Disusun oleh :
AMELIA JAWPANI
1910611113
DOSEN PENGAMPU :
DR. FERRY LISMANTO SYAIFUL. S.PT. M.P
FAKULTAS
PETERNAKAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2020/2021
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, taufik, dan hidayah- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-nya tentunya penulis tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Penulis mengucapkan syukur kepada allah swt
atas limpahan nikmat rahmat dan hidayah-nya dan kesehatan yang senantiasa diberikan,
sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata
kuliah Manajemen Produksi Ternak Sapi dan Kerbau ini.
Penulis menyadari bahwa dalam tugas ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, penulis sangat membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Dan tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada
dosen mata kuliah Manajemen Produksi Ternak Sapi dan Kerbau yaitu bapak Dr. Ferry
Lismanto Syaiful. S.Pt. M.P , Yang telah membimbing dan mengajarkan ilmunya selama
masa perkuliahan.
Tugas ini penulis buat untuk memberikan wawasan tentang Manajemen Perkawinan
dan Pemuliaan Ternak. Mudah - mudahan tugas yang dibuat ini bisa menambah
pengetahuan kita jadi lebih luas lagi. penulis menyadari kalau masih banyak kekurangan
dalam menyusun makalah ini. Oleh sebab itu, kritik serta anjuran yang sifatnya
membangun sangat penulis harapkan guna kesempurnaan laporan ini. Demikian, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua
penulis
2
DAFTAR ISI
Cover..........................................................................................................................1
Kata Pengantar ........................................................................................................ 2
Daftar Isi ................................................................................................................... 3
Daftar Gambar...........................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 6
1.3 Tujuan ..................................................................................................... 6
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sistem Perkawinan ...........................................................................................9
2.2 Teknik Manajemen Perkawinan........................................................................9
2.2.1 Intensitifikasi Kawin Alam ..................................................................9
2.2.1.1 Perkawinan di Kandang Individu ........................................12
2.2.1.2 Perkawinan di Kandang Kelompok......................................12
2.2.1.3 Perkawinan Model Mini Rench............................................13
2.2.1.4 Perkawina Model Padang Pengembalaan ...........................14
2.2.2 Teknik Kawin IB dengan Semen Beku................................................15
2.2.2.1 Penanganan Semen Beku Dalam Kontainer.........................16
2.2.2.2 Pencairan Kembali (thawing) dan Waktu IB ......................16
2.2.2.3 Pelaksanaan IB di Lapangan................................................17
2.2.3 Teknik Kawin IB dengan Semen Cair................................................18
2.3 Sistem Seleksi pada Sapi dan Kerbau.....................................………………21
BAB III KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA
3
Daftar Gambar
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peternakan sapi potong di Indonesia pada saat ini masih mengalami kekurangan pasokan
sapi bakalan karena pertambahan populasi tidak seimbang dengan kebutuhan nasional
dikarenakan beberapa hal yang berkaitan, seperti manajemen dari pemeliharaan ternak itu
sendiri hingga sumber daya manusia yang diperuntukkan dalam usaha peternakan masih
belum memadai. Oleh karena itu, hal ini menyebabkan terjadi kesenjangan antara permintaan
dan penawaran yang semakin lama semakin melebar (Daryanto dan Arif, 2009) padahal
dalam potensi sumber daya di indonesia sudah cukup memadai dalam menunjang usaha
peternakan. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kesadaran akan pentingnya
nilai gizi, maka terjadi pula peningkatan permintaan kebutuhan pangan yang berasal dari
protein hewani seperti daging sapi. Untuk menghadapai swasembada daging sapi diperlukan
peningkatan populasi sapi potong secara nasional dengan cara meningkatkan jumlah
kelahiran pedet dan calon induk sapi dalam jumlah besar. Untuk mendukung peningkatan
populasi tersebut terutama pada usaha peternakan rakyat diperlukan suatu teknologi tepat
guna spesifik lokasi sesuai dengan kondisi agroekosistem dan kebutuhan pengguna yang
pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.
Namun dalam usaha ternak sapi potong rakyat masih sering muncul beberapa
permasalahan, diantaranya masih terjadi kawin berulang (S/C > 2) dan rendahnya angka
kebuntingan (< %) sehingga menyebabkan panjangnya jarak beranak pada induk ( > 18
bulan) (Affandhy ., 2006); yang akan berdampak terhadap rendahnya perkembangan
populasi sapi per tahun dan berakibat terjadi penurunan petani dari usaha ternak. Salah satu
faktor penyebab rendahnya perkembangan populasi sapi adalah manajemen perkawinan
yang tidak tepat, yakni: (1) pola perkawinan yang kurang benar, (2) pengamatan birahi dan
waktu kawin tidak tepat, (3) rendahnya kualitas atau kurang tepatnya pemanfaatan
pejantan dalam kawin alam dan (4) kurang terampilnya beberapa petugas serta (5)
rendahnya pengetahuan peternak tentang kawin suntik/IB. Pola perkawinan calving
5
menggunakan pejantan alam, petani mengalami kesulitan memperoleh pejantan, apalagi
yang berkualitas, sehingga pedet yang dihasilkan bermutu jelek, bahkan berindikasi adanya
kawin keluarga ( ) terutama pada wilayah pengembalaan di Indonesia Bagian Timur.
Penurunan efisiensi reproduksi dipengaruhi juga oleh faktor manajemen perkawinan
yang tidak sesuai dengan kondisi dan lingkungan sekitarnya, sehinggga terindikasi
terjadinya kawin yang berulang pada induk sapi potong di tingkat usaha ernak rakyat yang
menyebabkan rendahnya keberhasilan kebuntingan dan panjangnya jarak beranak.
Diperlukan suatu cara atau teknik manajemen perkawinan yang tepat sesuai dengan
kehendak petani dengan berdasar pada potensi atau kehidupan sosial masyarakat pedesaan,
yakni teknik kawin suntik dengan IB beku, cair dan pejantan alami yang mantap dan
berkesinambungan.
Ilmu Pemuliaan diera sekarang bertalian dengan manipulasi perbedaan biologi diantara
ternak dengan pendekatan tujuan yaitu memaksimalkan keuntungan baik pada jangka
waktu yang pendek maupun jangka waktu yang lama. Adanya perbedaan biologis diantara
ternak tercermin didalam keragaman suatu sifat individu-individu didalam
sekelompok/populasi ternak. Keragaman merupakan sifat populasi yang sangat penting
dalam pemuliaan, terutama dalam seleksi. Keragaman suatu sifat dipengaruhi oleh dua
faktor yaitu faktor genetik, dan faktor non genetik atau lingkungan. Faktor genetik
ditentukan oleh susunan gen dan kromosom yang dimiliki oleh individu. Oleh karena itu,
faktor genetik sudah ada sejak terjadinya pembuahan atau bersatunya sel telur (ovum)
dengan spermatozoa. Faktor genetik ini tidak akan berubah selama hidup individu,
sepanjang tidak terjadi mutasi dari gen yang menyusunnya, dan faktor genetik dapat
diwariskan kepada anak keturunannya. Berbeda dengan faktor genetik, pengaruh
lingkungan tidak akan diwariskan kepada anak keturunannya.
Faktor lingkungan ini tergantung pada kapan dan dimana individu yang bersangkutan
berada. Tujuan peternakan secara umum adalah peningkatan produksi ternak dan hasil
ternak. Upaya yang dapat dilakukan ada tiga kelompok yaitu dalam bidang pemuliaan,
mutrisi dan pengelolaan (manajemen). Yang perlu dipahami adalah ketiga upaya tersebut
harus mendapat perhatian yang sama besar, sedangkan prioritas dan intensitas upaya
disesuaikan dengan kondisi peternak, ternak dan lingkungan yang ada pada saat tertentu.
6
Upaya peningkatan ternak melalui pemuliaan bertujuan meningkatkan produktivitas (sifat
produksi dan reproduksi) ternak melalui peningkatan mutu genetiknya. Untuk itu, terdapat
dua kelompok upaya yakni seleksi dan pembiakan (perkawinan=breeding). Dalam seleksi
dilakukan pemilihan ternak untuk menjadi tetua yang menghasilkan generasi selanjutnya.
Didalam seleksi, berbagai metode dapat dilakukan baik Cara Bergilir (Thandem), Cara
Batas Penyingkiran Bebas (Independen Culling Level), dan Cara Indeks. Namun, sebelum
melakukan seleksi harus diprediksi Nilai Pemuliaan (Breeding Value) masing-masing
individu didalam kelompok/populasi.
Berbagai metode telah dikembangkan untuk memprediksi nilai pemuliaan. Untuk itu,
catatan (recording) yang tepat sangat diperlukan. Setelah seleksi dilakukan, dan kemajuan
genetik yang diharapkan tercapai, perkawinkan dilakukan antara ternak yang mempunyai
mutu genetik yang terbaik dengan yang terbaik (best to best). Dalam “breeding” tercakup
pemanfaatan ternak tertentu dalam berbagai cara pembiakan. Cara pembiakan terbagi
dalam tiga kelompok utama yaitu Biak-setara (assortative mating), Biak-dalam (inbreeding)
dan Biak-luar (outbreeding). Cara pembiakan apapun yang dipilih, tujuan yang terpenting
dalam hal ini sama dengan tujuan seleksi yaitu menghasilkan perubahan dalam susunan
atau mutu genetik hewan atau ternak.
1. Apa masalah yang sering terjadi dalam perkembangan ternak sapi di Indonesia ?
2. Bagaimana cara melakukan teknik IB beku, cair, dan kawin alam?
3. Bagaimana cara mengetahui system seleksi pada sapi dan kerbau?
1.2 Tujuan
7
IB beku, cair dan kawin alam serta
3. Mengetahui system seleksi pada sapi dan kerbau.
8
BAB II
PEMBAHASAN
9
alam melalui distribusi pejantan unggul terseleksi dari bangsa sapi lokal atau impor dengan
empat manajemen perkawinan, yakni: (1) perkawinan model kandang individu, (2)
perkawinan model kandang kelompok/umbaran, (3) perkawinan model ( ) dan (4)
perkawinan model padang pengembalaan ( ). Pejantan yang digunakan berasal dari hasil
seleksi sederhana, yaitu berdasarkan penilaian performans tubuh dan kualitas semen yang
baik, berumur lebih dari dua tahun dan beba dari penyakit reproduksi ( , , IBR ( ) dan EBL
( ). Untuk seleksi induk diharapkan memiliki deskriptif sebagai berikut: 1) induk
(nahunan), yakni dapat beranak setiap tahun, 2) skor kondisi tubuh 5-7 (Gambar 4), (3)
badan tegap, sehat dan tidak cacat, (4) tulang pinggul dan ambing besar, lubang pusar agak
dalam dan 5) Tinggi gumba >
10
gambar 2. Ib Semen Beku
11
gambar 3. Ib Semen Cair
12
tergantung pada jumlah ternak yang menempati kandang, yaitu untuk setiap ekor sapi
dewasa membutuhkan luasan sekitar 20 – 30 m2. Bahan dan alatnya: dibuat dari semen
atau batu padas, dinding terbuka tapi berpagar, atap dari genteng serta dilengkapi tempat
pakan, minum dan lampu penerang
Kotoran sapi (feses) dan air seni dibiarkan menumpuk di lantai kandang dibongkar setiap
satu bulan, tergantung pada kelebihan dan kekeringan, yaitu tebalnya feses urine sekitar 30
cm. Setiap setelah pembongkaran feses, sebagai dasar lantai kandang diberi kapur,
gergaji/sekam; yang selanjutnya campuran feses dan dari sapi dibiarkan sampai satu-dua
bulan dan dikeluarkan dari kandang dan selanjutnya dapat digunakan sebagai pupuk
organik. Kapasitas kandang dapat berisi satu ekor pejantan dengan 10 ekor induk (1:10)
dengan pemberian pakan sesuai kebutuhan secara bersamasama sebanyak dua kali sehari,
yaitu pada waktu pagi dan sore hari.
Manajemen perkawinan model kandang kelompok dapat dilakukan oleh kelompok tani atau
kelompok perbibitan potong rakyat yang memiliki kandang kelompok usaha bersama
dengan tahapan sebagai berikut:
Induk bunting tua hingga 40 hari setelah beranak diletakkan pada kandang khusus, yakni di
kandang bunting dan atau menyusui ;
Setelah 40 hari induk dipindahkan ke kandang kelompok dan dicampur dengan pejantan
terpilih dengan kapasitas sapi sebanyak 10 ekor betina (induk atau dara) dan dikumpulkan
menjadi satu dengan pejantan dalam waktu 24 jam selama dua bulan Setelah dua bulan
dikumpulkan dengan pejantan dilakukan pemeriksaan kebuntingan (PKB) dengan cara
palpasi rektal terhadap induk-induk sapi tersebut (perkawinan terjadi secara alami tanpa
diketahui yang kemungkinan pada malam hari atau waktu tertentu yang tidak diketahui
Sapi induk yang positif bunting dipisah dari kelompok dan diganti dengan sapi yang belum
bunting atau hasil pemeriksaan kebuntingan dinyatakan negatif.
13
dibiarkan sampai lebih dari enam bulan, selanjutnya dikeluarkan dari ren dan dikumpulkan
dalam suatu tempat untuk dijadikan kompos atau biogas. Kapasitas kandang dapat berisi
satu ekor pejantan dengan 30 ekor induk (1:30) dengan pemberian pakan secara bebas
untuk jerami kering dan 10 % BB rumput, 1 % BB untuk konsentrat diberikan secara
bersama-sama dua kali sehari pada pagi dan sore.
Manajemen perkawinan model ren dapat dilakukan oleh kelompok perbibitan sapi potong
rakyat yang memiliki areal ren berpagar pada kelompok usaha bersama seperti di daerah
Indonesia Bagian Timur dengan tahapan sebagai berikut:
Induk bunting tua hingga 40 hari setelah beranak diletakkan pada kandang khusus, yakni di
kandang individu (untuk induk bunting dan atau menyusui Setelah 60 hari induk
dipindahkan ke areal rench dan dicampur dengan pejantan terpilih dengan kapasitas sapi
sebanyak 30 ekor betina (induk atau dara) dan dikumpulkan dengan satu pejantan dalam
sepanjang waktu (24 jam) selama dua bulan;
Setelah dua bulan dikumpulkan dengan pejantan dilakukan pemeriksaan kebuntingan
dengan cara palpasi rektal terhadap induk sapi (perkawinan terjadi secara alami tanpa
diketahui yang kemungkinan pada malam hari atau waktu tertentu yang tidak diketahui);
Pergantian pejantan dilakukan setiap setahun sekali guna menghindari kawin keluarga
Sapi induk yang positif bunting dipisah dari kelompok tersebut dan diganti dengan sapi
yang belum bunting atau hasil PKB dinyatakan negatif.
Bahan dan alat berupa padang pengembalaan yang pada umumnya dekat
hutan/perkebunan maupun di ladang sendiri yang dilengkapi dengan kandang kecil berupa
gubuk untu memperoleh pakan tambahan atau air minum terutama pada saat musim
kemarau yang banyak diperoleh di dekat hutan atau Indonesia Bagian Timur (Gambar 13
dan 14) (Aryogi ., 2006). Model ini kotoran sapi dan dapat langsung jatuh di ladang milik
sendiri atau milik petani lain yang berfungsi menambah kesuburan tanah ketika musim
tanam. Kapasitas areal angonan sangat luas dan dapat diangon hingga ratusan ekor betina
dan beberapa pejantan, yakni hingga 60-100 ekor induk dengan 2-3 pejantan (rasio betina :
14
pejantan 100:3 dengan memperoleh hijauan pakan rumput atau tanaman hutan).
Manajemen perkawinan dengan cara angon dapat dilakukan oleh petani atau
kemitraan antara kelompok perbibitan i potong rakyat dengan perkebunan atau kehutanan
seperti di Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan dengan tahapan sebagai berikut:
Induk bunting tua maupun setelah beranak tetap langsung diangon bersama
pedetnya (Aryogi et all., 2006)
Bila ada sapi yang terlihat gejala birahi langsung dip untuk diamati keadaan
birahinya. Selanjutnya setelah diketahui bahwa sapi tersebut birahi benar dengan gejala,
maka langsung dapat dikawinkan dengan pejantan terpilih dan ditaruh dikandang dekat
rumah Setelah dua hari dikawinkan selanjutnya dapat dilepaskan kembali ke hutan atau
padang angonan (Gambar 16 dan 17) (Tim Prima Tani Way Kanan, 2007)
Pergantian pejantan dapat dilakukan selama tiga kali beranak guna menghindari
kawin keluarga.Sapi induk yang positif bunting tua (akan beranak) sebaiknya dipisah dari
kelompok angonan hingga beranak dan diletakkan di pekarangan yang dekat dengan rumah
atau dikandangkan dengan diberikan pakan tambahan berupa konsentrat atau jamu
tradisional terutama pada sapi induk pasca beranak
Teknologi IB menggunakan semen beku pada sapi potong telah digunakan sejak
belasan tahun silam dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ternak sapi
melalui penggunaan pejantan pilihan dan menghindari penularan penyakit atau kawin
sedarah ( ). Selama ini pelaksanaan teknologi IB di lapangan masih mengalami beberapa
hambatan, antara lain S/C > 2 dan angka kebuntingan 60% (Affandhy 2006), sehingga
untuk meningkatkan populasi dan mutu sapi potong serta guna memperluas penyebaran
bakalan sapi potong, diperlukan suatu petunjuk praktis tentang manajemen IB mengunakan
semen beku mulai dari penanganan ketika straw beku dalam kontener hingga akan
disuntikan/Idi-IB-kan ke sapi induk, termasuk cara dan waktu IB; dengan harapan dapat
memperbaiki manajemen perkawnan melalui pelaksanaan IB yang selama ini sering
menimbulkan permasalahan di tingkat peternak maupun inseminator. Dengan adanya
15
petunjuk tentang manajemen IB diharapkan dapat menambah tingkat keterampilan
inseminator dan pengalaman peternak sehinggga tingkat kebuntingan ternak dapat dicapai
secara optimal dan tahapan teknik ini perlu diinformasikan kepada pengguna seperti petani
peternak, inseminator dan kelompok peternak.
Tahapan teknik manajemen IB dengan menggunakan semen beku yang perlu dilakukan
meliputi:
(1) penanganan semen beku dalam kontener,
(2) cara thawing dan waktu IB dan
(3) pelaksanan IB di lapang.
Salah satu keberhasilan kebuntingan sapi induk yang diinseminasi (kawin suntik)
16
selain kualitas semen adalah faktor thawing dan waktu IB. Cara dan pelaksanaan thawing
dan waktu IB yang tepat untuk semen beku yang kemungkinan besar dapat berhasil dengan
baik adalah sebagai berikut:
Merendam straw yang berisi semen beku ke dalam air hangat suhu 37,5 oC dalam waktu
25-30 detik atau dapat pula menggunakan air sumur atau air ledeng pada suhu 25-30 ºC
selama kurang dari satu menit memperoleh nilai PTM > 40 % (Affandhy .,2006)
Apabila menggunakan air es waktu lebih lama, yakni sampai tampak adanya gelembung
udara pada straw; yang selanjutnya segera diinseminasikan ke induk yang sedang birahi
(Anonimus, 2006).
Waktu pelaksanaan IB yang ideal adalah 10-22 jam setelah awal terlihat gejala birahi
induk, yakni bila birahi pagi dikawinkan pada sore hari dan bila birahi sore hari dapat
dikawinkan pada besuk paginya.
17
guna memudahkan pencatatan selanjutnya.
Teknolgi alternatif yang dapat digunakan untuk prosesing semen sapi potong dalam
membantu pengembangan program IB secara cepat dan mudah dikerjakan di lapang, secara
industri maupun kelompok ( ) dapat menggunakan teknologi semen cair ( ). Teknolgi
semen cair dapat dibuat dengan bahan pengencer dan peralatan yang sederhana serta mudah
diperoleh. Bahan pengencer dapat berasal d air kelapa muda atau tris-sitrat dengan kuning
telur ayam dan dapat disimpan di dalam /kulkas dengan suhu 5oC selama 7-10 hari. Hasil
penelitian uji semen cair di lapang oleh staf peneliti Lolit Sapi Potong menunjukkan nilai
(PTM) > 40 % dengan (S/C) < 1,5 dan tingkat kebuntingan ( CR) >70 %. Semen cair ( )
pada sapi potong merupakan campuran antara cairan semen dengan spermatozoa dalam
bentuk segar yang ditampung menggunakan vagina buatan ; selanjutnya ditambahkan
larutan pengencer tertentu (air kelapa dan kuning telur) sebagai bahan energi/daya hidup
spermatozoa. Semen cair ini dapat disimpan atau dapat langsung digunakan pada sapi
potong atau jenis sapi lainnya melalui kawin suntik (inseminasi buatan/IB).
Tehnologi semen cair ini diharapkan mampu memberikan alternatif pengembangan wilayah
akseptor IB yang belum terjangkau oleh IB semen beku atau IB semen bekunya be m
maju. Di samping itu, biaya pembuatan semen cair lebih murah dan dapat dikerjakan oleh
Balai Inseminasi Buatan Daerah (BIBD) maupun kelompok peternak yang sudah maju ( ).
Hasil penelitian yang telah dilakukan di Loka Penelitian Sap Potong (LOLITSAPO-Grati –
Pasuruan) tentang kualitas semen segar dan yang telah di proses menjadi semen cair pada
sapi potong, kualitas semen cair hingga hari ke tujuh masih layak digunakan sebagai bibit
untuk diinseminasikan pada induk sapi potong (motilitasnya 65,0 ± 7,1% dan sperma hidup
79,0 ± 8,5%) dan masih memenuhi standar untuk proses pembuatan seme cair yaitu
motilitas sperma segar dan setelah pengenceran pada sapi adalah 65% dan 40%. Hasil uji
coba pada peternak di daerah kabupaten Pasuruan (kecamatan Wonorejo dan Nguling)
mencapai angka kebuntingan hingga di atas 70 % dan jum kawin sampai bunting ( )
sebesar 1-2 kali dengan biaya pembuatan semen cair dalam straw sebesar Rp 200.000,- per
18
100 straw (Rp 2.000,-/straw) (Affandhy, 2003; Affandhy ., 2004a). Selama ini pelaksanaan
teknologi IB di lapangan masih mengalami hambatan, S/C, angka kebuntingan dan
mahalnya biaya operasional (Yusran 2001; Affandhy ., 2002; Affandhy ., 2003), sehingga
teknologi alternatif ini diperlukan guna meningkatkan populasi dan mutu sapi potong serta
merupakan terobosan baru untuk memanfaatkan keberadaan sapi jantan unggul di setiap
wilayah perbib sapi potong yang akhirnya akan memperluas penyebaran bakalan sapi
potong.
Namun demikian dalam proses pembuatan semen cair pada sapi juga memiliki kelebihan
dan kekurangan dibandingkan dengan pada proses pembuatan semen beku. Kelebihan
semen cair adalah proses pembuatan mudah dngan bahan pengencer yang murah, dapat
dikerjakan oleh kelompok tani, motilitas dan sperma hidup lebih tinggi serta dapat
disimpan dalam suhu 5oC(kulkas) serta mudah diterapkan di lapang; sedangkan
kekurangannya adalah daya simpannya ang hanya sampai 10 hari setelah pemprosesan.
Dalam rangka penyebaran informasi bidang reproduksi ternak khususnya sapi potong,
maka teknologi semen cair ini perlu diinformasikan kepada pengguna antara lain petani
peternak, inseminator dan kelompok peternak melalui guna menambah pengetahuan atau
informasi teknologi tepat guna dalam bidang peternakan. Penanganan manajemen IB
dengan semen cair meliputi:
(1) Cara menyimpanan semen cair pada suhu dingin,
(2) pelaksanaan IB di lapang.
Pelaksanaan IB di lapang
Setelah terlihat tanda-tanda birahi; induk sapi ditempatkan pada kandang kawin dari bambu
atau besi dengan tahapan sebagai berikut:
19
Feses dikeluarkan dari lubang rectum melalui lubang anus dengan tangan kanan
Vulva dibersihkan dengan kain lap basah dan didesinfektan dengan cara
mengusapkan kapas berisi alkohol 70 %
Apabila servic uteri sudah terpegang, masukkan gun melalui vulva dorong terus
sampai melewati servic dan masuk ke dalam corpus uteri (1 cm dari servik)
Semen di dalam straw disemprotkan kedalam cornua uteri secara perlahan ditarik
gun sambil memijat cervik dan vagina dengan tangan kiri
Setelah selesai semua peralatan IB dibersihkan dan dilakukan rekording dengan
kartu IB guna memudahkan pencatatan selanju d tnya
Setelah 2 bulan perkawinan dilakukan PKB oleh petugas ATR atau PKB di lapng
20
2.3 Sistem Seleksi Pada Sapi dan Kerbau
a. Keputusan yang diambil oleh para pemulia pada tiap generasi untuk menentukan
ternak mana yang akan dipilih sebagai tetua pada generasi berikutnya dan yang mana
disisihkan sehingga tidak memberikan keturunan.
b. Menentukan apakah dari individu yang terpilih akan dibiarkan mempunyai banyak
keturunan, sedangkan yang lain hanya akan mempunyai beberapa keturunan saja.
Seleksi merupakan dasar utama dalam pemuliaan ternak. Akibat seleksi dalam populasi
adalah meningkatnya rataan dalam suatu sifat kearah yang lebih baik dan diikuti oleh
peningkatan keseragaman/homozigositas atau dengan perkataan lain penurunan keragaman
atau simpangan baku. Secara umum seleksi dapat dibagi atas dua macam, yaitu : a. Seleksi
alam (natural selection) dimana seleksi terjadi secara spontan akibat pengaruh alam. b.
Seleksi buatan (artificial selection); seleksi terhadap ternak/hewan yang dilakukan oleh
manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
Seleksi alam Digambarkan pada kejadian yang dialami oleh ternak-ternak liar yang
mampu meneruskan hidupnya pada kondisi alam yang berubah-ubah. Seperti adanya
musim yang berbeda, bencana alam ( seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir, dsb.),
musuh alam, keadaan pasture, temperature, penyakit dan parasit. Dalam hal ini dikenal
adanya istilah The survival of the fittest (yang kuat/mampu mengatasi pengaruh alam yang
berhasil hidup/berbiak). Seleksi alam merupakan proses yang kompleks dan banyak faktor
yang menentukan perbedaan antara individu dalam populasi seperti : mortalitas, periode
aktifitas seksual, fertilitas, dsb. Dengan adanya ternak yang berhasil mengatasi pengaruh
21
alam tersebut, maka secara tidak langsung alam telah menyeleksi ternak-ternak dalam
populasi tertentu.
Seleksi buatan Seleksi ini dilakukan oleh manusia, mana ternak yang dipilih untuk
diternakkan dan mana ternak yang tidak produktif lagi ditinjau dari kebutuhan dan tujuan
manusia itu sendiri. Dalam hal ini seleksi alam masih mempunyai pengaruh. Akibat seleksi
buatan adalah adanya perbedaan (dari segi kuantitatif dan kualitatif) breed dan tipe ternak
dalam suatu species.
METODE SELEKSI, Dalam melaksanakan seleksi untuk tujuan pemuliaan ternak ada
beberapa metode yang dikenal dan dilaksanakan oleh para pemulia ternak untuk
memperoleh performans yang maksimum dari populasinya, baik untuk ternak bibit maupun
ternak komersial. Seleksi sering tidak ditunjukkan terhadap satu macam sifat saja tetapi
terhadap beberapa macam sifat. Seleksi seharusnya kepada sifat-sifat yang betul betul
penting bila ditinjau dari segi ekonomi. Dalam praktek, sering seleksi tidak ditujukan
dalam satu kriteria saja, tetapi terhadap beberapa criteria. Sering pemulia menganggap
bahwa lebih dari satu sifat mempunyai nilai ekonomi yang sama penting. Sebagai contoh
pada domba: produksi wool dan produksi anaknya, pada sapi potong: kecepatan
pertumbuhan dan persentase karkas, pada sapi perah: produksi susu dan komposisinya,
pada babi: produksi anak, kecepatan pertumbuhan dan efisiensi penggunaan pakan. Sifat
yang betul-betul penting harus dipertimbangkan dengan seksama, karena seleksi secara
terus-menerus terhadap beberapa sifat dapat menurunkan diferensial seleksi. Ada empat
macam cara untuk melakukan seleksi terhadap beberapa macam sifat yaitu :
22
a. Tandem method Seleksi dilaksanakan secara bertahap dari beberapa
sifat/performans yang dipertimbangkan. Seleksi suatu sifat tertentu dilaksanakan dari
generasi ke generasi berikutnya secara kontinyu, sampai sifat tersebut mencapai performans
maksimal. Lalu dihentikan, dilanjutkan dengan seleksi sifat yang lain, juga secara kontinyu
dari generasi ke generasi, begitu seterusnya. Efektif apabila dilihat dari segi progress
masing-masing sifat yang dikehendaki. Efisiensinya tergantung pada korelasi genetik antara
sifat yang dikehendaki. Bila terdapat korelasi yang positif antara dua sifat maka dapat
dipilih sifat mana yang paling mudah dan murah dalam cara pengukurannya. Dengan
melakukan seleksi pada sifat tersebut maka sifat yang kedua dengan sendirinya meningkat
(Respon seleksi terkorelasi). Sebaliknya bila terdapat korelasi negative maka bila sifat
pertama meningkat sifat kedua akan menurun. Oleh karena itu perlu dicari titik
keseimbangan. Seleksi dengan cara ini adalah kurang efisien karena memakan waktu, tetapi
dapat dipergunakan untuk mengikuti selera konsumen.
23
daripada yang masuk 35 ranking atas berdasarkan jumlah anak. Begitu juga sebaliknya dari
yang dipilih sebanyak 20 ekor ranking atas, kemungkinan 15 ranking bawah jumlah anak
lebih banyak.
c. Index Selection Metode ini menyangkut penentuan nilai masing-masing sifat yang
diseleksi dan nilai-nilai ini akan memberikan sejumlah score (nilai) yang menjadi indek
ternak yang bersangkutan. Ternak dengan total score tertinggi (indeks) dipilih untuk tujuan
seleksi. Penting diperhatikan adalah masing-masing sifat memiliki koefisien (bobot) yang
berbeda-beda tergantung pada nilai ekonominya. Penentuan koefisien masing-masing sifat
dipengaruhi oleh banyak faktor menyangkut demand konsumen, harga pasaran, biaya
produksi, dsb. Sehingga penentuan koefisien secara kasar dapat diperkirakan berdasarkan
atas persentase saja dengan mengingat total koefisien semau sifat yang dipakai untuk
menentukan indeks adalah 1 atau 100%. Contoh : seleksi calon pejantan sapi Bali dari
populasi berdasarkan berat lahir dan berat sapih. Penentuan indek bobot sapih lebih tinggi
dari berat lahir karena berat sapih berhubungan dengan laju pertumbuhan sampai dewasa.
Misal koefisien berat lahir = 0,4 dan koefisien berat sapih = 0,6 Indeks = aX1 + bX2
X1 = berat lahir
X2 = berat sapih
b = koefisien berat sapih Maka indeks masing-masing sapi dapat dihitung : I = 0,4X1
+ 0,6X2 Contoh indeks pada beef cattle menurut Rice et.al (1970) adalah I = X1 + 7,72X2
X1 = berat sapih X2 = score tipe/konformasi
The equal-parent index Menentukan nilai pejantan dari data anak-anaknya dan data
induk (serupa dengan progeny test)
24
The Showing selection Banyak dilakukan di negara maju. Pada prinsipnya sama
dengan pemilihan para ratu kecantikan. Segi positif : Merupakan cara terbaik membentuk
tipe ternak tertentu Iklan terbaik bagi peternak yang akan menjual ternaknya Arena untuk
bertukar pengalaman antar peternak Rangsangan bagi peternak untuk perbaikan ternaknya
dengan cara membandingkan ternaknya dengan ternak lain. Segi negatif: Bisa terjadi
sterilitas sementara (obesitas) akibat penggunaan cara penggemukan untuk mendapat
konformasi ideal. Sering terjadi tindakan yang mengelabui para juri terhadap sifat-sifat
ekteriur yang dapat mengurangi nilai, padahal mungkin sifat itu menurun tetapi dihilangkan
dengan operasi. Ekteriur baik belum tentu produktivitasnya baik.
d. MPPA (Most Probable Producing Ability) Adalah suatu cara untuk menduga
kemampuan berproduksi seekor ternak selama masa produktifnya.
1. Metode MPPA
P-P)
Keterangan :
r = Angka pengulangan
P - P H)
25
Keterangan ERPA = Estimated Real Producing Ability
P H = Rataan produksi herdmatenya Jadi perbedaan MPPA dan ERPA adalah bahwa
pada MPPA, rataan produksi sapi betina diperbandingkan dengan produksi populasinya.
Sedangkan pada ERPA dibandingkan dengan produksi herdmatenya. Herdmate adalah
semua induk dalam suatu peternakan yang sama, yang beranak dalam waktu relative
bersamaan, tetapi bukan saudara tiri sebapak.
Kemajuan yang ingin dicapai oleh pemulia ternak dengan jalan breeding dan seleksi
adalah tergantung pada kemampuan untuk mendapatkan ternak-ternak yang mempunyai
genetic yang superior dan selanjutnya memberikan kesempatan pada ternak-ternak tersebut
untuk bereproduksi. Untuk mendapatkan ternak dengan genetic yang superior, metode
yang dipakai adalah dengan menduga Nilai Pemuliaan (Breeding Value) individu-individu
yang dinilai. Pendugaan Nilai Pemuliaan ditentukan oleh gen-gen dari tetua yang
diteruskan kepada anak-anaknya. Setiap anak akan menerima setengah gen secara acak
dari pejantan dan setengah dari induknya. Pendugaan nilai pemuliaan didasarkan atas
estimasi pengaruh seluruh gen individu yang diwariskan melalui amak-anaknya didalam
populasi kawin acak. Hardjosbroto mendefinisikan nilai pemuliaan sebagai suatu penilaian
mutu genetik ternak untuk suatu sifat tertentu yang diberikan secara relative atas dasar
kedudukannya didalam populasi.
SISTEM BREEDING
Upaya penting dalam pemuliaan disamping seleksi adalah sistem pembiakan (system
breeding). Pada cara-cara seleksi yang mempersoalkan individu atau kelompok mana
ternak yang mana yang akan dijadikan tetua pada generasi berikutnya, maka dalam system
pembiakan dipermasalahkan adalah individu atau kelompok ternak terseleksi mana akan
breeding atau dikawinkan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan terpenting dalam hal ini
adalah menghasilkan perubahan dalam susunan genetik ternak yang dimuliakan. System
breeding terbagi menjadi tiga kelompok utama yaitu:
26
1. Assortative mating (Biak setara).
Outcrossing
Upgrading
Crossbreeding
Crossing 2 breed
Crisscrossing
Rotational crossing
Line crossing
Extreme crossing
NILAI PEMULIAAN
Nilai Pemuliaan dari seekor ternak adalah sebuah gambaran nilai gen-gen ternak yang
bersangkutan untuk keturunannya (KINGHORN, 1992). Seleksi dilaksanakan biasanya
bertujuan untuk memilih tetua yang memiliki Nilai Pemuliaan paling tinggi dari semua
ternak yang tersedia, supaya keturunan dari tetua yang terseleksi mencapai rataan
performans setinggi mungkin. Seandainya dapat diketahui secara pasti Nilai Pemuliaan
sebenarnya (true breeding value) dari setiap ternak maka tujuan tersebut dapat dicapai
secara efisien dengan meranking ternakternak menurut true breeding value tersebut dan
memilih dari daftar teratas. Namun demikian, dalam praktek true breeding value dari
ternak-ternak tersebut tidak diketahui, yang ada hanya satu atau lebih petunjuk untuk true
breeding value itu. Petunjuk itu terdiri dari satu atau lebih ukuran performans (nilai
fenotipik) yang ada pada ternak itu sendiri atau pada saudaranya. Dengan menggunakan
petunjuk-petunjuk tersebut dapat diperkirakan true breeding value dari setiap ternak dan
27
kemudian ternakternak tersebut dapat diranking menurut estimated breeding value (EBV).
Dengan meranking ternak menurut EBV maka sebenarnya telah cenderung meranking
ternakternak tersebut menurut true breeding value. Lebih akurat perkiraan true breeding
value tersebut maka lebih akurat ranking yang telah dibuat tersebut (NICHOLAS, 1987).
Rumus umum untuk menghitung perkiraan Nilai Pemuliaan dari sumber informasi tunggal
menurut BOURDON (1997) adalah : I = b.x di mana : I = nilai indeks (predicted value)
b = koefisien regresi x = (PI - P) = deviasi dari rataan contemporary Nilai indeks (I)
adalah Nilai Pemuliaan dugaan yang terdiri dari beberapa bentuk, biasanya berupa
Estimated Breeding Value (EBV), Expected Progeny Difference (EPD) atau Most Probable
Producing Ability (MPPA). Koefisien regresi (b) merupakan regresi dari true value (BV,
PD atau PA) atas evidence (fakta) yang mengukur perubahan (expected) true value per unit
perubahan evidence. Nilai koefisien regresi tergantung pada sumber informasi catatan
produksi dan metode prediksi Nilai Pemuliaan. HARDJOSUBROTO (1994) memberikan
pengertian dari istilah EBV, EPD dan MPPA. Estimated Breeding Value (EBV) atau Nilai
Pemuliaan dugaan adalah hasil pendugaan dari Nilai Pemuliaan yang sesungguhnya yang
dihitung berdasarkan atas performans individu dan keluarga dekatnya dibandingkan dengan
performans populasinya. Expected Progeny Difference (EPD) atau Ramalan Beda Produksi
adalah ramalan perbedaan antara performans di kelak kemudian hari dari anak seekor
pejantan bila dibandingkan dengan performans populasinya. Most Probable Producing
Ability (MPPA) atau Penduga Kemampuan Berproduksi adalah suatu pendugaan dari
produksi ternak di masa mendatang yang didasarkan atas produksi sekarang dan di masa
yang lalu.
28
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Seleksi pada ternak kerbau dapat dikerjakan dengan metode seleksi yang biasa
digunakan pada sapi potong dan sapi perah. Seleksi dilaksanakan dengan maksud untuk
mendapatkan kemajuan genetik pada generasi selanjutnya. Beberapa kriteria seleksi yang
disarankan digunakan untuk kerbau meliputi angka reproduksi, kecepatan pertumbuhan
atau berat pada umur tertentu, kualitas karkas, kekuatan dan daya tahan kerja serta
temperamen. True breeding value dari ternak tidak dapat diketahui, yang dapat dilakukan
adalah menghitung estimated breeding value (EBV) berdasarkan petunjuk performans (nilai
fenotipik) yang ada pada ternak itu sendiri, saudara, progeni atau tetuanya.
3.2 Saran
Disarankan dalam menentukan metode perkawinan yang tepat disesuaikan dengan spesifik
lokasi atau kebutuhan petani setempat. Peternak untuk meningkatkan produksi ternak sapi
yang berkelanjutan harus memaksimalkan system perkawinan IB.
29
DAFTAR PUSTAKA
Ardika, N., Indrawati, R.R. dan Djegho, J. 2011. Parameter Genetik Sifat Produksi Dan
Reproduksi Sapi Bali Di Daerah Bali. Majalah Ilmiah Peternakan. 14: 1-4.
Affandhy,L. 2003. Pengaruh penambahan cholesterol dan kuning telur di dalam bahan
pengencer tris-sitrat dan air kelapa muda terhadap kualitas semen cair sapi potong.
Dalam: Pros. Seminar Nasional. Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang
Peternakan Bogor: 77-84.
Affandhy,L., D.M. Dicky, Aryogi. 2007. Manajemen Perkawinan Sapi Potong. Bogor.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Bahri, S., B. Setiadi, dan I. Inounu. 2004. Arah penelitian dan pengembangan peternakan
tahun 2005-2009. hlm. 6-10. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner, Bogor, 4-5 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor.
Handiwirawan, E. 2010. Seleksi Pada Ternak Kerbau Berdasarkan Nilai Pemuliaan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Mayulu, H., Sunarso, C.I. Sutrisno, dan Sumarsono. 2010. Kebijakan Pengembangan
Peternakan Sapi Potong di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan
30
Pertanian 29(1): 34-41.
Suhada, H. 2008. Estimasi Parameter Genetik Sifat Produksi Sapi Simmental di Balai
Pembibitan Ternak Unggul Sapi Potong Padang Mengatas Sumatera Barat. Tesis.
Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Umartha, B.A. 2005. Mengenal Karakteristik Sapi Aceh. Balai Pembibitan Ternak Unggul
(BPTU) Sapi Aceh Indrapuri, Aceh.
Usman, Batseba M.W. Tiro, dan Pagiyanto.2016. Karakteristik dan Sistem Perkawinan
Sapi Potong terhadap Peternak di Kabupaten Keerom, Papua. Prosiding Seminar
Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru. Hal. 1251-1258
Widya, P.B.P., Sumadi, Tety, H. Dan Hendra, S.2014. Seleksi Pada Sapi Aceh Berdasarkan
Metode Indeks Seleksi (Is) Dan Nilai Pemuliaan (Np). Majalah Ilmiah
Peternakan.17(3):101-106
31