Anda di halaman 1dari 9

PERAWATAN KONSERVATIF PADA TRAUMA GIGI SULUNG ANTERIOR

RAHANG ATAS: LAPORAN KASUS

ABSTRAK

Trauma pada gigi sulung anterior rahang atas adalah kasus yang paling sering ditemukan

dalam bidang kedokteran gigi anak. Kondisi trauma merupakan cedera serius yang

memerlukan penentuan prioritas perawatan agar dapat dilakukan tindakan gawat darurat

awal yang adekuat. Trauma yang terjadi pada gigi sulung memiliki kondisi dan perawatan

yang berbeda dari gigi permanen. Penentuan tindakan gawat darurat sangat penting untuk

mendapatkan prognosis yang baik. Pada laporan kasus ini menunjukkan keberhasilan

perawatan splinting pada gigi anterior sulung yang mengalami luksasi.

Kata kunci: gigi sulung, trauma, luksasi, splinting.

PENDAHULUAN

Sejak lahir, seorang anak telah terpapar oleh berbagai trauma yang bergantung

pada seberapa besar trauma tersebut terjadi, sehingga dapat menyebabkan kerusakan yang

masih minimal hingga kerusakan yang mengancam jiwa. Prevalensi trauma yang terjadi

pada rentang anak usia 0-6 tahun terlihat pada 11-30% kasus, dan kondisi kerusakan yang

paling seing terjadi akibat trauma adalah luksasi pada gigi sulung anterior. Keenwood dan

Seow melaporkan bahwa pada anak usia kurang dari 7 tahun, lebih dari 30%-nya pernah

mengalami trauma pada periode gigi sulung. Kondisi trauma ini paling sering melibatkan

gigi anterior, dan anak laki-laki lebih sering mengalami trauma dibandingkan dengan

anak perempuan. Morfologi dan lokasi dari gigi anterior menjadikan gigi ini paling

mudah terdampak trauma. Trauma yang terjadi pada gigi ini memberikan pengaruh

langsung pada estetik, fonetik, dan aktivitas fungsional, serta dapat memberikan efek

1
psikologis pada anak dan orang tuanya.

Trauma paling sering diakibatkan oleh jatuh dan pukulan. Pada anak yang

mengikuti aktivias olahraga, namun tidak memakai pelindung rongga mulut yang baik

akan menjadi faktor yang meningkatkan resiko terjadinya trauma gigi. Pasien dapat

mengeluhkan berbagai macam kerusakan yang terjadi, mulai dari kerusakan pada gigi itu

sendiri, seperti fraktur mahkota atau akar, hingga kerusakan pada struktur periodontal

yang mendukung gigi tersebut, termasuk luksasi dan avulsi. Pada gigi permanen anterior

yang mengalami trauma, lebih sering terjadi kerusakan berupa fraktur, namun pada gigi

sulung anterior yang mengalami trauma, kerusakan yang paling sering terjadi adalah

luksasi.

Luksasi rongga mulut paling sering terjadi pada gigi insisif rahang atas. Kekuatan

horizontal secara langsung mengenai bidang labial mahkota gigi dan mendorong mahkota

ke arah palatal, serta akar gigi ke arah labial menjauhi gigi permanen yang akan tumbuh.

Pada anak yang memiliki relasi lengkung gigi yang normal (ujung insisal gigi insisif

rahang bawah berkontak dengan bagian palatal gigi insisif rahang atas), perpindahan

mahkota gigi dapat menyebabkan hambatan oklusi. Luksasi terjadi karena rusaknya

serabut gingiva dan ligamen periodontal (PDL). Putusnya serabut gingiva memungkinkan

terjadinya invasi mikroorganisme rongga mulut sepanjang permukaan akar dan

menginfeksi ligamen periodontal. Sebagai tambahan, plat tulang bagian labial juga bisa

mengalami fraktur, disertai hemoragi dan pembengkakan pada bibir atas.

Diagnosis yang tepat, rencana perawatan, dan kontrol berkala harus dilakukan

untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dari perawatan trauma gigi. Salah satu

prosedur penting dalam perawatan adalah splinting atau stabilisasi gigi yang trauma.

Telah diteliti bahwa fiksasi gigi selama kurang lebih satu minggu memberikan

penyembuhan klinis yang baik pada gigi trauma yang telah direposisi. Di samping

2
komponen estetik dan kemudahan pembersihan, teknik fiksasi gigi yang dilakukan juga

harus mudah dipasang dan dilepas, serta pemasangan komponen fiksasi tersebut harus

memberikan kesempatan bagi gigi yang difiksasi tersebut untuk mengalami sedikit

pergerakan fisiologis. Dasar teori paling baru, mendukung pemakaian splint non-rigid

dalam jangka waktu pendek untuk memfiksasi gigi luksasi.

Pada artikel ini menunjukkan perawatan konservatif dari 2 kasus luksasi gigi

insisif rahang atas, serta hasil dari evaluasi kontrol.

LAPORAN KASUS

Kasus 1

Seorang laki-laki usia 6 tahun datang ke Departemen Pedodontik dan Preventif

Kedokteran Gigi, Universitas Kedokteran Gigi Himachal, Sundernagar, 2 jam setelah

jatuh dari sepeda dan mengalami trauma pada giginya. Riwayat kesehatan umum tidak

ada kelainan dan tidak ada

alergi. Pasien tidak

mengalami kehilangan

kesadaran dan tidak muntah.

Pemeriksaan ekstra oral tidak

menunjukkan adanya

Gambar 1. Gambaran klinis saat setelah trauma serta perubahan pada sendi temporo
terdapat cross-bite insisiv RA
mandibular. Terdapat

pembengkakkan pada bibir bawah. Pemeriksaan intra oral terlihat adanya hematoma pada

bibir bawah, laserasi jaringan lunak, dan perpindahan ke arah palatal kedua gigi insisif

sentral rahang atas, sehingga menyebabkan relasi gigitan terbalik gigi anterior rahang atas

terhadap gigi anterior rahang bawah. Relasi molar pasien normal. Pada pemeriksaan

3
radiografi periapikal menunjukkan adanya pemendekan gigi insisif sentral rahang atas

dengan radiolusen luas pada periapikal yang mengindikasikan bahwa apikal gigi sulung

terdorong ke arah labial menjauhi gigi permanen yang sedang berkembang.

Gambar 2. Gambaran Radiografi setelah Trauma

Perawatan yang dilakukan terdiri dari mereposisi gigi dan fragmen tulang

menggunakan tekanan jari di bawah anestesi lokal. Dilakukan pengambilan radiografi

periapikal lagi untuk memastikan gigi sudah diposisikan dengan benar di dalam soket.

Gigi difiksasi dari kaninus

kanan ke kaninus kiri

menggunakan komposit dan

kawat ortodontik 0,7 mm.

Dilakukan edukasi pada pasien

untuk menjaga kebersihan

rongga mulut dan diresepkan

Gambar 3. Gambaran Klinis setelah Reposisi Gigi dan antibiotik dan analgesik.
Splinting
Pasien diinstruksikan

untuk kontrol berkala setiap minggu. Setelah tiga minggu, terlihat mobilitas gigi

4
berkurang, maka splint dilepas. Relasi gigi menunjukkan hubungan oklusi yang baik.

Pada pemeriksaan lanjutan,

terlihat gigi dengan mobilitas

fisiologis tanpa adanya

sensitivitas pada tes perkusi.

Jaringan lunak sekitarnya

intak, dan pasien tidak

Gambar 4. Gambaran Klinis setelah Splinting mengeluhkan adanya rasa


dihilangkan
nyeri atau tidak nyaman.

Kasus 2

Seorang anak perempuan usia 5 tahun datang ke Departemen Pedodontik dan

Preventif Kedokteran Gigi, Universitas Kedokteran Gigi Himachal, Sundernagar, dengan

riwayat jatuh ketika bermain 5-6 jam yang lalu. Pada pemeriksaan klinis, terdapat laserasi

pada dagu dan bibir, serta

laserasi pada mukosa labial

rahang atas di sekitar gigi

insisif sentral rahang atas,

dimana gigi tersebut yang juga

mengalami luksasi lateral dan

Gambar 5. Gambaran Klinis setelah Trauma hipermobiliti. Pemeriksaan

radiografi periapikal tidak menunjukkan adanya fraktur akar atau kerusakan lain pada gigi

tetangganya. Tidak ada hubungan berarti antara riwayat medis umum dengan kondisi di

dalam rongga mulutnya.

Rencana perawatan yang dilakukan meliputi reposisi gigi di bawah anestesi lokal,

5
dan karena gigi yang telah

direposisi cenderung

berpindah dari posisinya,

maka dilakukan

pemasangan splint fleksibel

selama 2-3 minggu. Pasien

diinstruksikan untuk

Gambar 6. Reposisi gigi dan Splinting menjaga kebersihan

rongga mulutnya dan

diresepkan antibiotik dan

analgesik.

Tiga minggu

setelah trauma, dilakukan

pemeriksaan klinis dan

radiografi lanjutan untuk

Gambar 7. Oklusi setelah Splinting dilepas melihat kondisi jaringan

periodontal dan penyembuhan tulang, lalu splint dilepas. Jaringan lunak telah mengalami

penyembuhan, dan hubungan oklusi gigi baik.

DISKUSI

Kasus yang dijabarkan dalam artikel ini adalah kasus-kasus yang yang paling

sering terjadi pada gigi sulung. Beberapa kerusakan yang terjadi dapat melibatkan

jaringan penyangga gigi seperti ligamen periodontal, serabut gingiva, dan tulang, serta

vitalitas dari pulpa. Gigi insisif yang mengalami luksasi tidak dapat kembali ke posisi

semula secara spontan, terutama ketika adanya hambatan oklusi pada gigi rahang atas dan

bawah, sehingga kondisi ini memerlukan intervensi untuk dapat memposisikan gigi

6
kembali ke tempat semula.

Jangka waktu kerusakan yang terjadi sangat penting dan berpengaruh dalam

pemilihan perawatan yang akan dilakukan. Menurut Andreasen, mereposisi gigi yang

telah mengalami dislokasi menjadi lebih sulit bila dilakukan 48 jam setelah kerusakan.

Terlambatnya mereposisi gigi tersebut menjadi sulit karena adanya pembentukan bekuan

darah di dalam soket. Segera setelah terjadinya luksasi, reposisi secepatnya dan stabilisasi

gigi pada posisi anatomis yang benar adalah hal yang paling mendasar untuk

mengoptimalkan penyembuhan ligamen periodontal dan suplai neurovaskular, serta

mengembalikan estetik dan fungsi. Splinting dengan kawat ortodontik dan resin komposit

untuk stabilisasi gigi pasca trauma selama 2-4 minggu, seperti yang dilakukan pada kasus

di atas, menunjukkan hasil yang memuaskan, karena teknik fiksasi tersebut masih

memungkinkan adanya pergerakan fisiologis dan memudahkan pembersihan.

Usia anak saat terjadinya trauma juga menjadi faktor penting yang

mempengaruhi pengambilan keputusan operator dalam pendekatan perawatan yang akan

dilakukan. Anak yang berusia lebih muda dan mengalami trauma pada gigi sulungnya,

beresiko lebih besar dalam mempengaruhi terjadinya kerusakan pada gigi permanen

penggantinya dan bahkan kerusakan yang terjadi bisa lebih parah. Telah diteliti bahwa

kerusakan pada gigi sulung dapat berdampak pada gigi permanennya, dan menyebabkan

hipokalsifikasi. Selain itu, usia anak juga berpengaruh dalam tingkat kekooperatifan anak.

Menjadi sangat umum, pada pasien usia muda yang datang ke dokter gigi dengan kondisi

trauma pada giginya tidak bersifat kooperatif.

KESIMPULAN

Sangat memungkinkan untuk kita sebisa mungkin menghindari aktivitas yang

dapat menyebabkan kerusakan rongga mulut, terutama aktivitas yang dapat terjadi pada

anak. Namun, pada kondisi trauma yang telah terjadi, masih dapat ditangani dengan

7
perawatan yang adekuat dan kontrol berkala. Kasus terbaru lainnya yang dijabarkan

dalam artikel lain, menunjukkan adanya alternatif perawatan konservatif lain, yaitu

pencabutan gigi, terutama bila gigi insisif sulung tersebut rusak berat akibat trauma.

Splinting, menjaga kebersihan rongga mulut yang baik, dan terapi antibiotik dapat

dilakukan pada gigi yang mengalami trauma dan rusak hingga gigi tersebut tanggal

sendiri.

Tinjauan Pustaka.

Cunha RF, Pugliesi DM, Mello Vieira AE. Oral trauma in Brazilian patients aged 0–3

years. Dent Traumatol 2001;17: 210 – 2.

Hargreaves JA, Cleaton-Jones PE, Roberts GJ, Williams S, Matejka JM. Trauma to

primary teeth of South African pre-school children. Endod Dent Traumatol

1999;15:73–6.

Osuji OO. Traumatised primary teeth in Nigerian children attending University Hospital:

the consequences of delays in seeking treatment. Int Dent J 1996;46: 165 – 70.

Kenwood M, Seow WK: Sequelae of trauma to the primary dentition. J Pedod 13:230-38,

1989.

Kapala J, Frankl S: A preliminary investigation of traumatized primary anterior teeth.

Alpha Omegan 64:165- 83, 1971.

Gutmann JL, Gutmann MS. Cause, incidence, and prevention of trauma to teeth. Dent

Clin North Am 1995;39:1

Alonge OK, Narendran S, Williamson DD. Prevalence of fractured incisal teeth among

children in Harris County, Texas.Dent Traumatol 2001;17:218–21.

Andreasen JO: Challenges in clinical dental traumatology. Endod Dent Traumatol 1:45-

55, 1985.

8
MAKALAH JURNAL READING

CONSERVATIVE MANAGEMENT OF TRAUMA TO


DECIDUOUS MAXILLARY ANTERIOR TEETH: A CASE REPORT

Oleh :
Firman Yuwana Putra
180160100011059

Dosen Pembimbing :
DR. Drg. M. Chair Effendi, SU.,Sp.KGA

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019

Anda mungkin juga menyukai