Bid'ah Dan Pengertiannya
Bid'ah Dan Pengertiannya
BID’AH DALAM AGAMA
Pada awal pembahasan masalah ini, rasanya sangat perlu untuk kami beri pendahuluan tentang
pengertian bid’ah baik secara bahasa ataupun secara istilah. Hal ini merupakan perkara yang sangat penting.
Karena masih banyak dari kalangan kaum muslimin yang salah dalam memahami masalah ini. sehingga dengan
kesalahan tersebut, akan memunculkan kesalahan‐kesalahan lain yang sangat banyak.
■Kata bid’ah ( ) اﻟﺒﺪﻋﺔsecara bahasa.
Dr. Ali bin Nashir Al‐Faqihi menyatakan :
ﳐﱰﻋﻬﻤﺎ ﻣﻦ ﻏﲑ: } ﺑﺪﻳﻊ اﻟﺴﻤﻮات واﻷرض{ أي:وﻣﻨﻪ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﱃ. اﻻﺧﱰاع ﻋﻠﻰ ﻏﲑ ﻣﺜﺎل ﺳﺎﺑﻖ: اﻟﺒﺪﻋﺔ ﻟﻐﺔ
ﰲ اﻟﺸﻰء، ﻳﻘﺎل، وﻫﺬا أﻣﺮ ﺑﺪﻳﻊ. اﺑﺘﺪأ ﻃﺮﻳﻘﺔ ﱂ ﻳﺴﺒﻘﻪ إﻟﻴﻬﺎ ﺳﺎﺑﻖ، ﻳﻌﲏ، اﺑﺘﺪع ﻓﻼن ﺑﺪﻋﺔ: وﻳﻘﺎل.ﻣﺜﺎل ﺳﺎﺑﻖ
: ) اﻟﺒﺪﻋﺔ ﺿﻮاﺑﻄﻬﺎ وأﺛﺮﻫﺎ اﻟﺴﻰء ﰲ اﻷﻣﺔ. ﲰﻴﺖ اﻟﺒﺪﻋﺔ ﺑﺪﻋﺔ- وﻣﻦ ﻫﺬا اﳌﻌﲎ. اﳌﺴﺘﺤﺴﻦ اﻟﺬي ﻻﻣﺜﺎل ﻟﻪ ﰲ اﳊﺴﻦ
( 8/1
“ Bid’ah secara bahasa : mengadakan sesuatu yang baru tanpa ada contoh sebelumnya. Termasuk dari
ma’na ini adalah firman Alloh Ta’ala :
“Dialah ( Alloh ) yang telah mengadakan langit‐langit dan bumi.” ( QS.Al‐Baqarah : 117 ), artinya : telah
mengadakan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya. Jika dikatakan si anu telah mengadakan suatu bid’ah,
artinya : dia telah memulai suatu jalan atau metode yang belum pernah ada yang mendahuluinya. “Ini perkara
yang badi’( baru )”, hal ini dikatakan untuk sesuatu yang dianggap baik yang dalam kebaikkannya tidak ada
yang menyamainya. Dari ma’na ini, sesuatu yang baru dinamakan bid’ah.”‐sampai di sini ucapan beliau‐( Al‐
Bid’ah, Dhowabithuha Wa Atsaruha As‐syyai’ fi Ummah : 1/8 ).
■ Adapun secara istilah, telah terjadi perbedaan ungkapan dikalangan para ulama’ dalam
mendefinisikan bid’ah. Yang paling bagus, apa yang dinyatakan oleh Imam Asy‐Syathibi‐rohimahullah‐:
ﻛﺘﺎب. ﻓﺎﻟﺒﺪﻋﺔ إذن ﻋﺒﺎرة ﻋﻦ ﻃﺮﻳﻘﺔ ﰲ اﻟﺪﻳﻦ ﳐﱰﻋﺔ ﺗﻀﺎﻫﻲ اﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ﻳﻘﺼﺪ ﺑﺎﻟﺴﻠﻮك ﻋﻠﻴﻬﺎ اﳌﺒﺎﻟﻐﺔ ﰲ اﻟﺘﻌﺒﺪ ﷲ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ
( 21/1 ) : اﻻﻋﺘﺼﺎم
“Maka bid’ah kalau demikian, adalah suatu ungkapan tentang suatu metode baru dalam agama yang
menandingi syari’at dimana maksud menjalaninya adalah untuk berlebih‐lebihan dalam beribadah kepada
Alloh.” ( Al‐I’thishoom : 1/12 ).
Dari kalimat ‘methode dalam agama’, dapat kita mengerti bahwa bid’ah adalah suatu metode dalam
agama saja. Adapun suatu methode yang baru akan tetapi dalam masalah dunia, maka bukan termasuk
perkara bid’ah menurut pengertian secara istilah walaupun bisa masuk dalam pengertian bid’ah secara
bahasa. Seperti mikrofon, sepeda motor, komputer dan lain‐lain
Perlu untuk diketahui, bahwa sesuatu yang baru dalam agama terbagi menjadi dua macam :
■ Pertama : perkara yang memiliki asal dalam syari’at agama kita.
■ kedua : perkara yang tidak memiliki asal sama sekali dalam syari’at agama kita.
Maka jenis kedua adalah yang dimaksud dalam pengertian bid’ah di atas. Yaitu suatu perkara yang
tidak memiliki asal ( sandaran dalil dari Al‐Qur’an dan sunnah ) baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Adapun perkara yang memilki asal dalam agama kita walaupun secara tidak langsung, maka tidak bisa kita
katakan sebagai perkara yang bid’ah seperti ilmu ushul fiqh, ilmu nahwu dan shorof, ilmu hadits, ilmu tajwid
serta ilmu‐ilmu lain yang berkhidmat untuk agama Islam. Walaupun hal ini tidak didapatkan dalilnya dari Al‐
Qur’an dan sunnah secara langsung dan tidak didapatkan di zaman para sahabat, akan tetapi memiliki asal
dalam agama kita secara tidak langsung.
Misalnya ilmu nahwu dan shorof ( ilmu tentang bahasa Arab ). Secara tidak langsung telah ditunjukkan
oleh dalil‐dalil umum baik dari Al‐Qur’an dan sunnah Nabi‐shollallahu ‘alaihi wa sallam‐. Misalnya firman Alloh
Ta’ala :
Artinya : “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya.” ( QS. Yusuf : 2 )
Kita diperintah oleh Alloh untuk memahami Al‐Qur’an yang diturunkan dalam bahasa Arab. Maka
secara tidak langsung kita juga dianjurkan untuk belajar bahasa Arab. Diantara perantara yang memudahkan
untuk mewujudkan hal tersebut, adalah dengan mempelajari ilmu nahwu dan shorof. Karena kedua ilmu ini
mengandung kaidah‐kaidah gramatika bahasa Arab yang akan memudahkan kita untuk mempelajari bahasa
Arab dan menyelamatkan kita dari berbagai kekeliruan. Hal ini diistilahkan oleh para ulama’ dengan mafhum
muwafaqah ( pemahaman yang berkesesuaian dari suatu dalil ).
Kemudian dari kalimat ‘yang menandingi syari’at’, maksudnya adalah sesungguhnya perkara‐perkara
baru itu menyerupai methode syar’i akan tetapi hakikatnya tidaklah demikian. Bahkan menandingi syari’at dari
berbagai sisi. Misalnya mengharuskan suatu tata cara tertentu yang tidak pernah diharuskan oleh Alloh dan
Rosul‐Nya‐shollallahu ‘alaihi wa sallam‐. Contohnya dzikir jama’i ( berdzikir dengan cara berjam’ah di atas satu
suara ).
Dzikir jama’i sekilas mirip dengan syari’at agama kita. Karena amalan dzikir merupakan suatu perkara
yang ada dalilya dari Al‐Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi jika diamati secara seksama, maka dzikir jama’i itu
bukan dari syari’at agama Islam. Karena walaupun dzikirnya adalah disyari’atkan, akan tetapi pelaksanaannya
secara berjam’ah di atas satu suara adalah perkara yang tidak pernah dicontohkan oleh Rosulullah‐shollallahu
‘alaihi wa sallam‐. Oleh karena itu model dzikir dengan cara seperti ini justru telah menandingi amalan dzikir
dalam agama kita. Amalan dzikir yang disyari’atkan dalam agama kita adalah dzikir yang dilakukan secara
sendiri‐sendiri. ( simak : Al‐I’tishom : 1/22 ).
Kemudian dari kalimat ‘dimana maksud menjalaninya adalah untuk berlebih‐lebihan dalam beribadah
kepada Alloh’, merupakan kesempurnaan ma’na bid’ah. Seolah‐olah orang yang berbuat bid’ah ( perkara baru
dalam agama ) memandang, bahwa apa yang telah diletakkan oleh agama kita dari syari’at‐syari’at yang ada
itu belum mencukupi baginya. Sehingga dia harus mengadakan sesuatu yang baru untuk mencukupi dan
menyempurnakannya.
Jelaslah dengan hal ini, sesungguhnya perkara‐perkara bid’ah itu tidak termasuk dalam masalah adat.
Maka setiap apa yang diada adakan dari methode‐methode dalam agama dari apa‐apa yang menandingi
perkara yang disyari’atkan akan tetapi tidak dimaksudkan untuk beribadah dengannya, maka sungguh telah
keluar dari penamaan ini. Seperti denda‐denda yang diharuskan kepada harta‐harta dan selainnya di atas
penyandaran yang sifat dan kadarnya khusus dari apa‐apa yang mirip dengan kewajiban zakat‐zakat dan tidak
ada darurat kepadanya.
AGAMA ISLAM TELAH SEMPURNA
Agama Islam adalah agama yang telah sempurna. Kesempurnaan ini meliputi seluruh sisi, baik dalam
masalah aqidah, ibadah, akhlaq ataupun mu’amalah. Tidak membutuhkan sedikitpun penambahan ataunpun
pengurangan. Alloh Ta’ala berfirman :
∩⊂∪ 4 $YΨƒÏŠ zΝ≈n=ó™M}$# ãΝä3s9 àMŠÅÊu‘uρ ©ÉLyϑ÷èÏΡ öΝä3ø‹n=tæ àMôϑoÿøCr&uρ öΝä3oΨƒÏŠ öΝä3s9 àMù=yϑø.r& tΠöθu‹ø9$#
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku‐cukupkan kepadamu nikmat‐Ku, dan
telah Ku‐ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” ( Al‐Maidah : 3 ).
Al‐Imam Ibnu Katsir‐rohimahullah‐berkata dalam menafsirkan ayat di atas :
وﻻ، ﻓﻼ ﳛﺘﺎﺟﻮن إﱃ دﻳﻦ ﻏﲑﻩ، ﻋﻠﻰ ﻫﺬﻩ اﻷﻣﺔ ﺣﻴﺚ أﻛﻤﻞ ﺗﻌﺎﱃ ﳍﻢ دﻳﻨﻬﻢ، ﻋﺰ وﺟﻞ، ﻫﺬﻩ أﻛﱪ ﻧﻌﻢ اﷲ
ﻓﻼ ﺣﻼل، وﺑﻌﺜﻪ إﱃ اﻹﻧﺲ واﳉﻦ، ﺻﻠﻮات اﷲ وﺳﻼﻣﻪ ﻋﻠﻴﻪ؛ وﳍﺬا ﺟﻌﻠﻪ اﷲ ﺧﺎﰎ اﻷﻧﺒﻴﺎء،إﱃ ﻧﱯ ﻏﲑ ﻧﺒﻴﻬﻢ
وﻻ دﻳﻦ إﻻ ﻣﺎ ﺷﺮﻋﻪ، وﻻ ﺣﺮام إﻻ ﻣﺎ ﺣﺮﻣﻪ،إﻻ ﻣﺎ أﺣﻠﻪ
“Ini diantara kenikmatan Alloh yang paling besar terhadapa umat ini dimana Dia ( Alloh ) telah
menyempurnakan agama mereka ( Islam ) bagi mereka. Maka mereka ( kaum muslimin ) tidak membutuhkan
kepada agama selainnya. Tidak membutuhkan kepada nabi selain nabi mereka‐sholawatullohi wa salamuhu
‘alaihi‐. Oleh karena hal ini, Alloh telah menjadikannya sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada
manusia dan jin. Maka tidak ada perkara yang halal kecuali apa yang telah beliau halalkan. Tidak ada perkara
yang haram kecuali apa yang telah beliau haramkan. Dan tidak ada agama kecuali apa yang telah beliau
syari’atkan.” ( Tafsir Ibnu Katsir : 3/26 ).
Nabi kita Muhammad‐shollallahu ‘alaihi wa sallam‐telah bersabda :
(.. ﱮ ﻗَـْﺒﻠِﻰ إِﻻﱠ َﻛﺎ َن َﺣ ًّﻘﺎ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ أَ ْن ﻳَ ُﺪ ﱠل أُﱠﻣﺘَﻪُ َﻋﻠَﻰ َﺧ ِْﲑ َﻣﺎ ﻳَـ ْﻌﻠَ ُﻤﻪُ َﳍُ ْﻢ َوﻳـُْﻨ ِﺬ َرُﻫ ْﻢ َﺷﱠﺮ َﻣﺎ ﻳَـ ْﻌﻠَ ُﻤﻪُ َﳍُ ْﻢ
) إِﻧﱠﻪُ َﱂْ ﻳَ ُﻜ ْﻦ ﻧَِ ﱞ
اﳊﺪﻳﺚ
“Sesungguhnya tidak ada seorang nabi sebelumku kecuali wajib atasnya untuk menunjukkan kepada umatnya
kepada kebaikan apa yang dia ketahui bagi mereka dan memperingatkan mereka dari kejelekan apa yang dia
ketahui bagi mereka....” ( HR. Muslim : 1844 ).
Beliau‐shollallahu ‘alaihi wa sallam‐juga bersabda dari sahabat Al‐Irbadh bin Sariyah beliau bersabda :
Seluruh agama Islam telah disampaikan oleh Nabi kita‐shollallahu ‘alihi wa sallam‐ kepada umatnya.
Tidak ada yang tercecer sedikitpun yang belum disampaikan. Bahkan sampai masalah hukum tentang kotoran
telah dijelaskan oleh beliau‐shollallahu ‘alaihi wa sallam‐. Hal ini telah ditanyakan oleh seorang Yahudi kepada
Salman Al‐Farisi‐rodhiallohu ‘anhu‐ :
Hal ini diperkuat oleh perkataan Abu Dzar – rodhiallohu ‘anhu ‐ :
MACAM‐MACAM BID’AH
Menurut Al‐Imam Asy‐Syathibi‐rohimahullah‐, bid’ah ada tiga macam :
■Pertama : Bid’ah haqiqiyyah. Pengertiannya adalah segala sesuatu yang tidak ada dalil syar’i yang
menunjukkanya, baik dari Al‐Qur’an, sunnah ataupun ijma’ serta tidak ada pendalilan yang diakui di sisi para
ulama’ tidak secara global ataupun terperinci.
■Kedua : Bid’ah Idhofiyyah. Pengertiannya adalah segala sesuatu yang dari satu sisi disyari’atkan akan
tetapi dari sisi yang lain tidak disyari’atkan. Jika dilihat dari sisi disyari’atkannya, maka bukan bid’ah. Namun
jika dilihat dari sisi tidak disyari’atkannya, maka termasuk bid’ah.
Contoh : amalan dzikir. Secara asal termasuk perkara yang disyari’atkan. Banyak dalil‐dalil yang
menunjukkan akan hal ini baik dari Al‐Qur’an ataupun As‐Sunnah. Maka dari sisi ini tidak termasuk bid’ah.
Akan tetapi jika dzikir itu dilakukan bersama‐sama ( secara berjama’ah ) dipimpin oleh satu orang dengan (
dzikir jama’i ), maka ini termasuk perkara bid’ah. Karena dari sisi tatacara dzikir yang seperti ini tidak pernah
dicontohkan oleh Rosulullah‐shollallahu ‘alihi wa sallam‐.
■Ketiga : Bid’ah tarkiyyah. Perngertiannya adalah : segala sesuatu yang asalnya disyari’atkan, akan
tetapi ditinggalkan dengan keyakinan bahwa meninggalkannya termasuk syari’at yang lebih baik dari
melakukannya.
Contoh : hidup membujang ( tidak menikah ). Seorang yang tidak mau menikah dengan alasan lebih
baik dan menyakini sebagai suatu syari’at, maka dia telah melakukan bid’ah tarkiyyah. Karena dia telah
meninggalkan sesuatu yang disyari’atkan. Atau seorang yang tidak mau tidur malam sepanjang hidupnya
karena dia gunakan untuk sholat malam terus. Dengan keyakinan sholat malam terus dan tidak tidur itu lebih
utama dari sholat malam tapi diiringi juga dengan tidur malam. ( Al‐I’tishom karya Asy‐Syathibi : 1/42 dengan
diringkas dan sedikit tambahan dari penulis ).
ADAKAH BID’AH HASANAH DALAM ISLAM ?
Sebagian kaum muslimin ada yang membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah ( bid’ah yang baik )
dan bid’ah sayyiah ( bid’ah yang jelek ). Yang dilarang hanyalah bid’ah sayyiah. Apakah hal ini benar ? hal ini
tidaklah benar. Yang benar bahwa bid’ah dalam agama itu semua jelek dan terlarang dalam agama kita.
Dalilnya sabda Nabi‐shollallahu ‘alaihi wa sallam‐ :
.( ) ﻓﺈن ﺧﲑ اﳊﺪﻳﺚ ﻛﺘﺎب اﷲ وﺧﲑ اﳍﺪي ﻫﺪي ﳏﻤﺪ وﺷﺮ اﻷﻣﻮر ﳏﺪﺛﺎ ﺎ وﻛﻞ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ
“Maka sebaik‐baik ucapan adalah kitabullah ( Al‐Qur’an ), dan sebaik‐baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad‐shollallahu ‘alaihi wa sallam‐. Dan sejelek‐jelek perkara itu adalah yang baru dan setiap bid’ah
adalah sesat....” ( HR. Muslim : 867 dan Jabir bin Abdillah ).
Nabi‐shollallahu ‘alaihi wa sallam‐ juga bersabda :
.( ) وإﻳﺎﻛﻢ وﳏﺪﺛﺎت اﻷﻣﻮر ﻓﺈن ﻛﻞ ﳏﺪﺛﺔ ﺑﺪﻋﺔ وﻛﻞ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ
“Wajib atas kalian untuk menjauhi perkara‐perkara baru, maka sesungguhnya setiap perkara yang baru (
dalam agama ) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” ( HR. Abu Dawud : 4607 – shohih ).
Lafadz ‘setiap’ ( ) كل merupakan lafadz‐lafadz yang bersifat umum. Hal ini menunjukkan bahwa
seluruh perkara yang baru dalam agama tanpa terkecuali adalah perkara yang sesat. Nabi –shollallahu ‘alihi wa
sallam‐ tidak mengecualikan satu perkarapun. Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam‐ juga tidak pernah membagi
atau menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik dan ada bid’ah yang jelek.
Al‐Imam Asy‐Syathibi‐rohimahullah‐menyatakan : “....( lafadz hadits di atas ) dibawa kepada ma’na
umum menurut para ulama’. Tidak ada yang dikecualikan sama sekali. Tidak ada bid’ah yang baik secara asal.”
( Fatawa Asy‐Syathibi : 180‐181 ).
Al‐Imam Abul ‘Ala Al‐Mubarokfuri‐rohimahullah‐berkata :
ﻮلِ ﺿ َﻼﻟَﺔٌ ِﻣﻦ ﺟﻮ ِاﻣ ِﻊ اﻟْ َﻜﻠِ ِﻢ َﻻ َﳜْﺮج َﻋْﻨﻪ َﺷﻲء وﻫﻮ أَﺻﻞ َﻋ ِﻈﻴﻢ ِﻣﻦ أُﺻ ٍ ِ
َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ُﻛ ﱠﻞ ﺑِ ْﺪ َﻋﺔ
ُ ْ ٌ ٌ ْ ََُ ٌ ْ ُ ُ ُ ََ ْ َ ُﻓَـ َﻘ ْﻮﻟُﻪ
ﻓَ َﻤ ْﻦ، ﻚ ِﰲ اﻟْﺒِ َﺪ ِع اﻟﻠﱡﻐَ ِﻮﻳﱠِﺔ َﻻ اﻟﺸ ْﱠﺮ ِﻋﻴﱠ ِﺔ ِ
َ ﺾ اﻟْﺒِ َﺪ ِع ﻓَِﺈﱠﳕَﺎ َذﻟ ِ ﻒ ِﻣﻦ اِﺳﺘِﺤﺴ
ِ ﺎن ﺑَـ ْﻌ ِ ِ ِ
َ ْ ْ ْ َ َوأَﱠﻣﺎ َﻣﺎ َوﻗَ َﻊ ﰲ َﻛ َﻼم اﻟ ﱠﺴﻠ، اﻟﺪﱢﻳ ِﻦ
ًﺖ َﻫ ِﺬ ِﻩ ﺑِ ْﺪ َﻋﺔ ْ َﺎل إِ ْن َﻛﺎﻧ َ َي َﻋْﻨﻪُ أَﻧﱠﻪُ ﻗ ِِ ِ ْ ﻳﺢ ﻧِ ْﻌﻤ
َ َوُرِو، ﺖ اﻟْﺒ ْﺪ َﻋﺔُ َﻫﺬﻩ
ِ ِ
َ ِ ﻚ ﻗَـ ْﻮ ُل ﻋُ َﻤَﺮ َرﺿ َﻲ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋْﻨﻪُ ﰲ اﻟﺘـَﱠﺮا ِو َ َذﻟ
ِ
Oleh karena itu, barang siapa yang menyatakan adanya bid’ah hasanah ( bid’ah yang baik ) hendaklah
mendatangkan dalil tentang hal tersebut.