Anda di halaman 1dari 16

Makalah

MAZHAB FIKIH DALAM ISLAM (AHL HADIST –AHL RA’YI)

Dosen Pembimbing:
Dr. Muji Mulia, S.Ag., M.Ag.

Kelompok : 3

Haryanda Al Viqy (180201112)


Kasma Wati (190201069 )
M. Zaki Saputra (190201001 )
Rohani (190201064)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, berkat rahmat dan hidayah Allah SWT kami dapat


menyelesaikan makalah yang berjudul “Mazhab Fikih Dalam Islam (Ahl Hadist –
Ahl Ra‟yi)” sehingga dapat terbit sesuai waktu yang diharapkan. Shalawat serta
salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad ‫ﷺ‬
. Para sahabat, serta
para pengikutnya sampai akhir zaman.

Penulisan makalah ini merupakan upaya untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Mazahib Islamiyah dan semoga dengan adanya makalah ini dapat
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga
dapat memperbaiki isi makalah ini. Disamping itu kami mengucapkan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini
berlangsung sehingga dapat terealisasikanlah makalah ini.

Penulisan makalah ini masih memiliki banyak kesalahan dan kekurangan.


Oleh karena itu pembaca untuk memberikan saran dan komentar yang kontruktif
sebagai perbaikan dan penyempurnaan untuk masa-masa yang akan datang dan
menjadikan makalah ini lebih baik lagi.

Jum‟at 15, Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 2
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 4
A. Mazhab Ahl Ra‟yi ........................................................................................ 4
B. Latar Belakang Munculnya Ahlul Ra‟yi ...................................................... 4
C. Metode Istinbath Hukum Ahlul Ra‟yi.......................................................... 5
D. Latar Belakang Ahlul Hadits ....................................................................... 6
E. Pengaruh madrasah Ahlul Ra‟yi terhadap hukum Islam (Ushul fiqih dan
Fiqih) ................................................................................................................... 9
BAB III.................................................................................................................. 12
PENUTUP ............................................................................................................. 12
H. KESIMPULAN .......................................................................................... 12
I. SARAN ...................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Al Qur‟an sebagai petunjuk bagi umat mengandung dasar-dasar akidah.


ahlak dan hukum. Penjelasan lebih lanjut diberikan kepada Rasulullah Saw
dengan sunnahnya sehingga sepanjang hidup beliau, hukum setiap kasus
dapat diketahui berdasarkan nash Al Qur‟an atau Al Sunnah. Namun, pada
masa berikutnya, masyarakat mengalami perkembangan pesat. Wilayah
kekuasaan Islam semakin luas dan para sahabat pun tersebar ke berbagai
penjuru daerah. Selain aktif dalam jihad dan dakwah, para sahabat
terkemuka juga mengemban tanggung jawab sebagai rujukan fatwa dan informasi
keagamaan bagi umat di daerah yang mereka datangi.

Kontak antara bangsa arab dan bangsa- bangsa lainnya di luar jazirah
Arab dengan corak budayanya yang beragam segera menimbulkan berbagai kasus
baru yang tidak terselesaikan dengan tunjukan lahir nash semata-mata. Untuk
menghadapi hal itu, para sahabat terpaksa melakukan ijitihad. 1 Untuk
memenuhi kebutuhan fatwa yang terus meningkat, mereka berusaha merumuskan
kaidah-kaidah sebagai pedoman dalam beijtihad. Dalam kenyataannya,
rumusan kaidah-kaidah tidak selalu sama antara seorang ulama dengan yang
lainnya. sejak masa sahabat kecil, telah muncul dua aliran yang berbeda
dalam sikap ijtihadnya, yakni Ahlul Hadis dan Ahlul Ra‟yi. 2

Corak dan pemikiran para ulama sangat dipengaruhi oleh adat istiadat
dankondisi sosial budaya setempat. Sistem berpikir ulama Fiqh pada suatu masa
juga dipengaruhi oleh corak pemikiran ulama terdahulu yang sebelumnya
menempati kawasan tersebut. Ketika perluasan Islam pada masa-masa
tersebut, antara lain mencapai daerah Hijaz, Mesir, Irak dan Syam, yang

1
Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam Dalam Mazhab Syafi‟i (Cet. I; Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 2001), Hlm. 3
2
Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam Dalam Mazhab Syafi‟i, Hlm. 4

1
pada masa-masa tertentu menjadi pusat kajian hukum Islam, pada awalnya
ditempati oleh tokoh-tokoh Fiqh sahabat dengan beragam metode ijtihad yang
dibawanya. Dengan demikian, lahirnya madrasah-madrasah fiqh, seperti Ahlul
Hadis dan Ahlul Ra‟yi pada era pasca sahabat merupakan warisan penting dari
Fiqh sahabat. 3

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,


maka yang menjadi masalah pokok dalam tulisan ini adalah, bagaimana corak
pemikiran Ahlul Ra‟yi dan Ahlul Hadis, maka penulis menguraikan beberapa
rumusan masalah.Adapun rumusan masalah yang penulis anggap penting
adalah sebagai berikut,

1. Bagaimana latar belakang munculnya ahlu Ra‟yi?


2. Bagaimana latar belakang munculnya ahlu Hadits?
3. Apa saja metode Istinbath Hukum Ahlul Ra‟yi

4. Apa saja metode Istinbath Hukum Ahlul Hadits?

5. Siapa saja tokoh-tokoh Ahlul Hadis pada masa tabi‟in?

6. Bagaimana pola pemikiran Ahlu Ra‟yi?


7. Bagaimana pola pemikiran Ahlul Hadis?
8. Bagaimana moderasi Ahlul Ra‟yi dan Ahlul Hadis?
9. Apa saja pengaruh Ahlul Ra‟yi dan Ahlul Hadis terhadap Hukum
Islam?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui latar belakang munculnya ahlu Ra‟yi.


2. Untuk mengetahui latar belakang munculnya ahlu Hadits.
3. Untuk mengetahui apa saja metode Istinbath Hukum Ahlul Ra‟yi.

4. Untuk mengetahui metode Istinbath Hukum Ahlul Hadits.


3
Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Cet. I; Bandung: CV Pustaka Setia, 2011)
Hlm. 269.

2
5. Untuk mengetahui siapa saja tokoh-tokoh Ahlul Hadis pada masa
tabi‟in.

6. Untuk mengetahui pola pemikiran Ahlu Ra‟yi.


7. Untuk mengetahui pola pemikiran Ahlul Hadis.
8. Untuk mengetahui moderasi Ahlul Ra‟yi dan Ahlul Hadis.
9. Untuk mengetahui pengaruh Ahlul Ra‟yi dan Ahlul Hadis terhadap
Hukum Islam.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Mazhab Ahl Ra’yi

a. Latar Belakang Munculnya Ahlul Ra’yi

Pada periode awal Islam, kecenderungan penggunaan Al-Ra‟yu sebagai


alat ijtihad sudah menjadi fenomena tersendiri. Hal ini dimaklumi
mengingat salah satu alat pokok untuk melakukan ijtihad adalah Al Ra‟yu. Secara
bahasa, Al-Ra‟yu berarti pendapat dan pertimbangan. Kata ini merupakan
bentuk masdhar dari wazan fa‟lin. Bisa juga berarti mengetahui dengan
keyakinan hati. Akan tetapi, yang paling lazim dalam makna awalnya, Al
Ra‟yu digunakan untuk menyebutkan pertimbangan yang matang dari akal
manusia. Oleh karena itu, tradisi arab menyebut Zu Ra‟yi bagi orang-orang yang
mempunyai pertimbangan dan kematangan mental.

Menurut Abdul Wahhab Khallaf dalam kitabnya, Al-Ijtihad bi al


Ra‟yi,bahwa secara harfiah kata Al Ra‟yu berarti perenungan secara
kontemplatif. Menurut Ahmad Hasan bahwa Al Ra‟yu adalah yang digunakan
untuk menghasilkan sesuatu yang dipertimbangkan dengan akal mengenai
masalah yang dihadapi, mempunyai konotasi yang sama dengan ijtihad.4

Dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa Al Ra‟yu


begitu penting dalam kehidupan, karena Al Ra‟yu sendiri merupakan bagian
dari tubuh manusia. Yaitu, yang lazim disebut dengan akal. Agar optimalisasi
akal dan rasio dapat dilaksanakan, maka akal atau rasio harus berlandaskan
pada asas yang mengantarkannya menuju tingkat pemahaman. Asas tersebut,
secara umum dikembalikan kepada faktor karakteristik wahyu atau kepada
karakteristik akal. Ketimpangan yang terjadi pada asas, akan memberikan
efek kepada sisi ketimpangan dalam segi pemahaman.

a. Macam-Macam Ahl Ra‟yi


4
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Cet.I; Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), Hlm. 16.

4
macam-macam Al Ra‟yu. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah membagi Al Ra‟yu kepada
dua macam, yaitu:

1. Al Ra‟yu al Bathil, yaitu pendapat yang didasarkan kepada hawa nafsu dan
tidak boleh diamalkan atau dijadikan hujjah dalam menyelesaikan masalah.

2. Al Ra‟yu al Shahih, yaitu pendapat yang diperoleh dengan berdasarkan


pemikiran yang mendalam tentang dalil-dalil Syara‟. Al Ra‟yu seperti inilah
yang disebut dengan ijtihad.5

B. Metode Istinbath Hukum Ahlul Ra’yi

Mazhab imam Hanafi merupakan nama dari kumpulan pendapat yang berasal
dari Imam Abu Hanifah dan murid-murinya serta perluasan pemikiran yang
kesemuanya itu merupakan hasil dari metode ijtihad para ulama-ulama Irak
(Ahlul Ra‟yi). Dalam meng-istinbat-kan hukum syara‟, Abu Hanifah
mengambil patokan sebagai berikut:

1. Tentang Al-quran

a. Qiraat syazzab (bacaan Alquran yang tidak mutawatir adalah hujjah,


yaitu dapat dijadikan dalil.

b. Dalalah lafadz‟ amm (umum) statusnya qat‟I selama belum di-takhsis-


kan.

c. Larangan (An Nahyu) tidak mengakibatkan batalnya pekerjaan yang


dilarang.

d. Mafhum mukhalafah tidak dipandang sebagai hujjah.

e. Mutlaq dan muqayyad yang berbeda sebab huumnya, masing-masing


mempunyai dalalah tersendiri.

b. Sunnah dianggap hujjah manakala

a. Diriwayatkan oleh jama‟ah (orang banyak) dari jama‟ah (mutawatir),

5
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Cet.I; Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), h.16

5
b. Telah diamalkan oleh para ahli fiqih yang kenamaan,

c. Diriwayatkan oleh seorang sahabat dihadapan sekelompok sahabat, dan


tidak seorangpun dari kalangan mereka mereka yang menyanggahnya.
Kenyataan seperti ini dipandang sebagai pembenaranmereka yang seolah-
olah mereka turut meriwayatkan hadis tersebut.

d. Habar ahad (hadis yang diriwayatkan oleh seorang) dapat dipandang


sebagai hujjah jika rawinya seorang ahli fiqih.

e. Memandang istihsan sebagai salah satu dalil yang mu‟tabar setelah


Alquran, sunah Rasul, ijma‟, dan qiyas.

Menurut (Ismatulah: 2011) secara teoritis, metode ijtihad yang dilakukan


oleh Abu Hanifah dalam banyak literatur ushul fiqih, secara berurutan yaitu
Alquran, hadis Nabi saw, ijma‟, qiyas, istihsan, dan „urf. Walaupun begitu, imam
Abu Hanifah lebih banyak menggunakan porsi Al Ra‟yu daripada hadist ketika
melakukan ijtihad. Dalam praktiknya, Abu Hanifah menempatkan qiyas dan ijma‟
(yang muatan Al Ra‟yu- nya kuat) lebih dominan. di samping itu qiyas dan ijma‟
yang bisa dibilang cukup dominan, imam Abu Hanifah juga menggunakan
istihsan, yang pada prinsipnya merupakan resultante dari Al Ra‟yu itu sendiri.

B. Ahlul Hadits

a. Latar Belakang Ahlul Hadits

Ahlul hadist berdirinya masa pemerintahan Umar bin Khattab, daerah


wilayah daulah Islam bertambah luas. Hal ini menyebabkan tersebarnya para
sahabat dan para tabi‟in ke berbagai kota untuk menjadi hakim dan mufti.
Masyarakat setempat belajar kepada mereka urusan-urusan agama dana
dari mereka pula masyarakat mempelajari Alquran dan hadis serta
memahaminya. Walaupun di kala itu masyarakat telah mempunyai
kebudayaan-kebudayaan lain yang mempengaruhinya, namun para fuqaha
dapat menimbulkan pengaruh baru. Karena itu dapat dipahami bahwa
penyebab yang mempengaruhi perkembangan fiqih di daerah-daerah itu.

6
Pertama, lingkungan. Kedua, sistem atau metode yang ditempuh para fuqaha
dalam menyingkap hukum.

b. Metode Istinbath Hukum Ahlul Hadis

Dalam mengisthinbatkan suatu hukum syar‟i, Malik bin Anas membuat


patokan terlebih dahulu, kepada Nash, (Kitabullah dan sunnah mutawatir),
Zahir nash, Dalil nash (mafhum mukhalafah), Amalan (perbuatan Ahlul
Madinah), Khabar ahad, Ijma‟, Fatwa salah seorang sahabat, Qiyas, Istihsan,
Saddu Zara‟i, Mura‟ah Al Khilaf (menghormati perbedaan pendapat),
Isthishab,Masalib mursalah, serta Syariah sebelum Islam.

Di antara patokan-patokan tersebut, yang tidak ditempuh oleh mujtahid lain


adalah :

1. Sebagaimana abu hanifah, imam malik membuat syarat yang berat untuk
menerima sebuah hadis. Imam malikdapat menerima khabar ahad
walaupun berlawanan dengan qiyas atau amal perbuatan perawi asalkan
sanadnya sahih atau hasan.

2. Imam Malik memandang bahwa amal perbuatan ahlul hadistialah hujjah,


yang bisa dijadikan dalil. Bahwa ia mendahulukannya atas qiyas dan
khabar ahad. Hal ini, karena menurut beliau, amal perbuatan masyarakat
Madinah menduduki riwayat orang banyak atau berjamaah.

3. Imam malik memandang qaulu shahabi (fatwa seorang sahabat)


didahulukan atas qiyas, bukan hanya dapat dijadikan dalil saja. Hal ini
berlaku untuk qaulu shahabi yang sah sanadnya, sahabat tersebut terkenal
dari kalangan sahabat, dan fatwa yang disampaikan tidak bertentangan
dengan sunnah rasulullah saw. yang sahih.

4. Maslahah Al Mursalah merupakan sifat yang diduga dapat membawa


maslahat bagi umat. Namun ketegasan dari Al-Qur'an tidak ada untuk
menerima atau menolak maslahah Al Mursalah.Sehingga Mursalah ini
diartikan dengan terlepas.

7
Para Ahlul Hadis misalnya Imam Malik dan rekan-rekannya berpegang kepada
hadis-hadis yang dipandang kuat oleh ahli fiqih Madinah tanpa adanya
perselisihan di antara mereka. Serta meninggalkan hadis ahad yang dianggap
bertentangan dengan amalan ahli fiqih Madinah.(Irfan:2012) memaparkan bahwa
beberapa ulama meriwayatkan Imam Malik pernah berkata: “Saya tidak akan
memberikan fatwa dan meriwayatkan hadis, sehingga tujuh puluh
ulamamembenarkan dan mengakui.” Arttinya bahwa segala masalah yang
difatwakan oleh Imam Malik kepada orang lain setelah disaksikan oleh tujuh
puluh orang ulama, dan mereka itu menetapkan dan sepakat, bahwa memang
beliau seorang yang ahli dalam masalah yang difatwakannya tersebut.

c. Tokoh-tokoh Ahlul Hadis pada masa tabi’in

Ulama Madinah yang tergabung dalam kelompok Ahlul Hadis tidak diketahui
jumlahnya secara pasti karena tidak pernah ditemukan catatan khusus. Akan
tetapi, di antara mereka ada yang termasuk pada “tujuh orang ulama Madinah”
yang disebut Al Fuqaha Al Sab‟ah, yaitu:

1) Said bin Musayyab

2) Urwah bin Zubair

3) Abu Bakar bin Abdurrahman bin Muhammad Al Masyumi

4) Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Abdullah bin Mas‟ud

5) Kharijah bin Said bin Tsabit

6) Al Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar

7) Sulaiman bin Yasar

Ketujuh ulama yang termasuk generasi pertama dalam komunitas Ahlul


Hadis tersebut membina dan melahirkan generasi kedua, yaitu: Abdullah bin
Abdullah bin Umar, Salim bin Abdullah bin Umar, Aban bin Ustman bin
Affan, Abu Salamah bin Abdurrahman bin A‟uf. Generasi kedua membina
kader- kadernya yang kemudian menjadi generasi ketiga, yaitu, Abu Bakar bin
Muhammad bin „Amr bin Hazm, Muhammad bin Abu Bakar, Abdullah bin

8
Abu Bakar, Abdullah bin Ustman bin Affan. Kemudian, mewariskan ke
generasi selanjutnya.6

C. Pengaruh Ahlul Ra’yi dan Ahlul Hadis terhadap Hukum Islam

1. Pengaruh madrasah Ahlul Ra’yi terhadap hukum Islam (Ushul fiqih dan
Fiqih)

Adanya perbedaan istinbath hukum antara Ahlul Ra‟yi dan Ahlul Hadis tentu
mempengaruhi penetapan hukum suatu masalah. Adapun pengaruh Ahlul Ra‟yi
terhadap hukum Islam, dalam hal ini Ushul fiqih dan fikih, misalnya dalam
penggunaan istihsan. Mengenai istihsan, Abu Hanifah terlalu maju melangkah
ke depan dalam menetapkan hukum Islam. Contoh kasus :

1) Menurut mazhab Hanafi, bila seseorang mewakafkan sebidang


tanah pertanian, maka termasuk yang diwakafkannya itu hak
pengairan dan hak membuat saluran air di atas tanah itu. Hal ini
ditetapan berdasarkan Istihsan. Berdasarkan qiyas jali (jelas illat-
nya), hak-hak tersebut tidak diperoleh, karena di-qiyaskan kepada
jual beli.7

2) Fuqaha Hanafiyyah menyebutkan, bahwasanya sisa minuman


burung yang buas, seperti burung nasar, burung gagak, burung
elang, burung rajawali, adalah siuci berdasarkan istihsan, dan najis
berdasarkan qiyas. Segi peng- qiyasan-nya adalah bahwasanya ia
merupakan sisa minuman binatang yang dagingnya haram
dimakan, sebagaimana sisa minuman binatang buas seperti
harimau, macan tutul, singa, dan serigala. Hukum sisa makanan
binatang mengiuti hukuman dagingnya. Sedangkan dari segi
istihsan-nya ialah bahwasanay jenis burung yang buas, meskipun
dagingnya diharaman hanya saja air liurnya yang keluar dan
dagingnya tidaklah bercampur dengan sisa minumannya karena ia

6
Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, h. 336.
7
Irfan, Muqaranah Mazahib fil Ibadah (Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 21.

9
minum dengan paruhnya padahal, ia adalah tulang yang suci.
Adapun binatang buas, maka ia minum dengan lidahnya yang
bercampur dengan air liurnya. Oleh karena inilah, maka sisa
minumannya najis.8

2. Pengaruh madrasah Ahlul Hadis terhadap hukum Islam (Ushul fiqih dan
Fiqih)

Madrasah Ahlu Hadist memegang kajian hadis dan mengumpulkannya, namun


menjadi sebab yang tidak langsung timbulnya hadis-hadis palsu. penyebabnya
ialah karena para pemuka ahlu hadis ini, tidak memecahkan persoalan yang
tidak ada nash-nya (hadisnya), maka sebagian masyarakat yang tidak merasa
keberatan membuat hadis palsu, dengan tujuan untuk menguatkan
pendapatnya. Akan tetapi hal seperti itu tidak mempengaruhi fiqh sama sekali
dikarenakan karena para ulama ahlu hadist sangat meneliti mana hadis yang
shahih dan man yang tidak sahih (palsu). Adanya faktor sosio kultural yang
mempengaruhi, ahlu hadist sangat berpegang pada tradisi yang ada dan
berkembang dalam masyarakat Madinah. Hal ini tergambar dari sikap yang
menolak periwayatan hadis yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad ‫ﷺ‬
.

Aliran ahl-al-ra‟y dan Ahl al-Hadis tumbuh dan berkembang pesat


seiring dengan perkembangan dunia islam yang mengalami masa
kemajuannya yang pertama, Khususnya Dalam bidang pengetahuan dan
filsafat, tepatnya pada masa kekhalifahan depegang oleh Diasti
Abbasiyyah.dimasa inilah mulai timbul usaha menterjemahkan dan
mengembangkan beragamilmu pengetahuan dan falsafah Yunani.
Gerakan tersebut dimulai dari awal pemerintahan „Abasiyyah pasa masa
Khalifah al-Mansyur (w. 775 M.) tetapi mencapai puncaknya pada masa
pemerintahan khalifah HArun al-Rasyid (w.809m.) dan al-Makmun (w.833
M.).

8
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Terj. Muhammad Zuhri dan Ahmad Qarib, (Cet. I;
Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), h. 112.

10
Perbedaan antara Ahlul Ra‟yi dan Ahlul Hadis adalah cara menerima dan
menyikapi hadis. sebagian ada yang berhujjah dengan suatu hadis, sebagian lagi
tidak. Sebagian memandang bahwa hadis tersebut kualitasnya kuat dan dan bagus,
sebagian lainnya menganggapnya lemah. Perbedaan-perbedaan seperti ini
menyebabkan hukum-hukum yang mereka tetapkan juga berbeda- beda.9 Adapun
cara ahli fiqih hijaz dalam menetapkan hukum islam ialah dengan memahami
hadis-hadis sesuai dengan tekstualnya tanpa menganalisis mengenai illat hukum
dan prinsip-prinsipnya. Kalau mereka mendapati apa yang mereka pahami dari
nash itu tidak sesuai dengan kehendak akal pikiran, maka mereka tidak
memperdulikan hal tersebut dan mereka mengatakan itu adalah nash. Mereka
tidak memakai analisis rasional kecuali pada waktu darurat saja.Dengan cara
seperti ini mereka telah mempersempit lapangan ijtihad dan secara tidak langsung
telah menutup pintu ijtihad dikalangan umat islam.

9
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perembangan Hukum Islam,Terj. Wajidi Sayadi,
h. 94.

11
BAB III

PENUTUP

A.KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan di atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan


bahwa, Pola pemikiran ahlul ra‟yu pada masa tabi‟in dikarenakan para tabi‟in
mengikuti pemikiran Abdullah bin Mas‟ud dan lingkungan geografisnya
kebanyakan menetapkan hukum melalui akal rasional dengan mengijtihadkan
hukum dengan berpedoman Al-Qur‟an dan Al-Hadist. Pola pemikiran ahlul hadist
pada masa tabi‟in dikarenakan keadaan permulaan perkembangan Islam,
manakala mereka diminta berfatwa tentang suatu masalah, maka terlebih dahulu
mereka memeriksa Kitabullah, kemudian sunnah Nabi ‫ﷺ‬ , kemudian Fatwa
sahabat dengan dasar yang sama yakni mengikuti guru mereka. Adapun dengan
perkembangannya ahlu hadist, mereka menginstimbatkan hukum melalui Nash,
(Kitabullah dan sunnah mutawatir), Zahir nash, Dalil nash (mafhum mukhalafah),
Amalan (perbuatan Ahlul Madinah), Khabar ahad, Ijma‟, Fatwa salah seorang
sahabat, Qiyas, Istihsan, Saddu Zara‟i, Mura‟ah Al Khilaf (menghormati
perbedaan pendapat), Isthishab,Masalib mursalah, serta Syariah sebelum Islam

B. SARAN

Dalam pembuatan makalah ini, kami menyadari bahwa masih banyak terdapat
kekurangannya, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari dosen
pembimbing dan teman-teman agar penulisan makalah kami lebih baik lagi ke
depannya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud.1990. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata

Hukum Islam di Indonesia.Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Irfan. 2012. Muqaranah Mazahib fil Ibadah. Cet. I; Makassar: Alauddin

University Press.

Khallaf, Abdul Wahab. 2002. Sejarah Pembentukan dan perkembangan Hukum

Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Ismatullah, Dedi. 2011. Sejarah Sosial Hukum Islam. Cet. I. Bandung: CV

Pustaka Setia.

Dahlan, Abdurrohman. 2010. Ushul Fiqih. Jakarta; Amzah

Nurul Fathikhin, Setyaningsih, dkk. Pola Pemikiran Ahlu Hadist dan Ahlu Ra'yu

DalamPembentukan Hukum Islam Pada Masa Tabi'in. Surabaya: Sunan

Ampel State Islamic University.

13

Anda mungkin juga menyukai