Anda di halaman 1dari 9

SURVEY EKOSISTEM PADANG LAMUN (SEA GRASS)

LAPORAN PRAKTIKUM

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan


memenuhi syarat-syarat guna pelaksanaan praktikum
Mata Kuliah Biologi Laut

Oleh:

PRIMANDA AULIA RACHMAN


1908104010056

LABORATORIUM BIOLOGI LAUT, JURUSAN BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA, BANDA ACEH
SEPTEMBER, 2021
BAB IV
DATA HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1. DATA HASIL PENGAMATAN


4.1.1. Tabel Data hasil Pengamatan
Nama dan Gambar Ciri-ciri
Cymodocea rotundata Tanaman ramping, mirip dengan Cymodocea
serrulata, daun seperti garis lurus dan lengkap
(panjang 6-15 cm, lebar 2-4 mm), lurus sampai agak
bulat, tidak menyempit sampai ujung daun. Ujung
daun bulat dan seludang daun keras. Rimpang
ramping (diameter 1-2 mm, panjang antar ruas 1-4
cm) dari Cymodocea serrulata, dengan tunas pendek
yang tegak, setiap ruas ada 2-5 (7) daun. Buah
berbulu tanpa tangkai, berada dalam seludang daun.
Setengah lingkaran dan agak keras, bagian bawah
berlekuk dengan 3-4 geligi runcing.
Cymodocea serrulata Tanaman mirip Cymodocea rotundata, daun lebih
panjang (panjang 5-15 cm, lebar 4-10 mm) dan lebih
bulat, ujung daun bulat dengan sedikit gerigi.
Seludang daun kukuh. Rimpang kuat/gemuk
(diameter 2-3 mm, panjang antar ruas 2-5 mm),
dengan tunas tegak yang pendek, setiap ruas ada 2-4
daun. Buah berbulu (panjang 7-10 mm), lubang di
seludang pada bagian dasar. Bentuk bulat panjang
dan agak keras.
Enhalus acoroides Tanaman lurus, 2-5 daun muncul dari rimpang
yang tebal dan kasar dengan beberapa akar-akar kuat.
Daun seperti pita atau pita rambut (panjang 40-90
cm, lebar 1-5 cm); bergaris seluruhnya dan tebal,
lama terlepasnya dan serat kasar setelah
pembusukan; ujung daun tumpul. Rimpang
merambat, kasar, tidak bercabang atau bercabang
(diameter 1-3 cm), dikelilingi oleh kulit luar yang
tebal; akar panjang dan berbulu (panjang 5-15 cm,
diameter 2-4 mm). Bunga jantan dan betina muncul
pada tanaman yang berbeda. Bunga jantan muncul
pada dasar tanaman, butir serbuk besar. Bunga betina
mempunyai tangkai panjang, panjang 10-30 (40) cm.
Buah bentuk telur dengan duri kasar (panjang 2-4
cm, lebar 2-3 cm); biji 6-12.
Halodule pinifolia Tanaman lurus,mirip dengan Halodule uninervis.
Daun panjang, bergaris seluruhnya dan beberapa
lebih bulat pada bagian ujung dan sempit pada
bagian dasar (panjang 5-20 cm, lebar 0,8-1,5 mm),
dan mempunyai sejumlah sel tanin kecil. Urat tengah
4.2. PEMBAHASAN
Padang lamun adalah hotspot metabolisme di perairan pantai dangkal. Telah
lama diketahui bahwa tingginya tingkat produksi primer dan respirasi mempercepat
siklus nutrisi dan mendukung komunitas konsumen yang beragam. Dengan
demikian, padang lamun dihargai karena perannya sebagai filter nutrisi yang
meningkatkan kualitas air dan sebagai tempat pembibitan bagi banyak perikanan
yang penting secara komersial. Baru-baru ini, padang lamun, dan sistem vegetasi
pantai lainnya seperti rawa asin dan bakau, telah diakui pentingnya dalam
penyerapan dan penyimpanan “karbon biru”. Hal ini telah mendorong penelitian
internasional yang substansial untuk memahami peran habitat bervegetasi pesisir
dalam retensi karbon pada skala regional dan global (Johannessen dan Macdonald
2016; Macreadie et al. 2018; Oreska et al. 2018). Kerangka kerja ini saat ini
digunakan untuk mengembangkan strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim
melalui konservasi dan restorasi vegetasi pantai (Murray et al. 2011; Hejnowicz et al.
2015).
Lamun dianggap sebagai salah satu habitat pesisir yang paling penting, karena
mereka mendukung berbagai spesies kunci dan spesies laut yang penting secara
ekologis dari tingkat trofik yang berbeda. Mereka adalah tanaman berbunga laut
yang berkembang sepenuhnya terendam di laut dangkal dan habitat muara,
mengkolonisasi substrat lunak, terutama dalam wilayah rentan gelombang (Barbier et
al., 2011). Cakupan global lamun diperkirakan 3,45×105km2 (UNEP-WCMC &
Short, 2016), yang mewakili sekitar 0,1%–0,2% dari dasar laut (Fourqurean et al.,
2012; Greiner et al., 2013). Sebagai habitat pesisir dangkal, lamun menyediakan
tempat penangkapan ikan utama karena mereka menawarkan habitat yang kompleks
untuk berbagai ikan dan organisme laut lainnya. Perikanan berbasis lamun secara
global penting dan hadir di mana pun lamun ada, mendukung aktivitas subsisten,
komersial, dan rekreasi (Nordlund et al., 2017). Tingkat produksi primer mereka
yang tinggi menghasilkan perairan yang teroksigenasi dengan baik yang mendukung
jaring-jaring makanan yang kompleks. Selama fotosintesis, mereka melepaskan
oksigen ke dalam air dan juga memompa oksigen ke sedimen melalui akarnya,
sehingga menciptakan lingkungan oksik yang mendorong nutrisi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas padang lamun
menurut Cognat et al. (2018) antara lain adalah ketersediaan cahaya yang akan
diperlukan dalam proses sotosintesis tumbuhan lamun, tekanan gelombang dan arus
laut, suhu yang berperan dalam membuat proses fotosintesi berjalan menjadi lebih
baik, salinitas, serrta ketersediaan nutrien yang cukup.
Pemetaan dan pemantauan habitat laut penting untuk pengelolaan dan
pengambilan keputusan yang tepat. Namun, habitat pesisir dangkal (kedalaman 5
meter) sebagian besar kurang sampel dalam ruang dan waktu. Oleh karena itu,
pengetahuan tentang morfologi, ekologi dan keanekaragaman hayati di kawasan ini
sangat dibutuhkan. Kemajuan teknologi telah menyediakan berbagai macam
platform bantalan instrumen yang berguna untuk tujuan pemetaan dan pemantauan.
Ini termasuk robotika bawah air, seperti kendaraan yang dioperasikan dari jarak jauh
(ROV s) dan kendaraan bawah air otonom (AUV s). Karena pengoperasian platform
ini mungkin mahal dan tidak praktis untuk pemetaan perairan dangkal, penggunaan
kendaraan permukaan otonom (ASV) adalah pendekatan baru dan menjanjikan
(Alvsvåg, 2017). Metode yang dapat digunakan dalam proses monitoring padang
lamun antara lain adalah transek kuadrat dan transek garis (Syukur & Santoso, 2017).
Spesies yang paling tersebar luas di Asia Tenggara adalah Thalassia hemprichii,
yang memiliki catatan distribusi di semua ekoregion, bahkan di lokasi terpencil
seperti Kepulauan Oseanik Laut Cina Selatan. Cymodocea serrulata dan Cymodocea
rotundata juga merupakan spesies yang umum, terdapat di semua ekoregion kecuali
Kepulauan Oseanik Laut Cina Selatan dan Kepulauan Cocos-Keeling/Natal. Spesies
yang unik untuk satu ekoregion adalah Halophila sulawesi (Kuo 2007), dengan
hanya satu catatan di Pulau Samalona di kepulauan Spermonde (lihat juga: Sorotan
Taksonomi, di bawah), dan Zostera japonica di Teluk Tonkin (Luong et al. 2012 ).
Halophila major dan Halophila ovata juga terbatas pada satu ekoregion di Northern
Bay of Bengal, dan Kepulauan Andaman dan Nicobar, tetapi ini mungkin karena
bentuk-bentuk ini secara taksonomi sulit untuk diidentifikasi (dibahas dalam Sorotan
Taksonomi di bawah), meskipun kemajuan terbaru telah dibuat dalam pendekatan
molekuler (Nguyen et al. 2013, 2014).
4.3. RESUME VIDEO
Lamun bukanlah seaweed/rumput laut yang notabenenya merupakan alga.
Lamun adalah spermatophyta atau tumbuhan berbiji layaknya tumbuhan di darat,
namun telah beradaptasi dengan keasinan air laut. Sebagaimana tumbuhan di daratan,
lamun memiliki bagian yang lengkap sepereti daun, akar, serta rimpang. Lamun
dapat tumbuh dengan baik di tempat dengan penetrasi cahaya yang baik karena
dibutuhkan dalam proses fotosintesis. Keberadaan lamun yang banyak dalam suatu
wilayah dapat disebut sebagai padang lamun. Padang lamun juga dapat menjadi
indikator kebersihan dari suatu wilayah perairan.
Lamun dapat menjadi sumber kehidupan bagi biota laut perairan dangkal,
termasuk daun lamun yang terurai tetap dapat bermanfaat bagi anak-anak ikan di
sekitar padang lamun. Kini, lebuh dari 70% padang lamun di Indonesia telah
mengalami kerusakan. Kerusakan antara lain disebabkan oleh cara penangkapan ikan
yang salah, aktivitas kapal, limbah, dan sebagainya karena lamun sensitif dengan
aktivitas manusia. Padang lamun di Infonesia yang baik kini hanya berada di bagian
Timur Indonesia. Walau mudah mengalami kerusakan, padang lamun mudah
ditanam kembali, dengan catatan manusia berkomitmen untuk menjaga dan tidak
kembali merusaknya.

Sumber Video: https://www.youtube.com/watch?v=2HEEMk6PEr4


BAB V
KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dalam praktikum ini antara lain:
1. Padang lamun memiliki peran penting dari segi ekosistem maupun komersil
2. Lamun juga berperan dalam penghambatan aktivitas perubahan iklim
3. Pertumbuhan lamun dipengaruhi oleh suhu, cahaya, salinitas, nutrisi, dan arus
laut
4. Habitat lamun adalah di perairan laut yang tergolong dangkal
5. Cara survey ekosistem padang lamun adalah dengan transek kuadrat, transek
jalur, dan cover penutupan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Alvsvåg, D. M. (2017). Mapping of a seagrass habitat in Hopavågen, Sør-


Trøndelag, with the use of an Autonomous Surface Vehicle combined with
optical techniques (Master's thesis, NTNU).
Barbier, E. B., Georgiou, I. Y., Enchelmeyer, B., & Reed, D. J. (2013). The value of
wetlands in protecting southeast Louisiana from hurricane storm surges.
PloS one, 8(3), e58715.
Berg, P., Delgard, M. L., Polsenaere, P., McGlathery, K. J., Doney, S. C., & Berger,
A. C. (2019). Dynamics of benthic metabolism, O2, and pCO2 in a
temperate seagrass meadow. Limnology and Oceanography, 64(6), 2586-
2604.
Cognat, M., Ganthy, F., Auby, I., Barraquand, F., Rigouin, L., & Sottolichio, A.
(2018). Environmental factors controlling biomass development of seagrass
meadows of Zostera noltei after a drastic decline (Arcachon Bay, France).
Journal of Sea Research, 140, 87-104.
Fortes, M. D., Ooi, J. L. S., Tan, Y. M., Prathep, A., Bujang, J. S., & Yaakub, S. M.
(2018). Seagrass in Southeast Asia: a review of status and knowledge gaps,
and a road map for conservation. Botanica Marina, 61(3), 269-288.
Fourqurean, J. W., Duarte, C. M., Kennedy, H., Marbà, N., Holmer, M., Mateo, M.
A., ... & Serrano, O. (2012). Seagrass ecosystems as a globally significant
carbon stock. Nature geoscience, 5(7), 505-509.
Greiner, J., Gunnell, J., McKee, B., & McGlathery, K. (2013). Seagrass Restoration
Enhances “Blue Carbon” Sequestration in Coastal Waters.
Hejnowicz, A. P., Kennedy, H., Rudd, M. A., & Huxham, M. R. (2015). Harnessing
the climate mitigation, conservation and poverty alleviation potential of
seagrasses: prospects for developing blue carbon initiatives and payment for
ecosystem service programmes. Frontiers in Marine Science, 2, 32.
Johannessen, S. C., & Macdonald, R. W. (2016). Geoengineering with seagrasses: is
credit due where credit is given?. Environmental Research Letters, 11(11),
113001.
Macreadie, P. I., Serrano, O., Maher, D. T., Duarte, C. M., & Beardall, J. (2017).
Addressing calcium carbonate cycling in blue carbon accounting.
Limnology and Oceanography Letters, 2(6), 195-201.
Murray, B. C., Pendleton, L., Jenkins, W. A., & Sifleet, S. (2011). Green payments
for blue carbon: economic incentives for protecting threatened coastal
habitats. Green payments for blue carbon: economic incentives for
protecting threatened coastal habitats.
Nordlund, L. M., Unsworth, R. K., Gullström, M., & Cullen‐Unsworth, L. C. (2018).
Global significance of seagrass fishery activity. Fish and Fisheries, 19(3),
399-412.
Oreska, M. P., McGlathery, K. J., Emmer, I. M., Needelman, B. A., Emmett-Mattox,
S., Crooks, S., ... & Myers, D. (2018). Comment on Geoengineering with
seagrasses: is credit due where credit is given?. Environmental Research
Letters, 13(3), 038001.
Syukur, A., & Santoso, D. (2017). Seagrass Ecosystems Monitoring as Related to
Coral Reef in Coastal Waters of Sekotong West Lombok, Indonesia. In
Proceeding. International Conference on Science and Technology 2017
Joint International Conference on Science and Technology in The Tropic
Beetwen Mataram and Malaya Universiti. Mataram Lombok Indonesia.
UNEP-WCMC, S. F. (2016). Global distribution of seagrasses (version 4.0). Fourth
update to the data layer used in Green and Short (2003). Cambridge (UK):
UNEP World Conservation Monitoring Centre.

Anda mungkin juga menyukai