Praktik perkawinan anak ini telah menimbulkan permasalahan terutama bagi anak –
anak perempuan karena berdampak pada kehamilan pada usia dini. Undang – Undang Nomor
35 Tahun 2014 sebagaimana diubah dari UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak sebagai instrument HAM juga tidak menyebutkan secara eksplisit tentang usia
minimum menikah selain menegaskan, anak adalah mereka yang berusia dibawah 18 tahun.
Disebutkan pula, penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan
UUD RI Tahun 1945 serta prinsip – prinsip dasar Konvensi Hak – Hak Anak meliputi : non
diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan
perkembangan serta penghargaan terhadap pendapat anak. Perkawinan anak disebut sebagai
tindakan diskriminatif terhadap anak – anak.
Indonesia sebagai salah satu Negara anggota PBB untuk melaksanakan program
Suistainable Development Goals (SDG’S) antara lain untuk mengakhiri kemiskinan,
kelaparan, ,meningkatkan kesehatan dan pendidikan, serta untuk menghapus praktik
perkawinan bawah umur. Untuk mewujudkan peran serta Negara Indonesia dalam
mewujudkan SDG’S tersebut, maka pada tanggal 4 Juli 2017, telah dikeluarkan Perpres
Nomor 59 Tahun 2017 mengenai pelaksanaan tujuan pembangunan berkelanjutan. Salah satu
yang menjadi poin utama dalam perpres tersebut adalah untuk menjamin kesetaraan gender
serta pemberdayaan seluruh perempuan, dengan harapan pada tahun 2030 di Indonesia tidak
ada lagi praktik perkawinan bawah umur.