Anda di halaman 1dari 17

HIWALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah Keuangan Syariah
Dosen
n Pengampu: Haq Muhammad Hamka Habibie,
Habibie, SE., M.A.

Disusun oleh:
1. Dwi Fitria Rahmawati (192111235)
2. Budi Haryansyah (192111236)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID
SURAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat serta karunia-Nya kepada kita semua sehingga kita berhasil menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul “Hiwalah”.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terimakasih kepada Dosen Hukum Acara
Pidana Bapak Haq Muhammad hamka Habibie, SE., M.A. yang telah
membimbing kami dalam merancang makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaan bagi kita semua yang membacanya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................i


DAFTAR ISI .............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1
A. Latar Belakang ...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................................3
A. Pengertian dan Dasar Hukum Hiwalah ..........................................................3
B. Rukun dan Syarat Hiwalah.............................................................................4
C. Jenis-Jenis Hiwalah ........................................................................................5
D. Skema Hiwalah ..............................................................................................7
E. Aplikasi Hiwalah pada Lembaga Keuangan Syariah .....................................7
F. Fatwa DSN-MUI tentang Hiwalah ................................................................9
G. Isu Terkiri Terkait Hiwalah............................................................................11
BAB III PENUTUP ..................................................................................................13
A. Kesimpulan ....................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dengan berkembangnya ekonomi syariah, maka identik pula dengan
berkembangnya lembaga keuangan syariah. Yang mana dalam lembaga
keuangan syariah pasti memiliki sistem keuangan syariahnya masing-masing.
Sistem keuangan syariah ini menjadi cerminan dari nilai-nilai syariah dalam
bidang ekonomi.
Bank syariah sebagai motor utama lembaga keuangan syariah sudah
menjadi lokomotif bagi berkembangnya teori dan praktik syariah. Bank
syariah sebagai suatu lembaga intermediasi, artinya disamping sebagai
penghimpun dana, bank syariah juga mempunyai fungsi untuk menyalurkan
dana kepada masyarakat peminjam. Dimana produk yang dimiliki oleh bank
syariah dalam penyaluran dana seperti akad dengan sistem jual beli, bagi hasil,
sewa, juga jasa pelayanan yang lainnya seperti jasa pelayanan hiwalah.
Hiwalah biasanya berhubungan dengan kasus hutang piutang. Hiwalah
merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan masalah hutang piutang
dalam muamalah. Terkhusus dalam hal pemindahan dana dari individu ke
individu yang lain atau kepada lembaga keuangan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dan dasar hukum hiwalah?
2. Apa saja rukun dan syarat hiwalah?
3. Apa saja jenis-kenis hiwalah?
4. Bagaimana skema hiwalah?
5. Bagaimana aplikasi hiwalah pada lembaga keuangan syariah?
6. Apa saja fatwa DSN-MUI tentang hiwalah?
7. Apa saja isu terkini terkait hiwalah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dan dasar hukum hiwalah.
2. Untuk mengetahui rukun dan syarat hiwalah.

1
3. Untuk mengetahui jenis-jenis hiwalah.
4. Untuk mengetahui skema hiwalah.
5. Untuk mengetahui aplikasi hiwalah pada lenbaga keuangan syariah.
6. Untuk mengetahui fatwa DSN-MUI tentang hiwalah.
7. Untuk mengetahui isu terkini terkait hiwalah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Hiwalah


Wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti
menyerahkan atau mewakilkan urusan sedangkan wakalah adalah pekerjaan
wakil.1 Al-Wakalah juga berarti penyerahan (al Tafwidh) dan pemeliharaan (al
Hifdh).2 Menurut kalangan syafi’iyah arti wakalah adalah ungkapan atau
penyerahan kuasa (al-muwakkil) kepada orang lain (al-wakil) supaya
melaksanakan sesuatu dari jenis pekerjaan yang bias digantikan (an-naqbalu
an-niyabah) dan dapat dilakukan oleh pemberi kuasa, dengan ketentuan
pekerjaan tersebut dilaksanakan pada saat pemberi kuasa masih hidup.3
Wakalah memiliki beberapa makna yang cukup berbeda menurut
beberapa ulama. Berikut adalah pandangan dari para ulama:
1. Menurut Hashbi Ash Shiddieqy, Wakalah adalah akad penyerahan
kekuasaan, yang pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai
penggantinya dalam bertindak (bertasharruf).
2. Menurut Sayyid Sabiq, Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh
seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.
3. Ulama Malikiyah, Wakalah adalah tindakan seseorang mewakilkan dirinya
kepada orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan yang merupakan
haknya yang tindakan itu tidak dikaitkan dengan pemberian kuasa setelah
mati, sebab jika dikaitkan dengan tindakan setelah mati berarti sudah
berbentuk wasiat.
4. Menurut Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa Wakalah adalah suatu
ungkapan yang mengandung suatu pendelegasian sesuatu oleh seseorang
kepada orang lain supaya orang lain itu melaksanakan apa yang boleh
dikuasakan atas nama pemberi kuasa.

1
Tim Kashiko, Kamus Arab-Indonesia, (Kashiko, 2000), hlm. 693.
2
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah dalam Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari
Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani, 2008) hlm. 120-121.
3
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, cet. 3, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 20.

3
Dasar hukum hiwalah antara lain yaitu:
1. Al-Quran
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau
semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-
Baqarah: 280)
2. Hadits
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh,
bahwa Rasulullah saw, bersabda: “Memperlambat pembayaran hukum
yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah
seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang,
maka hendaklah ia beralih (diterima pengalihan tersebut)”. (HR Al-
Bukharidan Muslim)
3. Ijma
Para ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan
pada hutang yang tidak berbentuk barang/ benda, karena hawalah adalah
perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau kewajiban
finansial.
B. Rukun dan Syarat Hiwalah
Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah adalah:
1. Ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihakpertama.
2. Qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.
Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hiwalah ada
enam yaitu:4
1. Pihak pertama, muhil; Yakni orang yang berhutang dan sekaligus
berpiutang.
2. Pihak kedua, muhal atau muhtal; Yakni orang berpiutang kepada muhil.
3. Pihak ketiga muhal ‘alaih; Yakni orang yang berhutang kepada muhil
dan wajib membayar hutang kepada muhtal.

4
Nizaruddin, Hiwalah dan Aplikasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah, (STAIN Jurai
Siwo Metro), hlm.7.

4
4. Ada hutang pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih; Yakni hutang
muhil kepada muhtal.
5. Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama, Utang muhal‘alaih
kepada muhil.
6. Ada sighoh (pernyataan hiwalah).
Penjelasannya, umpama A (muhil) berhutang dengan B (muhal) dan A
berpiutang dengan C (muhal alaih), jadi A adalah orang yang berhutang dan
berpiutang, B hanya berpiutang dan C hanya berhutang. Kemudian A dengan
persetujuan B menyuruh C membayar hutangnya kepada B, setelah terjadi
aqad hiwalah, terlepaslah A dari hutangnya kepada B, dan C tidak berhutang
dengan A, tetapi hutangnya kepada A, telah berpindah kepada B berarti C
harus membayar hutangnya itukepada B tidak lagi kepada A.
Hiwalah dapat dipandang sah apabila memenuhi beberapa syarat,
5
yaitu:
1. Para pihak yang terlibat dalam hiwalah (muhil, muhal, dan muhal ‘alaih)
memiliki kecakapan melakukan tindakan hukum (baligh, berakal dan
rusyd).
2. Utang piutang yang akan dialihkan harus jelas jumlahnya.
3. Ada bukti-bukti utang piutang antara muhil (yang berutang dan muhal
yang mengutangi) atau utang piutang itu dipastikan sudah terjadi.
4. Pengalihan utang piutang disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat (muhil,
muhal, dan muhal’alaih).
5. Harus ada kesamaan antara jenis maupun kadarnya, waktu jatuh tempo
pembayarannya. Jika pengalihan utang itu dalam bentuk al-hiwalah al-
muqayyadah, semua ulama fiqh sepakat bahwa baik utang pihak pertama
(muhil) kepada pihak kedua (muhal) maupun utang pihak ketiga (muhal
‘alaih) kepada pihak pertama (muhil), semstilah sama jumlah dan
kualitasnya. Jika pengalihan utang itu berbentuk al-hiwalah al-muthlaqah,
menurut mazhab Hanafi, maka kedua utang itu tidak harus sama, baik
jumlah maupun kualitasnya.

5
Harun, Fiqh Muamalah, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017), hlm. 167.

5
C. Jenis-Jenis Hiwalah
Akad hiwalah dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama, akad
hiwalah berdasarkan jenis pemindahannya. Kedua, akad hiwalah berdasarkan
rukun hiwalahnya. Berikut ini penjelasannya:6
1. Hiwalah berdasarkan jenis pemindahannya
a. Hiwalah dayn
Hiwalah dayn adalah pemindahan kewajiban melunasi hutang
kepada orang lain, atau disebut pengalihan hutang.
b. Hiwalah haqq
Hiwalah haqq adalah pemindahan kewajiban piutang kepada
orang lain, atau disebut pengalihan piutang. Maka anjak piutang yang
terdapat pada praktik perbankan termasuk dalam kelompok hiwalah
haqq.
2. Hiwalah berdasarkan rukun hiwalahnya
a. Hiwalah muqayyadah
Hiwalah muqayyadah adalah hiwalah yang terjadi dimana
orang yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada muhal ‘alaih,
dengan mengaitkan pada hutang muhal ‘alaih padanya. Maka dalam
rukun hiwalahnya terdapat muhal bih 2.
b. Hiwalah muthlaqah
Hiwalah muthlaqah adalah hiwalah yang terjadi dimana orang
yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada muhal ‘alaih, tanpa
mengaitkan pada hutang muhal ‘alaih padanya. Hal ini karena
memang hutang muhal ‘alaih tidak pernah ada padanya. Dengan
demikian, hiwalah muthlaqah ini sesuai dengan konsep anjak piutang
pada praktik perbankan, yang dimana tidak ada hutang muhal ‘alaih
kepadanya sehingga dalam rukun hiwalahnya tidak terdapat muhal bih
2.

6
Muhamad Nafik Hadi Ryandono dan Rofiul Wahyudi, Manajemen Bank Islam Pendekatan
Syariah dan Praktek, (Yogyakarta: UAD PRESS, 2018), hlm. 85-86.

6
D. Skema Hiwalah

Berdasarkan sekema di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut:7


1. Penyuplai (muhil) menjual barang kepada pembeli (muhal) secara
pembiayaan (angsuran) dalam jangka waktu pendek.
2. Untuk kepentingan dana segar (cash flow), penyuplai (muhil) meminta
persetujuan kepada pembeli (muhal) untuk menjual piutang tersebut
kepada perusahaan lembaga pembiayaan (yang dalam hal ini perusahaan
factoring) yang disebut dengan factor/bank. Data mengenai piutang yang
berasal dari jual beli tersebut, oleh penyuplai (muhil) diteruskan atau
dipindahkan kepada factor/bank (muhal ‘alaih).
3. Factor/bank (muhal ‘alaih) membayar kepada penyuplai (muhil) atas
hutangnya pembeli (muhal).
4. Factor/bank (muhal ‘alaih) menagih kepada pembeli (muhal) terhadap
barang tersebut.
5. Setelah jatuh tempo, maka pembeli (muhal) membayar hutangnya kepada
factor/bank (muhal ‘alaih).
E. Aplikasi Hiwalah pada Lembaga Keuangan Syariah
Akad hiwalah ditetapkan untuk perbakan syariah melalui Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/Kep/Dir tentang Bank
7
Naerul Edwin Kiky Aprianto, “Anjak Piutang (Factoring) Dalam Ekonomi Islam”,
Islamiconomic, Vol. 8, No. 1, Januari-Juni 2017, hlm. 105.

7
Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, yang kemudian diperbarui dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005 dan
Surat Keputusan Direksi bank Indonesia Nomor 32/36/Kep/Dir tentang bank
Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah, yang kemudian diperbarui
dan disempurnakan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004
tentang bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/25/PBI/2006.
Selanjutnya dipertegas pula sebagai usaha perbankan syariah dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008.8
Pada perbankan Islam, hiwalah pada umumnya dilakukan untuk
mendorong supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan
usahanya. Bank Islam mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang.
Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul, bank Islam perlu
melaksanakan penelitian atas kemampuan pihak yang berhutang dan
kebenaran transaksi antara yang memindakan piutang dengan yang berhutang.
Katakanlah seorang supplier bahan bangunan menjual barangnya
kepadapemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian. Karena
kebutuhan supplier akan likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil
alih piutangnya. Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.9
Hiwalah dalam perbankan biasanya diaplikasikan pada hal-hal berikut
ini:10
1. Factoring atau anjak piutang
Nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan
piutang itu kepada bank, kemudian bank membayar piutang tersebut dan
bank menagih dari pihak ketiga itu.

8
Rachmadi Usman, Produk dan Akad Perbankan Syariah di Indonesia Implementasi dan
Aspek Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009), hlm. 279.
9
Muhamad Nafik Hadi Ryandono dan Rofiul Wahyudi, Manajemen Bank Islam Pendekatan
Syariah dan Praktek, (Yogyakarta: UAD PRESS, 2018), hlm. 86.
10
Mahmudatus Sa’diyah, Fiqih Muamalah II Teori dan Praktik, (Jepara: UNISNU PRESS,
2019), hlm. 84.

8
2. Post-dated check
Bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu
piutang tersebut.
3. Bill discounting
Secara prinsip, bill discounting serupa dengan hiwalah. Hanya
saja, dalam bill discounting nasabah harus membayar fee, sedangkan
pembahasan fee tidak ada dalam kontrak hiwalah.
F. Fatwa DSN-MUI Tentang Hiwalah
1. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 12/DSN-MUI/IV/2000 Tentang
Hawalah11
a. Ketentuan umum dalam hawalah
1) Rukun hawalah adalah muhil, yakni orang yang berutang dan
sekaligus berpiutang; muhal atau muhtal, yakni orang berpiutang
kepada muhil; muhal ‘alaih, yakni orang yang berutang kepada
muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal; muhal bih, yakni
utang muhil kepada muhtal; dan sighat (ijab-qabul).
2) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
mrnunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
3) Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespodensi, atau
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
4) Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal,
dan muhal ‘alaih.
5) Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad
secara tegas.
6) Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat
hanyalah muhtal dan muhal ‘alaih; dan hak penagihan muhal
berpindah kepada muhal ‘alaih.
b. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan

11
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 12/DSN-MUI/IV/2000.

9
melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.
2. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 58/DSN-MUI/V/2007 Tentang
Hawalah Bil Ujrah12
a. Ketentuan umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan
1) Hawalah adalah pengalihan utang dari satu pihak ke pihak lain,
terdiri atas hawalah muqayyadah dan hawalah muthlaqah.
2) Hawalah muqayyadah adalah hawalah dimana muhil adalah orang
yang berutang kepada muhal sekaligus berpiutang kepada muhal
‘alaih sebagaimana dimaksud dalam Fatwa No. 12/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Hawalah.
3) Hawalah muthlaqah adalah hawalah dimana muhil adalah orang
yang berutang tetapi tidak berpiutang kepada muhal ‘alaih.
4) Hawalah bil ujrah adalah hawalah dengan pengenaan ujrah/fee.
b. Ketentuan akad
1) Hawalah bil ujrah hanya berlaku pada hawalah mutlaqah.
2) Dalam hawalah mutlaqah, muhal ‘alaih boleh menerima ujrah/fee
atas kesediaan dan komitmennya untuk membayar utang muhil.
3) Besarnya fee tersebut harus ditetapkan pada saat akad secara jelas,
tetap dan pasti sesuai kesepakatan para pihak.
4) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak
(akad).
5) Akad dituangkan secaratertulis, melalui korespodensi, atau
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
6) Hawalah harus dilakukan atas dasar kerelaan dari para pihak yang
terkait.
7) Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad
secara tegas.

12
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 58/DSN-MUI/V/2007.

10
8) Jika transaksi hawalah telah dilakukan, hak penagihan muhal
berpindah kepada muhal ‘alaih.
9) LKS yang melakukan akad Hawalah bil Ujrah boleh memberikan
feehawalah kepada shahibul mal.
c. Ketentuan penutup
1) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah atau Pengadilan Agama
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2) Fatwa ini berlau sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.
G. Isu Terkini Terkait Hiwalah
Pelaksanaan teknis di perbankan syariah seperti yang dilakukan di PT.
Bank BRI Syariah KCP Soerang akad pemindahan utang nasabah terhadap
bank. Posisi nasabah meminta tolong kepada bank supaya membayar terlebih
dahulu utangnya atas akadnya terhadap yang berhutang. Kemudian
selanjutnya bank menagih kepada yang berutang tersebut. Bantuan bank
tersebut dalam membayarkan utang lebih dulu, amun bank biasanya
membebankan biaya jasa penagihan. Namun dalam menentukan jasa kecil dan
besarnya tergantung resiko dalam piutang tersebut. Dalam akad hiwalah ini
memberikan manfaat dan keuntungan yakni:
1. Dimungkinkan dapat menyelesaikan piutang dengan segera.
2. Tersedia dana talangan bagi yang membutuhkan.
3. Menjadi sumber dana penghasilan non pembiayaan bagi bank syariah.13
Ada beberapa bentuk akad hiwalah yang melanggar aturan hukum
islam, antara lain sebagai berikut:14
1. Menjual utang tak tertagih

13
Neni Hardiati dan Januri, “Al-Hiwalah dan Implementasinya Pada Perbankan Syariah Di
Tinjau Dari Kaidah Fiqh”, Syntax Idea, Vol. 3, No. 1, Januari 2021, hlm. 203-204.
14
Novanda Eka Nurazizah, “Implementasi Akad Hiwalah Dalam Hukum Islam Di Perbankan
Syariah”, An-Nisbah, Vol. 2, No. 1, Januari 2021, hlm. 96-97.

11
Kejadian ini sering terjadi dan sering dilakukan oleh seseorang atau
lembaga keuangan dengan cara menjual utang yang sulit tertagih.
Contohnya jual beli utang dilakukan dengan nilai yang lebih rendah dari
jumlah nilai utang yang tak tertagih.
2. Menjual giro (cek mundur)
Praktik ini juga sering dilakukan oleh seseorang ketika mereka dalam
keadaan membutuhkan uang yang bisa diperoleh dengan cepat sebelum
tanggal pencairan giro. Diantara mereka menjual giro dengan harga di
bawah nilai yang sudah tertera dalam giro tersebut, hal ini jelas dihukumi
riba karena sama persis dengan jual beli piutang atau piutang dijadikan
objek yang dapat menghasilkan manfaat.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hiwalah adalah pengalihan utang, baik berupa hak untuk mengalihkan
pembayaran atau kewajiban untuk mendapatkan pembayaran utang, dari
orang yang mempunyai utang dan piutang dengan disertai rasa percaya
dan kesepakatan bersama. Dasar hukum hiwalah terdapat dalam QS. Al-
Baqarah: 280, dalam sebuah hadits dari Abu Humairah RA Riwayat
Bukhori Muslim, juga terdapat dalam ijma’.
2. Rukun hiwalah terdiri dari muhil, muhal, muhal ‘alaih, muhal bih, dan
sighat. Sedangkan syarat hiwalah antara lain para pihak yang terlibat
memiliki kecakapan melakukan tindakan hukum, utang piutang yang
dilakukan harus jelas jumlahnya, ada bukti utang piutang antara muhil dan
muhal, pengalihan utang piutang disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat,
dan harus ada kesamaan antara jenia maupun kadarnya dan waktu jatuh
tempo pembayarannya.
3. Hiwalah berdasarkan jenis pemindahannya terdiri dari hiwalah dayn dan
hiwalah haqq. Sedangkan hiwalah berdasarkan rukun hiwalahnya terdiri
dari hiwalah muqayyadah dan hiwalah muthlaqah.
4. Hiwalah dalam perbankan biasanya diaplikasikan pada factoring atau
anjak piutang, Post-dated checkdan Bill discounting.
5. Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang hiwalah adalah Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No. 12/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Hawalah dan Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No: 58/DSN-MUI/V/2007 Tentang Hawalah Bil
Ujrah.
6. Ada beberapa bentuk akad hiwalah yang melanggar aturan hukum islam
antara lain menjual utang tak tertagih dan menjual giro (cek mundur).

13
DAFTAR PUSTAKA

Dewan Syariah Nasional, Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 12/DSN-


MUI/IV/2000.
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 58/DSN-
MUI/V/2007.
Edwin Kiky Aprianto, Naerul. “Anjak Piutang (Factoring) Dalam Ekonomi
Islam”. Islamiconomic, Vol. 8, No. 1, Januari-Juni 2017.
Eka Nurazizah, Novanda. “Implementasi Akad Hiwalah Dalam Hukum Islam Di
Perbankan Syariah”. An-Nisbah, Vol. 2, No. 1, Januari 2021.
Hardiati, Neni dan Januri. “Al-Hiwalah dan Implementasinya Pada Perbankan
Syariah Di Tinjau Dari Kaidah Fiqh”. Syntax Idea, Vol. 3, No. 1, Januari
2021.
Harun. Fiqh Muamalah. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017.
Karim, Helmi. Fiqh Muamalah. cet. 3. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Nafik Hadi Ryandono, Muhamad dan Rofiul Wahyudi. Manajemen Bank Islam
Pendekatan Syariah dan Praktek. Yogyakarta: UAD PRESS, 2018.
Nizaruddin. Hiwalah dan Aplikasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah. STAIN
Jurai Siwo Metro.
Sa’diyah, Mahmudatus. Fiqih Muamalah II Teori dan Praktik. Jepara: UNISNU
PRESS, 2019.
Sabiq, Sayyid. Fiqhus Sunnah dalam Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah
dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema Insani, 2008.
Tim Kashiko. Kamus Arab-Indonesia. Kashiko, 2000.
Usman, Rachmadi. Produk dan Akad Perbankan Syariah di Indonesia
Implementasi dan Aspek Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009.

Anda mungkin juga menyukai