Anda di halaman 1dari 14

PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM MENURUT PERSPEKTIF

WAHDATUL ULUM

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah Islam secara keseluruhan, tidak bisa lepas dari perkembangan
peradaban Islam yang cukup panjang dan luas serta tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan politik, karenya sistem politik dan pemerintahan sebagai aspek
penting dalam peradaban dunia Islam. Didalam berkembangan peradaban tersebut
aspekaspek penting yang turut mempengaruhinya, seperti ekonomi, pendidikan,
seni budaya dan sebagainya. Sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-
benar terjadi pada masa lampau atau peristiwa yang benarbenar terjadi.1
Harun Nasution membagi periodesasi peradaban Islam menjadi tiga
periode : yaitu : pertama : periode klasik (620-1250 M), kedua : periode
Pertengahan ( 1250-1800 M) dan ketiga : periode Modern ( 1800 sampai
sekarang).2 Periode klasik dimulai sejak masa kekahlifahan Rasulullah SAW
hingga jatuhnya pemerintahan Bani Abbas, di Bagdad.
Masa kekhalifahan Rasulullah SAW masa awal peradaban Islam,
Rasulullah membawa Islam Rahmatan lil „Alamiin dengan berbagai peradaban:
pendidikan, ekonomi, politik secara Islam dan sebagainya. Setelah Rasulullah
SAW wafat, tidak ada pesan siapa yang akan menggantikan kekhalifahan,
selanjutnya kekhalifahan oleh para Khulafa Arrasyidin, yang dimulai dari
kekhalifahan Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman Bin Affan
Hingga Ali Bin Abi Thalib hingga masa pemerintah Bani Umayyah dan Bani
Abbasiyyah.
Pada periode klasik merupakan masa perintisan perkembangan dan kemajuan
Islam, Masa Disintegrasi, masa ekspansi, masa kemajuan hingga hingga masa

1
WJS. Poerwadarminta. 1991. Kamus Umum bahasa Indonesia. (Jakarta : Balai Pustaka),
h. 887
2
Harun Nasution, Islam DiTinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), jil.
1, h. 58

1
kemunduran dengan jatuhnya bani Abbasiyah di Bagdad. Berbagai perkembangan
yang ditorehkan pada masa kalsik menjadi pencorak perkembangan pada periode
berikutnya.
Kemajuan sains modern yang di kembangkan Barat telah membawa pengaruh
yang besar dalam dalam dunia keilmuan. Namun, ternyata sains modern yang
dikembangkan Barat tersebut juga mebawa implikasi negatif dalam kehidupan
manusia terutama masyarakat Muslim. Sains modern dibangun dan dikembangkan
dengan dasar sekuler yaitu memisahkan agama dari ilmu pengetahuan.
Barat berasumsi bahwa ilmu pengetahuan adalah netral oleh karena itu tidak boleh
ada nilai-nilai yang mencampuri termasuk agama. Ilmu pengetahuan Barat yang
kering nilai agama ini tidak sesuai dengan kehidupan Muslim yang sarat akan
nilai agama. Karena Islam komprehensif, semua kegiatan manusia telah ada
ketentuannya termasuk dalam bidang keilmuan. Sehingga apabila umat Muslim
menerima begitu saja ilmu pengetahuan yang dikembangkan Barat hanya akan
menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan mereka.3
Dampak negatif yang ditimbulkan dari ilmu pengetahuan Barat berupa
kebingunan dan keraguan. Hal ini terjadi karena prinsip dan tujuan Barat dalam
memandang ilmu pengetahuan berbeda dengan prinsip dan tujian dalam Islam.
Oleh karena itu untuk membebaskan manusia dari kebingungan dan kebuntuan
dalam pemikiran dibutuhkan Islamisasi ilmu pengetahuan. Dengan memandang
ilmu pengetahuan berdasarkan prinsip-prinsip Islam.4 Islamisasi ilmu
pengetahuan sebenarnya telah dipraktekkan sejak zaman Rasulullah yaitu
dalam mengubah paradigma jahiliyah kepada prinsip rabbaniyyah dan tauhid
kepada Allah. Kemudian Islamisasi ilmu diteruskan oleh Sarjana Muslim
Klasik seperti penerjemehan karya dari Persia dan Yunani yang diberi
pemaknaan ulang sesuai dengan konsep Islam.
Sarjana kontemporer Sayyed Hossein Nasr juga secara terbuka
menggagas perspektif sufi sebagai alternatif atas krisis epistemologi. Kemudian

3
Zuhdiyah, Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-Faruqi, Tadrib Vol. Ii No. 2 Edisi Desember
2016, h. 9
4
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Consept Of Education In Islam, (Malaysia:
International Institute Of Islamic Thought And Civilization (Istac),1980 ), h.11-12

2
gagasan Islamisasi ini dilanjutkan oleh alAttas dan al-Faruqi.5 Menurut al-Attas
penyebab krisis masyarakat modern adalah ilmu penegtahuan Barat yang
bersifat relativistik dan nihilistik dikonsumsi masyarakat modern saat ini. 6 Al-
Faruqi juga beranggapan bahwa krisis timbul akibat diterapkannya sistem
pendidikan sekuler Barat yang tidak berlandaskan pada tauhid sehingga
mengakibatkan umat Muslim kehilangan tujuan hidupnya.7

B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas, agar penulisan makalah ini semakin
focus pada pembahasannya maka diperlukan perumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana Peradaban Islam ?
2. Bagaimana Peradaban Islam Menurut Wahdatul Ulum ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Peradaban Islam.
2. Mengetahui Peradaban Islam Menurut Wahdatul Ulum.

BAB II
5
Muhammad Taufik Dan Muhammad Yasir, Mengkritisi Konsep Islamisasi Ilmu Ismail
Raji Al-Faruqi: Telaah Pemikiran Ziauddin Sardar, Jurnal Ushuluddin Vol. 25 No.2, Juli-
Desember 2017, Hlm.114
6
Ni’mah Afifah, Islamisasi Ilmu Pengetahuan Perspektif Naquib Al-Attas Di Tengah
Kemunduran Dunia Ilmiah Islam, Modeling: Jurnal Program Studi Pgmi, h. 206
7
Zuhdiyah, Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-Faruqi, h. 5

3
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sejarah
Pengertian sejarah secara etimologi berasal dari kata Arab
syajarah artinya “pohon”. Dalam bahasa Inggeris peristilahan sejarah
disebut history yang berarti pengetahuan tentang gejala-gejala alam,
khususnya manusia yang bersifat kronologis. Sementara itu,
pengetahuan serupa yang tidak kronologis diistilahkan dengan science.8
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa sejarah itu adalah aktivitas
manusia yang berhubungan dengan kejadian-kejadian tertentu yang
tersusun secara kronologis.
Pengertian sejarah juga berarti ilmu pengetahuan yang
berikhtiar untuk melukiskan atau menjelaskan fenomena kehidupan
sepanjang terjadinya perubahan karena adanya hubungan antara
manusia terhadap masyarakatnya.9
Pengertian sejarah lainnya adalah yang tersusun dari
serangkaian peristiwa masa lampau keseluruhan pengalaman
manusia. 10 Dari beberapa pengertian sejarah di atas dapat diketahui
bahwa sejarah itu adalah ilmu pengetahuan yang berusaha
melukiskan tentang peristiwa masa lampau umat manusia yang
disusun secara kronologis untuk menjadi pelajaran bagi manusia
yang hidup sekarang maupun yang akan datang. Itulah sebabnya,
dikatakan orang bahwa sejarah adalah guru yang paling bijaksana.

B. Dasar Pemikiran Islam

8
T. Ibrahim Alfian dkk., Bunga Rampai Metode Penelitian Sejarah
(Yogyakarta: Lembaga Riset IAIN Sunan Kalijaga, 1984), h. 3.
9
Nourouzzaman Shiddiqi, Pengantar Sejarah Muslim (Yogyakarta: Cakra
Donya. 1981), h. 7.
10
Siti Maryam, dkk., Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern
c. 3. (Yogyakarta: LESFI, 2009), h. 4.

4
Pemikiran umat yang bersifat ideologis itu merupakan darah dan spirit hidup
mereka. Selama darah ini tetap mengalir dengan hangat dan bersih di dalam
pembuluh-pembuluh darah mereka serta sel-sel tubuh mereka tetap
mengkonsumsi zat-zat bergizi, selama itu pulalah mereka akan tetap kuat. Dengan
begitu, mereka dapat menemukan sebab-sebab kebangkitannya dan dapat
mengobati kemerosotannya. Sesungguhnya, pemikiran Islam telah teruji
kemampuan dan kelayakannya dalam mengatur kehidupan manusia. Pemikiran
Islam mampu menggagas setiap kebutuhan hidup dan perkembangan-
perkembangan baru pada setiap masa dan pada setiap negeri yang dinaungi oleh
kekuasaan Islam. Kenyataan ini telah ditunjukkan oleh peradaban Islam yang
agung. Keagungan Islam ini dapat disaksikan oleh setiap orang yang memiliki
mata. Ia tampak di dalam khasanah kebudayaan Islam (tsaqâfah Islâmiyyah) yang
terhimpun di dalam berbagai buku dan manuskrif yang memuat berbagai macam
ilmu pengetahuan hingga hari ini. Buku-buku dan manuskrif-manuskrif tersebut
telah dicetak dan kemudian menjadi rujukan para peneliti dalam berbagai disiplin
keilmuan. Hanya saja, umat Islam tengah diuji dengan lahirnya ulama yang
mengabaikan aktivitas berpikir inovatif di tengah-tengah umat. Mereka
menyerukan upaya untuk menutup pintu ijtihad, menyusul dipisahkannya potensi
bahasa Arab dengan potensi Islam. Hal ini telah mempengaruhi—sekaligus
menjadi sebab terpenting munculnya kelemahan—Daulah Islamiyah. Fenomena
ini berlanjut hingga runtuhnya Daulah Islamiyah pada tahun 1924, yakni pasca
Perang Dunia pertama. Di sisi lain, musuh-musuh Islam berusaha dengan
sungguhsungguh agar Daulah Islamiyah ini tidak muncul kembali di tengah-
tengah kehidupan. Untuk itu, mereka melancarkan serangan terhadap Dunia Islam
dengan kekuatan militer dan harta kekayaan yang mereka miliki, yang kemudian
dilanjutkan dengan serangan kebudayaan yang semakin menjauhkan umat Islam
dari pemikiran dan agama mereka sendiri. Musuh-musuh Islam terus melakukan
pendistorsian terhadap kesucian pemikiran (fikrah) Islam dan kejelasan metode
(tharîqah) penerapannya

Pembaruan pemikiran adalah tuntutan sejarah. Pada satu sisi perubahan

5
masyarakat terjadi akibat pengaruh pemikiran dan sebaliknya, ide-ide pemikiran
muncul akibat perubahan-perubahan di dalam masyarakat. Interaksi sebuah ide
dan perubahan masyarakat terjalin erat membentuk sebuah spiral yang tidak
berujung. Pembaruan pemikiran merupakan suatu keharusan, ibarat air yang
mengalir terus. Jika tidak, Islam akan berada di menara gading. Pembaruan yang
terjadi di dunia Islam juga bergema di Indonesia. Dekade 1980-an tampil
kelompok yang dinamakan intelektual muslim. Mereka pada umumnya adalah
orang-orang yang berasal dari keluarga santri yang menempuh pendidikan umum
bahkan ada yang belajar di negeri Barat. Suara mereka cukup vokal dan banyak
mengarah kepada mensosialisasikan nilai-nilai Islam ke dalam masyarakat. Salah
seorang dari mereka ialah Munawir Sjadzali, melontarkan gagasan reaktualisasi
Islam yang segera mendapat reaksi pro dan kontra.10 Melalui gagasan
reaktualisasi Islam, Munawir Sjadzali mengajak umat Islam untuk meninjau
secara kritis interpretasi ajaran, doktrin-doktrin, kode moral dan etika atau
ketentuan syari‟ah yang telah dirumuskan oleh ulama terdahulu. Soal yang paling
menonjol yang diartikulasikan adalah tentang hukum waris, terutama menyangkut
aturan pembagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan.

C. Pengertian Kebudayaan
Kata “Kebudayaan” dalam bahasa Arab adalah al- Tsaqafah.
Tetapi di Indonesia masih banyak orang yang mensinonimkan dua
kata “Kebudayaan” (Arab, al-Tsaqafah ; Inggris, Culture) dan
“Peradaban” (Arab, al-Hadharah ; Inggris, Civilization). Dalam ilmu
Antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan.
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai
tiga wujud, (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks, ide-ide, gagasan, nilai- nilai, norma-norma, peraturan dan
sebagainya, (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat,
dan (3) wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda- benda

6
hasil karya.11
D. Pengertian Peradaban
Kata peradaban adalah terjemahan dari kata Arab al- Hadharah.
Juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan Kebudayaan.
Padahal istilah peradaban dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur
dari kebudayaan yang halus dan indah. Peradaban sering juga dipakai
untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi,
seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang
maju dan kompleks.12
Jadi kebudayaan mencakup juga peradaban, tetapi tidak
sebaliknya, sebab peradaban dipakai untuk menyebut kebudayaan yang
maju dalam bentuk ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Dalam
pengertian kebudayaan direfleksikan kepada masyarakat yang
terkebelakang, bodoh, sedangkan peradaban terefleksikan kepada
masyarakat yang sudah maju. Dalam buku ini pengertian peradaban
adalah seperti disebutkan di atas.

E. Makna Islam

Mengutip dari situs mui.or.id, kata Islam berasal dari kata dari “aslama”,
“yuslimu”, “islaaman” yang berarti tunduk, patuh, dan selamat. Islam berarti
kepasrahan atau ketundukan secara total kepada ajaran-ajaran Islam yang
diberikan oleh Allah SWT.

Islam merupakan salah satu agama terbesar yang tersebar di seluruh dunia
saat ini. Agama Islam juga menjadi satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah
SWT. Kita sebagai umat Muslim harus bersyukur karena tinggal di Indonesia, di
mana mayoritas penduduknya beragama Islam.

11
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1985), h.
5.
12
Ibid., h. 10.

7
Agama Islam terus berkembang dan bisa diterima oleh banyak orang
berkat usaha yang dilakukan oleh para Nabi dan juga ulama-ulama kita. Jika
diperhatikan, Islam juga berbeda dengan agama lain yang mengambil nama agama
dari nama pendiri atau nama tempat penyebarannya.

Nama agama Islam merupakan istilah yang menunjukkan sikap dan sifat
pemeluknya terhadap Allah SWT. Nama Islam lahir bukan karena pemberian dari
seseorang atau sekelompok masyarakat, melainkan berasal dari Sang Pencipta
langsung, Allah SWT.

Sebagai seorang Muslim, kita selalu berusaha untuk menjalankan perintah


Allah SWT dan menjauhi larangannya. Berbagai ibadah kita lakukan, meski
masih belum bisa sempurna. Namun, pernahkah kita memikirkan tentang makna
Islam selama kita hidup menjadi seorang muslim?

Islam berarti kepasrahan atau ketundukan secara total kepada ajaran-


ajaran Islam yang diberikan oleh Allah SWT. Sebagai seorang Muslim, kita
selalu berusaha untuk menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi
larangannya.
Islam yang diturunkan di Jazirah Arab telah membawa bangsa
Arab yang semula terkebelakang, bodoh, tidak dikenal dan diabaikan
oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju dan
berperadaban. Ia sangat cepat bergerak mengembangkan dunia
membina suatu kebudayaan dan peradaban yang sangat penting
artinya dalam sejarah manusia hingga sekarang. Bahkan kemajuan
bangsa Barat pada mulanya bersumber dari peradaban Islam yang
masuk ke Eropa melalui Spanyol.

8
F. Peradaban Islam Menurut Wahdat Al-‘Ulum
Pemisahan antara ilmu agama dengan ilmu umum sudah lama terjadi.
Bahkan sebagian masyarakat Islam masih beranggapan bahwa kedua ilmu tersebut
memiliki entitas yang berbeda yang tidak dapat dipertemukan. Mereka
beranggapan keduanya memiliki wilayah yang berbeda, baik dari segi objek
formal dan materialnya, metode penelitian, kriteria kebenaran dan status teori
masing-masing.13 Bahkan lebih jauh, Barizi menyatakan bahwa terdapat penyakit
dikotomi dan memandang bahwa agama bukanlah ilmu karena agama dibangun
atas keyakinan.14 Akibatnya timbul jarak antara revealed knowledge; yaitu ilmu
pengetahuan yang bersumber dari wahyu dan scientific knowledge; seperti ilmu
sosial, ilmu humaniora, ilmu kealaman dan sebagainya.

Menurut catatan sejarah, sejak zaman Plato dan Aristoteles, arus utama
tradisi epistemologi telah berbeda pendapat tentang pengetahuan manusia yang
melahirkan dua jenis ilmu, ilmu yang diperoleh dengan jalan mengobservasi
objek (‘ilm al-hushuli) dan ilmu yang datang langsung dari Tuhan (‘ilm al-
hudhuri). Upaya integrasi antara kedua ilmu tersebut sudah dimulai oleh para
filosof Islam, seperti, pertama, Abu Nashr al-Farabi (870 – 950 M) yang dikenal
sebagai Guru Kedua. Al-Farabi sangat masyhur dengan upaya yang dilakukannya
dengan melakukan harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles. Al-Farabi
berpendapat sekalipun Aristoteles menolak keberadaan ide-ide Plato, tetapi dia
akan menemukan kesulitan dalam memahami sebab pertama alam semesta. Dia
akan menemukan kesulitan dalam memahami masalah yang menyangkut bentuk-
bentuk Ilahiyah.15 Kedua adalah Ibn Sina. Sebagai seorang filosof Muslim, dia
berupaya mensintesakan epistemologi Platonik dan Aristotelian dengan
mendasarkan gagasan filosofisnya atas firman Allah dalam Surat al-Nur.
Berdasarkan ayat tersebut, Allah telah menjelaskan bahwa akal manusia,

13
M. Zaenuddin, “Paradigma Pendidikan Islam Holistik” dalam Jurnal Ulumuna, Vol.
XV, No. 1, 2011, hlm. 81
14
Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif: Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan
Islam, Malang: UIN Maliki Press, 2011, hlm. 21
15
Mehdi Ha’iry Yazdi, Ilmu Hudhuri Prinsip Epistemologi Dalam Filsafat Islam,
Bandung: Mizan, hlm. 29-30

9
Pertama, memiliki kemampuan reseptivitas (quwwat isti’dadiyah) yang
diibaratkan sebagai ceruk (misykat) yang dapat memancarkan cahaya.
Selanjutnya akal manusia memiliki kemampuan lain yang diperoleh oleh akal
ketika wujud-wujud primer terpahami. Munculnya wujud primer merupakan
landasan bagi wujud sekunder yang difahami oleh akal manusia. Proses perolehan
wujud primer dapat melalui kontemplasi yang disebut sebagai pohon zaitun atau
dengan pemikiran mendalam yang diibaratkan sebagai minyak dari pohon zaitun
bagi mereka yang cerdik. Kemuliaan tertinggi dari kemampuan akal manusia
adalah kemampuan ilahi yang diibaratkan sebagai minyak yang seolah-olah
bersinar meskipun tidak disentuh oleh api.

Meskipun Imam al-Ghazali melalui kitabnya Tahafut al-Falasifah,


mengkritik keras filosof Muslim sebelumnya termasuk Ibn Sina, akan tetapi
penafsiran Ibn Sina atas ayat dalam Surat Al-Nur: 35 yang menggambarkan Allah
sebagai cahaya langit dan bumi telah mempengaruhi bangunan epistemologi.
Bangunan ini sebagaimana tertuang jelas dalam karya Imam al-Ghazali yang
berjudul Misykat al-Anwar. Dalam kitab ini, Imam al- Ghazali menjelaskan
hakekat ilmu yaitu cahaya dan selanjutnya menjelaskan hakekat cahaya dan
hubungannya dengan Allah. Dalam penjelasannya, Al-Ghazali menyatakan bahwa
ada gradasi atau tingkatan ilmu akan tetapi sesungguhnya ilmu itu adalah satu.
Inilah yang kemudian oleh Tim IAIN Walisongo dinamai sebagai konsep wahdat
al-ulum.

Secara akademik, ada beberapa alasan mengapa penelitian ini perlu


dilakukan: Pertama, sebagai basis paradigma keilmuan wahdat al-ulum
seharusnya ditulis secara mendalam sehingga terlihat akar dan landasan
epistemologinya. Sampai sekarang naskah akademik yang ada masih terserak-
serak dalam pemikiran dan belum tersusun secara sistematik dan mendalam. Oleh
karena itu, penelitian ini diharapkan dapat mengisi ruang yang kosong dalam
membangun paradigma keilmuan yang diusung oleh IAIN Walisongo (wahdat al-
ulum).

10
Kedua, konsep epistemologi Imam al-Ghazali sering disalahpahami,
bahkan kadang dia disebut sebagai ulama’ yang mendukung dan sekaligus
mempelopori adanya dikotomi ilmu. Menurutnya, pembagian ilmu syar’iyyah dan
ilmu ghair al- syar’iyyah merupakan bukti jelas bahwa al-Ghazali adalah pengikut
dikotomi ilmu. Tuduhan tersebut sangat menyesatkan sebab secara jelas al-
Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din menegaskan bahwa ilmu adalah salah
satu dari sifat Allah. Oleh karena itu, semua ilmu adalah terpuji. Pembagian ilmu
syar’iyyah dan ghair al-syari’yyah bukan menunjukkan pada tingkatan kewajiban
seorang untuk mencarinya akan tetapi menunjuk pada sumber ilmu; jika ilmu itu
diperoleh melalui akal maka itu disebut sebagai ilmu ghair al-syar’iyyah
sedangkan ilmu yang diperoleh dari para nabi adalah ilmu syar’iyyah.

Alasan terakhir adalah bahwa konsep wahdat al-ulum Imam al-Ghazali


masih terserak serak dalam karya-karya Imam al-Ghazali. Pembahasan ilmu dapat
ditemui dalam Kitab al-‘Ilm dan juga dalam Kitab Syarh ‘Ajaib al-Qalb, Kitab
Misykat al-Anwar, Risalah Laduniyah serta Mukasyafatul Qulub dan lain
sebagainya. Keterserakan pembahasan ilmu diatas bukanlah pengulangan akan
tetapi menunjukkan bahwa pembahasan ilmu memerlukan eksplanasi yang rumit.
Karena itulah penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan gambaran
yang jelas tentang eksplanasi konsep wahdat al-ulum dalam pemikiran al-Ghazali.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah peneliti melakukan pengumpulan data dan menganalisis dengan
pendekatan yang telah dijelaskan pada bab pertama, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut: Pengertian sejarah secara etimologi berasal dari kata Arab
syajarah artinya “pohon”. Dalam bahasa Inggeris peristilahan sejarah
disebut history yang berarti pengetahuan tentang gejala-gejala alam,
khususnya manusia yang bersifat kronologis. Sementara itu, pengetahuan
serupa yang tidak kronologis diistilahkan dengan science. Oleh karena itu
dapat dipahami bahwa sejarah itu adalah aktivitas manusia yang
berhubungan dengan kejadian-kejadian tertentu yang tersusun secara
kronologis.
Pengertian sejarah lainnya adalah yang tersusun dari serangkaian
peristiwa masa lampau keseluruhan pengalaman manusia. Dari
beberapa pengertian sejarah di atas dapat diketahui bahwa sejarah itu
adalah ilmu pengetahuan yang berusaha melukiskan tentang peristiwa
masa lampau umat manusia yang disusun secara kronologis untuk
menjadi pelajaran bagi manusia yang hidup sekarang maupun yang
akan datang. Itulah sebabnya, dikatakan orang bahwa sejarah adalah
guru yang paling bijaksana.
Kata “Kebudayaan” dalam bahasa Arab adalah al- Tsaqafah.
Tetapi di Indonesia masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata
“Kebudayaan” (Arab, al-Tsaqafah ; Inggris, Culture) dan “Peradaban”
(Arab, al-Hadharah ; Inggris, Civilization). Dalam ilmu Antropologi
sekarang, kedua istilah itu dibedakan.
Kata peradaban adalah terjemahan dari kata Arab al- Hadharah.
Juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan Kebudayaan.
Padahal istilah peradaban dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur
dari kebudayaan yang halus dan indah. Peradaban sering juga dipakai
untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi,

12
seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang
maju dan kompleks.
Islam yang diturunkan di Jazirah Arab telah membawa bangsa
Arab yang semula terkebelakang, bodoh, tidak dikenal dan diabaikan
oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju dan
berperadaban.

Menurut catatan sejarah, sejak zaman Plato dan Aristoteles, arus utama
tradisi epistemologi telah berbeda pendapat tentang pengetahuan manusia yang
melahirkan dua jenis ilmu; ilmu yang diperoleh dengan jalan mengobservasi objek
(‘ilm al-hushuli) dan ilmu yang datang langsung dari Tuhan (‘ilm al- hudhuri).
Upaya integrasi antara kedua ilmu tersebut sudah dimulai oleh para filosof Islam;
seperti, pertama, Abu Nashr al-Farabi (870 – 950 M) yang dikenal sebagai Guru
Kedua. Al-Farabi sangat masyhur dengan upaya yang dilakukannya dengan
melakukan harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles. Al-Farabi berpendapat
sekalipun Aristoteles menolak keberadaan ide-ide Plato, tetapi dia akan
menemukan kesulitan dalam memahami sebab pertama alam semesta. Dia akan
menemukan kesulitan dalam memahami masalah yang menyangkut bentuk-bentuk
Ilahiyah. Kedua adalah Ibn Sina. Sebagai seorang filosof Muslim, dia berupaya
mensintesakan epistemologi Platonik dan Aristotelian dengan mendasarkan
gagasan filosofisnya atas firman Allah dalam Surat al-Nur. Berdasarkan ayat
tersebut, Allah telah menjelaskan bahwa akal manusia, pertama, memiliki
kemampuan reseptivitas (quwwat isti’dadiyah) yang diibaratkan sebagai ceruk
(misykat) yang dapat memancarkan cahaya.

secara jelas al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din menegaskan bahwa
ilmu adalah salah satu dari sifat Allah. Oleh karena itu, semua ilmu adalah terpuji.
Pembagian ilmu syar’iyyah dan ghair al-syari’yyah bukan menunjukkan pada
tingkatan kewajiban seorang untuk mencarinya akan tetapi menunjuk pada
sumber ilmu; jika ilmu itu diperoleh melalui akal maka itu disebut sebagai ilmu
ghair al-syar’iyyah sedangkan ilmu yang diperoleh dari para nabi adalah ilmu
syar’iyyah.

13
DAFTAR PUSTAKA
Afifah, Ni’mah. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Perspektif Naquib Al-Attas Di
Tengah Kemunduran Dunia Ilmiah Islam. Modeling: Jurnal Program Studi
Pgmi.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam And Secularism. Kuala Lumpur: Art
Printing Works Sdn. Bhd, Istac, 1978.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. The Consept Of Education In Islam.


Malaysia: International Institute Of Islamic Thought And Civilization,
1980.

http://pasaronlineforall. blogspot. co. id/2010/12/peradaban-islam-padaperiode-


modern. html

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Pendidikan Agama dan Budi Pekerti.


Jakarta: Pusat Kurikulumdan Perbukuan Balitbang Kemndikbud, 2015.

Maryanto, Edi. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Penerbit


K-Media, 2018.

Mauliyah, Anita. Gerakan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Naquib Al-Attas. El-


Banat: Jurnal Pemikiran Dan Pendidikan Islam Volume 6, Nomor 1,
Januari-Juni, 2016.

Muhammad Taufik Dan Muhammad Yasir. Mengkritisi Konsep Islamisasi Ilmu


Ismail Raji, 2017.

14

Anda mungkin juga menyukai