Disusun Oleh
Nama: Alfiyan Nuritama Nugroho ( D.111.18.0040 )
Kelas: THP A Pagi
UNIVERSITAS SEMARANG
2020
ACARA I
I. JUDUL
Uji Kelarutan
III. TUJUAN
Untuk mengetahui tingkat kelarutan suatu protein dan enzim dari produk hewani dan
nabati
Alat :
Bahan :
Pelarut
Garam pekat (2ml)
Garam biasa (2ml)
Asam (HCl 2%) 2ml
Basa (NaOH 0,25%) 2ml
Alkohol (2ml)
Protein
Zein (tepung maizena) 1gr
Albumin (putih telur) 2ml/1gr
Glutenin (terigu) 1gr
Papain (1gr)
VI. CARA KERJA
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Disiapkan 20 tabung reaksi yang bersih
3. Diisi tabung reaksi zein 1gr, albumin 2ml/1gr, glutein 1gr, papain 1gr
4. Ditambahkan pelarut (garam pekat, garam biasa, HCl, NaOH, alkohol) pada masing-
masing sampel sebanyak 2ml
5. Diamati sampel terlebih dahulu sebelum dihomogen
6. Dihomogenkan sampel, dipanaskan dengan bunsen dan penjepit sampai sampel
terhomogen
7. Diamati sampel setelah dihomogen
8. Diulang tahap 1-5 kali pada masing-masing sampel
B. Sesudah
Nama Pelarut Nama Protein dan Enzim
Zein Albumin Glutenin Papain
Garam pekat Putih keruh, Putih keruh, Putih keruh, Putih keruh,
tidak ada ada endapan ada endapan endapan putih
endapan kecoklatan
Garam biasa Putih bening, Putih kental, Putih pucat, Putih keruh,
ada endapan homogen ada endapan endapan
kuning coklat
HCl Putih, Berbusa, Putih keruh, Putih bening,
mengendap putih larut, ada endapan ada endapan
homogen kecoklatan
NaOH Putih bening, Putih bening, Kuning Putih keruh,
ada endapan ada endapan bening, ada tidak larut,
putih endapan endapan
kuning
Alkohol Bening, Putih keruh, Putih bening, Putih keruh,
berkeruh, ada tidak ada endapan ada endapan
endapan homogen putih
VIII. PEMBAHASAN
Kelarutan protein adalah menifestasi thermodinamik dari keseimbangan antara
interaksi protein-protein dan interaksi protein-solvent. Kelarutan protein di dalam suatu
cairan, sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, pH, suhu,
kekuatan ionik dan konstanta dielektrik pelarutnya
Pada kegiatan praktikum ini, kita ingin mengetahui daya kelarutan suatu protein
dan enzim dari produk hewani dan nabati terhadap pelarut (garam pekat, garam biasa ,
HCI , NaOH, dan alcohol ). Hasil yang diperoleh dari percobaan ini adalah pada protein
zein (1 gr ), sebelum dan sesudah penambahan pelarut (2 ml) zein tidak mengalami
perubahan yang jauh berbeda ,yaitu putih bening dan ada endapan, namun dalam
penambahan 2 jenis pelarut, garam pekat menjadikan warna putih agak keruh dan tidak
ada endapan , alkohol merubah warna menjadi bening keruh dengan adanya endapan .
Pada albumin (2ml),sebelum dan sesudah penambahan pelarut (2ml) mengalami banyak
perbedaan, karena protein bersifat amfoter, yaitu dapat bereaksi dengan asam dan basa
,namun, semua protein tidak dapat larut dalam pelarut lemak seperti eter atau kloroform. .
Pada protein glutenin (1gr) dan papain (1gr), sebelum dan sesudah penambahan pelarut
(2 ml) perbedaan yang nampak jelas / signifikan terlihat pada perubahan warna endapan
pada setiap penambahan pelarut yang semula tidak ada warna endapan selain warna putih
/ bening, dengan adanya penambahan pelarut maka warna endapan menjadi berubah
seperti warna endapan coklat,kuning dan putih kecoklatan.
Pencampuran atau penambahan suatu senyawa dengan senyawa yang lain
dikatakan bereaksi bila menunjukkan adanya tanda terjadinya reaksi, yaitu: adanya
perubahan warna, timbul gas, bau, perubahan suhu, dan adanya endapan. Pencampuran
yang tidak disertai dengan tanda demikian, dikatakan tidak terjadi reaksi kimia. Ada
beberapa reaksi khas dari protein yang menunjukkan efek/tanda terjadinya reaksi kimia,
yang berbeda-beda antara pereaksi yang satu dengan pereaksi yang lainnya.
Protein yang kaya akan radikal-radikal nonpolar bebas lebih mudah larut dalam
campuran alcohol-air daripada dalam air. Protein yang miskin akan radikal-radikal polar
bebas cenderung untuk mengendap dengan penambahan sedikit alcohol. Protein tidak
larut dalam air tetapi kaya akan radikal-radikal yang bermuatan dan mudah larut dalam
garam-garam netral.
IX. KESIMPULAN
Pada umumnya, protein bersifat amfoter, yaitu dapat bereaksi dengan asam dan
basa. Dari kegiatan praktikum yang sudah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa daya
kelarutan berbagai macam protein berbeda-beda di dalam macam pelarut , namun semua
protein tidak larut dalam pelarut lemak karena adanya gugus amino dan karboksil bebas
pada ujung-ujung rantai molekul protein, menyebabkan protein mempunyai banyak
muatan.
X. DAFTAR PUSTAKA
Ariwulan, R.R. Dyah Roro, 2011, Uji Reaksi Protein (online), (http://pustakabiolog.
wordpress.com), diakses pada tanggal 21 Oktober 2013 pukul 20.15 WITA.
Fried, G. H. dan Hademenos, G. J., 2006, Schaum’s Outlines Biologi Edisi Kedua,
Penerbit Eralangga, Jakarta.
Katili, A. S., 2009, Struktur dan Fungsi Protein Kolagen (online), (http://ejur-
nal.ung.ac.id/index.php/JPI/article/view/587), Jurnal Penelitian,
Vol : 2 (5), Hal : 19-29, Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo.
Patong, A.R., dkk., 2012, Biokimia Dasar, Lembah Harapan Press, Makassar.
Samadi, 2012, Konsep Ideal Protein (Asam Amino) Fokus pada Ternak Ayam Pedaging
(online), (http://jurnal.unsyiah.ac.id/agripet/article/view/202), Jurnal Penelitian,
Vol: 12 (2), Hal : 42-48, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
I. JUDUL
Pembentukan Dough
III. TUJUAN
Untuk mengetahui kerja enzim pada substrat karbohidrat
Kualitas roti secara umum disebabkan karena variasi dalam penggunaan bahan
baku dan proses pembuatannya sehingga menjadi sebuah adonan (Dough) yang tepat .
Jika bahan baku yang digunakan mempunyai kualitas yang baik dan proses
pembuatannya benar maka roti yang dihasilkan akan mempunyai kualitas yang baik pula.
Jenis dan mutu produk bakery sangat bervariasi tergantung jenis bahan-bahan dan
formulasi yang digunakan dalam pembuatannya. Variasi produk ini diperlukan untuk
memenuhi adanya variasi selera dan daya beli konsumen (Desrosier, 1988).
Saccharomyces cereviciae yang penting dalam pembuatan roti memiliki sifat
dapat memfermentasikan maltosa secara cepat (lean dough yeast), memperbaiki sifat
osmotolesance (sweet dough yeast), rapid fer-mentation kinetics, freeze dan thaw
tolerance, dan memiliki kemampuan memetabolisme substrat. Pemakaian ragi dalam
adonan sangat berguna untuk mengembangkan adonan (dough) karena terjadi proses
peragian terhadap gula, memberi aroma (alkohol) (Dwijoseputro, 1990).
Tepung merupakan bahan baku utama roti. Tepung yang biasa di-gunakan untuk
roti adalah tepung gandum, jagung, havermouth, dan se-bagainya. Untuk roti yang
memerlukan pemuaian, lebih baik digunakan tepung gandum, karena beberapa jenis
protein yang terdapat pada gandum jika dicampur dengan air akan menghasilkan glutein.
Glutein inilah yang dapat membuat roti mengembang selama proses pembuatan. Jaringan
sel-sel ini juga cukup kuat untuk menahan gas yang dibuat oleh ragi sehingga
adonan(dough) tidak mengempis kembali, yang harus dipertimbangkan adalah terutama
kadar protein tepung terigu dan kadar abunya. Kadar protein mempunyai korelasi yang
erat dengan kadar glutein, sedangkan kadar abu erat hubungannya dengan tingkat dan
kualitas adonan (Roberts , 1989).
Air berfungsi sebagai media glutein dengan karbohidrat, larutan garam dan
membentuk sifat kenyal glutein. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH 6-9. Makin
tinggi pH air maka roti yang dihasilkan baik karena absorbsi air meningkat dengan
meningkatnya pH. Selain pH, air yang di-gunakan harus air yang memenuhi persyaratan
sebagai air minum, di-antaranya tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa. Air yang
digu-nakan dalam industri makanan pada umumnya harus memenuhi persya-ratan tidak
berwarna, tidak berbau, jernih, tidak mempunyai rasa dan tidak menggangu kesehatan.
Apabila air yang digunakan tidak memenuhi persyaratan dalam pembentukan pati atau
tepung maka dapat mening-katkan kadar abunya sehingga mutu pati menurun (Gumbiro,
1987).
Pembuatan roti, ragi/yeast dibutuhkan agar adonan bisa mengembang. Ragi/yeast
biasanya ditambahkan setelah tepung terigu ditambah air lalu diaduk-aduk merata,
setelah itu selanjutnya adonan (dough) dibiarkan beberapa waktu. Ragi/yeast sendiri
sebetulnya mikroorganisme, suatu mahluk hidup berukuran kecil, biasanya dari jenis
Saccharomyces cerevisiae yang digunakan dalam pembuatan roti ini. Pada kondisi air
yang cukup dan adanya makanan bagi ragi/yeast, khususnya gula, maka yeast akan
tumbuh dengan mengubah gula menjadi gas karbondioksida dan senyawa beraroma. Gas
karbondioksida yang terbentuk kemudian ditahan oleh adonan sehingga adonan menjadi
mengembang (Rukmana, 2001).
Alat :
Timbangan digital(1)
Beaker glass 250ml/500ml (1)
Kompor (1)
Pengaduk (1)
Plastik wrap (1)
Sendok (1)
Penggaris (1)
Gelas ukur (1)
Bahan :
Ukuran Kembang
Menit Fermipan 0,6 gr Fermipan 0,3
5 1,5 cm 1,5 cm
10 1,7 cm 1,6 cm
15 1,8 cm 1,7 cm
VIII. PEMBAHASAN
Dari kegiatan praktikum yang sudah dilaksanakan ,kita dapat melihat dan mengetahui
kerja enzim pada substrat karbohidrat, ragi roti merupakan salah satu bahan campuran
utama dalam pembuatan roti. Tanpa tambahan ragi, adonan roti dipastikan tidak akan
mengembang. Namun kalau ceroboh saat mencampur bahan, ragi bisa tak berfungsi sama
sekali sehingga adonan juga tak akan mengembang. . Ragi/yeast sendiri sebetulnya
mikroorganisme, suatu mahluk hidup berukuran kecil, biasanya dari jenis Saccharomyces
cerevisiae yang digunakan dalam pembuatan roti ini.
Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa penggunaan ragi roti ( fermipan )
sebaiknya sekitar 2% dari takaran tepung , dalam praktikum ini menggunakan tepung
gandum sebanyak 15 gr, jadi fermipan yang kita masukan 0,3 gr saja agar adonan roti
mengembang dengan baik dan maksimal ,dalam waktu pendiaman 5 menit adonan
mengembang 1,5 cm, setelah 10 menit adonan mengembang 1,6 cm dan saat 15 menit
adonan mengembang 1,7 cm. Sedangkan pemberian fermipan sebanyak 0,6 gr meskipun
adonan tetap mengembang,namun hasil yang diperoleh tidak bisa maksimal, dalam waktu
pendiaman 5 menit adonan mengembang 1,5 cm, setelah 10 menit adonan mengembang
1,7 cm dan saat 15 menit adonan mengembang 1,8 cm. Memberi ragi terlalu banyak akan
membuat pori-pori roti besar dan aromanya akan seperti tape,harus sesuai takaran yang
dianjurkan .
Terdapat seni dalam menguleni adonan,terlalu sedikit melakukannya, maka ragi
tidak akan tersebar di adonan. Adonannya kemudian akan menjadi terlalu lemah untuk
mengembang. Terlalu banyak menguleni akan membuat adonan keras sehingga tidak bisa
mengembang. Adonan seharusnya terasa halus dan elastis, tidak kencang seperti bola
karet, atau lembek seperti adonan biskuit. Dalam adonan yang sudah tercampur dengan
ragi,jangan dicampur dengan garam ,karena garam yang dapat mematikan proses
pengembangan roti.
Selain ragi, Glutein dapat membantu proses pengembangan adonan, glutein
merupakan pencampuran tepung gandum dengan air, jaringan sel-sel didalamnya juga
cukup kuat untuk menahan gas yang dibuat oleh ragi sehingga adonan tidak mengempis
kembali, yang harus dipertimbangkan adalah terutama kadar protein tepung terigu dan
kadar abunya. Kadar protein mempunyai korelasi yang erat dengan kadar glutein,
sedangkan kadar abu erat hubungannya dengan tingkat dan kualitas adonan.
IX. KESIMPULAN
Berdasarkan kegiatan praktikum yang sudah dilakukan maka dapat disimpulkan
bahwa kualitas roti secara umum disebabkan karena variasi dalam penggunaan bahan
baku dan proses pembuatannya sehingga menjadi sebuah adonan yang tepat jika bahan
baku yang digunakan mempunyai kualitas yang baik dan proses pembuatannya benar
maka roti yang dihasilkan akan mempunyai kualitas yang baik pula . Pembuatan adonan
roti dengan bantuan ragi (fermipan) yang melakukan fermentasi alcohol, fermentasi
yang terjadi mengubah glukosa menjadi alkohol dan karbon dioksida. Karbon dioksida
membuat roti mengembang sedangkan alkohol memberikan rasa dan aroma pada roti,
penggunaan ragi roti ( fermipan ) sebaiknya sekitar 2% dari takaran tepung.
Selain penggunaan ragi, Glutein dapat membantu proses pengembangan adonan,
glutein merupakan pencampuran tepung gandum dengan air, jaringan sel-sel didalamnya
juga cukup kuat untuk menahan gas yang dibuat oleh ragi sehingga adonan tidak
mengempis kembali.
X. DAFTAR PUSTAKA
Desrosier, N. W., 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah M. Muljohardjo.
UI-Press, Jakarta.
Dwidjoseputro. 1990. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan
Gumbiro. Said. 1987. Bio Industri Penerapan Teknologi Fermentasi.
Jakarta: Mediatama Putra.
Roberts, H., Karmas, E. 1989. Evaluasi Gizi Pada Pengolahan Pangan. ITB. Bandung.
Rukmana, R. 2001. Membuat Sosis : Daging Kelinci, Daging Ikan, Tempe Kedelai.
Kanisius, Yogyakarta
XI. LAMPIRAN
ACARA III
I. JUDUL
Uji Enzim Papain
III. TUJUAN
Mengetahui tingkat kelarutan suatu protein dan enzim dari produk nabati maupun hewani
VIII. PEMBAHASAN
Daging sapi adalah daging merah yang berasal dari sapi,daging sapi merupakan
komoditi pangan utama di dunia,daging sapi berserat tebal, berwarna merah darah ketika
dalam keadaan segar, dan berbau gurih. Daging sapi yang baik dikonsumsi adalah daging
sapi tanpa lemak. Dalam dunia kuliner, daging sapi terdiri dari berbagai macam.
Misalnya wagyu dari sapi wagyu yang diternakkan secara khusus sehingga dagingnya
lembut dan empuk. Ada juga pengklasifikasian dari segi potongan misalnya sirloin atau
tenderloin. Daging sapi bisa diolah dengan berbagai macam teknik dan bumbu.
Dari kegiatan praktikum yang sudah dilaksanakan ,maka kita dapat mengetahui
tingkat kelarutan suatu protein dan enzim dari produk nabati maupun hewani,produk
hewani yang digunakan berupa daging sapi, dengan penambahan perlakuan (enzim
papain 1gr) direndam daging selama 15 – 20 menit dan tanpa perlakuan (tanpa
tambahan enzim papain) lalu keduanya digoreng. Berdasarkan data diatas dapat
diketahui bahwa pada daging sapi tanpa perlakuan sebelum digoreng,memiliki ciri khas
daging pada umumnya yaitu, dengan aroma yang agak amis, rasa asam, tekstur yang
keras dan warna yang pasti merah cerah ( menandakan daging masih segar ), setelah
melalui proses penggorengan daging menjadi matang mengeluarkan aroma khas daging
dan sedap daripada sebelum melalui proses penggorengan, rasa jadi lebih gurih ,tekstur
yang kenyal dan warna berubah menjadi coklat. Sedangkan pada daging sapi dengan
penambahan perlakuan sebelum digoreng, aroma yang dihasilkan masih sama saja yaitu
amis karena daging masih mentah, rasa menjadi hambar, tekstur yang empuk dan warna
yang pucat, disebabkan karena penambahan enzim papain (1gr) sehingga sudah terlarut /
tercampur kedalam daging (teknik maserasi) Enzim papain ini akan meresap ke dalam
daging dan akan memutuskan ikatan-ikatan peptida yang bisa diputusnya. Setiap enzim
memiliki sifat khusus dan bekerja secara spesifik, maka ia akan memutus ikatan tertentu
yang ia kenali.
Setelah melalui proses penggorengan aroma yang dihasilkan menjadi khas daging
matang dan lebih sedap, rasa yang gurih , tekstur yang tidak kenyal karena pada saat
maserasi ,daging sudah menyerap enzim papain sehingga mengembang ,karena terlalu
lama melakukan maserasi menyebabkan daging kembali keras / tidak kenyal, warna
berubah jadi coklat karena proses penggorengan menandakan daging itu sudah matang.
Menggoreng daging sapi dalam waktu cukup lama juga tidak akan menjadikan teksturnya
kian empuk. Menggoreng daging sapi terlalu lama menyebabkan crusting dan browning.
Di mana tampilan daging sapi akan menjadi sangat kering dan berwarna cokelat pekat.
Dalam memilih bahan sebagai sumber protease tentunya harus disesuaikan juga
dengan selera dan jenis masakan daging apa yang akan dibuat nantinya. Buah yang
digunakan sebagai sumber protease dan juga sumber antioksidan, dapat mengurangi juga
jumlah senyawa nitrogen heterosiklik (pada proses selanjutnya) yang berpotensi sebagai
zat karsinogen. Dengan demikian, penggunaan bahan pangan segar ini tentunya memiliki
manfaat sinergis untuk meningkatkan citarasa daging yang akan dimasak, selain empuk,
rasa dan aroma bahan pangan, juga potensinya sebagai antioksidan.
IX. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa enzim papain
mempunyai kemampuan menguraikan ikatan-ikatan dalam molekul protein sehingga
protein terurai menjadi polipeptida dan dipeptida. Jika bekerja pada daging dapat
diuraikan sehingga daging menjadi empuk,enzim ini mempunyai daya tahan panas yang
baik, bahkan proses pengempukan daging justru terjadi pada suhu pemasakan atau pada
waktu daging dimasak, disamping pengurai protein, papain mempunyai kemampuan
untuk membentuk protein baru atau senyawa yang menyerupai protein yang disebut
plastein. Bahan pembentuk plastein berasal dari hasil peruraian protein daging.
Proses penggorengan daging sapi dalam waktu cukup lama juga tidak akan
menjadikan teksturnya kian empuk,menggoreng daging sapi terlalu lama menyebabkan
crusting dan browning,dimana tampilan daging sapi akan menjadi sangat kering dan
berwarna cokelat pekat.
X. DAFTAR PUSTAKA
Buckle, K.A., Edwards, R.A. Fleet, G.H. dan Wooter, M. 1985. Food Science.
Purnomo, H dan Adiono. (penerjemah). 2010. Ilmu Pangan. UI-Press. Jakarta
Hidayat, T. 2005. Pembuatan Hidrolisat Protein Dari Ikan Selar Kuning (Caranx
leptotelis) Dengan Menggunakan Enzim Papain. Program studi Teknologi
Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
XI. LAMPIRAN