Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang


Sirosis hati merupakan penyakit yang penderitanya paling banyak mengalami
malnutrisi.Salah satu factor penyebab terjadinya malnutrisi adalah sulitnya penilaian
status gizi.Sirosis hati (SH) adalah penyakit hati menahun dan merupakan salah satu
 penyakit hati yang terbanyak dijumpai di Indonesia. Penyakit ini dilaporkan sebanyak 38 -
52,8% dari penyakit hati yang dirawat di rumah sakit di berbagai kota di Indonesia.
Berbeda dengan di negara Barat Iebih dari 65% sirosis hati adalah sirosis alkoholik, di
Indonesia 30-40% sirosis hati adalah sirosis hati posnekrosis.
Lebih dari 40% pasien sirosis asimtomatis. Pad keadaan ini sirosis ditemukan pada
waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu autopsy. Keseluruhan insidensi
sirosis di Amerika diperiksakan 360 per 100.000 penduduk.Penyebabnya sebagian besar
akibat penyakit hati akoholik maupun infeksi virus kronik. Hasil penelitian lain
menyebutkan perlemakan hati akan mengakibatkan steatohepaitits nonalkoholik (NASH,
 prevalensi 4%) dan berakhir dengan sirosis hati dengan prevalensi 0,3%. Prevalensi sirosis
hati akibat steatohepatitis alkoholik dilaporkan 0,3% juga. Di Indonesia data prevalensi
sirosis hati belum ada, hanya laporan-laporan dari pusat pendidikan saja.Di RS Dr.
Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hati berkisar 4,1%. Di Medan dalam kurun
waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4%) pasien dari seluruh pasien
di Bagian Penyakit Dalam.(Sudoyo, Aru W; Setiyohadi, Bambang; Idrus, Alwi; dkk,
2006)
Pada penderita SH akibat penurunan fungsi hati sering dijumpai berbagai masalah
seperti asites, perdarahan, dan koma hepatikum.Perdarahan merupakan manifestasi klinis
akibat gangguan hemostasis.Perdarahan pada SH sudah diketahui sejak lama, yaitu ketika
Budd pada tahun 1846 melaporkan bahwa darah penderita sirosis hati tidak
membeku.Perdarahan pada sirosis hati dapat bervariasi mulai dari yang paling ringan,
seperti perdarahan gusi, sampai dengan perdarahan berat; misalnya, hematemesis
melena.Berat atau ringannya perdarahan yang terjadi bergantung pada berbagai hal, antara

1
lain, pada besar dan tekanan varises esofagus, jenis dan beratnya trauma, serta beratnya
gangguan hemostasis.

1.2  Rumusan Masalah


1.2.1   Apa yang dimaksud dengan sirosis hati itu?
1.2.2  Apa saja klasifikasi dari sirosis hati?
1.2.3   Bagaimana etiologi dari sirosis hati?
1.2.4   Bagaimana manifestasi klinis dari sirosis hati?
1.2.5  Bagaimana patofisiologinya?
1.2.6  Bagaimana pathway dari sirosis hati?
1.2.7  Apa saja komplikasi dari sirosis hati?
1.2.8  Bagaimana pemeriksaan diagnostiknya?
1.2.9  Bagaimana penatalaksanaan dari sirosis hati?

1.3  Tujuan
1.3.1   Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan dan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Sistem Pencernaan III serta mempresentasikannya, pada program studi S1-
Keperawatan di STIKES Muhammadiyah Lamongan. 
1.3.2   Tujuan Khusus
a.  Untuk mengetahui tentang penyakit sirosis hati.
 b.  Untuk mengetahui penyebab dari penyakit sirosis hati.
c.   Untuk mengetahui gejala dan tanda yang ditimbulkan oleh penyakit sirosis
hati.
d.   Mampu memahami patofisiologi penyakit sirosis hati.
e.   Mampu memahami pathway dari penyakit sirosis hati.
f.   Untuk mengetahui komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit sirosis hati.

g.   Mampu memahami penatalaksanaan dari penyakit sirosis hati.


h.   Mampu memahami, menganalisa dan mengidentifikasi asuhan keperawatan
dari penyakit sirosis hati.

2
1.4  Manfaat
Diharapkan dengan adanya makalah ini, mahasiswa mampu mengetahui, menganalisa,
dan mengidentifikasi penyebab, gejala, komplikasi dan penanganannya serta mahasiswa
mampu memahami perjalanan penyakit dari mastoiditis ini dengan tepat dan benar. 

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Pengertian

Sirosis hati ialah penyakit hati yang tidak diketahui sebab-sebabnya dengan pasti.
Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis
dan terjadinya pengerasan dari hati. Istilah sirosis diberikan pertama kali oleh Laennec
tahun 1819, yang berasal dari kata scirrhos yang berarti kuning oranye (orange yellow),
karena terjadinya perubahan warna pada nodul-nodul hati yang terbentuk. Tapi karena
kemudian arti kata sirosis atau scirrhus banyak yang salah menafsirkannya, akhirnnya
 berarti pengerasan (Hadi, Sujono, 2002).
Sirosis hati merupakan penyakit kronis yang ditandai oleh obstruksi difus dan
regenerasi fibrotic sel-sel hati. Karena jaringan yang nekrotik mengahsilkan fibrosis, maka
 penyakit ini akan merusak jaringan hati serta pembuluh darah yang normal, mengganggu
aliran darah serta cairan limfe, dan pada akhirnya menyebabkan insufisiensi hati
(Kowalak, Jennifer P; Welsh, William; Mayer, Brenna, 2011).

2.2  Klasifikasi

2.2.1   Klasifikasi menurut morfologi


: a.  Sirosis mikronoduler
Pada golongan ini termasuk bentuk : irregular, septal, uniform monolobuler,
nutrisional dan Laennec. Gambaran mikroskopis terlihat septa yang tipis.
 b.  Sirosis makronodular
Termasuk dalam klasifikasi ini ialah : postnekrotik, irregular, postkolaps.
Biasanya septa lebar dan tebal. Nodul besarnya bermacam-macam, beberapa
diantaranya kemungkinan mempunyai diameter 2 inci dan mungkin
mengandung beberapa asini.
c.  Kombinasi antara mikro dan makronodular
Seringkali sirosis hati yang ditemukan termasuk pada golongan ini.

d.  Sirosis septal (multilobuler) yang tidak lengkap (in komplit)

4
Fibrous septa sering prominent dan parenkim mungkin mempunyai gambaran
asnini yang normal. Beberapa fibrosis septa berhenti mendadak di parenkim
tanpa hubungan dengan septa atau portal.
2.2.2   Secara etiologis:
a.  Sirosis oleh gangguan genetic
1)  Galaktosemia.
2)   Thalasemia dan beberapa anemia lainnya yang ditentukan secara
genetis (atransferrinemia dan anemia tergantung pyridoxin).
3)   Penyakit Wilson.
4)  Kelebihan zat besi.
 b.  Sirosis kimiawi
c.  Sirosis alkoholik
d.  Sirosis menular
1)   Sifilis congenital (hepar lobatum).
2)   Parasit menular, tidak dibentuk namun diklaim setelah schistosomiasis
mansoni.
3)   Sirosis gizi (malnutrisi saja tidak diterima: setelah usus by-pass operasi
untuk obesitas.
4)   Sirosis bilary sekunder.
5)  Sirosis kongestif.
(Hadi, Sujono, 2002)
2.3  Etiologi

2.3.1   Penyakit infeksi (toksoplasmosis, hepatitis virus).


2.3.2  Penyakit keturunan dan metabolik
a.  Sindrom Fanconi
 b.  Galaktosemia
c.   Penyakit Gaucher
d.   Hemokromatosis
e.   Penyakit Wilson
2.3.3  Obat dan toksin
a.  Alkohol
 b.  Amiodaron

5
c.   Arsenik
d.   Obstruksi bilier
e.   Penyakit perlemakan hati nonalkoholik
f.   Sirosis bilier primer
(Sudoyo, Aru W; Setiyohadi, Bambang; Idrus, Alwi; dkk, 2006)

2.4  Manifestasi Klinis

Berikut ini merupakan tanda dan gejala stadium awal :


a.  Anoreksia akibat perubahan cita rasa terhadap makanan tertentu.
 b.  Mual dan muntah akibat respons inflamasi dan efek sistemik inflamasi hati.
c.  Diare akibat malabsorpsi.
d.   Nyeri tumpul abdomen akibat inflamasi hati.
Berikut ini merupakan tanda dan gejala stadium lanjut :
a.  Respirasi : efusi pleura, ekspansi thoraks yang terbatas karena terdapat asites dalam
rongga perut; gangguan pada efisiensi pertukaran gas sehingga terjadi hipoksia.
 b.  System saraf pusat : tanda dan gejala ensefalopati hepatic yang berlangsung progresif
dan meliputi letargi, perubahan mental, bicara pelo, asteriksis, neuritis perifer,
 paranoia, halusinasi, somnolensia berat dan koma, yang semua terjadi sekunder karena
terganggunya proses perubahan ammonia menjadi ureum dan sebagai akibtanya,
senyawa ammonia yang toksik itu akan terbawa ke otak.
c.   Hematologic : kecenderungan berdarah (epistaksis, gejala mudah memar, gusi yang
mudah berdarah), splenomegali, anemia yang disebabkan oleh trombositopenia
(terjadi sekunder karena splenomegali serta penurunan absorpsi vitamin K), dan
hipertensi porta.
d.   Endokrin : atrofi testis, ketidakteraturan haid, ginekomastia dan bulu dada serta ketiak
rontok akibat penurunan metabolism hormone.
e.   Kulit : pigmentasi yang abnormal, spider angioma (spider naevi), eritema palmarum,
dan gejala ikterus yang berhubungan dengan kerusakan fungsi hati; pruritus hebat
yang terjadi sekunder karena ikterus akibat hiperbilirubinemia; kekeringan kulit yang
ekstrim dan turgor jaringan yang buruk, yang semua ini berhubungan dengan
malnutrisi.

6
f.   Hepatic : ikterus akibat penurunan metabolism bilirubin; hepatomegali yang terjadi
sekunder karena pembentukan parut pada hati dan hipertensi porta; asites serta edema
 pada tungkai akibat hipertensi porta dan penurunan kadar protein plasma; ensefalopati
hepatic akibat intoksikasi ammonia; dan sindrom hepatorenal akibat penyakit hati
yang lanjut dan gagal ginjal yang kemudian terjadi.
g.   Lain-lain : napas yang berbau pesing dan gejala ini terjadi sekunder karena
 penumpukan ammonia; pelebaran vena supervisial abdomen yang disebabkan oleh
hipertensi porta; rasa nyeri pada abdomen kuadran kanan atas yang semakin
 bertambah parah pada waktu pasien duduk atau membungkukkan tubuh ke depan, dan
gejala ini disebabkan oleh inflamasi serta iritasi pada serabut saraf di daerah tersebut;
hati atau limpa yang teraba akibat pembesaran organ tersebut; suhu tubuh yang
 berkisar dari 38,3o hingga 39,4o  C akibat respons inflamasi; perdarahan dari varises
esophagus, yang terjadi karena hipertensi porta.
(Kowalak, Jennifer P; Welsh, William; Mayer, Brenna, 2011)

2.5  Patofisiologi

Peningkatan atau gangguan sintesis kolagen dan komponen jaringan ikat atau
membrane basal lain matriks ekstrasel diperkirakan berperan dalam terjadinya fibrosis hati
dan dengan demikian pada pathogenesis sirosis. Peran matriks ekstrasel pada fungsi sel
merupakan bidang riset yang penting dan studi-studi mengisyaratkan bahwa matriks
ekstrasel terlibat dalam modulasi aktivitas sel yang berkontak dengannya. Karena itu,
fibrosis dapat mempengaruhi tidak hanya fisika aliran darah melalui hati tetapi juga fungsi
sel-sel itu sendiri (McPhee, Stephen J.; Ganong, William F., 2010).
Fibrosis hati tampaknya terjadi pada tiga situasi : (1) sebagai suatu respons imun, (2)
sebagai bagian dari proses penyembuhan luka, dan (3) sebagai respons terhadap agen yang
memicu fibrinogenesis primer. HBV dan spesies Schistosoma adalah contoh agen yang
menyebabkan fibrosis dengan dasar imunologis. Agen seperti karbon tetraklorida atau
hepatitis A yang menyerang dan mematikan hepatosit secara langsung adalah contoh agen
yang menyebabkan fibrosis sebagai bagian dari penyembuhan luka. Pada respons imun
dan penyembuhan luka, fibrosis dipicu secara tidak langsung oleh efek berbagai sitokin
yang dibebaskan oleh sel-sel radang yang menyerbuki hati. Akhirnya, agen tertentu seperti
etanol dan besi daoat menyebabkan fibronogenesis primer dengan secara langsung

7
meningkatkan transkripsi gen kolagen sehingga juga meningkatkan jumlah jaringan ikat
yang disekresikan oleh sel (McPhee, Stephen J.; Ganong, William F., 2010).
Penyebab utama dari semua mekanisme peningkatan fibrinogenesis ini mungkin
adalah sel penyimpan lemak di system retikuloendotel hati. Sebagai respons terhadap
sitokin, sel-sel ini berdiferensiesi dari sel inaktif dengan vitamin A yang disimpan ke
dalam miofibroblas, yang kehilangan kemampuannya menyimpan vitamin A dan menjadi
aktif menghasilkan matriks ekstrasel. Fibroblast hati tampaknya berlangsung dalam dua
tahap. Tahap pertama ditandai oleh perubahan komposisi matriks ekstrasel dari
kolagenyang tidak berikatan silang dan tidak membentuk fibril menjadi kolagen yang
lebih padat dan mudah membentuk ikatan silang. Pada tahap ini, cedera hati masih
reversible. Tahap kedua melibatkan pembentukan ikatan silang kolagen subendotel,
 proliferasi sel mioepitel, dan distorsi arsitektur hati disertai kemunculan nodul-nodul
regenerasi (McPhee, Stephen J.; Ganong, William F., 2010).
Tahap kedua ini bersifat ireversibel. Perubahan komposisi matriks ekstrasel dapat
memerantarai perubahan fungsi hepatosit dan sel lain, misalnya liposit. Karena itu,
 perubahan pada keseimbangan kolagen mungkin berperan penting dalam perkembangan
cedera hati kronik reversible menjadi bentuk ireversibel dengan ikut mempengaruhi fungsi
hepatosit (McPhee, Stephen J.; Ganong, William F., 2010).
Adapun kemungkinan efek pada fungsi hepatosit, peningkatan fibrosis sangat
mengubah sifat aliran draah di hati, yang menyebabkan penyulit-penyulit penting yang
dibahas kemudian (McPhee, Stephen J.; Ganong, William F., 2010).
Cara alcohol dalam menyebabkan penyakit hati kronik belum sepenuhnya dipahami.
 Namun, penyalahgunaan alcohol secara kronik dilaporkan berkaitan dengan gangguan
sintesis dan sekresi protein, jejas mitokondria, peroksidasi lipid, pembentukan
asetaldehida dan interaksinya dengan protein sel dan lipid membrane, hipoksia sel, dan
sitotoksisitas yang diperantarai oleh imunitas seluler dan humoral. Makna relative setiap
factor di atas dalam menimbulkan jejas sel tidak diketahui. Factor genetic, gizi, dan
lingkungan (termasuk pajanan bersamaan dengan hepatotoksin lain) juga mempengaruhi
terjadinya penyakit hati pada pecandu alcohol. Akhirnya, cedera hati akut (mis, akibat
 pajanan dengan alkohol atau toksin lain) yang dapat pulih sempurna pada orang dengan
hati normal, mungkin cukup untuk menimbulkan dekompensasi ireversibel (mis, sindrom

8
hepatorenal) pada pasien yang sudah mengidap sirosis hati (McPhee, Stephen J.; Ganong,
William F., 2010).

9
2.6  Pathway

Hepatitis virus B dan C, Alcohol, Metabolik


: DM, Kolestatis kronik, Toksik dari obat : INH, Malnutrisi

Sirosis hepatis

Kelainan jaringan Fungsi hati Inflamasi akut


parenkim hati terganggu

Kurang pengetahuan Nyeri


Kronis Anxietas
tentang penyakit

Hipertensi portal Gangguan Gangguan Gangguan Gangguan Gangguan


metabolism metabolism protein metabolism vitamin metabolism zat besi pembentukan
bilirubin empedu

Asites
Asam amino relative Sintesis vitamin A, B Gangguan asam Lemak tidak dapat
Bilirubin tidak (albumin, globulin) complex B12, melalui folat diemulsikan dan tidak dapat diserap
terkonjugasi hati menurun oleh usus halus

10
Ekspansi paru Gangguan sintesis

terganggu vitamin K
Penurunan
produksi sel darah
Feses pucat Ikterus Urin gelap
Anoreksia
Pola napas tidak
efektif
Penumpukan garam Gangguan body
empedu di bawah image Perubahan nutrisi Peningkatan
kulit Anemia kurang dari peristaltik
kebutuhan
  pembekuan
Factor
darah terganggu
Pruritus  
Sintesis prosumber terganggu Kelemahan Diare
otot

Resiko tinggi Gangguan


Intoleransi keseimbangan cairan dan elektrolit
kerusakan integritas Resiko tinggi
aktivitas
kulit perdarahan

11
2.7  Komplikasi

Komplikasi dari sirosis hati meliputi :

a.  Gangguan respirasi.


 b.  Asites.
c.   Hipertensi porta.
d.   Ikterus.
e.   Koagulopati.
f.   Ensefalopati hepatic.
g.   Varises esophagus yang mengalami perdarahan; perdarahan akut GI.
h.   Gagal hati.
i.  Gagal ginjal.
(Kowalak, Jennifer P; Welsh, William; Mayer, Brenna, 2011)

2.8  Pemeriksaan Diagnostik

2.8.1   Biopsy hati mengungkapkan destruksi jaringan dan fibrosis.


2.8.2   Foto rontgen abdomen memperlihatkan pembesarah hati, ada kista,
atau gas di dalam saluran empedu atau hati, kalsifikasi hati, dan
akumulasi cairan yang massif (asites).
2.8.3   CT scan dan pemindaian hati menunjukkkan ukuran hati, massa yang
abnormal, dan obstruksi aliran darah hepatica.
2.8.4   Esofagogastroduodenoskopi memperlihatkan varises esophagus yang
 berdarah, iritasi atau ulserasi lambung, atau perdarahan atau iritasi
duodenum.
2.8.5   Pemeriksaan darah mengungkapkan kenaikan kadar enzim hati, total
 bilirubin serum serta bilirubin indirek; penurunan kadar total albumin
serta protrin serum; pemanjangan waktu protrombin; penurunan kadar
hemoglobin, hematokrit serta elektrolit serum; dan defisiensi vitamin
A, C, serta K.

12
2.8.6   Pemeriksaan urine memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin dan
urobilirubinogen dalam urine.
2.8.7   Pemeriksaan feses memperlihatkan penurunan kadar urobilirubinogen
dalam feses.
(Kowalak, Jennifer P; Welsh, William; Mayer, Brenna, 2011)

2.9  Penatalaksanaan

Penanganan sirosis hati dapat meliputi :


a.  Pemberian vitamin serta suplemen gizi untuk membantu menyembuhkan
sel-sel hati yang rusak dan memperbaiki status gizi pasien.
 b.  Pemberian antacid untuk mengurangi distress lambung dan menurunkan
 potensi perdarahan GI.
c.   Pemberian diuretic yang mempertahankan kalium untuk mengurangi
 penumpukan cairan.
d.   Pemberian vasopressin untuk mengatasi varises esophagus.
e.   Intubasi esofagogastrik dengan kateter multilumen untuk mengendalikan
 perdarahan dari varises esophagus atau lokasi perdarahn lain dengan
menggunakan balon untuk menekan lokasi perdarahan tersebut.
f.   Lavase lambung sampai cairan yang mengalir keluar menjadi jernih;
lavase dilakukan dengan pemberian antacid dan antagonis histamine jika
 perdarahan tersebut terjadi sekunder karena ulkus lambung.
g.   Tamponade balon esophagus untuk menekan pembuluh darah yang
mengalami perdarahan dan menghentikan kehilangan darah dari varises
esophagus.
h.   Parasentesis untuk mengurangi tekanan inta-abdomen dan mengeluarkan
cairan asites.
i.   Pemasangan shunt melalui pembedahan untuk mengalihkan cairan asites
ke dalam sirkulasi darah vena agar terajdi penurunan berat badan,
 penurunan lingkar perut, peningkatan ekskresi natrium dari ginjal, dan
 perbaikan ekskresi urin.

13
 j.  Penyuntikan preparat sklerosing pada pembuluh darah yang megalami
 perembesan darah agar terjadi pembekuan dan sklerosis.
k.  Pemasangan shunt portosistemik untuk mengendalikan perdarahan dari
varises esophagus dan men urunkan hipertensi porta (mengalihkan
sebagian aliran darah vena porta dari hati; tindakan ini jarang dilakukan).
(Kowalak, Jennifer P; Welsh, William; Mayer, Brenna, 2011)

14

Anda mungkin juga menyukai