Anda di halaman 1dari 63

DIKTAT

ILMU LINGKUNGAN TERNAK

Oleh:
Maksudi, Ph.D.
Dosen Ilmu Lingkungan Ternak

Fakultas Peternakan
UNIVERSITAS JAMBI
2014

Tidak dikomersialkan
Hanya untuk lingkungan sendiri
KATA PENGANTAR

Atas berkah dan rakhmat Alloh swt., Tuhan Yang Maha Esa, diktat bahan ajar
“Ilmu Lingkungan Ternak” ini dapat kami persiapkan dalam bentuk print out dan soft copy
atau file yang dapat dikopi oleh mahasiswa di lingkungan Fakultas Peternakan Unja. Tidak
lupa, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama kepada mahasiswa yang
secara kooperatip telah mendorong dan membantu sehingga terwujudnya diktat ini.
Diktat ini khususnya diperuntukan bagi mahasiswa yang mengambil mata kuliah
“Ilmu Lingkungan Ternak” sebagai bahan ajar/kuliah, sehingga diharapkan dapat
mempermudah/membantu pemahaman materi yang disajikan. Diktat ini kami persiapkan
untuk tidak dikomersialkan oleh siapapun, sehingga bagi yang membutuhkan dapat
mengkopi dan dilarang memperbanyak dalam bentuk apapun dengan tujuan untuk mencari
keuntungan. Diktat ini dipersiapkan terutama memuat materi yang sesungguhnya
berkembang secara dinamis, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk menambah
sesuai dengan perkembangan yang ada.
Akhirnya, saya mohon maaf atas semua kesalahan dan kekurangan kepada semua
pihak dalam mewujudkan Dasar Fisiologi Ternak, dan sekaligus memohan saran dan kritik
untuk perbaikan bersama kedepan.

Jambi, 14 Oktober 2014

Maksudi Ph.D.

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii

I. PENDAHULUAN..............................................................................................................3

II. IKLIM DUNIA..................................................................................................................4

III. GAS RUMAH KACA, PEMANASAN GLOBAL DAN PERUBAHAN IKLIM..........9

IV. SIKAP DUNIA DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM.............................16

V. KONSEP HOMEOTHERMI, ENERGETICS DAN HEAT BALANCE.......................20

VI. INDEK KENYAMANAN SEBAGAI ALAT UKUR LINGKUNGAN IDEAL

TERNAK..............................................................................................................................27

VII. ADAPTASI TERNAK PADA LINGKUNGANNYA.................................................33

VIII. LINGKUNGAN UDARA, AIR DAN TANAH.........................................................40

IX. MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH (CLEAN DEVELOPMENT

MECHANISM) PADA PETERNAKAN..............................................................................54

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................61

4
I. PENDAHULUAN

Mata kuliah “Ilmu Lingkungan Ternak” adalah mata kuliah wajib PS Produksi
Ternak, dengan Fisiologi Ternak sebagai mata kuliah prasyarat. Mata kuliah ini tergolong
baru di lingkungan Fakultas Peternakan Unja. Walaupun demikian, mata kuliah ini
menjadi sangat penting karena perkembangan di Dunia yang secara umum selalu
menekankan pentingnya pembangunan yang ramah lingkungan dan berkesinambungan.
Diktat Ilmu Lingkungan Ternak ini dimulai dari bab iklim dunia yang
menggambarkan secara umum pembagian iklim dunia terutama yang terkait dengan
kehidupan ternak. Selanjutnya pada bab berikutnya membicarakan tentang isu global
terkait dengan perubahan iklim dunia yang disebabkan oleh pemanasan global (global
warming) yang disebabkan oleh gas rumah kaca. Anomali perubahan iklim juga dibahas
secara ringkas untuk menggambarkan penyimpangan iklim akibat pemanasan global
tersebut, termasuk membahas sikap dunia terhadap perubahan tersebut.
Secara umum diketahui bahwa lingkungam secara sangat terkait dengan
produktivitas ternak. Unsur-unsur iklim seperti suhu lingkungan secara khusus dibahas
pada bab thermoregulasi untuk menggambarkan bagaimana pengaruhnya terutama secara
fisiologis terhadap ternak. Adaptasi ternak sebagi respon terhadap lingkungannya
merupakan bagian penting lainnya yang secara terperinci dibedakan diantara species
ternak. Tentunya tidak lengkap apabila polusi di lingkungan peternakan tidak menjadi
bahan kajian pada buku diktat ini. Seperti diketahui bahwa masalah lingkungan yang dapat
berdampak pada masalah sosial yang lebih luas disebabkan oleh masalah polusi udara/bau
dan air.
Akhirnya, model pembangunan bersih (clean development mechanism) kiranya
dapat dijadikan sebagai solusi sebagian masalah yang timbul pada dunia peternakan.
Dengan contoh model yang sangat sederhana dan telah umum di lakukan oleh masyarakat,
diharapkandapat memotivasi mahasiswa khususnya untuk terciptanya inovasi baru yang
lebih advance/unggul dimasa yang akan datang. Seperti kita ketahui krisis global salah
satunya adalah dipicu oleh masalah lingkungan dan lebih dalam lagi oleh semakin
berkurangnya sumber energi, sehingga harus menciptakan sumber energi yang terbarukan.
Dunia peternakan harus dapat ikut membantu memecahkan masalah ini.

5
II. IKLIM DUNIA

Iklim dunia secara umum dibagi:


A. Tropis
B. Subtropis
C. Dingin (temperate)
D. Artik (arctic/kutub)
Pada masing-masing daerah iklim tersebut bervariasi atau mempunyai pembagian
mikroklimat (iklim mikro) tersendiri. Paling umum dibicarakan iklim dunia dalam
pembagian yang lebih sempit lagi hanya menjadi: tropis, subtropis dan dingin. Variasi pada
masing-masing daerah iklim ditentukan oleh adanya perbedaan garis lintang (latitude),
ketinggian (altitude), penyebaran daratan dan air, topografi daratan, arus laut, angin, curah
hujan dan vegetasi. Kombinasi dari berbagai macam unsur pembeda tersebut menghasilkan
variasi mikroklimat (iklim dalam area/wilayah yang sempit), dapat juga dikatan dari suatu
lokasi ke lokasi lain berbeda mikroklimatnya. Pada daerah tropis yang sangat kering tepat
pada garis equator (khatulistiwa), seperti beberapa daerah di Afrika mempunyai variasi
temperatur sepanjang tahun yang lebih sedikit/sempit.
Secara umum iklim adalah merupakan kombinasi unsur-unsur temperatur (suhu),
kelembaban (humidity), curah hujan, arah dan kecepatan angin, dan intensitas penyinaran
(radiasi) matahari. Secara khusus Holdridge (1959) dalam bukunya Johnson (1987)
membuat pembagian iklim berdasarkan latitude, altitude, curah hujan dan suhu udara
menjadi seperti terlihat pada Gambar 1, dan menyebutnya dengan ‘Life Zone Ecology’
terkait dengan kehidupan ternaksbb:
1. Equatorial humid low latitude climate (iklim tropis basah equatorial); daerah ini
paling berdekatan dengan equator (low latitute). Daerah ini ditandai dengan suhu,
curah hujan dan kelembaban yang relatif sama sepanjang tahun. Suhu rata-rata
27oC, dengan curah hujan 2032 – 3048 mm dalam satu tahun. Walaupun hujan
terjadi sepanjang tahun, ada musim penghujan yang sangat basah dan musim kering
(kemarau) yang sedikit hujannya. Terkait dengan produktivitas ternak, pada zone
ini ternyata produktivitas ternaknya rendah, bahkan untuk ternak asli menunjukkan
produktivitas yang rendah dengan ditandai diantaranya fertilitas, pertumbuhan, dan
produksi susu yang kurang baik.

6
Gambar 1. Pembagian iklim Dunia berdasarkan Holdridge (1959).

2. Equatorial Climate (Iklim tropis equator)


Daerah ini terletak antara garis 5olintang utara dan 7olintang selatan. termasuk
daerah ini diantaranya adalah; Kongo, Pantai Gading, Malaysia, Indonesia, New
Guinea, bagian selatan Philipina dan daerah aliran sungai Amazon di Brazil dsb.
Daerah ini ditandai dengan kelembaban tinggi yang merupakan faktor dominan
disamping panas. Hal ini menyebabkan rendahnya produktivitas ternak. Sebagai
hasil evolusi dan bentuk adaptasi hewan ternak yang ada dapat dilihat pada tenak
native (asli) dengan ciri ukuran badan kecil, pertumbuhan lambat, dan produksi
susu yang sedikit. Semua ini kondisi ini sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi
lingkungannya, untuk menghasilkan keseimbangan panas (heat balance) yang baik.
Disisi lain sebetulnya pakan selalu tersedia sepanjang tahun, walaupun kandungan
serat dan airnya tinggi.
Sebagi catatan, daerah dengan kondisinya ini sebetulnya sangat tidak cocok
untuk import ternak dari daerah dingin karena akan menjadi masalah besar dalam

7
beraklimatisasi dan adaptasinya terhadap kondisi iklim dan pakan yang ada di
daerah tropis ini.

3. Humid Subtropical Climate (Iklim subtrapis lembab).


Hampir sama dengan daerah tropisyang lainnya. Daerah ini ditandai dengan suhu,
kelembabn dan curah hujan yang tinggi, dan cakupan wilayahnya lebih luas.
Daerah iklim ini dibagi tergantung posisi matahari dari waktu ke waktu yaitu:
kering sejuk, kering panas dan basah panas. Stress ternak tidak separah dibanding
di daerah tropis lainnya karena bulan-bulan panasnya berkurang, tetapi ketersediaan
pakan ternak sifatnya musiman, sehingga membatasi ketersediannya.

4. Humid Continental Climate (Iklim basah di daerah kontinen/benua)


Wilayahnya meliputi belahan bumi utara dan selatan yang tertutup oleh hutan
dengan kelembaban tinggi. Daerah ini lebih bervariasi iklimnya dibanding No 3.
Hujan hanya terjadi dalam jangka waktu yang pendek, tetapi keringnya
panjang/lama. Variasi suhunya juga lebih banyak, dengan musim panas yang sangat
panas karena panjang harinya lebih lama tapi hanya terjadi beberapa bulan dan
terjadi musim dingin. Stress ternak di daerah ini jauh lebih berkurang dibanding
daerah tropis karena musim panasnya jauh lebih pendek. Ketersediaan pakan ternak
sifatnya sangat musiman. Penyakit epizootika menjadi masalah di daerah ini, tetapi
parasit internal dan external lebih mudah dikontrol.

5. Dry Climate,semi arid(Iklim kering)


Daerah iklim ini ditandai dengan kelembaban yang rendah sepanjang tahun, dimana
curah hujan rendah, dan musim kering yang panjang. Suhu harian dan musim
sangat bervariasi/fluktuasi. Kondisi udaranya panas dikarenakan langit yang selalu
cerah dan kering. Total curah hujan/tahun berkisar antara 254 sampai 508 mm (10
sampai 20 inchi). Daerah ini meliputi daerah gurun di Afrika, India bagian Barat,
Australia bagian Utara, dan beberapa daerah di bagian utara, tengah dan selatan
Amerika. Daerah ini sebetulnya baik untuk produktivitas ternak terutama domba,
kambing dan unta, tetapi pakan dan produk pertanian secara umum sangat kurang
dan juga air. Penyakit epizootika juga menjadi masalah di daerah ini tetapi parasit
internal dan external mudah dikontrol.

8
6. Dry Climate, arid, desert (iklim kering gurun)
Daerah bagian selatan gurun Sahara, daearh bagian barat daya Saudi Arabia, pantai
utara Chile. Daerah ini ditandai dengan altitutude rendah, suhu extrem panas dan
dingin antara 0 sampai 52oC, dan tidak ada hujan tertentu pada musimnya. Sedikit
sekali jumlah dan jenis ternak yang hidup di daerah ini.

7. Montane Region (daerah pegunungan)


Daerah pada umumnya terletak di daerah tropis dengan ketinggian antara 305
sampai 1524 m.Ketinggian mempengaruhi musim dalam 4 cara: Pertama, rataan
suhu tahunan berkurang 1,7 oC setiap kenaikan 305 m; Kedua, semakin tinggi
altitude semakin bervariasi musimnya karena perbedaan suhu menjadi semakin
bervariasi. Ketiga, hujan juga semakin banyak dengan bertambahnya ketinggian.
Keempat, semakin tinggi altitude semakin rendah tekanan udaranya, dan menjadi
separohnya pada ketinggian 5486 m (0 m = 760 mmHg). Dengan beberapa variasi
kondisi iklim yang menguntungkan, seperti suhu dan kelembaban yang tidak terlalu
tinggi sangat menguntungkan untuk pemeliharaan ternak.

Indonesia masuk wilayah No. 2 yaitu iklim tropis equatorial, secara umum dibagai
menjadi 2 dua musim:
a. Musim Kemarau/Kering
o Terjadi antara bulan April sampai Oktober
o Matahari ada di belahan Utara Equator/Katulistiwa
o Tekanan udara di bagian Selatan/Australia lebih tinggi, dan sebaliknya rendah di
Utara Equator/Samudra Pasifik
o Angin Muson/Musim Tenggara, sedikit membawa uap air sehingga tidak
terjadi/sedikit hujan.

b. Musim Hujan/Basah
o Terjadi antara bulan Oktober sampai April
o Matahari ada di belahan Selatan Equator/Katulistiwa
o Tekanan udara di bagian Utara Equator/Samudra Pasifik lebih tinggi, dan
sebaliknya rendah di Selatan/Australia
o Angin Muson/Musim Timur Laut, banyak membawa uap air
sehinggamendatangkan hujan.
9
III. GAS RUMAH KACA, PEMANASAN GLOBAL DAN
PERUBAHAN IKLIM

Perubahan iklim Dunia akibat pemanasan global (global warming) yang dibabkan
oleh gas rumah kaca (GRK) sudah menjadi isu global artinya setiap negara telah
menyadari akan terjadinya perubahan dan dampak yang ditimbulkan akibat perubahan
iklim tersebut. Fenomena perubahan iklim akibat pemanasan global diantaranya ditandai
dengan telah terjadinya peningkatan suhu permukaan bumi dan akan terus terjadi pada
tahun-tahun mendatang. Prediksi IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change/Panel
antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim) dalam laporannya pada April 2007 menyatakan,
bahwa telah dan akan terjadi peningkatan suhu bumi antara 3–5 0C per 100 tahun. Di
Indonesia, kenaikan rata-rata suhu tahunan antara 1970 sampai 2004 berkisar 0,1–1,0 0C.
Secara global, kenaikan berkisar 0,740C, dan diramalkan pada 2050 dengan meningkatnya
konsentrasi GRK, kenaikannya menjadi dua kali lipat.
Peningkatan suhu akibat pemanasan global ini pada gilirannya akan mengubah pola
iklim yang sudah ada. Unsur-unsur iklim seperti kenaikan suhu permukaan bumi, akan
meningkatkan penguapan air laut yang pada gilirannya akan mengubah intensitas dan pola
curah hujan. Pada saat yang sama, kenaikan/penurunan tekanan udara di daerah/wilayah
tertentu mengakibatkan pola angin yang sudah ada menjadi berubah, yang berarti
mengubah pola hujan di seluruh dunia. Kenaikan suhu permukaan bumi juga
mengakibatkan peningkatan evaporasi dan evapotranspirasi yang akan mengurangi
ketersediaan air sehingga mengakibatkan kekeringan yang lebih parah pada wilayah
tertentu. Fenomena La Nina yang kita alami adalah anomali/penyimpangan iklim yang
berakibat pada musim hujan berkepanjangan. Disisi lain, El Nino yaitu musim kemarau
berkepanjangan yang juga kita alami, adalah contoh langsung penyimpangan iklim yang
bisa dirasakan dan mungkin akan kita alami terus ditambah dengan fenomena alam
lainnya. Selanjutnya, kekeringan, banjir dan gagal panen dsb yang semakin sering terjadi
merupakan akibat berikutnya.
Bagaimana semua ini terjadi?. Pemanasan global diawali saat terjadinya revolusi
industri, jumlah gas polutan/pencemar meningkat dengan pesat. Kadar gas karbon dioksida
(CO2) sebagai salah satu gas polutan/GRK meningkat sekitar 30% yaitu dari 280 ppm
sebelum revolusi industri menjadi 383 ppm.

10
A. Sumber Pencemar lingkungan:
61% - pembangkit listrik, pemanasan, transportasi dan industri
18% - penebangan hutan
14% - Pertanian
7% - Lain-lain

ppm pada kondisi sekarang. Ini terutama merupakan hasil pembakaran bahan bakar asal
fosil (minyak, batubara dan gas alam). Kenyataannya juga menunjukkan bahwa CO2 terus
meningkat mencapai 0,4% per tahun akibat semakin meningkatnya kemajuan dunia
industri dan munculnya negara industri baru, seperti Cina dan India. Sebagai negara tropis
seperti Indonesia yang terkenal dengan hutan tropisnya juga menyumbangkanCO 2 dari
pembakaran hutan termasuk hutan gambut, bahkan telah menempati urutan ke-3 terbesar
sebagai penyumbang CO2, terutama disebabkan semakin maraknya konversi hutan menjadi
tanaman perkebunan/industri yang disertai dengan pembakaran.

8
7
6
5
4
3
2
1
0
US

Cin

Ind

Rus

Jep

Jer

Kan

Ing

Ital

Pra

Aus

Spa
A

ia

ma

gris

i
a

nc i
ang

tral

nyo
ia

ada
n

Gambar. 12 Besar Penghasil CO2 (juta ton) 2004

Sektor pertanian juga ikut menyumbangkan GRK. Penggunaan pupuk anorganik


yang terus meningkat untuk meningkatkan produksi pangan menyumbangkan diantaranya
NO2 (dinitro oksida). Limbah pertanian yang terendam dan mengalami pembusukan juga
menghasilkan CH4 (metan). Pada sektor peternakan, feses yang dihasilkan tanpa
pengelolaan yang betul akan menghasilkan CH4 dan juga pencemaran gas lainnya yang
cukup serius disamping bau.

11
Sampah yang jika dikelola dengan baik dapat memberikan manfaat yang besar,
yang terjadi justru ironi. Managemen pengelolaan sampah yang pada umumnya masih
tidak baik menghasilkan gas CH4 dan CO2 dari proses pembusukan dan pembakarannya.
Kelompok polutan lain yang dikenal dengan sebutan gas rumah kaca sebagai penyebab
pemanasan global yang dihasilkan dari industri yaitu HFC (Hidrofluorokarbon), PFC
(Perfluorokarbon) dan SF6 (Sulfur Heksafluorida). Semua GRK inilah yang menyebabkan
terjadinya pemanasan global yang dikenal sebagai “Efek Rumah Kaca”. Gas CO 2
sebetulnya mempunyai efek jauh lebih kecil dibandingkan dengan dengan gas-gas yang
lain, tetapi kemampuannya bertahan sampai 10.000 tahun di atmosfir mempunyai efek
akumulatif yang luar biasa sehingga menjadikan sangat berbahaya. Sebagai bahan
perbandingan gas metan mampu bertahan 12 tahun tetapi dengan kemampuan menahan
panas 20 kali lebih besar dari CO2, dan dinitro oksida mampu bertahan sampai 120 tahun
di atmosfir.

B. Efek Rumah Kaca


Istilah “rumah kaca” muncul dari negara Barat, dimana rumah kaca digunakan
sebagai tempat untuk bercocok tanam, khususnya pada musim dingin. Hal ini dilakukan
untuk mendapatkan suhu ruangan di dalam rumah kaca menjadi hangat sehingga tanaman
dapat tumbuh dengan baik. Jean-Baptiste Joseph Fourier ahli fisika dari Prancis
menerangkan bahwa suhu hangat di dalam rumah kaca tersebut disebabkan oleh
terperangkapnya sebagian sinar matahari di dalam ruangan oleh atap dan dinding yang
terbuat dari konstruksi kaca. Sesuai dengan sifatnya, kaca dapat ditembus oleh sinar
tampak (gelombang panjang dan pendek) dari matahari tetapi mengurangi/menahan
sebagian gelombang panjang yang dipantulkan kembali oleh benda di dalam rumah kaca.
Gas-gas rumah kaca keberadaannya di atmosfir membentuk seperti selubung kaca. Sama
seperti rumah kaca, GRK di atmosfir juga akan menghalangi sebagian sinar matahari yang
dipantulkan kembali oleh bumi sehingga tidak bisa diteruskan ke atas, tetapi sebaliknya
kembali ke bumi sehingga menambah panasnya bumi (Gambar 2).
Secara alami gas-gas rumah kaca terdapat di atmosfir diperlukan sebagai
pelindung agar bumi tetap hangat. Meningkatnya aktivitas manusia, seperti pesatnya
perkembangan industri sejak revolusi industri, penebangan dan pembakaran hutan dsb,
maka kadar GRK tersebut juga meningkat konsentrasinya/ketebalannya yang berakibat
pada semakin banyaknya

12
Matahari
Sinar/Energi matahari

Lapisan gas rumah kaca (CO2, dsb.)

II

III
I

BUMI

Gambar 2: Efek Rumah Kaca; sinar yang langsung mengenai bumi (I) sebagian diserap
oleh bumi sehingga permukaan bumi menjadi hangat, dan sebagian lagi
dipantulkan ke atas oleh bumi (II). Adanya lapisan GRK, sebagian sinar diserap
dan dipantulkan kembali (III) oleh GRK kembali ke bumi, sehingga permukaan
bumi bertambah panas.

sinar/energi matahari yang terperangkap dan dipantulkan kembali ke bumi, sehingga suhu
permukaan bumi semakin meningkat. Selanjutnya, pemanasan yang sifatnya global ini
mempunyai dampak yang sangat luas dan mengerikan terutama bagi kehidupan manusia
baik langsung maupun tidak langsung. Perubahan musim sudah kita rasakan, seperti
terjadinya El Nino dan La Nina. Berbagai macam Badai, seperti Katerina, George,
termasuk juga angin puting beliung dan adanya gelombang udara panas mencapai 46 0C di
sebagian negra-negara Eropa bagian Selatan dan India pada pertengahan 2007.
Pemanasan global juga mengakibatkan mencairnya lapisan es, baik di Kutub Utara
maupun Kutub Selatan, mengakibatkan permukaan air laut naik. Kenaikan air laut ini dapat
menenggelamkan pulau-pulau kecil yang mempunyai permukaan daratannya rendah, dan
garis pantai pada pulau-pulau lainya juga akan mundur ke arah daratan. Sejauh ini
Indonesia tanpa banyak orang yang menyadari, juga sudah kehilangan beberapa pulau kecil
yang mempunyai permukaan daratan yang rendah. Diperkirakan dalam jangka waktu

13
sampai 2050 tanpa adanya usaha yang serius untuk mengurangai emisi GRK, kurang lebih
2.000 pulau di Indonesia akan tenggelam dari 17 ribu lebih jumlah pulau yang ada.
Ekosistim pantai akan mengalami kerusakan, termasuk mengancam keberadaan hutan
bakau. Akhir-akhir ini juga kita dengar bahwa air pasang di pantai utara Jawa semakin
sering terjadi dengan gelombang pasangnya yang semakin tinggi.
Dampak yang paling dirasakan adalah pada sektor pertanian dalam arti luas, karena
pertanian khususnya di Indonesia menguasai hajat hidup kurang lebih 80% penduduknya.
Gagal panen yang disebabkan oleh kekeringan atau sabaliknya oleh karena banjir semakin
sering kita dengar. Pada sektor kesehatan sepertinya juga tidak luput dari pengaruh
pemanasan global. Kita semakin sering mendengan berjangkitnya penyakit demam
berdarah dan malaria. Akhirnya dampak yang sangat luas harus kita rasakan akibat
perubahan cuaca oleh pemanasan global yang disebabkan oleh gas rumah kaca.
Hasil dari pemanasan global adalah perubahan iklim yang ekstrim. Iklim di
Indonesia telah menyimpang yang biasanya antara musim hujan dan musim kering dapat
dibedakan secara nyata menjadi tidak menentu lagi. Berikut adalah beberapa hasil
perubahan iklim:

El Nino Southern Oscilation (ENSO):


1) LaNina (ENSO dingin) – Kemarau basah/musim hujan berkepanjangan
a) Penurunan suhu di Pasifik Tengan, munculnya angin Pasat
b) Peningkatan suhu di Pasifik Barat sekitar Indonesia,
c) Diperkuat dengan Indian Dipole Mode Positip Event (IDME), yaitu pendinginan di
Samudra Hindia dan penghangatan di perairan benua Afrika
d) Uap air tersedot ke arah Barat dan terjadi hujan, terutama di bagian Utara Equator.

2) El Nino (ENSO hangat) – Kemarau berkepanjangan


a) Peningkatan suhu di Pasifik Tengah dan rendah di bagian Barat
b) Uap air terdorong ke Timur dan menimbulkan hujan di Amerika Tengah (Peru).

3) Topan (hurricane)/angin, Badai (Storm)/hujan dan angin, dan badai panas


a) Adanya badai di suatu samudra akan menimbulkan 2 kemungkinan pada suatu
daerah; hujan besar disertai angin sangat kencang dan kering karena udara yang
mengandung uap air akan tersedot.

14
b) Dalam 100 tahun terakhir telah terjadi peningkatan dua kali (6 menjadi 15
kejadian);George, Katerina, Manyi, Usagi dsb.
c) Akibat pemanasan global menghasilkan semakin banyak uap air yang dihasilkan.
d) Proses kondensasi dengan pelepasan panas juga semakin meningkat yang akan
memperbesar perbedaan tekanan sehingga terjadilah sirkulasi udara (badai).
e) Disisi lain semakin besarnya perbedaan suhu permukaan air laut dan udara
diatasnya akibat pemanasan global, mendorong pergerakan vertikal uap air.
f) Pergerakan vertikal dan horizontal dapat menimbulkan terjadinya siklon dan dalam
skala yang lebih besar menjadi badai.
g) Panas yang dihasilkan dari proses kondensasi dapat menimbulkan badai panas.

C. Secara umum dampak pemanasan global adalah sebagai berikut:

1. Sistim iklim tidak lagi dapat dibatasi menjadi kepastian pada sebuah wilayah.
2. Kenaikan temperatur, peningkatan suhu udara 0,3oC sejak sejak 1990- 2007 atau 0,54
o
C dlm 100 th terakhir.
3. Perubahan musim, pola curah hujan yang tidak menentu, banjir dan longsor,
sedangkan ditempat lain kekeringan.
4. Permukaan air laut naik, akibatnya:
a. Bebrapa pulau kecil akan tenggelam.
b. Garis pantai akan mundur kearah darat, tambak hancur dan nelayan
kehilangan tempat tinggal.
c. Intrusi air laut makin luas.
d. Ekosistim pantai (hutan. Bakau) rusak.
e. Sifat biofisik dan biokimia pesisir berubah.
f. Terjadinya perbedaan tingkat air pasang surut di beberapa daerah aliran
sungai.
5. Sektor perikanan
a. Pemutihan karang, jumlah terumbu karang akan menurun dan komposisi ikan
laut akan berubah.
b. Mengganggu kehidupan jenis ikan tertentu, migrasi ikan kewilayah lain yang
lebih dingin.
6. Sektor pertanian, terjadi keterlambatan/pola tanam, panen terganggu, shg ketahanan
pangan terganggu.

15
7. Sektor kehutanan, kebakaran hutan dan beberapa spesies flora dan fauna akan punah
karena tidak mampu beradaptasi.
8. Kesehatan, peningkatan frekuensi penyakit tropis, seperti malaria dan demam berdarah.
9. Peternakan, produktivitas ternak menurun.

16
IV. SIKAP DUNIA DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM

Seperti kita ketahui bahwa pada akhirnya “Peta Jalan Bali” (Bali Road Map)
mengenai Perubahan Iklim disepakati oleh semua delegasi peserta konferensi PBB di Nusa
Dua, Bali, tidak terkecuali AS. Diharapkan hasil ini dapat dibawa menuju konferensi di
Copenhagen, Denmark, 2009 sebagi peta menapaki jalan untuk mencapai konsensus baru
pengganti Protokol Kyoto yang akan berakhir 2012.
Secara umum hasil Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali, 3 – 12
Desember 2007 adalah sebagai berikut: Segera melakukan pengurangan tingkat emisi gas
rumah kaca (GRK) yang lebih besar (deeper cut) secara efektif dan berkelanjutan dari yang
hanya kurang lebih 5,2% sampai 2012 menjadi 25 – 40% dari rata-rata emisi 1990 pasca
Protocol Kyoto pada 2020; Komitmen bersama melaksanakan mitigasi (penanggulangan),
termasuk untuk mengurangi emisi GRK secara terukur, dilaporkan dan bisa diverifikasi;
Selanjutnya dilakukan kerja sama untuk mitigasi, adaptasi dan alih teknologi untuk
mencapai tujuan bersama pengurangan emisi GRK, termasuk penyediaan dananya. Inilah
inti dari hasil Konferensi untuk Perubahan Iklim PBB yang tertuang dalam Peta Jalan Bali,
Desember 2007.
Bagaimana seharusnya kita mensikapi terhadap hasil Peta Jalan Bali. Tentunya kita
harus mengikuti semua ketentuan yang sifatnya mengikat, baik yang sudah dicetuskan
maupun yang baru akan disetujui/dilaksanakan kemudian. Sosialisasi sebagai langkah awal
untuk memahami harus dilakukan pada semua elemen yang terkait; dari tingkat birokrasi,
industri, para ahli sampai pada masyarakat sebelum mengimplementasikan hasil konvensi.
Hal ini harus segera dilakukan, karena jika kita gagal/terlambat melaksanakan maka harus
membayar kepada negara lain yang berhasil. Sebagai contoh apabila proposal REDD
(reducing emissions from deforestration and degradation) untuk mengurangi emisi
disetujui dalam konvensi mendatang gagal diimplementasikan, maka pemerindah harus
membayar kepada negara lain. Untuk itu harus ada pemahaman bersama agar dapat
mendapatkan dana dari keberhasilan kita, bukan sebaliknya. Dalam hal ini, mencegah
deforestry dan degradasi menjadi sangat penting karena bertanggung jawab terhadap
seperlima dari emisi karbon dunia.
Selama ini memang ada ketidak adilan, dimana negara-negara industri maju
sebagai penghasil emisi GRK terbesar menunjukkan keengganan untuk bertanggung
jawab. Mereka yang paling sedikit menimbulkan masalah lingkungan, justru harus
17
memikul konsekuensi yang cukup berat, dan dituntut untuk diikat dengan target penurunan
emisinya. Selanjutnya ketidak siapan negara berkembang, termasuk Indonesia dalam
melaksanakan hasil konvensi dimasa mendatang justru akan menjadikan perangkap baru.
Bagaimana tidak CDM (clean development mechanism/mekanisme pembangunan bersih)
yang sudah disetujui maupun rencana mekanisme REDD apabila gagal atau lambat
dilaksanakan akibat ketidak siapan terutama teknologinya, kita harus membayar kepada
negara maju yang notabenya telah mempunyai teknologinya, tetapi pelit/mahal untuk alih
teknologinya.
Indonesia adalah salah satu negara yang mensponsori mekanisme REDD, tapi harus
diingat tanpa perbaikan terlebih dahulu tata pemerintahan yang ada, terutama administrasi
kehutanan yang tidak/kurang baik ditambah masalah klasik korupsi dan kepastian hukum
yang rendah, maka mekanisme apapun yang diterapkan akan gagal. Eksploitasi/alih fungsi
hutan dengan mengatas namakan investasi dan pertumbuhan ekonomi sangat menonjol dan
lebih diutamakan, dan masyarakat adat yang tergantung pada hutun terpinggirkan.
Kesadaran baru muncul setelah bencana besar datang dengan kerugian yang sangat besar.
Ini artinya bahwa keuntungan yang didapat tidak sebanding dengan kerugian yang
diterima, terutama oleh rakyat kecil akibat kerusakan lingkungan.
Kitapun sepertinya belum memahami tentang mitigasi dan adaptasi. Masalah
mitigasi tidak terlalu sulit untuk dibahas karena menyangkut masalah konsep, dengan
banyaknya para ahli seperti sudah menjadi suatu jaminan, tetapi adaptasi terhadap konsep
yang ada menjadi sangat komplek. Adaptasi sangat terkait dengan masalah teknologi dan
dana. Sebagai negara berkembang ini sangat memberatkan karena melibatkan alih
teknologi yang ujungnya jelas pada masalah pendanaan. Sebagai contoh ketika negara
maju sudah menerapkan teknologi ramah lingkungan untuk tujuan mitigasi dan adaptasi
terhadap perubahan lingkungan, negara berkembang termasuk Indonesia masih dalam
perdebatan. Hal ini terjadi karena masalah lingkungan masih dipandang sebelah mata.

A. Perdagangan Emisi (emission trading)


Perdagangan emisi atau lebih spesifik perdagangan karbon (carbon trading) dimasa
yang akan datang berlaku baik untuk negara maju maupun negara berkembang. Pada
prinsipnya, bagi negara yang berhasil menurunkan tingkat emisinya dibawah level yang
telah disepakati bersama akan mendapatkan konpensansi/dana dari negara lain yang tidak
berhasil menurunkankan tingkat emisinya. Melalu skema ini diharapkan semua negara,
terutama negara berkembang akan didorong untuk semakin bersahabat dengan

18
lingkungannya, dengan cara menurunkan tingkat emisinya atau menjadi gudang
penyimpanan karbon.
Ada dua mekanisme yang bisa ditempuh untuk menurunkan tingkat emisinya.
Pertama adalah mekanisme pembangunan bersih/clean development machanism/CDM
yang berkelanjutan. Ini berlaku untuk semua negara yang meretifikasi Protokol Kyoto.
Negara berkembang tidak mempunyai kewajiban menurunkan tingkat emisinya, tetapi
CDM ini dapat merupakan peluang untuk terlibat dalam perdagangan karbon, dan
sekaligus membantu negara-negara yang mempunyai kewajiban menurunkan emisinya.
Kedua adalah REDD, walaupun mekanisme ini belum disetujui atau masih dalam taraf
negosiasi, negara berkembang terutama yang mempunyai hutan tropis yang cukup luas
dapat menaruh harapan pada mekanisme ini, sekaligus untuk melestarikan keberadaan
hutannya. Persoalan yang muncul sejauh ini negara berkembang termasuk Indonesia
sepertinya belum adanya data pemetaan deposit karbon maupun kerentanan wilayah
tertentu terhadap perubahan iklim. Ini diperlukan untuk posisi tawar dalam perdagangan
karbon dengan negara lain.
Selanjutnya, apakah kita terutama lembaga-lembaga negara yang ada atau bahkan
rencana pembentukan Lembaga baru yang sifatnya khusus, siap untuk melaksanakan
Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim (RAN MAPI) sebagai tindak
lanjut konferensi. Hal ini akan menjadi tantangan/hambatan yang besar karena pada
umumnya, apalagi di daerah kurang memahami atau bahkan mungkin tidak memahami
sama sekali masalah yang paling mendasar tentang perubahan iklim. Negara-negara
berkembang membutuhkan teknologi ramah lingkungan serta dukungan dana untuk
teknologi bersih yang tidak murah. Semua ini tidak mudah untuk mendapatkannya. Yang
jelas, perlindungan iklim secara keseluruhan menjadi sangat penting dan mahal, tetapi
kegagalan melindunginya dengan kebijakan yang berkelanjutan adalah jauh lebih mahal.
Gaya hidup dan sistim modern yang ditandai dengan meningkatnya konsumerisme,
secara tidak sadar juga ikut menyumbangkan kerusakan lingkungan. Tanpa adanya usaha
bersama yang extrim untuk mengurangi emisi GRK yang semakin terakumulasi, maka
munculnya bencana tidak akan bisa dicegah. Dengan kata lain apabila memperlakukan
alam tetap begini (business as usual) kehancuran dunia ini tidak akan bisa dicegah,
walaupun mungkin bisa diperlambat, dan itulah yang akan kita wariskan terhadap anak
cucu kita “kehancuran?”.

19
B. Analisis Kritis
Sesungguhnya Konferensi PBB mengenai perubahan iklim di Bali adalah untuk
sekali lagi menegaskan kepada kita tentang bahaya kerusakan lingkungan yang semakin
mengancam umat manusia, karena perilaku manusia itu sendiri yang semakin tidak
bersahabat dengan lingkungan. Telah banyak yang menyadari tetapi alasan ekonomi dan
bahkan politik sepertinya telah mengalahkan dan menghalalkan segalanya terkait dengan
lingkungan. Sesungguhnya baik secara sadar maupun tidak dalam menyumbangkan
kerusakan lingkungan, alasan ekonomi terutama demi keuntungan pribadi jauh lebih
mengemuka.
Kalau kita simak kondisi yang ada, akan terlihat bahwa kerusakan alam yang
dilakukan secara sistimatis justru yang paling menonjol. Para pelaku di lapangan biasanya
hanya orang-orang kecil yang tak berdaya. Mereka hanya suruhan dan melakukan
perusakan hanya mungkin karena terdesak masalah perut yang lapar, dan tidak sedikit dari
mereka yang sebutulnya juga menyadari perbuatannya. Mari kita lihat aktor utamanya,
adalah sebaliknya, mereka adalah orang-orang terpandang yang secara ekonomi dan
pengetahuan telah begitu maju siapapun dia. Keuntungan pribadi sebesar-besarnya adalah
tujuannya.
Pemerintah sesungguhnya telah membuat regulasi dalam berbagai bentuk Undang-
undang dan perangkat hukumnya, yang tujuannya untuk menjaga lingkungan agar lestari,
dengan kata lain sebagai peringatan bagi kita untuk tidak merusak lingkungan. Kita lihat di
lapangan, aturan yang sudah demikian baik tetap dilanggarnya. Hal ini terjadi juga karena
lemah/buruknya penegakan hukum, tetapi bukan berarti semuanya buruk. Jadi sepertinya
satu sama lain saling memperkuat.

20
V. KONSEPHOMEOTHERMI, ENERGETICS DAN HEAT BALANCE

A. HOMEOTHERMI
Hewan ternak termasuk juga manusia digolongkan sebagai homeostasisyaitu
kemampuan mengatur kondisi di dalam tubuhnya relatip stabil/konstan terhadap pengaruh
baik yang datangnya dari luar maupun yang dari dalam itu sendiri. Sistim kontrol
homeostasis ini melibatkan banyak unsur (syaraf, otot, hormonal dsb) yang secara bersama
saling pengaruh mempengaruhi sehingga tercapai kondisi internal yang konstan. Sebagai
contoh adalah sistim pengaturan keseimbangan cairan, pH, ion/molekul, suhu dan lain
sebagainya yang ada di dalam/internal tubuh.
Sehubungan dengan faktor lingkungan ternak, suhu/temperatur lingkungan adalah
faktor ekternal yang sangat berpengaruh terhadap kondisi homeostasis khususnya suhu
tubuh. Adanya pengaruh suhu lingkungan, ternak akan melakukan suatu proses yang
disebut thermoregulatory, sehingga suhu tubuh akan tetap stabil. Kondisi stabil
(homeostasis) terkait dengan suhu ini disebut homeothermi.
Sistim pengaturan suhu tubuh (thermoregulatory) untuk mencpai kondisi
homeostasis suhu tubuh (homeothermi), sebagai contoh salah satunya melibatkan sistim
syaraf (reflek) seperti terlihat pada Gambar 3.

Suhu lingkungan

Suhu tubuh Feedback (-)

Stimulus
Heat loss/ Heat production/
Panas hilang Produksi panas

Konstriksi Skeletal muscle


Receptor Kapiler darah menggigil

Syaraf afferent Otak Syaraf efferent

Gambar 3. Mekanisme thermoregulatory yang melibatkan sistim syaraf.

21
Sistim thermoregulatori ini tidak hanya melibatkan satu sistim saja (syaraf) , tetapi
juga melibatkan sistim lainnya misalnya adalah sistim hormonal. Seperti contoh di atas,
penurunan suhu lingkungan mengakibatkan peningkatan panas yang hilang dari tubuh yang
selanjutnya akan mengakibatkan penurunan suhu tubuh. Ini merupakan stimulus atau
rangsangan pada sel syaraf afferen untuk mengirimpan pesan ini ke otak sebagi integrating
center(pusat pemrosesan pesan menjadi perintah). Selanjutnya pesan/perintah dikirim
kembali melalui syaraf efferent tersebut ke effector (kapiler dan otot) untuk melakukan
respon (konstriksi dan menggigil).
Disisi lain sistim hormonal juga merenpon terhadap pesan adanya
penurunan/kekurangan produksi panas akibat meningkatnya panas yang hilang (suhu stabil
maka panas yang hilang = panas yang diproduksi). Pesan ini akan diterima oleh kelenjar
endokrin sebagai integrating center untuk memproduksi hormon (efferent) dan dikirimkan
ke sel/jaringan (efektor) untuk meningkatkan proses metabolisme (sebagi responnya)
sehingga menghasilkan panas tambahan yang dibutuhkan.

B. ENERGETICS DANHEAT BALANCE


Terjadinya peningkatan suhu global sangat mempengaruhi produktivitas ternak-
ternak yang sangat sensitif terhadap perubahan cuaca. Broiler misalnya dengan
pemeliharaan intensif mengalami pertumbuhan yang sangat cepat dalam waktu hanya
kurang lebih 8 minggu siap untuk dipasarkan. Kondisi ini menjadikan mengapa menjadi
sangat sensitif terhadap hampir semua perubahan, termasuk perubahan cuaca, terutama
suhu lingkungan. Tanpa adanya perhatian terhadap perubahan-perubahan yang terjadi,
pertumbuhan atau produktivitasnya, termasuk resistensinya terhadap penyakit akan
terganggu.
Terlihat pada Gambar 4 bahwa pelepasan panas (heat loss) dari tubuh dilakukan dengan
evaporasi (evaporative heat loss) dan sensible heat loss (konduksi, konveksi dan radiasi)
dari total produksi yang dihasilkan. Pelepasan panas ini sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungannya, terutama suhu dan kelembaban. Semakin tinggi suhu lingkungan akan
semakin sulit ternak melepas panas tubuhnya karena perbedaan antara panas tubuh dan
lingkungan semakin kecil. Pada daerah tropis dimana evaporasi merupakan cara utama
menghilangkan panas tubuh, kelembaban yang tinggi akan semakin memperburuk kondisi
ini karena cara menghilangkan panas dalam bentuk uap air semakin sulit.

22
HEAT LOSS (evaporasi, konduksi, konveksi & radiasi)

Feed/gross energy/GE
ATMOSFIR

Feces energy Digestible energy/DE

Urine & methan energy Metabolisable energy/ME

Heat increment/HI Net energy/NE

TOTAL HEAT PRODUCTION/HE


Maintenance Retained energy/RE
energy (untuk produksi)

Gambar 4. Proses metabolisme energi pada ternak dan pelepasan panas (heat loss) ke
udara bebas/atmosfir dari total produksi panas (heat production) yang
dihasilkan (McDonald dkk., 1988)

Konsep dasar pada sistim keseimbangan panas di dalam tubuh bahwa total produksi
panas (HE) harus sama atau seimbang dengan total panas yang hilang (heat loss).
Terhambatnya heat loss oleh sebab peningkatan suhu dan kelembaban lingkungan harus
diimbangi dengan penurunan HE agar suhu tubuh tetap stabil karena ternak termasuk
homeotermi. Untuk dapat menurunkan HE, sumber utamanya adalah heat increament (HI)
yang harus diturunkan, karena panas untuk maintenan relatif stabil. Selanjutnya,
metabolizable energy (ME) akan menurun sebagai reaksi terhadap penurunan heat loss
akibat suhu lingkungan yang meningkat. Penurunan ME akan mengakibatkan penurunan
net energy (NE), dan selanjutnya produksi ternak akan menurun. Akhirnya, kompensasi
terakhir untuk mengatasi problem peningkatan suhu adalah dengan menurunkan konsumsi
pakan dan peningkatan konsumsi air minum (May dan Lott, 1992).

23
Penurunan produksi ternak salah satu sebabnya bisa berasal dari peningkatan suhu
lingkungan dan atau kelembaban. Selanjutnya, penurunan produksi atau tingkat
metabolisme tubuh yang disebabkan oleh cuaca yang kurang menguntungkan bisa
berakibat pada penurunan kekebalan tubuh, sehingga inveksi bibit penyakit menjadi lebih
mudah menimbulkan penyakit. Untuk itu, antisipasi terhadap perubahan cuaca mutlak
diperlukan. Hal ini dapat dilakukan dengan menfasilitasi agar total produksi panas/HE
yang dihasilkan, sebagai manifestasi tingkat produksi/ metabolisme ternak, dapat
dilepaskan atau dihilangkan (heat loss) dalam jumlah yang sama besarnya. Dengan tidak
terhambatnya heat loss, total produksi panas yang dihasilkan menjadi tidak tertekan,
dengan kata lain bahwa produksi ternak juga tidak tertekan atau berkurang. Pada ayam,
panting atau cara pelepasan panas melalui respirasi menjadi sangat dominan pada kondisi
panas. Hal ini kurang menguntungkan karena efek hiperventilasi akan mengakibatkan
keseimbangan asam basa terganggu.
Suhu tubuh, oC

Hypother-mia zone

Hyperther-mia zone

Normothermia zone

Per
tuk
ara Total heat production
n
pa
na Sensible heat loss
s

Evaporative heat loss

Suhu lingkungan, oC

Gambar 5. Hubungan antara suhu lingkungan dengan pertukaran antara total produksi
panas (total heat production) dan panas yang hilang (heat loss) dengan cara
evaporasi dan non-evaporasi/sensible heat loss (konduksi, konveksi dan
radiasi; Hilman dkk., 1985).

Telah menjadi suatu kesepakatan para ahli bahwa suhu optimal untuk pemeliharaan
broiler misalnya adalah 22-24oC. Kenaikan suhu mencapai 32oC dengan kelembaban 40%,
broiler masih dapat mentolerir kondisi ini dengan susah payah untuk tetap berkembang,
24
tetapi kenaikan 32oC dengan kelembaban yang lebih tinggi, broiler akan mengalami
masalah (Leeson and Summers, 2000). Pada suhu dan kelembaban diatas ideal, masalah
yang langsung dihadapi ternak adalah mulai mengalami kesulitan melepas panas dari
dalam tubuhnya. Peningkatan suhu lingkungan lebih lanjut, reaksi fisiologis termasuk pada
sistim metabolisme tubuh menyertainya sampai batas kenaikan yang masih ditolerir
(critical thermal maximum/normothermia zone). Akhirnya ternak akan mati apabila terjadi
kenaikan suhu lingkungan lebih lanjut dengan didahului mengalami hipertermia (Gambar
5).
Ada suatu kemungkinan hubungan antara musim dengan kejadian flu burung
(avian influenza/AI). Dari tulisan Alexander dkk. (1993) yang dimuat dalam jurnal
Veterinary Record melaporkan terjadinya wabah AI pada sebuah peternakan kalkun di
Norfolk, Inggris yang mematikan 7.129 dari kurang lebih 8.000 kalkun umur 12 minggu.
Kejadian AI pada tahun 1991 di Inggris yang dilaporkan dalam jurnal ini terjadi pada bulan
Desember yang merupakan awal musim dingin. Ada kesamaan dari segi waktu dengan
kejadian di Indonesia yang pada beberapa tahun terakhir ini flu burung sepertinya berulang
pada siklus musim yang sama antara Nopember sampai Januari. Kalau kita simak bahwa
kejadian di Inggris dan di Indonesia adalah merupakan musim panca roba yang biasanya
kondisi ternak lemah, sehingga inveksi bibit penyakit mudah masuk. Munculnya virus AI
subtipe H5N1 bahkan varian lain akhir-akhir ini di Indonesia, tidak menutup kemungkinan
merupakan akibat tidak langsung dari perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global
yang berdampak pada ternak. Akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa pemanasan global
dapat dipastikan akan mempengaruhi kondisi lingkungan ternak yang pada gilirannya juga
mempengaruhi ternaknya itu sendiri.
Gambar 5 menunjukkan bahwa perubahan suhu (sumbu x) memberikan pola
hubungan yang berdeda antara produksi panas (heat production) dan panas hilang (heat
loss = evaporative heat loss + sensible heat loss). Pada kondisi suhu yang berbeda, ternak
juga menunjukkan pola adaptasi yang berbeda, sehingga rentangan suhu dibagi menjadi
beberapa zone sebagai berikut:
1. Thermoneutral zone (ideal)
o Panas hilang tanpa adanya bantuan.
o Panas tidak dalam stress panas/dingin.

25
Intolirable Cold zone
cold zone (dingin)

Cool zone
Zone suhu Normothermia (sejuk)
zone

Thermoneutral
Hot zone zone (ideal)

Intolirable Warm zone


hot zone (hangat)

Gambar 6. Skema pembagian zone suhu untuk ternak

2. Cool Zone (sejuk)


o Ternak melakukan thermoregulasi (pengaturan suhu tubuh) secara fisik
untuk menghambat panas yang hilang.
o Penurunan suhu tubuh masih dapat diimbangi produksi panas yang
dihasilkan dari metablisme tubuh.
o Kebutuhan energi untuk proses thermoregulasi secara fisik masih dapat
dipenuhi, tanpa harus meningkatkan metabolismenya.
o Dengan menurunnya suhu lingkungan pada zone ini diikiti dengan respon
secara fisik/behaviour (tingkah laku) ternak.

3. Cold Zone (dingin)


o Ternak mulai meningkatkan metabolismenya untuk meningkatkan produksi
panasnya sejalan dengan semakin menurunnya suhu lingkungan.
o Produksi panas yang dihasilkan masih dapat mengimbangi panas yang
hilang.
o Respon secara fisik terus dilakukan secara maksimal untuk melindungi
panas yang hilang.

4. Intolerible Cold Zone (sangat dingin)


o Titik puncak (summit) kemampuan metabolisme ternak secara maksimal
pada ternak yang diberi pakan ad-libitum tercapai yang disebut absolute
lower critical temperature/batas kritis bawah absolut.

26
o Ternak hanya mampu melakukan peningkatan produksi panasnya secara
maksimal dalam waktu singkat.
o Pada akhirnya produksi panas yang dihasilkan tidak mampu lagi
mengimbangi panas yang hilang, suhu tubuh menurun dan ternak akhirnya
mati.

5. Warm Zone (hangat)


o Panas yang hilang dilakukan secara pasif
o Vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah) dan pengaturan postur tubuh
mulai dilakukan; contoh pada ayam dengan mengangkat sayap, mandi debu
dsb.
o Aktivitas tersebut di atas semakin nyata terlihat dengan semakin
meningkatnya suhu lingkungan.
o Proses metabolisme masih pada level normal.

6. Hot Zone (panas)


o Ternak mulai secara aktip menghilangkan panas seperti, sweating
(berkeringat) atau panting.
o Tingkah laku ternak untuk menghilangkan panas meningkat.
o Apabila produksi panas lebih besar dari panas yang hilang, maka terjadi
stress panas, tetapi ternak masih bisa mentolerir.
o Peningkatan suhu lingkungan lebih lanjut pada zone ini, ternak ternak mulai
mengurangi aktivitas fisik sampai minimal sebagai usaha untuk mengurangi
produksi panasnya.

7. Intolerably Heat Zone (panas yang tidak bisa ditolerir)


o Ternak tidak bisa lagi mentolerir peningkatan suhu tubuh akibat kesulitan
menghilangkan panas, bahkan panas dari luar bisa masuk, dan akhirnya
ternak mati.

27
VI. INDEK KENYAMANAN SEBAGAI ALAT UKUR LINGKUNGAN
IDEAL TERNAK

A. INDEK KENYAMANAN(comfort index/temperature humidity index/ THI).


Pemetaan THI pada musim panas yang meliputi 238 lokasi di US telah dilakukan,
kemudian hasilnya dijadikan database untuk Geographical Information System (GIS). Hal
ini menunjukkan begitu perhatiannya pemerintah US dalam memetakan kondisi THI untuk
kepentingan masyarakatnya. Indek kenyamanan ini dapat digunakan untuk semua
kepentingan bidang pertanian. Dalam bidang peternakan, digunakan misalnya sebagai
bahan pertimbangan khususnya dalam pembuatan dan penyediaan fasilitas kandang, dan
manajemen secara umum (Gates dkk., 1995).
Indek kenyamanan (Confortable Index; Temperature Humidity Index; THI) di luar
dan di dalam kandang. Penggunaan rumus dari Johnson (1987) berikut digunakan:
THI = Tdb + 0,36 Tdp + 41,2
Tdb= suhu kering (°C)
Tdp = suhu basah (°C)
Penelitian pengaruh THI dengan menggunakan kombinasi kisaran temperature 23-
40°C dan kelembaban relatif 40-90% dilakukan menggunakan kalkun jantan (Brown
Brandl dkk., 1997). Hasilnya menunjukkan bahwa kisaran THI yang dihasilkan oleh
kondisi lingkungan tersebut sampai umur 6 minggu tidak terjadi perubahan atau pengaruh
fisiologi pada ternak. Perubahan nyata mulai terjadi pada kalkun umur 10 minggu, dimana
temperature perananya menurun sebagai stressor. Disisi lain, kelembaban ternyata menjadi
faktor yang sangat penting dalam mengatur kemampuan kalkun mempertahankan kondisi
sebagai hewan homeotermi.

28
Pada gambar 9 di atas terlihat bahwa rata-rata THI terendah untuk setiap bulan
yang berbeda terjadi di Kanada yang terletak pada belahan bumi palinlg utara. Sebaliknya
rataan THI paling tinggi terjadi di Malaysia yang terletak pada iklim tropis dekat dengan
khatulistiwa. Pada gambar juga terlihat batas kritis atas dengan THI kurang lebih 72 dan
batas kritis bawah THI kurang lebih 35, artinya bahwa di atas atau di bawah batas kritis
tersebut produksi sapi perah (Holstein) akan berkurang. Batas kritis ini berbeda-beda untuk
spesies ternak yang berbeda.

80
Kritis atas
70

60

50
THI

40
Kritis bawah
30

20

10
Jan Feb Mar April Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nop Des
Malaysia Mexico Mesir
Arizona Misouri Kanada

Gambar 9. Indek kenyamanan (temperature humidity index/THI) untuk sapi perah di


beberapa negara.

100
Kelembaban (%)

80
B A
60

40

20

15 20 25 30 Suhu (oC)

29
Gambar 10. Ilustrasi Hubungan antara suhu dan kelembaban terhadap nilai THI pada sapi
perah, garis A THI + 72 dan garis B THI + 64.

Selanjutnya pada gambar 10 menunjukkan hubungan antara suhu dan kelembaban.


Garis A adalah garis THI dengan nilai kurang lebih 72 yang merupakan batas kritis atas
untuk sapi perah Holstein. Pada daerah sebelah kiri garis A ini, sapi menghasilkan
produktivitas yang ideal, tetapi pada daerah di sebelah kanan garis A sapi mulai
menunjukkan penurunan produksinya. Garis B adalah garis THI dengan nilai kurang lebih
64, dimana merupakan salah satu contoh nilai THI yang cukup baik untuk produktivitas
ternak. Baik pada garis A maupun garis B menunjukkan bahwa untuk menghasilkan nilai
THI yang sama, kenaikan suhu lingkungan harus diikuti dengan penurunan derajat
kelembabannya, dan sebaliknya.

B. PANTING
Merupakan cara fisik dalam usaha untuk menghilangkan panas yang ditandai
dengan frekuensi nafas/menit meningkat dan nafas yang dangkal. Ternyata panting
mengakibatkan kondisi fisiologis yang kurang menguntungkan walaupun disisi lain dapat
membantu menghilangkan panas dari dalam tubuh ternak. Dari Tabel 1. Terlihat bahwa
semakin cepat cara bernafas sehingga menghasilkan frekuensi nafas/menit yang semakin
besar akan menghasilkan

Tabel 1. Contoh beberapa frekuensi napas dan hasil alveolar ventilasi


Ternak A Ternak B Ternak C
Frekuensi nafas/menit (a) 20 12 6
Volume tidal ml/nafas (b), ml 300 500 1000
Volume ventilasi/menit (a x b), ml 6000 6000 6000
Dead space ventilasi (150 ml/ nafas)/
menit = a x 150 = c, ml 3000 1800 900
Alveolar ventilasi = (a x b) – c, ml 3000 4200 5100

alveolar ventilasi/menit yang semakin kecil. Alveolar ventilasi adalah udara yang sampai
ke alveolus paru-paru untuk suplai oksigen, sehingga semakin kecil nilainya berarti
semakin sedikit udara yang sampai ke alveolus paru-paru.
Terlihat pada Tabel 1 bahwa volume tidal/nafas tergantung pada frekuensi nafas,
semakin cepat frekuensi nafasvolume tidal semakin kecil dan sebaliknya sehingga

30
menghasilkan volume ventilasi/menit yang sama antara ternak A, B dan C. Persoalannya
adalah pada dead space ventilasi yaitu jumlah/volume udara yang hanya sampai pada
bagian saluran respirasi bagian atas/conducting zone (rongga hidung, pharink, larink,
trachea, bronchus). Udara yang hanya sampai pada bagian dead space/ruang
mati/penghubung ini tidak dapat dimanfaatkan oksigennya. Hanya udara yang sapai di
alveolus/alveolar ventilasi yang dapat dimanfaatkan oksigennya. Untuk itu semakin
dangkal/cepat bernafas udara yang sampai di alveolus juga semakin kecil.
Tekanan alveolar mmHg

O2

CO2

Alveolar ventilasi, l/menit


Normal
Hipoventilasi Hiperventilasi

Gambar 7. Hubungan antara alveolar ventilasi dengan tekanan udara (O2 dan CO2) pada
bagian alveolus paru-paru.

Selanjutnya dari Gambar 7 menunjukkan bahwa semakin kecil volume alveolar


ventilasi (udara yang sampai ke alveolus) atau disebut hipoventilasi, maka semakin kecil
oksigen yang dapat sampai ke sel/jaringan untuk kepentingan

31
Sel/Jaringan Darah

HbO2

O2 O2 Hb
HbH

CO CO2+ H2O
2
H2CO3 H++ HCO3-

Gambar 8. Pertukaran O2 dan CO2 antara sel/jaringan dan darah.

metabolisme, dan karbon dioksida yang dilepaskan dari jaringan/sel justru semakin
meningkat. Sebaliknya hiperventilasi adalah jumlah/volume alveolar ventilasi melebihi
normal yang ditandai dengan nafas yang dalam dan frekuensinya sedikit/jarang, maka
suplai oksigen dari udara yang sampai ke alveolus adalah semakin banyak dan jumlah
karbon dioksida yang dihasilkan dari metabolisme sel/jaringan tubuh menurun.
Berlanjutnya hipoventilasi dapat menimbulkan asidosis,dan pada kondisi hiperventilasi
akan terjadi alkalosis (Gambar 8).

C. MODIFIKASI LINGKUNGAN
Modifikasi ini dimaksudkan untuk menyediakan perlindungan ternak terhadap
kondisi lilngkungan yang kurang menguntungkan (panas, dingin, angin dsb), sehingga
ternak menjadi lebih nyaman. Ada dua modifikasi terhadap lingkungan yang sisa dilakukan
untuk keperluan lingkungan peternakan yaitu secara primer (kandang terbuka) dan
sekunder, hanya saja modifikasi lingkungan secara sekunder khusus untuk sistim kandang
tertutup di daerah dingan. Untuk itu hanya modifikasi secara primer yang akan
dibicarakan.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk merubah kondisi lingkungan dengan
tujuan menghasilkan kondisi lingkungan yang lebih baik:

1.Naungan/Tempat Berteduh

32
Pada cuaca panas, ternak yang digembalakan di luar kandang akan menghadapi
sengatan matahari dengan radiasinya berlebihan. Dengan adanya naungan diharapkan
dapat mengurangi radiasi panas yang mengenai ternak.
Keuntungan:
-mengurangi stress panas
-meningkatkan performan ternak
Bagaimana merancang nauangan yang baik adalah sangat penting karena dari hasil
penelitian menunjukkan bahwa berbagai variasi naungan juga menghasilkan performan
berbeda-beda. Sebagai contoh naungan ternyata lebih bermanfaaat pada kondisi panas dan
dingin dibanding pada kondisi panas dan basah. Naungan ternyata juga lebih bermanfaat
pada daerah terbuka/gurun dengan kelembaban rendah dibandingkan daerah tropis yang
mempunyai kelembaban tinggi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan naungan:
o Ukuran disesuaian dengan jumlah/ukuran ternak.
o Bahan murah, mampu menahan dan memantulkan radiasi matahari dan warna
(permukaan terang dan bagian bawah gelap).
o Ketinggian disesuaikan dengan iklim setempat (2 - 3,5 m).
o Arah naungan disesuaikan dengan posisi lintasan matahari.
o Kondisi lingkungan nauangan.

2. Ketersediaan air
Diperuntukan terutama untuk keperluan membasahi, memandikan atau
penyemprotan pada lingkungan panas karena ternak mudah kepanasan. Dengan membasahi
menyemprot ternak akan sangat membantu penghilangan panas dari tubuhnya, sehingga
diharapkan akan memperbaiki performannya. Ketersediaan air juga dapat dalam bentuk
kolam/kubangan untuk berendam ternak seperti kerbau atau babi. Ini diperlukan untuk
kondisi suhu lingkungan yang extrim di atas 35oC. Hanya saja sanitasi dari tempat
berendam perlu diperhatikan jangan sampai justru menimbulkan masalah baru.

3. Pemagaran
Perlunya dilakukan pemagaran untuk melindungi ternak dari pencurian, gangguan
binatang buas dsb. Yang perlu diperhatikan, bahwa pemagaran harus memperhatikan
lingkungan kandang terutama sirkulasi udara tetap terjaga. Untuk itu bahan pembuatan
pagar (seng, kayu atau kawat) juga menjadi pertimbangan.
33
34
VII. ADAPTASI TERNAK PADA LINGKUNGANNYA

Terminologi istilah yang terkait dengan adaptasi ternak terhadap lingkungannya:


Adaptasi;penyesuaian ternak terhadap perubahan lingkungannya.
Aklimasi;respon ternakseketika/jangka pendek terhadap lingkungan barunya.
Aklimatisasi;perubahan jangka panjang/evolusi suatu species (dari generasi ke generasi)
terhadap perubahan lingkungannya.
Habituasi; sebuah proses yang membuat ternak menjadi familier/terbiasa dengan
lingkungan barunya.
Dalam mempelajari adaptasi ternak terhadap lingkungannya perlu memperhatikan
beberapa aspek, seperti keseimbangan panas antara ternak dengan lingkungannya yaitu
mengetahui panas yang diproduksi dan panas yang hilang dari tubuh ternak karena
pengaruh panas lingkungannya. Aspek lain yang perlu diketahui adalah sebagai
pengatur/pengendali dari keseimbangan panas tersebut yaitu neurotransmiter, hormon,
target organ dan performan ternak itu sendiri.
Respon ternak pertama kali dilakukan terhadap reaksi perubahan
panas/meningkatnya panas lingkungan adalah dengan mengurangi panas yang hilang (heat
loss). Hormon yang terkait dengan heat stress (adrenalin dari adrenal) akan meningkat,
tetapi sebaliknya hormon yang memacu metabolisme/produksi panas akan menurun.
Sebagai akibat lebih lanjut produktivitas/pertumbuhan ternak akan menurun. Respon
ternak terhadap perubahan panas lingkungan tentunya berbeda tergantung dari spesiesnya,
intensitas panasnya, status nutrisi dan kesehatan ternak. Faktor manajemen bisa juga
menjadi faktor pembatas artinya bisa mengurangi atau menambah pengaruh lingkungan,
tergantung dari baik buruknya manajemen.
Insulasi/pelindung dalam hal ini adalah jaringan lemak tubuh relatif tetap kecuali di
bawah/atas titik kritis. Perubahan insulasi jaringan mencerminkan terjadinya perubahan
yang terjadi pada konveksi/aliran panas dari sistim sirkulasi/aliran darah ke permukaan
kulit. Pada keadaan dingin pembuluh darah menyempit/konstriksi sehingga aliran darah
kepermukaan tubuh mengecil dan panas yang hilang akan berkurang. Kejadian sebaliknya
adalah pada kondisi panas. Jumlah/ketebalan lemak tubuh/subkutan juga bervariasi
tergantung spesies dan status/kondisi ternak sehingga mempengaruhi batas kritis baik
bawah maupun atas.

35
36
A. ADAPTASI PADA LINGKUNGAN PANAS
Pada lingkungan panas ternak paling tidak akan melakukan satu cara
termoregulasi/pengaturan panas dengan tujuan untuk mempertahankan kondisi homeotermi
(kondisi panas tubuh yang tetap). Kondisi demikian dikatakan bahwa ternak dalam kondisi
stres panas. Cara fisik menghilangkan panas dalam kondisi lingkungan yang panas adalah
vaso dilatasi (memperlebar pembuluh darah, lawannya adalahvasokonstriksi) yang dapat
dengan segera dilakukan. Cara ini akan meningkatkan suplai darah ke permukaan sehingga
panas yang hilang juga akan meningkat. Cara ini kemudian diikuti menghilangkan panas
dengan cara konveksi (penguapan panas ke udara) secara langsung atau cara konduksi
(panas hilang ke lingkungannya dengan perantara). Pada hewan yang mempunyai kelenjar
keringat, evaporasi (menghilangkan panas dalam bentuk uap air) juga merupakan cara
yang sangat efektip. Pada ayam dan babi panting adalah cara fisik menghilangkan panas
dalam bentuk uap air (evaporasi) melalui saluran respirasi yang ditandai dengan
peningkatan frekuensi napas dan mulut membuka.
Untuk mempertahankan panas tubuh ternak akan mengatur antara heat production
dan heat loss. Pada kondisi udara panas regulasi cara kimiawi (metabolisme tubuh)
langsung tergantung pada konsumsi pakan.Untuk itu ternak akan menurunkan produksi
panasnya dengan jalan menurunkan tingkat konsumsinya. Pada batas kritis atas
kemampuan ternak untuk menurunkan produksi panasnya tidak lagi seimbang dengan
kondisi lingkungan panas yang semakin bertambah, akibatny panas dari luar justru akan
menambah panas yang seharusnya dikeluarkan, sehingga suhu tubuh ternakpun akan
meningkat. Kondisi ini akan mengakibatkan ternak semakin kepanasan dan dapat berakibat
fatal, sehingga ternak akan berusaha secara fisik untuk membantu sistim termoregulasinya.
Proses penting lainnya pada lingkungan panas adalah reaksi pengurangan panas
dengan cara pengurangan konsumsi pakan. Cara ini diatur oleh sistim neuro-hormonal.
Suhu udara yang tinggi merupakan rangsangan pada syaraf sebagai reseptor yang berada di
kulit kemudian dikirim ke pusat selera makan di hipotalamus yang selanjutnya akan
mengirim pesan tersebut ke sistim syaraf pusat dan akam kembali berupa perintah untuk
mengurangi nafsu (konsumsi) makan. Pengurangan konsumsi makan berari juga
mengurangi ketersediaan bahan untuk proses metabolisme yang berarti juga akan
mengurangi produksi panas yang dihasilkan. Dampak lain dari pengurangan tingkat
metabolisme adalah pengurangan sintesis diantaranya adalah protein. Kondisi ini jelas
akan mengurangai pertumbuhan dari ternak karena ketersediaan protein sebagai zat
pembangun jaringan tubuh dan pengganti jaringan yang rusak akan berkurang.

37
1. Sapi
Produksi panas pada sapi mempunyai hubungan linear dengan suhu lingkungan.
Hal ini sebagai manifestasi tingkat produksi/metabolisme ternak, yang dapat tercermin dari
panas yang dihasilkan dan panas yang dapat dilepaskan atau dihilangkan (heat loss) dalam
jumlah yang sama besarnya. Dengan tidak terhambatnya heat loss, total produksi panas
yang dihasilkan menjadi tidak tertekan, dengan kata lain bahwa produksi ternak juga tidak
tertekan atau berkurang.
Temperatur tubuh dan frekuensi nafas meningkat secara linear dengan
meningkatnya suhu lingkungan pada kisaran 25 sampai 40oC. Hal ini terjadi pada kondisi
acute (jangka waktu tertentu setelah stres), setelah waktu lama (kronis) sejalan
bertambahnya waktu, ternak mulai beradaptasi/penyesuaian dengan kondisi panas
lingkungannya untuk kembali ke kondisi awal atau kondisi setelah perubahan dengan jalan
misalnya meningkatnya produksi urin dan dengan meningkatnya konsumsi air minum.
Untuk menghindari tambahan produksi panas ternak akan makan diwaktu malam hari.
Dengan cara ini, ternak akan lebih mudah menghilangkan panasnya sehingga penambahan
panas dari proses makan akan terhindarkan, dan ternak akan dapat menkonsumsi pakan
lebih banyak untuk menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik.
Perlu diketahui bahwa kondisi kronis akan mengembalikan tingkat produksi
mendekati ke posisi semula atau bahkan kembali persis seperti produksi semula,
tergantung bagaimana adaptasinya, terutama terjadi pada adaptasi dari suhu lingkungan 18
sampai 29 oC (gambar 11). Pada suhu lingkungan di atas suhu tersebut persoalannya akan
lain. Ternak akan semakin sulit beradaptasi pada tingkat pemanasan suhu lingkungan yang
lebih tinggi, sehingga adaptasinya untuk kembali ke kondisi awal juga semakin sulit.

2. Domba dan Kambing


Salah satu bentuk aklimatisasi domba terhadap kondisi lingkungan yang panas
hampir sama seperti pada sapi. Setelah kondisi acute terlampaui ternak akan menkonsumsi
pakan dalam jumlah yang normal seperti awal. Secara hormonal juga dapat dilihat bahwa
produksi tiroksin akan kembali normal setelah melewati masa acute. Pada ternak yang
dilepas, ternyata pada malam hari merumput sepertinya untuk menghindari panas matahari.
Pada siang hari, ternaktidak terlalu banyak makandan berusaha encari tempat yang rindang
untuk menghindari sinar matahari langsung.

38
Produksi

Acute Kronis

Waktu

Gambar 11. Adaptasi ternak terhadap suhu lingkungan

.
Dengan meningkatnya suhu lingkungan sampai mendekati suhu tubuh, ternak
seperti juga pada anjing akan melakukan penghilangaan panas melalui evaporasi melalui
saluran pernapasan yaitu dengan jalan membuka mulut dan mempercepat frekuensi
pernapasan. Sejalan dengan peningkatan frekuensi napas, napas dangkal dan cepat/panting
juga terjadi. Hal demikian kurang menguntungakan karena akan terjadi terjadi asidosis
yaitu meningkatnya keasaman (penurunan pH) darah dan selanjutnya akan mengganggu
metabolisme di dalam tubuh.

3. Unggas
Pada unggas reaksi pertama sebagai adaptasi terhadap suhu lingkungan adalah
meningkatnya suhu tubuh dan diikuti dengan meningkatnya frekuensi napas (panting).
Respon seperti ini juga akan bekurang setelah melewati periode acute, hanya saja kondisi
ini juga tergantung pada intensitas panas yaitu periode dan tinggi rendahnya panas
lingkungan. Selanjutnya, metabolisme tubuh juga berkurang pada unggas yang dalam
kondisi sedang beradaptasi. Hal ini dapat dilihat dengan menurunnya sekresi hormon tiroid
sebagai salah satu indikator tingkat metabolisme tubuh.Pada ayam, panting atau cara
pelepasan panas melalui respirasi menjadi sangat dominan pada kondisi panas. Hal ini
kurang menguntungkan karena efek hiperventilasi akan mengakibatkan keseimbangan
asam basa terganggu.
Dalam jangka panjang adaptasi, cara penguapan/evaporasi melalui saluran
pernapasan ditambah dengan cara penghilangan panas melalui pembuluh darah dengan
cara vasodilatasi, terutama pada bagian tubuh yang tidak berbulu, seperti kaki dan kepala.
Heat loss dengan cara ini ternyata memberikan konstribusi cukup besar kurang lebih 34%
dari total panas yang hilang dari dalam tubung unggas. Cardiac output (jumlah darah
39
dipompakan keluar jantung) meningkat 20 sampai 27% dari normal pada adaptasi terhadap
suhu panas. Ada penomena yang menarik pada unggas bahwa perlakuan adaptasi dari
mulai umur muda akan sangat membantu pada tingkat produksi setelah dewasa (de Basilio
dkk, 2001).
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa adaptasi terhadap suhu tinggi
lingkungan diatas daerah thermoneutral zone (suhu lingkungan ideal), ternak akan
melakukan salah satu atau kedua-duanya yaitu menurunkan produksi panas (heat
production) dan atau meningkatkan panas yang hilang (heat loss). Apabila ternak tidak
mampu lagi meningkatkan panas yang hilang dengan evaporasi (napas/keringat) ternak
akan menambah kemampuannya menghilangkan panas dengan tingkah laku (behaviour),
seperti mengangkat sayap (unggas), merebahkan tubuhnya pada lantai yang dingin,
membasahi bagian tubuhnya/mandi (ternak besar) dan sebagainya. Sebagai tambahan
kondisi suhu lingkungan yang tinggi juga mengakibatkan penambahan panas tubuh dari
radiasi panas/sinar matahari masuk ke dalam tubuh.

B. ADAPTASI HEWAN MUDA (NEONATAL/BARULAHIR)


Berbagai problem dihadapi pada hewan yang baru lahir:
o Makanan
o Pernapasan/ pertukaran O2 dan CO2
o Sterilitas lingkungan baru
o Lingkungan yang tidak stabil.
Kondisi baru lahir ini adalah faktor dominan yang menyebabkan tingkat kematian
pada ternak muda. Bagaimana mengantisipasi semua kendala tersebut sangat menentukan
tingkat kematiannya. Sebagai contoh pada sistim pemeliharaan yang sangat intensip
tingkat kematiannya juga menjadi lebih rendah dibandingkan pada yang kurang intensip.
Masih minim/sensitifnya kerja sistim kardiovaskuler/sirkulasi dan respirasi dapat
menyebabkan terjadinya hipoksia (rendahnya kadar O2 dan tingginya kadar CO2 darah)
oleh pengaruh yang sangat sederhana. Ketersedian makan juga harus mulai diusakan
sendiri, sehingga tanpa tersedia dalam jumlah yang cukup dan akses yang mudah, ternak
akan sangat mudah terkena defisiensi salah satu zat gizi. Lingkungan juga tidak steril lagi
seperti pada waktu masih dalam kandungan/telur sebelum menetas yang terlindungi dari
pengaruh luar.

40
Luas permukaan
Bobot badan

Umur/BB

Gambar 12. Hubungan umur dengan ratio luas permukaan tubuh/bobot badan

Disamping insulasi permukaan tubuh masih sangat minim, perbandingan luas


permukaan tubuh dengan berat badan pada hewan muda/kecil lebih besar dibandingkan
pada hewan dewasa/besar (Gambar 12). Kondisi ini mengakibatkan panas yang hilang dari
permukaan tubuh menjadi lebih besar pada hewan muda dibanding hewan dewasa. Akibat
lebih lanjut pada hewan muda/kecil kehilangan panas lebih besar dan menjadi mudah
kedinginan.

C. ADAPTASI TERHADAP KETINGGIAN


Hewan ternak menunjukkan performan atau tingkat produktivitas yang berbeda
terhadap kondisi alam sekitarnya, termasuk ketinggian yang akan mempengaruhi
lingkungan udaranya. Lingkungan udara yang terkait dengan ketinggian adalah
tekanan/ketebalan unsur-unsur yang terkandung didalamnya. Tekanan udara ini akan
mempengaruhi unsur/kadar gas yang dikandungnya, terutama nitrogen (N2), oksigen (O2),
dan karbon dioksida(CO2). Sebagai pedoman bahwa standard tekanan udara di permukaan
laut (ketinggian 0 m) adalah 760 mmHg, dengan kadar N 2 = 78%, O2 = 21%, dan gas yang
lain = 1% (CO2 = 0,028% = 280 ppm). Suhu udara rata-rata pada ketinggian permukaan
laut = 250C. Tekanan udara menjadi setengahnya pada ketinggian 5500 m dari permukaan
laut, dan suhu udara berkurang 6,50C pada setiap kenaikan 1000 m. Pada daerah ketinggian
tertentu juga terjadi perubahan kecepatan/pusaran angin.
Adaptasi yang dilakukan hewan pada ketinggian tertentu terutama menyangkut
fungsi respirasi dan metabolismenya. Sebagai akibat dari berkurangnya tekanan udara atau
41
oksigen pada hewan yang baru lahir dapat mengalami hypoxia yaitu kondisi kekurangan
oksigen, sehingga proses metabolismenya juga akan terganggu. Untuk menyesuaikan
dengan kondisi ini ternak akan merubah proses respirasi, sirkulasi darah dan sistim syaraf
yang juga terkait dengan sistim skeletal muskularnya.
Dengan semakin menipisnya udara/kadar oksigen berarti akan mengurangi suplai
oksigen ke dalam tubuh lewat sistim respirasinya. Untuk menormalisir suplai oksigen
tersebut ternak harus meningkatkan volume alveolar ventilasinya melaui sistim
respirasinya. Caranya seperti pada waktu pembahasan panting hanya caranya berlawanan
(Tabel 1). Cara adaptasi dengan perubahan pada sistim respirasinya juga diikuti/secara
bersamaan dengan adaptasi/perubahan pada sistim sirkulasinya. Ternak akan mengalami
peningkatan/percepatan sistim sirkulasinya, sehingga suplai darah ke paru-paru meningkat.
Cara ini akan meningkatkan pengangkutan oksigen dari paru-paru ke sel/jaringan sehingga
kebutuhan oksigen akan tetap tercukupi. Ini berarti tekanan arteri paru-paru meningkat
yang berarti output jantung juga meningkat. Perubahan lain pada sistim sirkulasi darah
adalah adanya peningkatan eritrosit dan hemoglobin darah yang berarti nilai hematokrit
darah juga meningkat.
Akibat dari adaptasi ternak terhadap ketinggian terutama pada unggas dapat
menurunkan daya tetas telur. Hal ini disebabkan suplai oksigen berkurang pada embrio
pada telur yang dierami, sehingga dapat menyebabkan kematian. Untuk itu penetasan
dengan menggunakan inkubator sangat dianjurkan untuk menambahkan oksigen ke
dalamnya. Sedangkan pada ternak besar/ruminansia, meningkatnya tekanan pada artei
paru-paru dapat menyebabkan penyakit brisket yaitu pembesaran dan pembengkakan pada
daerah brisket yang bisa berakibat kematian.

42
VIII.LINGKUNGAN UDARA, AIR DAN TANAH

A. LINGKUNGAN UDARA
1. Debu
- diameter 10 μm
- konsentrasi 150 ppm/m3
Komposis:
o kotoran hewan kering
o pakan
o materi bangunan
o bulu
o kulit hewan
Penerapan managemen perkandangan terkait dengan lingkungan yang minim
sangat mempengaruhi tingkat polusi yang terjadi. Khusus pada unggas tipe kandang litter
menimbulkan polusi udara yang lebih besar dibandingkan dengan tipe kandang batery.
Musim juga sangat mempengaruhu tingkat polusi pada lingkungan kandang peternakan.

Usaha untuk Mengurangi Polusi Udara


a. Kotoran/sampah jangan terlalu banyak menumpuk.
b. Pada feed loot (penggemukan sapi potong) bisa dengan mengurangi
luas/unit ternak.
2. Bau
Terbentuk dari komponen organik yang terurai terutamanya dengan cara anaerobik
dalam bentuk gas, sehingga cara termudah untuk mengurangi adalah dengan cara
bagaimana agar penguraian kotoran secara anaerobik bisa dikurangi/dihilangkan. Pada
kelembaban yang tinggi, diatas 50% dengan suhu 5 sampai 35oC terjadinya bau/gas dari
proses ini bisa mencapai 10 kali. Pengadukan terutama pada feses cair akan sangat
membantu pengurangan munculnya gas pencemar (polutant).
Dalam jangka panjang gas yang muncul dapat menyebabkan penyakit kronis pada
pernapasan. Beberapa bakteri dapat terlarut dalam suspensi gas dan terbawa melalui
penguapan yang apabila terhirup oleh ternak bahkan manusia akan menimbulkan gangguan
pada pernapasan. Telah teridentifikasi lebih dari 40 jenis gas polutant yang berasal dari
kotoran ternak. Beberapa diantaranya yang paling dikenal adalah:

43
a. Amonia (NH3)
Sebgai polutant yang palillng umum ditemukan terutama pada tingkat kepadatan
yang besar, dan amonia ini timbul akibat jenis lantai beton yang tidak bisa menyerap hasil
penguraian oleh jasad renik. Bau akan sangat menyengat pada kadar yang tinggi dan sudah
bisa mulai tercium pada kadar 10 ppm. Pengaruh amonia yang berkepanjangan pada ternak
akibat sistim pemeliharaan yang terus menerus, dapat menjadi stressor (penyebab stress)
yang berakibat pada pengurangan produksi ternak. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa
dengan sistim pemeliharaan ternak pada umumnya pencemaran sudah mencapi 30 sampai
50 ppm.
Pengaruh utama adalah menyebabkan terjadinya iritasi pada membran mukosa
saluran pernapasan terutama pada saluran bagian atas. Hal ini dapat diamati dengan
munculnya berbagai gejala sbb:
o Meningkatnya sekresi lendir pada saluran pernapasan sebagai usaha untuk
melarutkan gas tersebut.
o Napas menjadi dangkal, sebagai usaha untuk mengurangi gas tersebut masuk
sampai alveoli paru-paru dan sekaligus memperbanyak kelarutannya pada bagian
atas saluran pernapasan (dead space).
Walaupun sifatnya reversable (kembali normal), pengaruh khronik (dalam jangka
waaktu lama) akan menyebabkan iritasi dan masuknya bibit penyakit/ infeksi dengan
munculnya penyakit seperti edema dan pneumonia pada saluran pernapasan sehingga
pernapasan menjadi sangat terganggu.
Pada tingkat pencemaran lebih tinggi lagi (75 – 100 ppm), gas ini menyebabkan
gangguan pada mata. Keratokonjuctivitis (pembengkakan kornea dan jaringan ikatnya),
dan blepharitis (pembengkakan pada kelopak mata) adalah pengaruh terutama pada
unggas, ternak akan berusaha untuk selalu menutup matanya.

b. Hidrogen Sulfida (H2S)


Merupakan gas beracun yang sifat toxicnya hanya sedikit dibawah karbon
monoksida (CO). Terbentuk dari exreta (feses dan urin) yang mengalami penguraian secara
anaerobic. Gas ini tercium seperti bau telur busuk, walaupun pada kadar kurang dari 10
ppm belum berbahaya bagi ternak, pada kadar > 1000 ppm menunjukkan bahaya yang
sangat nyata. Biasanya muncul dari pembongkaran tumpukan kotoran hewan.
Akibat yang bisa ditimbulkan:

44
o Iritasi lapisan mucosa saluran pernapsan yang berakibat lanjut meningkatnya
tingkat infeksi.
o Lebih sensitif terhadap sinar.
o Pada tingkat pencemaran > 1000 ppm menyebabkan terjadinya ganguan pada pusat
respirasi sehingga pernapasan terganggu dan pada tingkat lebih tinggi lagi dapat
menyebabkan kematian pada ternak.
o Pada peningkatan yang terjadi secara perlahan tingkat kematian sangat berkurang
bahkan mungkin tidak akan terjadi.

c. Karbon Dioksida (CO2)


Sampai pada pencemran 300 ppm, ternak tidak menunjukan indikasi adanya
gangguan dan tidak tercium, tetapi pada level 2000 ppm mulai tercium. Gas ini berasal dari
berbagai sumber: pembakaran sampah, penguraian (dekomposisi) kotoran ternak oleh
mikro organisme, dan dari ekspirasi oleh ternak itu sendiri.
Gas CO2 baru menunjukkan tingkat yang berbahaya pada tingkat pencemaran
50.000 ppm yang biasanya sangat mudah terjadi pada sistim kandang yang tertutup. Gejala
awal yang mulai terditeksi adalah ternak menunjukkan frekuensi pernapasan yang lebih
cepat. Pada tingkat 400.000 ppm adalah tingkat berbahaya bagi tenak.
Gejala fisiologis akibat gangguan pencemaran gas ini adalah meningkatnya kadar
bikarbonat pada darah dan tekanan CO2 (PCO2 ) yang meningkat. Pada ayam petelur
tingginya kadar bikarbonat darah dapat terditeksi apabila terjadi penebalan pada kerabang
telur yang dihasilkan.
Pada ternak domba pencemaran pada level 80.000 ppm sudah memberikan
pengaruh yang nyata yaitu adanya gangguan pada sistim pernapasannya. Pada level
180.000 ppm ternak mungkin hanya bertahan dalam waktu kurang lebih 1 minggu.

c. Karbon Monoksida (CO)


Gas yang sifatnya tidak berbau ini adalah yang paling berbahaya pada pemeliharan
ternak. Munculnya gas ini biasanya dari pembakaran yang tidak sempurna dan penggunaan
sistim pemanas dengan sistim ventilasi yang tidak baik. Gas ini apabila masuk dalam darah
melalui sistim pernapasan akan berkompetisi dengan oksigen untuk berikatan dengan
hemoglobin (Hb). Daya ikat gas CO ini kurang lebih 250 kali lebih besar dibandingkan
dengan oksigen terhadap Hb. Adanya CO dalam darah akan mengurangi suplai oksigen ke
jaringan, sehingga terjadi hipoksia yaitu kekurangan oksigen pada tingkat jaringan.
45
Pada tingkat pencemaran 1200 ppm selama satu jam, darah ternak akan tercemar
dan terbentuk carboxyhemoglobin (HbCO) dengan kadar kurang lebih 30%, sebanding
dengan pencemaran dengan level 400 ppm dalam waktu 4 jam dan akan berakibat fatal
pada ternak. Batas ambang bahayanya adalah 20% HbCO dalam darah artinya diatas kadar
itu sudah berakibat fatal.
Pada ternak yang sedang bunting, CO mempunyai pengaruh yang lebih besar
terhadap embrio yang dikandungnya, sehingga anak yang dilahirkan bisa mati walaupun
induknya bisa bertahan hidup.
Dengan semakin majunya dunia peternakan seperti dengan semakin
berkembangnya industri peternakan, masalah lingkungan juga menjadi ikutan yang dapat
menyebabkan masalah bagi lingkungannya, termasuk ternaknya itu sendiri. Bau dari gas
yang tidak enak adalah yang paling dapat dirasakan pertama apabila memasuki lokasi
peternakan. Degradasi (penguraian) limbah secara anaerobik (tanpa oksigen) yang
menghasilkan berbagai macam jenis gas adalah penyebab utamanya. Semakin besar
perusahaan peternakan semakin besar masalah yang akan muncul. Masalah yang muncul
bukan hanya sekedar bau, tetapi juga dapat menyebabkan bahaya bagi kesehatan
lingkungannya, terutama pada manusia. Sebagai catatan gas yang muncul bisa sifatnya
hanya berbau, toxic/berbahaya, dan bisa berbau dan toxic.
Bau pada umumnya dikelompokkan menjadi 3 yaitu: lemah, sedang dan kuat.
Untuk orang yang semakin tua (diatas 50 th) sensitivitas terhadap bau semakin berkurang,
dan semakin lama terexpose dengan bau juga semakin berkurang sensitivitasnya. Sebagai
sumber bau bisa berasal langsung dikeluarkan dari ternak itu sendiri, kotoran ternak, urin,
bahan pakan ternak dsb. Bau yang berasal dari peternakan babi dan ayam sifatnya lebih
khas/tajam dan lebih berbahaya dibandingkan yang berasal dari ruminansia. Hal ini
disebabkan oleh unsur nitrogen dan phospat yang dikandung pada feses babi dan ayam.
Telah teridentifikasi lebih dari 150 jenis gas yang ada dalam sistim peternakan.
Dari jumlah tersebut karbon dioksida (CO2), ammonia (NH3), methane (NH4) dan
hydrogen sulphida (H2S) adalah yang paling dominan. Akumulasi dari gas-gas tersebut
karena sistim managemen yang tidak bagus, amonia dan hidrogen sulfida adalah yang
paling cepat menjadi toxic/berbahaya. Kondisi seperti kurangnya ventilasi udara dan
kotoran yang menumpuk/menggenang adalah contoh manajeman limbah yang tidak baik
dan bisa menjadi sangat berbahaya.
Secara garis besar untuk menghilangkan/mengurangi bau yang disebabkan oleh gas
dikelompokkan menjadi dua yaitu:

46
2.1. Pengurangan bau dengan perlakuan pada limbah (campuran feses, urin,
pahan pakan dsb)
2.1.1 Perlakuan limbah dengan cara kimia dan biokimia; perlakuan dengan cara
ini dilakukan dengan car mencampurkan bahan kimia ke dalam limbah
peternakan. Cara ini ternyata memerlukan biaya yang mahal, terutama dari
harga zat kimia yang digunakan dan hasilnya juga kurang efektip. Dua
senyawa kimia yang biasa digunakan adalah ammonium persulphate
(NH4)2S2O8dan kalium permanganat (KMnO4). Dikhawatirkan juga bahwa
penggunaan ini akan menimbulkan masalah pencemaran baru, sehingga
cara ini jarang digunakan/diaplikasikan.
2.1.2. Perlakuan oksidasi pada limbah (aerobic); cara perlakuan ini diakui bahwa
gas yang muncul adalah yang tidak berbau karena gas-gas yang
berbau/berbahaya jumlahnya sangat berkurang. Prinsipnya cara aerobik ini
penguraian (dekomposisi) limbah dilakukan oleh mikro organisme dengan
bantuan oksigen. Hasilnya ditandai dengan panas yang dihasilkan dari
proses oksidasi tersebut yang dapat mencapai 55oC dan habis dalam waktu
kurang lebih 1 minggu. Cara ini dapat dilakukan dengan cara mengaduk
limbah yang ditampung secara berkala/teratur sehingga suhu dalam limbah
dapat dipertahankan tidak lebih dari 25 oC.
2.1.3. Perlakuan anaerobic; cara yang paling populer adalah pembuatan biogas
(secara khusus akan dibahas pada bab berikutnya). Cara ini dilakukan
dengan cara membuat digestor yang kedap udara sehingga tidak ada
udara/oksigen yang masuk. Sebagai gas utama yang dihasilkan adalah CO 2
dan methane (NH4). Cara ini memang sudah sangat populer terutama dalam
situai krisis energi, tetapi memerlukan investasi awal yang cukup mahal
untuk membuat digestor tersebut. Dengan suhu dalam digester kurang lebih
35oC proses aerobik diperlukan waktu kurang lebih 10 hari. Sebagai
perbandingan, cara ini hanya menghasilkan 10% pencemaran dibanding
apabila limbah langsung ditebarkan ke tanah tanpa perlakuan seperti ini.
2.1.4. Masking; cara ini dilakukan dengan menggunakan deodorant/pewangi
untuk menghilangkan bau tidak sedap. Cara ini menjadi sangat tidak
efektip karena tidak bisa/sedikit sekali mengurangi gas-gas pencemar tetapi
juga menambah gas baru sebagai pencemar.

47
2.2. Perlakuan udara untuk mengurangi bau; cara ini hanya cocok digunakan
untuk kandang dengan sistim tertutup yang umumnya dibuat di daerah dingin.
Sedangkan di Indonesia, kandang sistim tertutup hampir tidak pernah dijumpai.

Tabel 2. Kharakteristik bau dan ambang batas terciumnya


Jenis gas Rumus kimia Ambang batas (mg/l) Kharakteristik bau
Allil merkaptan CH2=CHCH2SH 0,00005 Seperti bawang putih
Ammonia NH3 0,037 Tajam menyengat busuk
Benzil merkaptan C6H5CH2SH 0,00019 Tidak sedap
Khlorine CL2 0,01 Iritasi dan menyengat
Khlorofenol ClC6H4OH 0,00018 Karbol
Krotil merkaptan CH3CH=CHCH2SH 0,000029 binatang skunk, tengik
Difenil sulfida (C6H5)2S 0,00048 Bau tidak sedap
Etil merkaptan CH3CH2SH 0,00019 Kol busuk
Hidrogen sulfida H2S 0,00025 Telur busuk
Metil merkaptan CH3SH 0,0011 Kol busuk
Methyl sulphide (CH3)2S 0,0011 Sayur busuk

Lanjutan………
Jenis gas Rumus kimia Ambang batas (mg/l) Kharakteristik bau
Piridin C6H3N 0,0037 Iritasi dan tidak sedap
Skatole C9H9N 0,0012 Bau tai dan memuakan
Sulfur dioksida SO2 0,009 Menyengat dan iritasi
Thiokresol CH3C6H4SH 0,0001 Bau tengik
Thiofenol C6H5SH 0,00062 Busuk dan memuakan

Tabel3. Efek yang ditimbulkan dengan peningkatan konsentrasi gas


Konsentrasi Waktu
Nama Gas Efek
(ppm) berpengaruh
400 Tidak diketahui Iritasi tenggorokan
700 Tidak diketahui Iritasi mata
NH3 (amonia) 1700 Tidak diketahui Batuk berdahak
3000 30 menit Sesak nafas
5000 40 menit kematian
10 Terus menerus Peningkatan frekuensi napas dan
detak jantung
100 Beberapa jam Iritasi mata dan ISPA
H2S (hidrogen sulfide) 200 60 menit Pusing kepala
500 30 menit Pusing, pinsan dan kematian
1400 Beberapa detik Pembengkakan paru-paru dan
kematian
CH4 (metan) 500000 Tidak diketahui pusing,tapi tidak beracun
350 Terus menerus Konsentrasi normal di atmosfir
3500 Terus menerus Tidak ada efek
20000 Terus menerus Tidak ada efek
CO2 (karbon dioxida) 30000 Terus menerus Peningkatan frekuensi napas
40000 Terus menerus Berkunang-kunang dan pusing
60000 30 min Sesak nafas
300000 30 menit kematian

48
B. LINGKUNGAN AIR

Beberapa parameter digunakan untuk menyatakan karakteristik dari sumber alam


(khususnya air) dari pencemaran limbah di dalam peternakan. Sebagai contoh, parameter
ini dapat dikaitkan dengan tingkat polusi pada suatu usaha peternakan dan juga pada
pembuatan AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) yang secara umum
digunakan untuk berbagai jenis proyek besar. Istilah limbah peternakan digunakan untuk
menyatakan bahwa limbah itu merupakan campuran terutama feses dan urin ternak dari
yang padat sampai yang berbentuk cair. Sedangkan polusi didefinisikan sebagi perubahan
sumber, seperti air, tanah dan udara sehingga menjadi tidak standar atau terjadi perubahan
dari kondisi aslinya akibat berbagai macam zat pengganggu. Standart lingkungan biasanya
ditetapkan oleh negara masing-masing. Secara umum standard parameter lingkungan dapat
dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Parameter yang bisa digunakan sebagai pertanda polusi air pada sebuah sungai
atau sumber air disekitar industri peternakan

Fisik Logam Anorganik Organik Radioaktif Biologi


Penampakan Cadmium Keasaman BOD α dan β Bakteri
Warna Kalsium Choride COD Radioaktif Koliform
Konduktivitas Copper Nitrogen Minyak Strontium 90 Ikan
Bau Besi Oksigen Karbon org. Jamur
Padatan Magnesium Kalium Pestisida Patogen
Salinitas Zinc Natrium Asam Streptokokus
Daya endap Sulfat volatil Virus
Rasa
Suhu

Terminologi dan Definisi dari Beberapa Parameter Standar Lingkungan:

1. Animal Population Unit/APU (unit populasi ternak)


Untuk penetapan unit ini terjadi perbedaan antara satu negara dengan negara lain. Di
Amerikan, unit ternak ditetapkan 450 kg Bobot badab/BB, dan di Eropa sebagi unit
ternak ditetapkan 500 kg BB. Sedangkan untuk popolasi ternak secara umum diakui
bahwa satu unit APU adalah 100 kg untuk semua jenis ternak. Hal ini dengan
pertimbangan bahwa angka 100 sangat mudah untuk digantikan dengan persentase (%).
Jadi kalau berat rata-rata ternak dalam satu populasi adalah 500 kg, APU/ekor adalah 5.

2. Dissolved oxygen/DO (oksigenterlarut)

49
Merupakan parameter yang penting untuk menyatakan kualitas air. Nilai DO sangat
terganting pada suhu dan klorid (ion Cl) yang terlarut dalam air tersebut. Sebagai
contoh oksigen terlarut pada suhu 4 oC dan kadar klorin 0 adalah 13,1 mg/l sedangkan
pada suhu 30oC, nilai Donya adalah 7,6 mg/l. kelihatan bahwa semakin tinggi suhu
semakin sedikit oksigen dapat terlarut. Ada dua metoda untuk mengukur DO;
iodometrik dan membran katode yang kitnya dapat dibeli. Ditetapkan bahwa DO 5 - 6
mg/l adalah yang dapat diterima karena ikan dapat hidup pada air tersebut. Sebaliknya
di bawah 3 mg/l ikan akan mati dan ada indikasi bahwa mikroorganisme semakin
berkembang bahkan bakteri anaerobik juga mulai berkembang.

Tabel 5. Beberapa contoh APU untuk jenis ternak yang berbeda BB.
BB Jml
Diskripsi APU/ekor APE/ekor
(kg/ekor) ternak/APU
Sapi Potong
Sapi Bali dewasa 300 3 0,33
PO dewasa 400 4 0,25
Brahman dewasa 400 4 0,25
Hereford > 2 th 500 5 0,2

3. Biochemical Oxygen Demand/BOD


BOD secara luas digunakan untuk mengukur tingkan polusi bahan organik dari air.
Parameter ini juga digunakan untuk mengetahui tingkat proses aerobik dalam air. BOD
adalah merupakan pengukuran jumlah oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme
untuk proses oksidasi bahan organik yang ada di dalam air pada periode dan suhu
tertentu.
Cara pengukuran BOD dilakukaan dengan menggunakan alat khusus yaitu
berupa botol BOD yang diisi dengan sample air yang akan diukur. Selanjutnya, air
destilasi yang di jenuhi dengan oksigen sehingga diketahui DOnya dan larutan nutrien
khusus ditambahkan. Setelah tercampur semua dilakukan pengukuran DOnya, dan
setelah 5 hari penyimpanan pada suhu 20oC kembali DO (BOD5)nya diukur. Selisih
DO tersebut dibagi dengan jumlah sampel yang digunakan adalah merupakan BOD
dari sampel tersebut. Inilah prinsip pengukuran BOD yang nilainya pada air limbah
peternakan berkisar antara 1.000– 10.000 mg/l.

4. Chemical Oxygen Demand (COD)

50
Ini merupakan pengukuran kebutuhan oksigen untuk proses oksidasi secara kimia dari
senyawa organik yang ada pada limbah yang akan diukur. Bahan kimia yang
digunakan sebagai oksidan adalah kalium dikhromat dan asam sulfat. Pada prinsipnya
metode ini menggambarkan bahwa jumlah bahan organik yang bisa teroksidasi
mencerminkan jumlah oksigen yang tersedia. Keuntungan cara ini adalah dapat
dilakukan secara singkat beberapa jam saja dibandingkan dengan pengukuran BOD
yang butuh waktu 5 hari.
Tabel 6. Data beberapa parameter dari limbah kotoran ternak pada beberapa jenis
pemeliharaan ternak
Sapi
Satuan Babi Petelur Sapi Potong Domba
Perah
Feses basah kg/APU/d 5,1 6,6 4,6 3,6 9,4
Ratio F/U ratio 1,21 10 2,41 11 2,21
Urine % 45 0 29 50 31
Kadar air % 86,5 74,7 82,8 70,3 90,7
% 13,5 25,3 17,2 29,7 9,3
BK kg/APU/d 0,69 1,67 0,70 1,07 0,89
kg/ton basah 135 253 172 297 93
% 82,4 72,8 82,8 84,7 80,3
BK menguap kg/APU/d 0,57 1,22 0,65 0,91 0,72
kg/ton basah 111 184 142 252 75
BOD % BK 31,8 21,4 16,2 8,8 20,4
kg/APU/d 0,22 0,36 0,13 0,09 0,18
BOD
% COD 30,7 23,2 17,4 7,8 13,8
% BK 104 92 93 113 148
COD
kg/APU/d 0,72 1,5 0,65 1,2 1,3
% BK 5,6 5,9 7,8 4,0 4,0
Total N kg/APU/d 0,039 0,099 0,055 0,043 0,036
kg/ton basah 7,6 15 12 12 3,8
% BK 2,5 2,1 1,6 0,66 0,7
Total P kg/APU/d 0,017 0,035 0,011 0,007 0,006
kg/ton basah 3,3 5,3 2,4 1,9 0,64
% BK 4,9 2,3 3,6 3,2 2,3
Total K kg/APU/d 0,034 0,039 0,025 0,034 0,023
kg/ton basah 6,7 5,9 5,4 9,4 2,4

Untuk menghitung produksi limbah pada setiap populasi ternak dapat dengan
mengalikan produksi per APU (Tabel 6) dikalikan jumlah APU dalam populasi. Sebagai
pedoman untuk memisahkan antara feses dengan urin dapat dipakai ketentuan sbb: babi
1,2/1 (55% feses : 45% urin); sapi potong 2,4/1 (71% feses : 29% urin); domba 1/1 (50%
feses : 50% urin); sapi perah 2,2/1 (69% feses : 31% urin); dengan ketentuan bahwa
ransum tersedia penuh dan air ad libitum.Berdasarkan Tabel 6 tersebut juga dapat
diketahui berapa jumlah total kandungan N, P, dan K dari suatu peternakan. Hanya saja
untuk P harus dikalikan dengan faktor 2,27 dari total pospat pada tabel apabila dirubah
menjadi P2O5, dan faktor 1,21 untuk merubah dari total kalium pada tabel menjadi K2O.

51
Tabel 7. ProduksiNPK beberapa jenis ternak dalam satu tahun.
Produksi tahunan (kg/tahun)
Jenis ternak Ukuran
N** P K
Babi APU* 14,2 6,2 12,4
Babi muda 0,7 APU 10 4,3 8,7
Ayam petelur APU 36,1 12,8 14,2
Ayam dara 0,01 APU 0,36 0,13 0,14
Sapi potong APU 20 4,0 9,1
Sapi potong muda 2 APU 40 8,0 18,2
Domba APU 15,7 2,6 12,4
Domba tua 0,5 APU 7,8 13,2 6,2
Sapi perah APU 13,1 2,2 8,4
Sapi Perah dewasa 5 APU 92 15,3 59
*APU = 100 kg BB; **N = Total nitrogen dengan asumsi tidak ada N yang hilang

Karena sifatnya yang mudah menguap dalam bentuk gas, nitrogen dapat hilang
antara 10 sampai 80% tergantung pada bentuk limbah (cair, padat dsb), temperatur dan
kelembaban, dan proses oksidasi yang terjadi (anaerob atau aerob). Sebagai gambaran
dalam bentuk cair N yang hilang jauh lebih bayak dari pada dalam bentuk padat. Pada
kondisi panas N lebih mudah hilang, dan adanya proses anaerobik juga menghasilkan
kehilangan N dalam bentuk gas lebih banyak. Pada Tabel 7 jumlah N untuk
menggambarkan bahwa tidak ada N yang hilang yang kenyataannya di lapangan adalah
tidak demikian. Namun demikian tidak seperti halnya nitrogen, P dan K tidak mudah
hilangkarena pada umumnya terbentuk dalam bentuk senyawa yang lebih stabil.
Unsur penting lainnya yang terkandung dalam limbah peternakan adalah adanya
unsur logam atau unsur anorganik lainnya. Pada tabel 8 terlihat bahwa kandungan unsur-
unsur tersebut, dengan catatan bahwa ternak dalam kondisi normal dan ransum yang
diberikan berdasarkan formulasi yang ideal/seimbang termasuk ketersediaan air
minumnya.
Sebagai konsekuensi adanya limbah peternakan yang terbawa oleh air, maka
kondisi air yang tertahan/tertampung dalam kolam atau sungai/parit terutama yang tidak
mengalir terjadilah suatu kondisi yang disebut eutrophication yang digambarkan dalam
skema pada Gambar 13.

Tabel 8.Kandungan beberapa unsur anorganik dan logam dalam limbah peternakan.

Unsur Simbol Kisaran jumlah (g/kg BK) limbah


52
Babi Ayam Sapi potong Sapi perah
Kalsium Ca 2,4-3,6 1,7-110 6-35 13-25
Magnesium Mg 0,3-14 0,6-17 10-13 2,5-9,1
Natrium Na 6,3-20 6,6-8,9 1,0-19 3,1-13
Besi Fe 0,6-1,8 0,7-8,9 0,7-1,3 0,4-1,3
Seng Zn 0,4-1,8 0,1-0,3 0,1-0,3 0,1-0,2
Mangan Mn 0,2-0,4 0,1-0,5 0,1-0,2 0-0,1
Tembaga Cu 0,1-1,4 0-1,0 0-0,1 trace
Boron B 0,1-0,3 0-0,1 0-0,1 0-0,1

Kondisi Kondisi kaya Mikroorganisme


kurang nutrisi nutrisi & Tumbuhan

ANAEROBIC
DECOMPOSITION

BOD

AEROBIC
MICROORGANISM

Gambar 13. Skema eutrophication pada tempat genangan air di lingkungan peternakan.

C. LINGKUNGAN TANAH
Sebagian besar limbah peternakan berakhir di tanah. Limbah ini di dalam tanah
berfungsi sebagi humus untuk menyuburkan tanah karena berfungsi sebagai sumber
nutrisi/makanan bagi tanaman atau sumber bahan organik sehingga sering disebut pupuk
organik.

1. Limbah peternakan sebagai sumber bahan organik


Sebagai sumber bahan organik di tanah, limbah peternakan sangat mudah terurai
oleh mikroorganisme menjadi karbon dioksida, air dan gas terutama amonia. Keuntungan
dari pupuk organik di dalam tanah adalah nitrogen yang terkandung terurai sangat lambat
sehingga dapat bertahan lebih lama dibanding pupuk anorganik.
Sebagai komponen utama dalam pupuk organik adalah selulosa, lignin dan protein.
Selulose digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi, dan protein juga juga
sebagai sumber nutrisi mikroorganisme yang secara bersama-sama dengan selulose
merupakan struktur utama pupuk organik. Semua unsur organik yang telah terurai akhirnya
53
secara bersama-sama membentuk humus. Struktur humus yang ada sangat mempengaruhi
nilai/kualitas fisik dari tanah. Pengaruh yang nyata adalah akan membuat struktur tanah
menjadi sangat stabil/seimbang sehingga menjadikan tanah sangat baik untuk pertumbuhan
tanaman.
Lignin sebagai sumber nutrisi mikroorganisme mengalami dekomposisi/ terurai
sangat lambat. Tahapan penguraian lignin oleh mikroorganisme dalam tanah sehingga bisa
menjadi unsur hara tanah adalah sbb:
o Pemotongan/pemendekan rantai cabang phenol acrylic acids dan pembentukan
phenol carboxylic acids.
o Pengurangan gugus metil dari phenol ether menjadi phenol carboxyclic acid
dengan hydroxyl groups pada posisi ortho.
o Hidroksilasi gugus phenol carboxyclic acidmenjadi asam jenis lain dengan rantai
gugus hidroksil pada posisi ortho.
o Oksidasi pemotongan rantai karbon menjadi derifat hydroquinone (contoh,
transformasi asam vanilik menjadi methoxyhidroquinone).
o Pembelahan cincin phenolcarboxiclic acids dengan gugus hidroksilnya pada posisi
ortho menjadi aliphatik ketoacids.
o Diakhiri dengan reaksi demerization dan polimerisasi.
Sebagai kesimpulan, penggunakan pupuk organik khususnya limbah peternakan
akan meningkatkan nilai kesuburan tanah. Hal ini terjadi karena akan meningkatkan
jumlah mikroorganisme pengurai yang berarti akan terurainya senyawa organik dari
limbah menjadi substansi humus yang menjadikan stuktur baru tanah menjadi lebih stabil
dan peningkatan jumlah pori-pori tanah. Selanjutnya akan terjadi perbaikan pertukaran air
permukaan dan daya ikat air tanah (water-holding capacity), terjadi peningkatan kapasitas
pertukaran ion tanah. Akhirnya, ketersedian unsur hara/nutrisi tanah yang meningkat
dengan imbangan yang bagus akan menyebabkan perakaran tanaman menjadi lebih
berkembang sehingga pertumbuhan tanaman juga menjadi lebih baik, dan lebih jauh lagi
produktivitas tanaman juga menjadi baik.
Sekali lagi bahwa limbah peternakan tidak bisa secara langsung
memperbaiki/menyburkan tanah. Sebagian besar, terutama senyawa organik yang
terkandung dalam limbah harus diuraikan/dekomposisi/dimanfaatkan oleh mikroorganisme
sehingga menghasilkan ion/molekul yang bisa dimanfatkan oleh tanaman sebagai
humus/unsur hara/zat nutrisi. Disamping membantu tersedianya unsur hara dalam tanah,
mikroorganisme secara fisik juga akam memperbaiki struktur tanah. Jadi ketersediaan
54
bahan organik dan keberadaan mikroorganisme sangat tergantung satu sama lain
disamping juga ketersediaan air untuk mempertahankan kelembaban sehingga proses dapat
terjadi dengan baik.

D. PENGARUH TERHADAP AIR TANAH


Salah satu komponen penting dalam fases adalah nitrogen dalam bentuk
nitrat (NO3), biasanya ditemukan terutama pada tanah yang fesesnya jarang dibersihkan.
Bentuk nitrat ini lama kelamaan akan mengendap masuk ke dalam air tanah. Sebetulnya
tanah jenis ini sangat baik utuk pertumbuhan tanaman, tetapi sampai pada kadar 10 ppm
pada air tanah menjadi sangat berbahaya, terutama apabila airnya menjadi air minum, dan
bayi/anak akan terkena dampaknya terlebih dahulu yang dikenal dengan penyakit “blue
baby” (anak bayi dengah wajah membiru).
Feses yang dihasilkan dari hewan ternak akan terkumpul atau dikumpulkan pada
suatu lokasi. Feses ini masih kaya senyawa organik yang akan dimanfaatkan oleh
mikroorganisme. Pada feses bagian atas,dengan proses aerobik,reaksi oksigen dengan ion
ammonium (NH4-) akan menghasilkan nitrat (NO3) dan akan terurai menjadi nitrogen (N 2)
dan oksigen bebas. Lain halnya dengan nitrat yang terperangkap pada bagian bawah atau
permukaan tanah, mikroorganisme akan memanfaatkan nitrat sebagi sumber oksigen dan
berubah menjadi nitrit (NO2; Gambar 14). Air minum yang tercemar nitrit apabila masuk
dalam tubuh ternak bahkan manusia akan berikatan dengan hemoglobin darah atau disebut
methemoglobinemiasehingga suplai oksigen dalam tubuh berkurang.

NH4- + O2NO3 N2 Feses atas

NO3 NO2 Feses bawah

Tanah/air tanah

Gambar 14. Pengaruh feses (nitrat) terhadap tanah/air tanah.

55
IX. MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH (CLEAN
DEVELOPMENT MECHANISM) PADA PETERNAKAN

A. PEMANFAATAN FESES
Pengelolaan feses (Gambar 15 dan 16) yang benar akan memberikan manfaat yang
besar, tetapi kurangnya perhatian terhadap feses dari hasil peternakan akan mengakibatkan
polusi dan gangguan kesehatan lingkungan yang berdampak pada kesehatan manusia. Dari
Gambar tersebut terlihat bahwa beberapa pemanfaatan feses dapat dijadikan pupuk sebagai
tujuan akhir.

56
Pemanfaatan Feces

Nutrient Recovery Energy Recovery Water Recovery

Pupuk Pupuk Pupuk


Protein sel Gas metan (biogas) Daur ulang
Pakan ternak Bahan bakar padat
Ensilase Bahan bakar cair

Gambar 15. Skema pemanfaatan feses untuk berbagai keperluan

Perlakuan

Fisik Biologi Kimia

Pemisahan padatan Aerobik, Anaerobik Pirolisis


(Pemisahan air) (Biogas), Kolam algae, Hidrogenasi
Penyaringan aerasi, oksidasi, N/P removal
Centrifug kompos, dsb
Pengendapan

Gambar 16. Skema berbagai perlakuan pada limbah peternakan.

1. Pembuatan Pupuk Kandang Cara Aerobik (composting)


Pupuk kandang (organik) terjadi karena feses talah mengalami proses aerobik atau
sering disebut penguraian secara termopilik (composting) dari senyawa organik yang
terdapat dalam feses menjadi humus yang relatif stabil. Untuk mempercepat proses
penguraian secara aerobik, mengaduk secara teratur feses yang akan dibuat kompos sangat
diperlukan untuk tersedianya oksigen oleh organisme aerobik, seperti bakteri,
aktinomisetes, jamur dan protozoa (Golucke, 1977). Tanpa pengadukan proses pembuatan
pupuk kandang atau kompos dari feses sapi menjadi lebih lama (kurang lebih 8-10 bulan)
dan kurang homogen. Tanpa pengadukan ini, aerasi atau ventilasi sangat minim sehingga

57
suplai oksigen menjadi sangat kurang, dengan kata lain proses dekomposisi secara aerobik
menjadi lambat (El-Ahraf dan Willis, 1996).

PERTANIAN, PERKEBUNAN, DAN PERIKANAN

KOMPOS OUTLET PAKAN IKAN


BY-PRODUCTS dan BIO-MASS

 
KANDANG

 
TERNAK

DIGESTER
COMPOSTING

RUMAH

FESES INLET
BIOGAS

Gambar 17A. Skema (layout) peternakan ramah lingkungan

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan pupuk kandang untuk
mendapatkan pupuk yang baik dan dalam waktu yang lebih singkat (2 bulan). Kelembaban
harus dipertahankan pada 40 - 60% dan temperatur optimal berkisar 60oC, sehingga
pengadukan dan mungkin penambahan air/penjemuran feses bisa dilakukan untuk
mencapai kriteria tersebut (Grabbe, 1975 dan Kuhlman, 1990). Apabila syarat tersebut
tidak terpenuhi maka kemungkinan perbandingan karbon dengan nitrogen (C/N) menjadi
sangat tinggi (diatas 40/1). Hal ini akan menghasilkan pupuk kandang yang kurang
baik.Untuk membantu proses aerasi dapat ditambahkan 25% tanah dan hal ini terutama
untuk dapat menghasilkan tekstur pupuk yang lebih baik (Tietjen, 1978). Ciri-ciri pupuk
kandang yang baik C/N kurang dari 20/1 dengan kandungan N adalah 1,2–1,5%,
kelembaban maksimal 30% dan warnanya adalah kecoklatan (Taiganides, 1987).
Untuk aplikasi atau penggunaan pupuk kandang setelah proses pembuatannya harus
diperhatikan. Untuk penggunaan perkebunan atau pertanian pada umumnya perlu waktu
tambahan 2 minggu setelah pembongkaran pada pembuatan secara intensif atau tambahan
10 minggu pada pembuatan secara konvensional. Sebaliknya pada penggunaan pupuk

58
kandang untuk pemupukan greenhouse atau keperluan rumah tangga, seperti taman bunga
maka melayukan lebih lanjut beberapa bulan setelah waktu pembongkaran tersebut adalah
sangat dianjurkan (Taiganides, 1987).

Bahan Feses

Anorganik Organik

Nitrogen Karbon Sulfur

Protein Lemak Karbohidrat

Gula Serat Sulfida

Asam amino Asam lemak Alkohol


Cu, P, K,
Zn, Mn,
Ca, Co, Lignin
Fe, H, O NH3 H2O CH4 CO2 Selulosa H2S

Gambar 17. Skema proses anaerobik dekomposisi bahan organik pada pembuatan biogas.

2. Pembuatan Pupuk Organik Cara Anaerobik dan Biogas


Feses dari hasil limbah peternakan kaya akan bahan organik yang dapat dirubah
menjadi salah satunya adalah biogas melalui dekomposisi oleh mikro organisme (Gambar
17). Proses pembuatan biogas ini dapat menyediakan energi yang lebih murah dan
sekaligus untuk mengurangi ketergantungan akan bahan bakar terutamanya minyak. Proses
ini juga dapat menjadikan kandungan nutrien hasil sisa proses menjadi lebih baik
digunakan sebagai pupuk karena mengandung hampir semua nutrient esensial yang lebih
stabil dibutuhkan oleh tanaman.
Beberapa keuntungan dari penggunaan feses sebagai penghasil biogas:
 Bahan organik akan berkurang setelah mengalami penguraian tetapi menjadi lebih
stabil, terutama terbebas dari sifat polutan yang berbahaya.
 Dapat terbebas/mengurangi bau sehingga mengurangi masalah lingkungan
termasuk masalah lalat.
 Menghasilkan pupuk organik yang lebih baik dalam bentuk padat maupun cair.

59
 Gas yang dihasilkan dapat digunakan untuk pengganti bahan bakar yang secara
ekonomi lebih menguntungkan dari bahan bakar minyak.
Disamping keuntungan, beberapa kekurangan/kerugian dari pembuatan biogas
perlu dijadikan perhatian:
 Investasi awal dapat menjadi sangat mahal terutama untuk pembuatan digester
permanaen.
 Diperlukan penanganan harian yang baik terutama untuk mempersiapkan bahan
feses yang akan digunakan untuk mendapatkan kecukupan produksi biogas.
 Pemeliharaan dan pengawasan harus diperhatikan untuk menghindari bahaya yang
bisa ditimbulkan oleh kebocoran gas yang dihasilkan.

Contoh Pembuatan Biogas dan Pupuk Kandang/Organik (untuk 5 ekor sapi)


o Empat buah drum (kapasitas 200 liter) dihubungkan secara paralel,
kemudiana dihubungkan ke sebuah drum penampung gas yang dilengkapi
dengan sebuah drum mengapung yang bisa naik turun secara bebas sesuai
dengan tekanan gas yang dihasilkan. Selanjutnya, dari penampungan gas
dihubungkan ke kompor gas (Gambar 18), dan sludge yang dihasilkan
dibuat pupuk dengan cara didiamkan sampai mengering.
o Untuk menjaga kontinuitas produksi biogas, pengisian masing-masing drum
dilakukan secara bergiliran setiap minggu atau menurut kebutuhan.
o Diperkirakan separuh dari feses yang dihasilkan akan digunakan untuk
pembuatan biogas.Feses yang tidak digunakan untuk pembuatan biogas
digunakan untuk pembuatan pupuk kandang secara alami
(composting/proses aerobik).
o Lubang yang sebetulnya telah tersedia diperbaiki dengan jalan membagi
menjadi 4 masing-masing 2 m x 1 m dengan kedalaman 1 m (Gambar 18).

60
Cairan

Gambar 18. Skema pembuatan unit biogas yang terdiri dari inlet, digester, outlet dan
drum/kantong plastik sebagai penampung gas yang kemudian dihubungkan
ke kompor gas/dapur.

o Pengisian lubang satu per satu (lubang Feses a dan b) dan setiap minggu
ditambahkan tanah kurang lebih 25%. Tanah ini digunakan disamping untuk
memperbaiki tekstur pupuk yang akan dihasilkan juga digunakan sebagai
pembatas pengadukan, karena setiap minggu pengadukan tidak dilakukan
seluruh isi lubang, tetapi hanya sebatas tanah yang ditambahkan.
o Pembongkaran pertama lubang berisi feses (lubang Feses a dan b) dilakuakn
setelah total selama 6 bulan (4 bulan pengisian ditambah 2 bulan
pemasakan). Setelah dibongkar dijemur selama 3 hari untuk mengurangi
kadar air dan membersihkan kotoran.
o Dengan memperbaiki/kontrol proses produksi yang ada akan memperbaiki
proses kontinuitas produk dan produk yang dihasilkan. Salah satu perbaikan
yang bisa dilakukan adalah dengan memperpendek proses pembuatan pupuk
dari 8–10 bulan menjadi hanya 4–6 bulan. Hal ini dilakukan dengan
membagi tempat penampungan (Gambar 19) menjadi 4 bagian, 2 bagian
untuk composting (Feses a dan b), dan 2 bagian untuk pembuatan biogas
(Feses c dan d). Secara umum tata letak (lay-out) komponen proses dapat
dilihat pada Gambar.

61
2,3 m
1,9 m

2m

1,2 m

Gambar 19. Tata letak (lay-out) antara kandang dan tempat penampungan feses.

Gambar di atas merupakan contoh sederhana pembuatan biogas dan tidak bersifat
permanen karena dalam selang waktu tertentu harus mengganti drum digesternya. Untuk
pembuatan yang permanen tentunya dapat dilakukan dengan konsekuensi dana yang
dikeluarkan juga lebih banyak karena digester yang harus dibuat dari konstruksi beton
dengan volume yang jauh lebih besar. Sebagai catatan untuk mempercepat proses
pembuatannya pada waktu pertama kali perlu ditambahkan starter yang berupa isi rumen
yang dapat diambill dari rumah potong hewan. Untuk proses selanjutnya, pengosongan
drum digester tidak perlu semua isi dikeluarkan. Sisa yang ada pada drum digester bisa
berfungsi sebagai starter.

62
DAFTAR PUSTAKA

Alexander, D.J.; Lister, S.A.; Johnson, M.J.; Randall C.J and Thomas, P.J. 1993. An
outbreak of highly pathogenic avian influenza in turkeys in Great Britain in 1991.
Veterinary Record, 132(21): 535-536.

Brown Brandl, T.M.; Beck, M.M.; Schulte, D.D.; Parkhurst, A.M. dan DeShazer, J.A.
1997. Temperature humidity index for growing tom turkeys. Transactions of the
ASAE, 40(1): 203-209.

Curtis, S.E. 1993. Environmental management in Animal Agriculture. Iowa State Univ.
Press.

de Basilio, V.; Vilarino, M.; Yahav, S; and Picard, M. 2001. Early age thermal
conditioning and a dual feeding program for male broilers challenged by heat
stress. Poultry Science, 80(1): 29-36.

El-Ahraf, A. and Willis, W.V., 1996. Management of Animal Waste: Environmental


Health Problems and Technologycal Solution. Praeger, Westport, Connecticut,
London.

Gates, R.S.; Zhang, H.; Colliver, D.G. and Overhults, D.G. 1995. Regional variation in
temperature humidity index for poultry housing. Transactions of the ASAE, 38(1):
197-205.

Golouke, C.G. 1977. Biological Reclamation of Solid Waste. Rodale Press, Emmaus, PA.

Grabbe, K. 1975. Investigations on the procedure and the turn-over of organic matter by
hot fermentation of liquid cattle manure. In: Manging Livestock Wastes. ASAE,
St.Joseph, MI.

Hilman, P.E.; Scott, N.R. and van Tienhoven, A. 1985. Physiological resresponses and
adaptation to hot and cold environment. In: Blaxter, K.L. (Ed.). 1989. Energy
Metabolism in Animals and Men. Cambrige University Press, Cambridge, pp:181.

Johnson, H.D. 1987. Bioclimatology and The Adaptation of Livestock. Elsevier Sci. Publ.
pp: 8-12.

Kuhlman, L.R. 1990. Windrow composting of agricultural and municipal wastes. Resouces
Conservation and Recycling, 4: 151-160.

Leeson, S. and Summers, J.D. 2000. Broiler Breeder Production. Pub. By Univ. Books,
PO. Box 1326, Guelp, Ontario, Canada, pp: 23-47.

May, J.D. and Lott, B.D. 1992. Feed consumption patterns of broilers at high
environmental temperatures. Poultry Science, 71: 331-336.

McDonald, P., Edwards, R.A. and Greenhalgh. 1988. Animal Nutrition 4 th. Edition.
Longman Scientific and Technical, Longman Group UK Ltd., England, Pp: 224.
63
Philip, P. and Piggins, W. 1995. Farm animal and Environment. CAB Publ.

Strauch, D. 1987. Animal Production and Environmental Health. Elsevier Sci. Publ.

Taiganides, E.P. 1978. Animal waste management and wastwater treatment. In: Animal
Production and Environmental Health. Edited by D. Strauch. Elsevier Sci. Publish.
B.V.

Tietjen, C. 1978. Influence of fecal wastes on soil, plant, surface water and ground water.
In: Animal Production and Environmental Health. Edited by D. Strauch. Elsevier
Sci. Publish. B.V.

Yousef, MK. 1984. Stress Physiology in Livestock. Vol. I, II dan III. CRC.

64

Anda mungkin juga menyukai