabilkan. Sementara itu agama memiliki fungsi manifest dan
latent. Fungsi manifest agama berkaitan dengan segi-segi doktrin,
ritual, dan aturan perilaku dalam agama manusia. Tujuan atau fungsi
agama adalah untuk membujuk manusia agar melaksanakan ritus
agama, bersama-sama menerapkan ajaran agama, dan menjalankan
kegiatan yang diperkenankan agama. Sedangkan fungsi latent agama,
antara lain menawarakan kehangatan bergaul, meningkatkan mobilitas
sosial dan mengembangkan seperangkat nilai ekonomi.

Sudah berabad-abad lamanya yang telah diberikan agama


kepada manusia bukan saja ritus-ritus yang memberikan rasa kelegaan
emosional dan berbagai cara untuk memperkuat kepercayaan sehingga
karena hal tersebut seseorang mampu melaksanakan suatu pekerjaan,
tetapi juga mengembangkan interpretasi-interpretasi intelektual yang
membantu manusia dalam mendapatkan makna dari seluruh
pengalaman hidupnya, karena agama telah membantu manusia
menjawab persoalan tentang mengapa hal-hal yang tidak
menguntungkan itu terjadi.

Peranan agama secara konteks umum yang dimana dalam ruang


lingkupnya menyangkut hal-hal non-empiris serta telah memberikan
penafsiran-penafsiran tentang sejarah umat manusia dan aturan-aturan
sosial. Walaupun usaha-usaha pemecahan masalah yang diusahakan
dalam istilah-istilah yang benar-benar empiris cenderung gagal dalam
menghadapi ketidakseimbangan pada sisi moral tatanan sosial tersebut.

Karena itu penjelasan-penjelasan tentang makna


kemasyarakatan yang secara meluas telah sama-sama diakui, dalam
rangka menyesuaikan dengan aturan-aturan moral tersebut, dan
menggunakan unsur-unsur non-empiris atau bahkan menggunakan
unsur-unsur yang sama sekali bersifat supernatural. Sebagai salah satu
contoh misalnya adanya kepercayaan-kepercayan agama terhadap
kehidupan akhirat kelak yakni sebagai penggunaan unsur-unsur
penyeimbangan yang non-empiris.

Peranan agama yang lain ialah membantu menciptakan sistem-


sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh yaitu agama telah membantu
mendorong terciptanya persetujuan mengenai sifat dan isi kewajiban-
kewajiban sosial dengan memberikan nilai-nilai yang berfungsi
menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan menetapkan isi
kewajiban-kewajiban sosial mereka.

Agama juga memainkan peranan vital serta merupakan alasan


kuat untuk mempercayai agama karena agama memberikan kekuatan
memaksa yang mendukung dan memperkuat adat-istiadat dalam
hubungan sikap rasa hormat dan sikap mengagungkan ini patut
diketahui terutama yang berkaitan dengan adat-istiadat (moral) yang
berlaku, berhubungan erat dengan perasaan-perasaan kagum yang
ditimbulkan oleh sesuatu yang sakral itu sendiri. Selain itu penilaian
terhadap peranan agama dalam masyarakat adalah peranan yang
dimainkan oleh agama dalam mengembangkan atau menghambat
kelangsungan dan pemeliharaan kelompok-kelompok manusia. Nilai-
nilai dalam keagamaan memainkan peranan dalam masyarakat hanya
selama nilai-nilai tersebut dikenal, dianggap cocok dan diyakini oleh
setiap anggota masyarakat.

Pengaruh ajaran-ajaran agama itu sangat kuat terhadap sistem-


sistem nilai yang ada dalam kebudayaan masyarakat yang
bersangkutan, maka sistem-sistem nilai dari kebudayaan tersebut
terwujud sebagai simbol-simbol suci yang maknanya bersumber pada
ajaran-ajaran agama yang menjadi kerangka acuannya. Agama sebagai
sistem keyakinan dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai
yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan
menjadi pendorong atau penggerak serta pengontrol bagi tindakan-
tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai
dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.
Agama juga merupakan seperangkat hukum atau aturan tingkah
laku maupun sikap yang selalu mengacu kembali pada kehendak Tuhan.
Semua hukum maupun peraturan tersebut pada umumnya diciptakan
Tuhan dan sebagian lain oleh manusia tertentu yang mendapatkan
kepercayaan-Nya. Peraturan yang terdapat di dalam agama dapat
berupa petunjuk-petunjuk, keharusan atau perintah, maupun larangan-
larangan, yang kesemuanya itu agar terciptanya keselarasan, ketertiban,
dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia yang lain,
manusia dengan lingkungan alam, dan manusia dengan Tuhan dapat
tercapai.

Antara agama dengan masyarakat keberadaannya saling


berkaitan, pada masyarakat primitif agama walau dalam bentuk yang
masih sangat sederhana begitu berperan dan karenanya dibutuhkan
kehadirannya terutama dalam mengatur kehidupan bersama. Bagi
masyarakat tradisional yang segala sesuatu relatif bersifat homogen,
agama selain sangat menonjol pada masyarakat yang belum maju
tersebut, juga di pandang sebagai pemerkuat solidaritas sosial antara
anggota masyarakat. Oleh hampir semua kalangan mengakui agama
selalu penting berperan dalam masyarakat, terutama sebagai perpaduan
dan penyatuan masyarakat.

Pendapat Emile Durkheim bahwa agama dapat mengantarkan


para individu anggota masyarakat menjadi makhluk sosial. Agama
melestarikan masyarakat, memeliharanya di hadapan manusia dalam
arti memberi nilai bagi manusia, menanamkan sifat dasar manusia. Hal
tersebut memperkuat sikap memiliki dan menghormati di mana norma
yang demikian dianut. Jadi, melalui sanksi agama itu memberikan nilai
dan norma secara fundamental yang strategis bagi pengendalian sosial
dalam suatu tendensi penyimpangan dan pengungkapan berbagai hal
yakni berupa dorongan-dorongan yang berbahaya terhadap stabilitas
masyarakat. Agama berupaya mencari jalan keselamatan dari berbagai
kompleks persoalan-persoalan hidup. Agama dengan terkandungnya
semangat dapat menjadi faktor yang berperan untuk mengangkat
manusia dari perjalanan manusia yang kelam. Agama menawarkan
suatu pandangan dunia dan jawaban atas berbagai persoalan yang
membingungkan manusia, agama mendorong manusia untuk tidak
selalu memikirkan kepentingan dirinya sendiri melainkan juga
memikirkan kepentingan bersama.

Agama merupakan sumber utama proses sosialisasi. karena itu,


agama berperan memberikan sumbangan psikologis, agama selain
membantu orang dari kebingungan dunia dan menawarkan jawaban
tentang berbagai permasalahan, juga memberikan kekuatan moral.
Masyarakat sebagai sistem sosial, menerjemahkan kepercayaan dan
pengertian tentang realitas tertinggi yakni berupa kepercayaan religius
ke dalam nilai-nilai kultural, sedangkan nilai-nilai kultural tersebut pada
waktunya berperan sebagai tiang penyangga tata kehidupan
bermasyarakat dan sebagai pedoman yang mengarahkan tingkah laku
anggota masyarakat di alam kehidupan fisik yang nyata.

Agama membentuk sejumlah dukungan yang signifikan pada


proses integrasi masyarakat. Pertama, sistem kepercayaan menghasilkan
dukungan terhadap nilai kemasyarakatan. Kedua, sistem ganjaran
maupun hukuman dari kekuatan supernatural membantu memberikan
jaminan nyata kepada penterjemah nilai kemasyarakatan dalam perilaku
sehari-hari. Ketiga, pelaksanaan ritual secara periodik menjadi
pelengkap untuk memperkuat identifikasi dan komitmen masyarakat
atas nilai yang dimilikinya.

B. Agama dan Stratifikasi Sosial

Agama sebagaimana dikatakan oleh ahli sosiolog merupakan


suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan
individu ataupun kelompok. Keduanya mempunyai hubungan saling
mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua faktor yang ikut
membentuk struktur sosial di masyarakat mana pun. Sedangkan diposisi
lain manusia yang hidup secara berkelompok akan banyak sekali
permasalahan-permasalahan ataupun gejala-gejala sosial yang timbul
dalam keseharianya. Salah satunya ialah munculnya sesuatu yang
dihargainya, selama manusia masih mempunyai sesuatu yang
dihargainya dan sesutu yang dihargainya tersebut mutlak dimiliki oleh
masyarakt, maka sistem pelapisan masyarakat akan muncul. Inilah salah
satu sebab munculnya suatu stratifikasi sosial di masyarakat

Kata stratisfication berasal dari stratum (jamaknya: strata yang


berarti lapisan). Mengenai istilah ini, Soekanto mengutip Pitirim A.
Sorokin dalam menjelaskan definisinya. Di mana disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan social stratisfication adalah pembedaan
penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat
(secara hirarki).

Mayoritas masyarakt Indonesia memiliki stratifikasi atau


tingkatan dalam keagamaan. Dalam sebuah agama saja antara umat satu
dengan umat lainnya diuangap memiliki tingkatan atau kedudukan
sosial yang berbeda dengan umat yang lainnya, padahal mereka
menganut agama yang sama.

 Pengertian Agama dalam Perspektif Sosiologi

Dalam kajian sosiologi agama diartikan sebagai gejala sosial


yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia
ini, tanpa terkecuali. Ia merupakan salah satu aspek dalam kehidupan
sosial dan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat. Agama juga
bisa dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu masyarakat
disamping unsur-unsur lainnya. Meskipun agama berkaitan dengan
berbagai kewajiban, ketundukan, dan kepatuhan, tetapi tidak setiap
ketaatan itu bisa disebut agama. Tergantung pada siapa ketaatan itu
diperuntukkan dan atas dasar motivasi apa ketaatan itu dilaksanakan.
Ketaatan dan kepatuhan pihak yang kalah perang kepada pihak yang
menang perang. Ketaatan rakyat terhadap pemimpinnya tidak bisa
disebut agama dalam kacamata keilmuan. Berdasarkan hasil studi
para ahli sosiologi, dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu
pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu
ataupun kelompok. Keduanya mempunyai hubungan saling
mempengaruhi dan saling bergantung dengan semua faktor yang ikut
membentuk struktur sosial di masyarakat mana pun.

Ada beberapa unsur agama, yaitu sebagai berikut :


a. Mitos
Mitos adalah bentuk pengungkapan intelektual premordial
dari kepercayaan, sikap keagamaan atau merupakan filsafat
primitif, pengungkapan pemikiran yang sederhana, serangkaian
usaha untuk memahami dunia untuk menjelasakan kehidupan
dan kematian, takdir dan hakekat, tuhan dan pemujaan. Mitos
juga merupakan pernyataan manusia yang kompleks dan
dramatis, yang melibatkan pikiran, perasaan, sikap dan
sentimen.

b. Sakral
Semua agama erat hubungannya dengan sesuatu yang
dianggap sakral, yaitu yang mempunyai nilai dan makna
istimewa dan menimbulkan rasa hormat. Kesakralan yang
dimiliki oleh sesuatu, timul dari keyakinan bahwa sesuatu itu
mengandung kekuatan ghaib. Tetapi pecaya kepada kekuatan
sakral, belum tentu berarti percaya kepada tuhan atau spirit
tertentu.

c. Ritual

Semua orang mengenal ucapan ritual. Ritual agama tidak


hanya membuktikan adanya yang sakral, namun sebaliknya
kesakralan dipelihara oleh pelaksanaan ritualisasi. Salah satu
ritual menggugah perasaan tertentu. Perasaan keagamaan
tergantung kepada hakekat seremoni dan berhubungan sesuatu
yang dianggap paling suci oleh masyarakat. Ritual merupakan
pengulangan perasaan dan sikap, yang berguna untuk
memantapkan solidaritas kelompok.
Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama terdiri dari
beberapa unsur pokok:

a. Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar


tanpa ada keraguan lagi.
b. Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
c. Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia
dengan Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan
antarumat beragama sesuai dengan ajaran agama.
d. Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman
keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara
pribadi.
e. Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama.

 Pengertian Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial merupakan pembedaan masyarakat ke


dalam kelas yang tersusun secara bertingkat. Stratifikasi sosial juga
sering disebut sebagai pelapisan sosial. Pelapisan sosial terjadi
karena ada sesuatu yang dihargai lebih atas penilaian kelompok,
seperti kekayaan, kekuasaan, keturunan (kehormatan) dan ilmu
pengetahuan (pendidikan). Stratifikasi sosial juga dapat dianggap
sebagai pembedaan sosial yang bersifat vertikal karena adanya
pelapisan ke dalam kelas-kelas tertentu yang dianggap lebih tinggi.
Pada prinsipnya kelas adalah penggolongan manusia yang tidak
terang batas-batasnya dan hanya memperlihatkan sifat golongan.
Sebenarnya apabila diperiksa sungguh-sungguh, maka ternyata
banyak sekali kelas dan gaya hidup yang terdapat dalam masyarakat.

Selo Soemardjan (1964), seorang sosiolog yang menyatakan


bahwa hal yang mewujudkan unsur-unsur dalam teorisosiologi
tentang sistem berlapis lapis dalam masyarakat, adalah kedudukan
(status) dan peranan (role) ; kedudukan dan peranan ini kecuali
merupakan unsur-unsur baku dalam sistem berlapis-lapis, juga
mempunyai arti yang penting bagi sistem sosial masyarakat; Ralph
Linton (1967) mengartikan sistem sosial itu sebagai pola-pola yang
mengatur hubungan timbal balik antar individu dalam masyarakat
dan antar individu dengan masyarakatnya, dan tingkah laku
individu-individu tersebut. Dalam hubungan-hubungan timbal balik
tersebut, kedudukan dan peranan individu mempunyai arti yang
penting, karena keberlangsungan hidup masyarakat tergantung
daripada keseimbangan kepentingan kepentingan individu
termaksud.

Dalam teori sosiologi, unsur-unsur sistem stratifikasi sosial


dalam masyarakat adalah:

1) Kedudukan (status)
Kedudukan (status) sering kali dibedakan dengan
kedudukan sosial (social status). Kedudukan adalah sebagai
tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial.
Status seseorang biasanya mempunyai dua aspek yaitu :
a) Aspek struktural, ialah status yang ditunjukkan oleh adanya
atau susunan lapisan sosial dari atas kebawah. Aspek ini
sifatnya lebih stabil dibandingkan dengan fungsional.

b) Aspek fungsional, disebut juga peranan sosial yang terdiri


dari kewajiban atau keharusan yang harus dilakukan
seseorang karena kedudukannya didalam status tertentu.

Dalam masyarakat, sekurangnya ada tiga macam


kedudukan, yaitu :

a. Ascribed status, yaitu kedudukan seseorang yang akan


didapat dengan sendirinya. Misalnya golongan berdasar
jenis kelamin, tingkat umur dan sebagainya. Atau dengan
kata lain : seseorang dapat mencapai status secara ascrib,
karena ia dilahirkan dalam golongan tertentu, misalnya
seorang anak raja.
b. Achievel status, yaitu kedudukan seseorang yang didapat
dengan cara berusaha atau berjuang, mislanya sebagai
pemimpin parpol, guru, dosen dan lain sebagainya. Boleh
juga misalnya seorang buruh berjuang menjadi majikan,
guru SD berjuang menjadi profesor dan sebagainya
c. Assigned Status, yaitu kedudukan yang diberikan karena
alasan-alasan tertentu; dalam arti bahwa suatu kelompok,
golongan, atau masyarakat memberikan kedudukan yang
lebih tinggi kepada seseorang yang dianggap berjasa, yang
telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan
dan kepentingan masyarakat. Akan tetapi kadang-kadang
kedudukan tersebut diberikan, karena seseorang telah lama
menduduki suatu jabatan tertentu, seperti di pedesaan ada
istilah ‘lurah hormat’ adalah satu gelar yang diberikan
kepada seorang mantan pemuka desa yang dianggap sangat
berjasa atas kemajuan desanya. Kedudukan yang diberikan
ini diwujudkan dalam bentuk penghormatan gelar tertentu
seperti ‘datuk’ pada masyarakat Sumatera Barat, ‘sir’ pada
masyarakat Inggris, atau ‘andi’ pada masyarakat Makasar;
Individu-individu yang mendapatkan kedudukan ini tidak
dibebankan atas kewajiban-kewajiban menurut
kedudukannya, namun mereka sedikitnya mendapakan
fasilitas-fasilitas khusus yang tidak diberikan pada orang
kebanyakan, di samping itu kedudukan ini tidak terbatas
diberikan kepada anggota-anggota masyarakat yang
bersangkutan, tetapi bisa juga kepada orang luar masyarakat
tersebut.

2) Peranan (role)
Peranan (role) merupakan aspek dinamis dari kedudukan,
dimana apabila seseorang melaksanakan hak-hak serta
kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka
orang itu telah menjalankan suatu peran. Peranan dan kedudukan
itu saling melengkapi, kedua-duanya tidak dapat dipisahkan, oleh
karena yang satu tergantung pada yang lain dan demikian
sebaliknya. Yang membedakan dari keduanya adalah
menyangkut proses, harus ada kedudukan terlebih dahulu baru
kemudian ada peranan, keadaan ini tidak bisa terbalik.

Status seseorang individu dalam masyarakat dapat dilihat


dari dua aspek, yakni:

a. Aspek statis, yaitu kedudukan dan derajat seseorang


didalam suatu kelompok yang dapat dibedakan dengan
derajat atau kedudukan individu lainya. Seperti petani
dapat dibedakan dengan nelayan, PNS dengan pedagang
dan lain sebagainya.

b. Aspek Dinamis, yaitu berhubungan erat dengan peranan


sosial tertentu yang berhubungan dengan pengertian
jabatan, fungsi dan tingkah laku yang formal serta jasa
yang diharapkan dari fungsi dan jabatan tersebut. Contoh :
direktur perusahaan, pimpinan sekolah, dan lain
sebagainya.

Adapun beberapa sifat stratifikasi sosial, yaitu antara lain :

 Stratifikasi terbuka

Anggota kelompok yang satu ada kemungkinan besar


untuk berpindah ke kelompok yang lain, artinya dapat
menurun ke kelompok yang lebih rendah atau
sebaliknya. Contoh, kedudukan presiden dan menteri.
Anak-anak presiden dan menteri belum tentu dapat
mencapai kedudukan sebagai presiden atau menteri.
Tetapi sebaliknya warga masyarakat pada umumnya
ada kemungkinan dapat memiliki kedudukan seperti
tersebut diatas.

 Stratifikasi tertutup

Kemungkinan pindah seseorang anggota kelompok


dari golongan yang satu ke golongan yang lain
kemungkinya sanagat kecil sekali, sebab biasanya
sistem ini didasarkan atas keturunan. Jadi misalnya
anak habaib jadi penerusnya. Dengan sendirinya akan
tetap menjadi golongan habaib dan sebaliknya
golongan masyarakat biasa.

Ditinjau dari segi psikologis kedua kelompok ini


mempunyai kebaikan dan keburukan masing-masing.
Stratifikasi terbuka itu lebih dinamis (progresif) dan anggota-
anggota mempunyai cita-cita hidup yang lebih tinggi. Sedang
stratifikasi tertutup bersifat statis, lebih-lebih golongan bawah
dan kurang menunjukkan cita-cita yang tinggi. Adapun
kelemahan stratifikasi terbuka ialah bahwa anggota-
anggotanya mengalami kehiduapan yang selalu tegang dan
khawatir. Sehingga akibatnya lebih banyak menaglami
ketegangan dan konflik-konflik jiwa lebih besar daripada
kelompok tertutup.

Maka dari itu orangtua pasti selalu berusaha supaya


penghidupan dan kehidupan anak-anaknya masuk dalam
tingkat golongannya, jika perlu bahkan diatasnya. Sebab jika
tidak demikian penghidupan dan kehidupan mereka pasti akan
turun dan akhirnya turun pulalah status dan peranan mereka.
 Penentuan Strata

Dari apa yang sudah diuraikan diatas, akhirnya kita dapat


menentukan dan menyebutkan ukuran atau kriteria yang biasanya
dipakai untuk menggolongkan anggota masyarakat kedalam lapisan-
lapisan sosial ialah sebagai berikut:

1. Ukuran kekayaan : ukuran kekayaan (kebendaan) dapat


dijadikan sebagai ukuran : barangsiapa yang mempunyai
kekayaan paling banyak, termasuk dalam lapisan sosial teratas.
Kenyataan tersebut misalnya berupa mobil pribadinya, cara-cara
mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya,
kebiasaan untuk belanja barang mahal dan sebagainya.

2. Ukuran kekuasaan : barangsiapa yang memiliki kekuasaan atau


mempunyai wewenang terbesar, menepati lapisan sosial teratas.

3. Ukuran kehormatan : ukuran kehormatan mungkin terlepas dari


ukuran-ukuran diatas tersebut, orang yang paling disegani dan
dihormati, mendapat atau menduduki lapisan sosial teratas.
Ukuran semacam ini banyak dijumpai dalam masyarakat
tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua ataumereka
yang pernah berjasa besar kepada masyarakat.

4. Ukuran ilmu pengetahuan : ilmu pengetahuan dipakai ukuran


oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Ukuran ini
kadang-kadang menjadi negatif; karena ternyata bahwa bukan
ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar
sarjananya. Sudah tentu hal ini mengakibatkan segala macam
usaha untuk mendapatkan gelar tersebut walaupun secara tidak
halal.

 Hubungan antara Agama dan Stratifikasi Sosial

Agama dan pelapisan sosial adalah dua hal yang berbeda.


Namun agama dan masyarakat adalah dua unsur yang saling
mempengaruhi satu sama lain. Agama di definisikan sebagai sistem
kepercayaan yang di dalamnya meliputi aspek-aspek hukum, moral,
budaya dan sebagainya. Sedangkan lapisan sosial dipahami sebagai
strata orang-orang yang berkedudukan sama dalam rangkaian status
sosial. Memang tidak mudah untuk dapat menentukan jumlah kelas
sosial yang ada di masyarakat. Namun beberapa ahli menyimpulkan
bahwa ada enam pembagian kelas sosial di masyarakat, yaitu: upper-
upper class, lower-upper class, upper-middle class, lower-middle
class, upper-lower class, dan lower-lower class. Klasifikasi di atas
tentu tidak berlaku secara umum di semua masyarakat. Sebab setiap
kota ataupun desa masing-masing memiliki karakteristik yang
berbeda.

Manusia sering tidak sengaja dan tanpa sadar


mengklasifikasikan orang lain ke dalam suatu kelas sosial, dan yang
paling sering dijadikan patokan adalah status ia sendiri sebagai
anggota masyarakat. Misalnya menialai seseorang sederajat, lebih
tinggi atau lebih rendah darinya. Selain itu sejumlah orang
menganggap orang-orang tertentu memiliki karakteristik perilaku
tertentu yang pada gilirannya menciptakan kelas sosial.

Di Amerika sekalipun yang sering dijadikan contoh Negara


paling demokratis, hubungan antara agama dan kelas sosial tetap
signifikan.Maksudnya karena tidak ada gereja Negara sebagai
pemersatu agama mudah merembes ke dalam kelas-kelas sosial,
sebagaimana dikemukakan Demmerath bahwa kegerejaan
mencerminkan pengaruh sosial.Lebih lanjut dia memberi contoh
bahwa agama di Amerika, khususnya Protetanisme secara umum
dilihat sebagai kegiatan masyarakat kelas atas atau menengah.
Terdapat tiga indikator yang mendukung pernyataan diatas, yaitu
keanggotaan gereja, kehadiran dalam acara peribadatan gereja, dan
keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan resmi gereja.Dalam setiap
unsur tadi, orang-orang yang berstatus tinggi tampaknya lebih dalam
keterlibatannya daripada yang berstatus rendah.

Hubungan lain dari agama dan stratifikasi sosial adalah


konversi, atau beralih agama., dari agama tertentu kepada agama
lain. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang pindah agama,
antara lain faktor ekonomi dan lingkungan sosial. Ernest Troeltsch
mengungkapkan bahwa sebagian besar yang beralih ke agama
Kristen berasal dari kelas menengah bawah yang hidup di kota-kota
besar, yang menikmati peningkatan ekonomi yang terjadi secara
lamban pada waktu itu.

C. Kaum Awam dan Pemimpin Agama

Pengikut agama terbagi pada dua strata utama yaitu pengikut atau
jamaah dan pemimpin agama, kelas akar rumput dan lapisan elit, kaum
awam dan ulama, pengikut dan pemuka agama. Beda antara keduanya
sebenarnya didasarkan pada kedalaman pengetahuan mereka dalam
bidang agama dan umatnya. Stratifikasi diperjelas dengan berbagai
tanda, seperti dalam pakaian, fasilitas, tugas dan kewajiban.
Kekharismaan pimpinan makin kurang pada organisasi modernis.
Misalnya, dalam organisasi partai sekuler, dikotomi dan penampilan
pimpinan agama lebih eksklusif.

Tanpa sadar bahwa gejala kerahiban merupakan fenomena


sosiologis. Di sisi lain dia juga merupakan kecenderungan atau
kebutuhan masyarakat. Masyarakat awam butuh kepada panutan yang
kharismatik. Panutan ini bisa disebut juga sebagai pemimpin agama
atau pemuka agama. Masyarakat awam atau kaum awam sendiri
merupakan golongan masyarakat umum, tidak memiliki keistimewaan
atau biasa disebut juga orang biasa.

Sedangkan pemimpin agama adalah orang-orang yang memimpin


sekelompok umat beragama dalam menjalankan kegiatan beribadah
atau kegiatan keagamaan yang lain. pemimpin agama memiliki peranan
dalam pembangunan .Tujuannya adalah untuk memberantas kemiskinan
dan menjembatani kesenjangan dan sasaran awalnya adalah untuk
membantu penduduk yang mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan
krisis ekonomi yang mereka alami. Peranan pemimpin agama dalam
pembangunan ini adalah aspek pembangunan ruhaniyah dan kitatahu
sendiri bahwa unsur ini tidak mungkin terisi tanpa keterlibatan para
pemimpin agama dengan demikian peranan pemimpin agama dalam
pembangunan tidak bersifat pelengkap penderita akan tetapi menjadi
komponen inti. Dalam pelaksanaannya peranan pemimpin dalam
pembangunan dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu:

1. Pemimpin agama sebagai motivator

Peranan pemimpin agama sebagai motivator sudah dapat


diakui oleh masyarakat yang beragama, kreativitas dan karisma
yang dimiliki dapat mendorong suksesnya kegiatan-kegiatan
pembangunanseperti dalam pembangunan ruhaniyah yang sangat
kompleks dihadapi oleh umat manusia. Begitu kompleksnya
permasalahan yang dihadapi oleh manusia, tanpa bantuan dari
pemimpin agama mungkin semuanya tidak dapat terselesaikan
dengan baik walaupun juga masih banyak yang lainnya, contohnya
mencegah kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi
manusia. Dorongan-dorongan yang diberikan oleh pimpinan agama
secara tidak langsung telah merubah pandangan hidup masyarakat
yang menjadi lebih positif. Para pemimpin agama seyogyanya
memberikan wawasan kepada masyarakat bahwa takdir hanyalah
batas akhir upaya manusia dalam meraih prestasi. Dengan
demikian para pemimpin agama harus mampu membuktikan
kemampuanuntuk berbicara secara rasional dan tetap
membangkitkan gairah serta aksi masyarakat dalam meraih yang
telah dicita-citakan serta dapat membuat masyarakat untuk selalu
berfikir positif.

2. Pemimpin agama sebagai pembimbing moral


Kaitannya dalam pembanguan adalah perannya yang
berkaitan dengan upaya menanamkan prinsip-prinsip etik dan
moral masyarakat. Pemimpin agama memiliki peran dalam
meletakkanmoral, etis, spiritual dan peningkatan pengalaman
agama, baik pada kehidupan pribadi ataupun sosial. Hal tersebut
dimaksudkan agar kegiatan pembangunan memperoleh
kesejatiannya dengan cara berpijak padalandasan etis dan moral.
Peranan pemimipin agama dengan bekal ilmu agama yang
dimilikinya memberikan tuntunan dan patokan sebagai rambu-
rambu dalam mengaktualisasikan kegiatan pembangunan.
Tuntunan danpatokan yang tertuang dalam kitab suci, teladan para
nabi dan hukum-hukum agama yang merupakan elaborasi dari
sabda Tuhan menurut hasil para pemuka pemimpin dan pemikir
agama dimasa lalu yang mereka jadikan untuk membimbing dan
memberi arah pembangunan yang menyeluruh dan lebihpositif.
Peranan pemimpin agama yang memiliki sikap jujur dan tdak
menghiraukan kedudukan sangat dikagumi oleh masyarakat yang
menganutnya. Ajaran tentang pentingnya efesiensi dalam menjalani
kehidupan, hidup secara sederhana, tidak berlebih-lebihan,
senantiasa bersikap tawakkal dan selalu mengabdi pada Tuhan
adalah sebagian kecil contoh dari sifat-sifat yang diodpsi
masyarakat dari para pemimpin agamanya. Selain itu para
pemimpin agama juga menerapkan agar tidak congkak terhadap
sesamanya memperlakukan orang-orang tidak dengan cara
diskriminatif.

3. Pemimpin agama sebagai mediator.

Pemimipin agama biasanya memposisikan dirinya sebagai


mediator diantara beberpa pihak di masyarakat. Seperti diantara
masyarakat miskin dan masyarakat yang elite. Penguasa dapat
mensosialisasikan program-programnya kepada masyarakat luas
melalui bantuan dari para pemimpin agama sehingga diantara
keduanya terjadi saling pengertian, contohnya adalah program KB
di Indonesiayang tidak dapat dipisahkan dari peranan pemimpin
agam yang sebagai mediator di masyarakat.

Pemimpin agama dalam berbagai keyakinan agama

1. Agama Budha
 Rahib
 Biarawan dan biarawati
 Sangha
2. Agama Hindu
 Brahmana
 Pedanda (dalam agama hindu dharma)
 Pemangku (dalam agama hindu dharma)
 Sengguhu (dalam agama hindu dharma)
3. Agama Islam
 Imam
 Ulama
 Mufti
4. Agama Kristen, Katholik, Protestan dan Ortodoks
 Pastor  Imam
 Biarawandan biarawati  Patriarkh
 Paus  Primat
 Kardinal  Diakon
 Uskup  Penatua
5. Agama Kong Hu Chu
 Jiao Sheng (penebar agama)
 Wen Shi (guru agama)
 Xue Shu (pendeta)
 Zhang Lao (tokoh sesepuh)
D. JAMAAH DAN TAREKAT

Menurut bahasa, kata jamaah berasal dari al-ijtima’ yang


bermaksud berkumpul atau bersatu. Namun jika lafaz jemaah
dirangkaikan dengan as-sunnah, menjadi ahli sunnah wal jamaah, maka
yang dimaksudkan ialah pendahulu umat ini iaitu mereka yang terdiri
dari para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in yang bersatu mengikuti
kebenaran yang jelas daripada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya S.A.W
(Harras, Syarah al-Wasithiyyah, hlm.16).

Perlu diketahui bahwa istilah ‘jamaah’ dalam syariat memiliki


dua pengertian: Pertama, jamaah badan atau fisik. Yang dimaksud
dengan jamaah badan adalah hidup di bawah kepemimpinan seorang
penguasa yang muslim. Kedua, jamaah agama atau non fisik. Inilah
pengertian jamaah yang dimaksudkan oleh Ibnu Mas’ud dalam
perkataannya (yaitu: jamaah adalah bersesuaian dengan kebenaran
meski engkau sendirian) dan inilah pengertian jamaah dalam hadits
perpecahan umat. Yang dimaksud dengan al Jamaah di sini adalah
jamaah adyan atau jamaah karena memegang kebenaran yang sama.

Tarekat secara harfiah berarti jakan atau cara untuk mencapai


tingkat-tingkatan (maqamat) dalam rangka mendekatkan diri kepada
Tuhan. Melalui cara ini, seorang sufi dapat mencapai tujuan peleburan
diri dengan yang nyata (fana fil al-haq). Mengikuti suatu tarekat berarti
melakukan olah batin, latihan-latihan (riyadhah) dan perjuangan yang
sungguh-sungguh (mujahaddah) di bidang kerohanian. Mengikuti
suatu tarekat juga berarti membersihkan diri dari sifat mengagumi diri
sendiri (‘ujub), sombong (takabur), ingin dipuji orang (riya’), cinta
dunia, dan sifat-sifat negatif lainnya. Selain itu, pengikut tarekat juga
harus mengusahakan sikap ikhlas,rendah hati (tawadhu’) ,berserah diri
(tawakal), dan rela (ridha), dan sikap-sikap positif lainnya.

Tarekat banyak muncul pada abad ke-6 dan ke-7 Hujriah, ketika
tasawuf menempati posisi pendting dalam kehidupan umat islam.
Dalam perkembangan selanjutnya,tarekat menjadi semacam organisasi
yang kegiatannya tidak hanya seputar wirid dan zikir, tetapi juga dalam
masalah-masalah yang bersifat duniawi.

E. Mazhab, Aliran, dan Sekte

Agama-agama besar dunia tidak luput dari perbedaan pendapat


yang menimbulkan perbedaan aliran, mazhab dan sekte. Aliran
disebabkan oleh perbedaan pendapat yang agak pokok dan prinsipil
antara penganut agama yang bersangkutan, seperti islam terbagi pada
yang beraliran Sunni dan Syi’ah.

Menurut teori Durkheim mengatakan bahwa agama berperan


untuk mewujudkan dan meningkatkan solidaritas sosial. Agama
rupanya juga melahirkan perpecahan dalam bentuk aliran, mazhab dan
sekte. Perbedaan ini karena Durkheim mendasarkan pendapatnya pada
agama masyarakat primitive yang bersifat tertutup dan dalam
lingkungan kecil. Selain berbedanya orientasi pemikiran para pemuka
agama, kitab suci yang dijadikan rujukan dalam berpendapat juga
memberi peluang bagi perbedaan pendapat karena ada ayat-ayat yang
tidak jelas maksudnya, punya makna ganda atau diungkapkan dalam
bentuk kiasan. Kalau perbedaan pendapat tidak lagi dapat dihindarkan
dan bahkan diperlukan, yang harus dijaga adalah toleransi dalam
perbedaan pendapat dan tetap meningkatkan persaudaraan supaya
ajaran agama untuk menanamkan persatuan dan persaudaraan antar
penganut satu agama dan bahkan dengan penganut agama lain dapat
terwujud.
PENUTUP

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan manusia tidak bisa


lepas dari keyakinan yang dianutnya. Keyakinan dan kepercayaan yang
mereka anut biasa disebut dengan agama. Dalam kehidupan di masyarakat,
agama tidak bisa lepas di dalamnya. Agama bisa menjadi pembenteng
dalam setiap manusia melakukan perbuatan. Dalam sosiologi juga
mengenak sosiologi agama. Dimana ilmu ini mengkaji dan mempelajari
masyarakat dan agama. Awal mula munculnya sosiologi agama, karena
agama merupakan salah satu penyebab adanya pengelompokan-
pengelompokan manusia yang dapat berakibat pada perpecahan.

Sosiologi agama disini sebagai jawaban atas permasalahan yang ada


dalam pengelompokan tersebut. Dengan adanya ilmu sosiologi ingi
diharapkan dapat menyatukan umat manusia walaupun ada banyak
perbedaaan di dalamnya. Hal ini terkhusus pada perbedaan keyakinan dan
agama.

Pengelompokan social dalam agama antara lain adalah dengan


adanya stratifikasi sosial, adanya penggolongan antara kaum awam dan
pemimpin agama, antara jemaah dan tarekat, serta mazhab, aliran, dan sekte.
Penggolongan tersebut berdasar pada kemampuannya masing-masing.

Walaupun ada penggolongan-penggolongan tersebut, namun


sekarang umat manusia sudah dapat hidup dengan tenang tanpa adanya
perpecahan. Hal tersebut disebabkan karena adanya ilmu sosiologi yang
mempelajari tentang agama. Salah satunya adalah mengenai agama dan
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Djamari H. 1993. Agama: Dalam Perspektif Sosiologi. Bandung: CV


Alfabeta.

Ishomuddin. 2000. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: PT Ghalia


Indonesia-UMM Press

Kahmad, Dadang. 2000. Sosiologi Agam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Mubaraq, Zulfi. 2010. Sosiologi Agama. Malang: UIN-Maliki Press.

Nottingham Elizabeth. 1990. Agama dan Masyarakat: Sustu Pengantar


Sosiologi Agama. Terjemahan. Jakarta: Rajawal

O’Dea, Thomas F. 1996. Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal.


Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Al Mukhtashar al Syafi karya Abdul Aziz ar Rais hal 10


Artikel www.ustadzaris.com

Anda mungkin juga menyukai