Anda di halaman 1dari 3

Materi Ma’had Selasa, 9 November 2021

Mahabbah Ila Ghayr


Mahabbah secara bahasa berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang
berarti mencintai secara mendalam, khususnya kepada Allah. Jika umat Islam mencari
mahabbah atau cinta murni ini, kemudian berhasil mencapainya ia akan dimuliakan oleh
Allah SWT.

Secara istilah, mahabbah merupakan perasaan rindu dan senang yang istimewa terhadap
sesuatu. Perasaan demikian menyebabkan seseorang terpusat kepadanya bahkan
mendorong orang tersebut untuk memberikan yang terbaik. Mahabbah dapat pula berarti
al-waduud, yakni yang sangat kasih atau penyayang.

Dalam pandangan tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah yang di dalamnya


mengandung arti patuh kepada-Nya sekaligus membenci sikap yang melawan kepada-
Nya. Dalam kehidupannya sehari-hari, ia juga berhasil mengosongkan hati dari segala-
galanya kecuali hanya Allah. Dalam kitab Mu'jam Al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan,
mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni benci.

Konsep mahabbah ini pertama kali dicetuskan oleh seorang sufi wanita terkenal, Rabi'atul
Adawiyah. Menurutnya, mahabbah atau cinta yang suci murni tersebut lebih sempurna
dari pada rasa takut (khauf) ataupun rasa pengharapan (raja') karena cinta yang suci
murni tidak mengharapkan apa-apa dari Allah kecuali ridha-Nya.

Cinta kepada Allah juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan
kepada seluruh alam semesta. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil syara', baik dalam Al-
Qur’an maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan mahabbah.

Mencintai segala hal yang dicintai Allah yang kemudian mencintai segala hal
tersebut diniatkan karena Allah maka keduanya itu adalah cinta yang dibolehkan bahkan
dianjurkan, begitu juga dalam hal cinta manusiawi yang diniatkan karena Allah yang
dapat menambah keimanan seseorang dari buah hasil cintanya karena Allah.
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik Radhiallahu Ta’ala ‘Anhu, pelayan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
“Tidak beriman salah seorang kalian sampai dia mencintai saudaranya, seperti dia
mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Anas RA, Rasulullah saw bersabda “Tiga perkara yang membuat seseorang
menemukan manisnya iman, yaitu mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi daripada
cinta kepada selain keduanya, mencintai sesorang karena Allah dan sangat membenci
untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana ia membenci untuk dijatuhkan ke dalam
api neraka.” (HR. Bukhari)

Sementara, Imam al-Ghazali mengatakan, cinta adalah suatu kecenderungan


terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Jika kecenderungan tersebut mendalam dan
menguat maka ia dinamakan rindu. Menurut al-Ghazali, orang yang mencintai selain
Allah, tapi cintanya tidak disandarkan kepada Allah maka hal itu karena kebodohan dan
kepicikan orang tersebut dalam mengenal Allah. Ia mencontohkan seperti halnya cinta
umat Islam kepada Nabi Muhammad SAW, bahwa cinta tersebut merupakan wujud
kecintaan kita terhadap Allah SWT. Hal itu karena Muhammad adalah hamba-Nya yang
dicintai-Nya.

Dan juga dalam QS Ali Imran ayat 31 yang berarti,

“Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.”

Namun, untuk menemukan cinta sejati Allah tersebut, kita mungkin perlu terlebih
dahulu mulai belajar membaca Al-Qur’an dengan benar dan memahami kandungan dan
maksudnya. Selain itu, tekun melakukan shalat fardhu beserta shalat sunahnya. Sebab,
hal ini nantinya juga dapat mengantarkan kita ke tingkatan cinta yang lebih tinggi kepada
Allah. Selain itu, kita harus lebih mendahulukan apa yang dicintai Allah dari pada cinta
hawa nafsu kita walau hal ini berat. Karena itu, kita harus selalu komitmen dan selalu
konsisten dengan aturan Allah.

Anda mungkin juga menyukai