Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

TEORI SASTRA

“Beberapa Pendekatan dalam Analisis Karya Sastra”

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Drs Yundi Fitrah, M.Hum.

Prof. Dr. Dra. Nazurty, M.Hum.

Kelompok 9

Andri Rustandi (P2A321021)

Choirunnisa (P2A321017)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JAMBI

2021
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

COVER ...........................................................................................................
KATA PENGANTAR ...................................................................................
DAFTAR ISI ..................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN...........................................................................................

1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………..........


1.2 Rumusan Masalah………………………………………………….......
1.3 Tujuan Pembahasan……………………………………………….........

BAB II
PEMBAHASAN..............................................................................................
2.1 Hakikat Karya Sastra ..............................................................................
2.2 Pendekatan dalam analisis karya sastra ..................................................
2.2.1 Pendekatan Mimetik (mimesis) .........................................................
2.2.2 Pendekatan Ekspresif
2.2.3 Pendekatan Pragmatik .......................................................................
2.2.4 Pendekatan Objektif ..........................................................................

BAB III
PENUTUPAN .................................................................................................
A. Simpulan .................................................................................................
B. Saran .......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan sebuah bentuk dari seni yang dituangkan oleh pengarang
melalui bahasa. Karya sastra diciptakan guna menyampaikan gagasan, dan gambaran
kehidupan manusia dengan berbagai permasalahannya. Karya sastra merupakan gambaran
tentang kehidupan yang bersifat penafsiran pengarang terhadap kehidupan nyata, karena
sebuah karya sastra tidak hanya menyampaikan apa yang didengar, dilihat, atau dirasakan
oleh pengarang. Melalui karya sastra, pengarang dapat menyampaikan nilai-nilai yang
bermanfaat bagi pembacanya. Karya sastra sendiri terdiri dari beragam bentuk, seperti puisi,
prosa maupun drama.
Sebuah karya sastra dianggap sebagai bentuk ekspresi dari sang pengarang. Sastra itu
dapat berupa kisah rekaan melalui pengalaman batin (pemikiran dan imaginasinya), maupun
pengalaman empirik (sebuah potret kehidupan nyata baik dari sang penulis ataupun realita
yang terjadi di sekitarnya) dari sang pengarang.
Melalui karya sastra pengarang dapat dengan bebas berbicara tentang kehidupan yang
dialami oleh manusia dengan berbagai peraturan dan normanorma dalam interaksinya dengan
lingkungan sehingga dalam karya sastra terdapat makna tertentu tentang kehidupan. Untuk
itu, mengapa sastra cukup banyak digemari oleh para penikmatnya, hal ini dikarenakan karya
sastra merupakan bentuk penggambaran dari seorang manusia, dalam hal ini sang pengarang,
sebagai bagian dari masyarakat. Dalam menyampaikan idenya melalui karya sastra,
sastrawan tidak bisa dipisahkan dari pengaruh lingkungannya. Karena karya sastra selalu
terkait dengan berbagai aspek dan pendekatan. Pendekatan yang akan dibahas dalam
penulisan ini adalah pendekatan  Ekspresif, Objektif, Mimetik, dan Pragmatik.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah hakikat dari karya sastra itu?
2. Apa saja pendekatan yang ada dalam analisis karya sastra?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui hakikat karya sastra
2. Mengetahui apa saja pendekatan dalam analisis karya sastra
3. Mengetahui pengertian dari setiap analisis karya sastra
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hakikat karya sastra

Sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta yang merupakan
gabungan dari kata “sas”, berarti mengarahkan, mengajarkan dan memberi petunjuk. Kata
sastra tersebut mendapat akhiran “tra” yang biasanya digunakan untuk menunjukkan alat atau
sarana. Sehingga, sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk atau pengajaran. Sebuah
kata lain yang juga diambil dari bahasa Sansekerta adalah kata pustaka yang secara luas
berarti buku (Teeuw, 1984: 22-23).

Menurut Saryono (2009: 16-17) sastra bukan sekedar artefak (barang mati), tetapi
sastra merupakan sosok yang hidup. Sebagai sosok yang hidup, sastra berkembang dengan
dinamis menyertai sosok-sosok lainnya, seperti politik, ekonomi, kesenian, dan kebudayaan.
Sastra dianggap mampu menjadi pemandu menuju jalan kebenaran karena sastra yang baik
adalah sastra yang ditulis dengan penuh kejujuran, kebeningan, kesungguhan, kearifan, dan
keluhuran nurani manusia. Sastra yang baik tersebut mampu mengingatkan, menyadarkan,
dan mengembalikan manusia ke jalan yang semestinya, yaitu jalan kebenaran dalam usaha
menunaikan tugas-tugas kehidupannya (Saryono, 2009: 20).

Sedangkan karya sastra sendiri menurut pandangan Sugihastuti (2007: 81-82) karya
sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan gagasan-
gagasan dan pengalamannya. Sebagai media, peran karya sastra sebagai media
menghubungkan pikiran-pikiran pengarang untuk disampaikan kepada pembaca. Selain itu,
karya sastra juga dapat merefleksikan pandangan pengarang terhadap berbagai masalah yang
diamati di lingkungannya. Realitas sosial yang dihadirkan melalui teks kepada pembaca
merupakan gambaran tentang berbagai fenomena sosial yang pernah terjadi di masyarakat
dan dihadirkan kembali oleh pengarang dalam bentuk dan cara yang berbeda. Selain itu,
karya sastra dapat menghibur, menambah pengetahuan dan memperkaya wawasan
pembacanya dengan cara yang unik, yaitu menuliskannya dalam bentuk naratif. Sehingga
pesan disampaikan kepada pembaca tanpa berkesan mengguruinya.

Karya sastra telah banyak dipelajari dalam dunia pendidikan dan bahkan telah melekat
untuk memenuhi kebutuhan manusia sesuai dengan kehidupan masing-masing. Karya
merupakan sesuatu hasil khayalan ataupun pemikiran seseorang yang dapat dipresentasikan.
Sedangkan Sastra merupakan sebuah seni yang indah. Maka dari itu karya sastra dapat
diartikan dengan suatu khayalan manusia yang kreatif dan dapat menghasilakan suatu wujud
keindahan. Keindahan itu dapat diperoleh manusia dengan cara berpikir luas tanpa ada
batasan dan dapat berkarya secara bebas sesuai dengan khayalan manusia itu sendiri. Jadi,
karya sastra merupakan sebuah seni yang dituangkan melalui bahasa. karya sastra terdiri dari
beragam bentuk, yaitu, puisi, prosa maupun drama.

2.2 Pendekatan dalam analisis karya sastra


Penelitian dilakukan secara berurutan, begitu juga penelitian sastra, umumnya terdapat
tiga kegiatan utama yang dilakukan, yakni kegiatan pengumpulan data, penganalisisan data,
dan penyajian hasil. Ketiga kegiatan itu menjadi hal utama dan pasti dikerjakan dalam
sebuah penelitian. Jika ketiga kegiatan di atas menjadi yang utama, lalu di mana keberadaan
pendekatan bagi sebuah penelitian, dalam hal ini penelitian sastra.
Secara tersurat pendekatan penelitian tidak tampak jika dilihat dari ketiga kegiatan
utama dalam penelitian di atas. Pendekatan dalam penelitian sastra dapat menjadi dasar bagi
ketiga kegiatan utama penelitian tersebut. Pendekatan dalam penelitian sastra hadir sebagai
cara pandang, landasan berpikir, maupun kerangka (desain) dalam penelitian. Dalam hal ini
pendekatan dalam penelitian sastra diperlukan kehadirannya dan kesesuaian dengan sumber
data penelitian (karya sastra) dalam penelitian yang dimaksud serta teori (metode) yang akan
digunakan. Dengan catatan bahwa penelitian tersebut memang memerlukan kehadiran
pendekatan. Pendekatan penelitian dapat dikatakan sebagai payung bagi peneliti dan
paradigma dalam penelitiannya. Ada beberapa pendekatan yang sering di terapkan dalam
menganalisis karya sastra diantarnya:

2.2.1 Pendekatan Mimetik (mimesis)

Istilah mimetik berasal dari bahasa Yunani yaitu mimesis yang berarti “meniru”,
“tiruan” atau “perwujudan”. Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang
menitik beratkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar
karya sastra. Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi dan realitas
(Abrams 1981 :89).
Aristoteles berpendapat bahwa mimesis bukan sekedar tiruan. bukan sekedar potret
dan realitas, melainkan telah melalui kesadaran personal batin pengarangnya. Puisi
sebagal karya sastra, mampu memaparkan realitas di luar diri manusia persi apa adanya.
Maka karya sastra seperti halnya puisi merupakan cerminan representasi dan realitas itu
sendiri. Pandangan Plato mengenai mimesis sangat dipengaruhi oleh pandangannya
mengenai konsep ide-ide yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya
mengenai seni. Seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam
kenyataan yang nampak. Dan seni yang terbaik adalah lewat mimetik. Perbedaan
pandangan Plato dan Aristoteles menjadi sangat menarik karena keduanya merupakan
awal filsafat alam, merekalah yang menghubungkan antara persoalan filsafat dengan
kehidupan ( Ravertz.2007: 12).

Mimetik dapat diartikan sebagai suatu teori yang dalam metodenya membentuk
suatu karya sastra dengan didasarkan pada kenyataan kehidupan sosial yang dialami
pengarangnya dan kemudian dikembangkan menjadi suatu karya sastra dengan
menambahkan skenario yang timbul dari daya imajinasi dan krearifitas pengarang dalam
kehidupan nyata.

2.2.2 Pendekatan Ekspresif

Terkait ekspresi, manusia tidak hanya memiliki ekspresi nonverbal, terdapat juga
ekspresi verbal yang di dalamnya dapat berupa ide-ide serta pemikiran yang memiliki
tujuan. Melalui eskpresi verbal, pembaca lebih mudah memahami tujuan atau maksud
yang ingin disampaikan penulis. Dalam bidang bahasa dan sastra, penulis dapat
menyampaikan pesan melalui karya-karya sastra yang ditulis, seperti cerpen, novel, puisi,
dan sebagainya. Ekspresi penulis yang dituangkan ke dalam karya sastra biasa disebut
dengan pendekatan ekspresif.

Secara ekspresif karya sastra (seni) merupakan hasil pengungkapan sang pencipta
seni (artist) tentang pengalaman, pikiran, perasaan, dan sejenisnya. Dengan demikian,
menurut Lewis, karya sastra bisa didekati dengan pendekatan ekspresif, yakni pendekatan
yang berfokus pada diri penulis (pengarang), imajinasinya, pandangannya, atau
kespontanitasnya, Abrams (1976:46).

Pendekatan ekspresif adalah teori yang memberi perhatian utamanya pada proses
kreatif pengarang dalam menciptakan karya sastra. Penyebab utama terciptanya karya
sastra adalah penciptanya sendiri. Itulah sebabnya penjelasan tentang kepribadian dan
kehidupan pengarang adalah metode tertua dan paling mapan dalam studi sastra (Wellek,
1989).

Pendekatan ekspresif digunakan untuk menyampaikan ide, gagasan, pikiran atau


pengalaman si penulis dalam bentuk karya sastra. Karya sastra mampu membangkitkan
perasaan senang, sedih, bahagia, dendam, dan sebagainya. Hubungan antara karya sastra dan
perasaan dapat ditelusuri dengan menggunakan pendekatan ekpresif. Pendekatan ekspresif ini
menempatkan karya sastra sebagai curahan, ucapan, dan proyeksi pikiran dan perasaan
pengarang (Abrams dalam Rahmawati, 2012). Jadi pendekatan ekspresif ini dapat dikatakan
sebagai luapan pengarang terhadap ide-ide yang dimilikinya kemudian dituangkan dalam
bentuk karya sastra yang dapat diketahui oleh pembaca terhadap apa yang dirasakan
penulisnya.

Adapun analisis pendekatan ekspresif Abrams terhadap karya sastra membutuhkan


langkah-langkah sebagai berikut:

a. Pengenalan dan pemahaman terhadap obyek yang dianalisis dengan cara membaca
dengan cermat karya sastra yang akan dianalisis untuk menemukan masalah-masalah
yang penting dalam karya tersebut.
b. Pengumpulan kepustakaan yang mungkin bisa menunjang proses analisis karya
sastra agar lebih akurat dan bisa dipertanggungjawabkan.
c. Pemahaman secara mendalam dan detail mengenai pengarang berdasarkan data-data
yang diperlukan, misalnya menelusuri biografi secara lengkap dari dini hingga
tumbuh dewasa dan latar belakang kehidupan pengarang supaya bisa menemukan
sikap dan ideologi pengarang. Selanjutnya mencari-tahu pengalaman-pengalaman
penting yang dialaminya dan membaca karya-karya lain dari si pengarang agar bisa
menemukan karakter, psikologis/kejiwaan, pandangan dan pedoman hidup dari si
pengarang. Misalnya menemukan ekspresi ketabahan, keteguhan, keimanan, serta
kebiasaan pengarang dalam karya sastra yang disampaikan melalui kisah antar
tokoh. Pendekatan ekspresif meyakini jika suatu karya sastra memiliki pencipta yang
sangat berpengaruh dalam pemaknaan cerita dan hanya menfokuskan diri terhadap
pengarang, baik latar belakang kehidupan, psikologis atau kejiwaan maupun sikap
dan pandangan hidup si pengarang.
Pendekatan ekspresif ini menekankan kepada penyair dalam mengungkapkan atau
mencurahkan segala pikiran, perasaan, dan pengalaman pengarang ketika melakukan proses
penciptaan karya sastra. Pengarang menciptakannya berdasarkan pandangan sendiri, bahkan
ada yang beranggapan arbitrer (mana suka). Padahal, ekspresif yang dimaksud berkenaan
dengan daya kontemplasi (renungan) pengarang dalam proses kreatifnya, sehingga
menghasilkan sebuah karya yang baik dan sarat makna.

2.2.3 Pendekatan Pragmatik

A.HakikatPendekatanPragmatik

Secara umum pendekatan pragmatik adalah pendekatan kritik sastra yang ingin
memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra. Munculnya
pendekatan pragmatik bertolak dari teori resepsi sastra dalam khasanah pemahaman karya
sastra yang merupakan reaksi terhadap kelemahan-kelemahan yang terdapat pada pendekatan
struktural. Sebab pendekatan struktural ternyata tidak mampu berbuat banyak dalam upaya
membantu seseorang dalam menangkap dan memberi makna karya sastra. Pendekatan
struktural hanya dapat menjelaskan lapis permukaan dari teks sastra karena hanya berbicara
tentang struktur atau interalasi unsur-unsur dalam karya sastra. Banyak segi lain yang
diperlukan untuk lebih menjelaskan makna karya sastra. Untuk dapat menangkap segi-segi
lain itu para pakar mengemukakan sebuah pendekatan baru, yaitu pendekatan pragmatik.

Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang memandang karya sastra sebagai


srana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan, moral
agama atau tujuan yang lainnya. Pendekatan pragmatik mengkaji karya sastra berdasarkan
fungsinya untuk memberikan tujuan-tujuan tertentu bagi pembacanya. Semakin banyak nilai-
nilai, ajaran-ajaran yang diberikan kepada pembaca maka semakin baik karya sastra tersebut.
Definisi lain mengatakan bahwa pendekatan pragmatik adalah pendekatan kajian sastra yang
menitikberatkan kajiannya terhadap peranan pembaca dalam menerima, memahami, dan
menghayati karya sastra. Pembaca memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan
sebuah karya yang merupakan karya sastra atau bukan. Horatius dalam art poetica
menyatakan bahwa tujuan penyair ialah berguna atau memberi nikmat, ataupun sekaligus
memberikan manfaat dalam kehidupan. Dari pendapat inilah dimulai pendekatan pragmatic,
(Wahyudi Siswanto, 2008: 181-191).
Pendekatan Pragmatik memberikan perhatian utama terhadap perananan pembaca,
dalam kaitannya dengan salah satu teori modern yang paling pesat perkembangannya, yaitu
teori resepsi, pendekatan Pragmatik dipertentangkan dengan pendekatan ekspresif. Subjek
pragmatik dan subjek ekspresif sebagai pembaca dan pengarang berbagai objek yang sama,
yaitu karya sastra. Perbedaanya, pengarang merupakan subjek pencipta, tetapi secara terus-
menerus, fungsi-fungsinya dihilangkan, bahkan pada gilirannya pengarang ditiadakan.
Sebaliknya, pembaca yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang proses kreativitas
diberikan tugas utama bahkan dianggap sebagai penulis.

Pendekatan pragmatik dengan demikian memberikan perhatian pada pergeseran dan


fungsi-fungsi baru pembaca tersebut. Secara histories (Abrams, 1976:16) pendekatan
pragmatik telah ada tahun 14 SM, terkandung dalam Ars Poetica (Hoatius). Meskipun
demikian, secara teoritis dimulai dengan lahirnya strukturalisme dinamik. Stagnasi
srukturalisme memerlukan indikator lain sebagai pemicu proses estetis, yaitu pembaca
(Mukarovsky).
Tahap tertentu pada pendekatan pragmatik memilik hubungan yang cukup dekat
dengan sosiologi, yaitu dalam pembicaraan mengenai masyarakat pembaca. Pendekatan
pragmatik memliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra dalam masyrakat,
perkembangan dan penyebarluasannya, sehingga manfaat karya sastra dapat dirasakan.
Dengan indikator pembaca dan karya sastra, tujuan pendekatan pragmatik memberikan
manfaat terhadap pembaca. Pendekatan pragmatik secara keseluruhan berfungsi untuk
menopang teori resepsi, teori sastra yang memungkinkan pemahaman hakikat karya sastra
tanpa batas.
Pendekatan pragmatik mempertimbangkan impilkasi pembaca melalui berbagai
kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka
masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatik, di antaranya
berbagai tanggapan masyarakat tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik sebagai pembaca
eksplisit, maupun implicit, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis. Teori-teori
postrukturalisme sebagian besar bertumpu pada kompetensi pembaca sebab samata-semata
pembacalah yang berhasil untuk mengevokasi kekayaan khazanah kultural bangsa.
Pendekatan pragmatis memberikan perhatian utama pada peran pembaca. Pendekatan
pragmatik adalah pendekatan yang memandang puisi sebagai sesuatu yang dibangun untuk
mencapai efek-efek tertentu pada audience (pembaca atau pendengar), baik berupa efek
kesenangan estetik ataupun ajaran atau pendidikan maupun efek-efek yang lain. Pendekatan
ini cenderung menilai puisi berdasarkan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan tersebut.
Selain itu, pendekatan ini menekankan strategi estetik untuk menarik dan mempengaruhi
tanggaan-tanggapan pembacanya kepada masalah yang dikemukakan dalam puisi. Dua
pembaca yang sama akan menerima pesan yang berbeda walaupun mereka dihadapkan pada
puisi yang sama (Damono, 1983).
Sebagai suatu pendekatan untuk mencari kebenaran dalam teks sastra, pendekatan
pragmatik memiliki relevansi dengan sistem kefilsafatan pragmatik Heraklitus dalam
Graff et.al. (1996:167) mengembangankan teori kefilsafatan yang mirip dengan pragmatik
modern. Konsep Heraklitus yang terkenal adalah “Tidak ada realitas yang bersifat absolut,
demikian juga halnya dengan kebenaran nilai-nilai. Realitas, kebenaran, dan nilai-nilai
merupakan sesuatu yang selalu berubah, sehingga itu sendirilah yang bersifat permanen”.
Dengan kata lain, hanya dengan indre penyerapan (the sense pf perception) itulah yang
memiliki pengetahuan yang menyadari karakter perubahan pengetahuan.

Lavinson yang dirujuk Nababan (1987:2) mengartikan pragmatik sebagai kajian


hubungan antarbahasa dengan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Di
dalam pengertian ini terlihat bahwa pemahaman bahasa merujukpada fakta bahwa untuk
mengerti suatu
ungkapan bahasa diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata
bahasanya, yaitu hubungan dengan konteksnya.
Berdasarkan beberapa literatur yang berkaitan dengan pendekatan pragmatik, ada pula yang
menekankan kepada struktur bahasa, aspek makna tertentu, dan hakikat ketergantungan
dengan konteks sebagai berikut.
1. Pragmatik adalah studi tentang hubungan-hubungan antarbahasa dengan konteks yang
gramatikalisasi atau dikodekan dalam struktur suatu bahasa.
2. Pragmatik adalah studi tentang semua aspek makna yang tidak terliput dalam teori
semantik.
3. Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bahasa dengan konteks yang merupakan
dasar untuk uraian pemahaman bahasa.
4. Pragmatik adalah studi tentang kemampuan pemakaian bahasa untuk memadankan
kaliamat dengan kontek yang tepat.
5. Pragmatik adalah studi tentang dieksis, implikasi, prasuposisi, tidak ujar, dan aspek
struktur wacana.
Berdasarkan informasi tersebut, pendekatan pragmatik yang dimaksud adalah cara
mengkaitkan hubungan bahasa sebagai median ekspresif karya satra dengan interperator atau
penafsir sebagaimana pengertian pragmatik yang dirumuskan oleh Morris dalam Tarigan dan
van Dijk terdahulu.
D. Metode Pendekatan Pragmatik
Penelitian resepsi pembaca terhadap karya sastra dapat menggunakan beberapa meatode
pendekatan,antara lain pendekatan yang bersifat eksperimental, melalui karya sastra yang
mementingkan karya sastra yang terikat pada masa tertentu ada pada golongan masyarakat
tertentu.
1. Kepada pembaca, perorangan atau kelompok disajikan atau diminta pembaca karya sastra,
sejumlah pertanyaan dalam teks atau angket yang berisi tentang permintaan, tanggapan,
kesan, penerimaan
terhadap karya yang dibaca tersebut.untuk diisi jawaban-jawaban itu nanti ditabulasi dan
dianalisis.
2. Kepada pembaca perorangan atau kelompok, diminta pembaca karya sastra, kemudian ia
diminta untuk menginterpretasikan karya sastra tersebut. Interpretasi-interpretasi yang dibuat
tersebut dianalisis secara kualitatif untuk meliha bagaimana penerimaan atau tanggapan
terhadap karya sastra.
3. Kepada masyarakat tertentu diberikan angket untuk melihat prestasi mereka terhadap karya
sastra, misalnya melihat prestasi sekelompok kritikus terhadap kontenporer persepsi
masyarakat tertentu terhadap karya sastra daerahnya sendiri.
3. E. Prinsip-prinsip Dasar Pendekatan Pragmatik
Landasan pendekatan pragmatik adalah bertolak dari teori resepsi sastra, maka landasan
dasarnyapun dalam mengkaji karya sama dengan tempat ia berpijak tersebut. Sebagai suatu
pendekatan dalam memahami karya sastra, pragmatisme mempunyai prinsip sebagai berikut.
1. Otonomi karya sastra dianggap tidak relevan dalam kajian karya sastra, karena terlalu
menganggap karya sastra sebagai struktur yang otonom. Padahal karya sastra tersebut tidak
mempunyai kewujudannya sendiri sampai dibaca. Karena itu untuk dapat memahami sebuah
karya sastra, pendekatan pragmatik tidak terlalu terikat pada struktur sastra semata,
melainkan juga kepada faktor yang ada pada diri pembaca secara
kontekstual. Oleh karena itu, bentuk telaahnya kompleks daripada pendekatan struktural yang
hanya tertuju pada bangun struktur saja.
2. Pendekatan pragmatik memkitang karya sastra sebagai artefak, pem-bacalah yang
menghidupkannya melalui proses konk-retisasi. Karya sastra hanya menyediakan tkita atau
kode makna, sedangkan makna itu sendiri diberikan oleh pembaca. Karya sastra tidak
mengikat pembaca, tetapi menyediakan tempat yang kosong untuk diisi oleh pembaca.
Maksudnya adalah bahwa teks sastra seperti puisi tidak pernah mempunyai makna yang
terumus dengan sendirinya, sehingga diperlukan tin-dakan pembaca untuk merumuskannya.
3. Pembaca bukanlah pribadi yang tetap dan sama, melainkan sela-lu berubah dan berbeda.
Oleh karena pembaca dalam melakukan proses pemahaman dipengaruhi oleh horison
penerimaannya, maka subjektivitas pembaca mungkin berbeda antara satu dengan lainnya.
Itulah sebabnya teknik telaahnya pragmatis dan dialektik.
4. Teks sastra selalu menyajikan ketidakpastiaan makna, sehingga memungkinkan pembaca
untuk memaknai dan memahaminya secara terbuka lebar (Teeuw 1984; Junus 1985; Salden
1986; dan Jefferson & Robey 1988). Ketidakpastiaan iitulah mengapa pangkal tolak telaah
pendekatan pragmatik ini dalam mengapresiasi karya sastra pada persepsi pembaca.
4. F. Karakteristik Pendekatan Pragmatik dalam Menelaah Karya Sastra
Bertolak dari hakikat dan prinsip dasar pendekatan pragmatik di atas, dapat dirumuskan
bahwa pendekatan pragmatik dalam menelaah karya sastra adalah sebagai berikut.
1. Asumsi dasar pendekatan pragmatik memkitang bahwa karya sastra sesuatu yang bersifat
artefak. Ia merupakan suatu benda yang belum mempunyai jiwa, dan baru mempunyai jiwa
bila dinikmati atau dipahami.
2. Bentuk telaah kompleks, karena dalam menentukan makna atau unsur intrinsik, melainkan
juga unsur ekstrinsik seperti pengarang, pembaca dan genetik karya sastra.
3. Dalam menelaah, unsur yang menjadi objek telaah mencakup seluruh unsur, baik fisik
maupun unsur batin dan unsur-unsur lain yang dapat dijadikan acuan untuk
mengkongkretisasikan makna yang abstrak.
4. Proses telaah dimulai dari resepsi personal pembaca keseluruhan bagian dan mencari
hubungan struktur bagian kemudian menempatkan struktur keseluruhan menjadi struktur
bagian dalam struktur yang lebih besar untuk dapat dikonkretisasikan melalui proses
redeskripsi.
5. Teknik telaah pragmatis dan dialektik, yaitu dengan melibatkan pengalaman pembaca,
pengarang, di samping unsur intrinsik yang menjadi acuan telaah.
6. Dasar pertimbangan dalam penentuan makna adalah perpaduan unsur intrinsik dengan
unsur ekstrinsik serta faktor genetik dan pengalaman yang dipunyai pembaca.
7. Pangkal tolak telaah dari resepsi pembaca terhadap unsur bangun karya sastra.
8. Esensi karya sastra adalah makna setiap unsur, hubungan antara unsur dan keterpaduannya
dihubungkan dengan konteks kesemestaan dan sistem kognisi pembaca.
9. Unsur pengarang dan pembaca dipertimbangakan dalam menelaah sebagai bagian dari
genetik untuk kesempurnaan makna.

2.2.4 Pendekatan Objektif

Konsep Dasar  Pendekatan Objektif


Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha,
yang mendapat pengaruh langsung dari teori Saussure yang mengubah studi linguistik dari
pendekatan diakronik ke sinkronik. Studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah
perkembangannya, melainkan pada hubungan antar unsurnya. Masalah unsur dan hubungan
antarunsur merupakan hal yang penting dalam pendekatan ini  (Nurgiyantoro, 2000:36).
Aliran ini muncul dengan teori strukturalisme yang dikemukakan oleh anthropolog Perancis,
Claudio Levi  Strauss. Teori ini dikembangkan dalam linguistik oleh  Ferdinand de Saussure
dengan bukunya Cours de Linguistique Generale.(Djojosuroto, 2006: 33)

Pendekatan Objektif adalah pendekatan yang memberi perhatian penuh pada karya
sastra sebagai struktur yang otonom,   karena itu tulisan ini mengarah pada analisis karya
sastra secara strukturalisme. Sehingga pendekatan strukturalisme  dinamakan juga
pendekatan objektif.  Semi (1993:67) menyebutkan bahwa pendekatan struktural dinamakan
juga pendekatan objektif, pendekatan formal, atau pendekatan analitik. Strukturalisme
berpandangan bahwa untuk menanggapi karya sastra secara objektif haruslah berdasarkan
pemahaman terhadap teks karya sastra itu sendiri. Proses menganalisis diarahkan pada
pemahaman terhadap bagian-bagian karya sastra dalam menyangga keseluruhan, dan
sebaliknya bahwa keseluruhan itu sendiri dari bagian-bagian (Sayuti, 2001; 63)
. , Oleh  karena itu, untuk memahami maknanya, karya sastra harus dianalisis
berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat
penulis, dan lepas pula dari efeknya pada pembaca. Mengacu istilah Teeuw (1984:134) , jadi
yang penting hanya close reading, yaitu cara membaca yang bertitik tolak dari pendapat
bahwa setiap bagian teks harus menduduki tempat di dalam seluruh struktur sehingga kait-
mengait secara masuk akal ( Pradotokusumo, 2005 : 66) .
Jeans Peaget dalam Suwondo (2001:55) menjelaskan bahwa di dalam pengertian struktur
terkandung tiga gagasan , Pertama, gagasan keseluruhan (whoneles), dalam arti bahwa
bagian-bagian menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik
keseluruhan struktur struktur maupunbagian-bagiannya. Kedua, gagasan
transformasi (transformation), yaitu struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang
terus-menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan mandiri (Self
Regulation), yaitu tidak memerlukan hal-hal dari luar dirinya untuk mempertahankan
prosedur transformasinya. Sekaitan dengan itu Aristoteles dalam   Djojosuroto (2006 : 34) 
menyebutkan adanya empat sifat struktur, yaitu: order (urutan teratur),  amplitude (keluasan
yang memadai),  complexity (masalah yang komplek), dan unit (kesatuan yang saling terjalin)

Sejalan dengan konsep dasar di atas, Suwondo (2001:55) berpendapat memahami


sastra strukturalisme berarti memahami karya sastra dengan menolak campur tangan dari
luar. Jadi memahami karya sastra berarti memahami unsur-unsur yang membangun struktur.
Dengan demikian analisis struktur bermaksud memaparkan dengan cermat kaitan unusr-unsur
dalam sastra sehingga menghasilkan makna secara menyeluruh.  Rene Wellek  (1958 : 24)
menyatakan bahwa analisis sastra harus mementingkan segi intrinsik. Senada dengan
pendapat tersebut Culler memandang bahwa karya sastra bersifat otonom yang maknanya
tidak ditentukan oleh hal di luar karya sastra itu ( Culler, 1977:127). Istilah lainnya anti
kausal dan anti tinjauan historis (Djojosuroto, 2006:35)

Analisis karya sastra dengan pendekatan strukturalisme memiliki berbagai kelebihan,


diantaranya (1) pendekatan struktural memberi peluang untuk melakukan telaah atau kajian
sastra secara lebih rinci dan lebih mendalam, (2)  pendekatan ini mencoba melihat sastra
sebagai sebuah karya sastra dengan hanya mempersoalkan apa yang ada di dalam dirinya, (3)
memberi umpan balik kepada penulis sehingga dapat mendorong penulis untuk menulis
secara lebih berhati-hati dan teliti (Semi, 1993: 70). Selain memiliki beberapa kelebihan,
pendekatan inipun  mengandung berbagai  kelemahan. Secara terinci Teeuw menjelaskan
empat kelemahan strukturalisme murni , yakni: 1) strukturalisme belum mengungkapkan
teori sastra yang lengkap, 2) karya  sastra  tidak dapat diteliti secara terasing dan harus
dipahami dalam suatu sistem satra dengan latar belakang sejarahnya, 3) adanya unsur objektif
dalam karya sastra disangsikan karena peranan  pembaca cukup  dalam turut memberi makna,
4) penafsiran puisi yang menitikberatkan otonomi puisi menghilangkan konteks dan
fungsinya sehingga puisi dimenaragadingkan dan kehilangan relevansi sosialnya (Teeuw,
1984 : 176). Sekaitan dengan itu  Scholes dalam Sayuti (2001:64) menyatakan bahwa
strukturalisme menghadapi bahaya karena dua hal pokok, yaitu (1) tidak memiliki
kelengkapan sistematis yang justru menjadi tujuan pokoknya, (2) menolak makna atau isi
karya sastra dalam konteks kultural di seputar sistem sastra. Hal ini disebabkan  karena
analisis struktural itu merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, tidak memerlukan
pertolongan dari luar struktur, padahal karya sastra itu tidak terlepas dari situasi
kesejarahannya, kerangka sosial budayanya.

Di samping itu peran pembaca sebagai pemberi makna karya sastra tidak dapat
diabaikan.   Kendati mengandung berbagai kelemahan Teeuw (1983:61) berpendapat bahwa
bagaimanapun juga analisis struktural merupakan tugas prioritas bagi serorang peneliti sastra
sebelum ia melangkah pada hal-hal lain. Jadi, untuk memahami karya sastra secara optimal,
pemahaman terhadap struktur merupakan tahap yang sukar dihindari.  Akibat adanya
berbagai kelemahan itulah kemudian para kritikus mengembangkan model-model pendekatan
lain sebagai reaksi strukturalisme dengan tetap mempertahankan prinsip struktur dan
membuang prinsip otonomi yang dijelaskan dalam strukturalisme murni, seperti semiotik dan
dekonstruksi.

Pada intinya, teori strukturalisme beranggapan karya sastra itu merupakan sebuah
struktur yang unsur-unsurnya saling berkaitan. Sehingga unsur-unsurnya itu tidak mempunyai
makna dengan sendirinya, maknanya ditentukan oleh saling keterkaitan dengan unsur-unsur
lainnya sehingga membentuk totalitas makna. Adapun  tujuannya adalah mendeskripsikan
secermat mungkin keterkaitan semua unsur karya sastra yang secara bersama-sama sehingga
menghasilkan makna karya sastra secara menyeluruh. Sebagai konsekuensi terhadap
pandangan yang menganggap karya sebagai sesuatu yang otonom ,bagian selanjutnya adalah
bagaimana menerapkannya dalam menganalisis karya sastra khususnya puisi ?

Penerapan Pendekatan Objektif


Pendekatan ini lebih banyak digunakan dalam bidang puisi (Jefferson, 1982:84)
Tulisan  ini pun bermaksud menerapkan pendekatan objektif dalam menganalisis puisi.
Dalam lingkup puisi , Pradopo (2000: 14) menguraikan bahwa karya sastra itu tak hanya
merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-
masing norma menimbulkan lapis norma dibawahnya. Mengacu pendapat Roman Ingarden,
seorang filsuf Polandia, Rene Wellek dalam Pradopo (2000:14) menguraikan norma-norma
itu , yaitu (1) lapis bunyi  (sound stratum), misalnya bunyi suara dalam kata,frase, dan
kalimat,(2) lapis arti (units of meaning), misalnya arti dalam fonem, suku kata, kata, frase,
dan kalimat, (3) lapis objek, misalnya objek-objek yang dikemukakan seperti latar, pelaku,
dan dunia pengarang. Selanjutnya Roman Ingarden masih menambahkan dua lapis norma lagi
(1) lapis dunia , dan (2) lapis metafisis.
Waluyo (1987: 145)  menjelaskan, struktur puisi dibangun oleh struktur fisik (metode
pengucapan makna) dan struktur batin (makna) puisi.

Secara sederhana, penerapan pendekatan objektif dalam menganilis karya sastra


dalam hal ini Puisi , dapat diformulasikan sebagai berikut . Pertama,  mendeskripsikan unsur-
unsur struktur karya sastra. Kedua, mengkaji keterkaitan makna  antara unusr-unsur yang
satu dengan lainya. Ketiga, mendeskripsikan fungsi serta hubungan antar unsur (intrinsik)
karya yang bersangkutan . Adapun langkah-langkah menelaah puisi dapat melalui tahap-
tahap yang dikemukakan oleh Waluyo ( 1987: 146), tahap 1) menentukan struktur karya
sastra, 2) menentukan penyair dan kenyataan sejarah, 3) menelah unsur-unsur, dan 4) sintesis
dan interpretasi.  Dengan empat tahap  tersebut, diharapkan puisi dapat dipahami sebagai
struktur dan sebagai suatu kesatuan yang bulat dan utuh.  Sejalan dengan itu Djojosuroto
(2006:60) mengemukakan analisis strategi pemahaman puisi. Strategi tersebut dimulai
dengan : 1)  pemahaman makna kata, 2) pemahaman baris dan bait, dan 3) pemahaman
totalitas makna.
Berikut ini contoh analisis puisi dengan pendekatan objektif dengan mengacu pada  langkah-
langkah penelaahan puisi seperti  yang dikemukakan oleh Waluyo (1987:18)

Perempuan-perempuan Perkasa
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
                  dari manakah mereka
Ke setasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
Sebelum peluit kereta pagi terjaga
Sebelum hari bermula dalam pesta kerja.
Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta
                  ke manakah mereka ?
Di atas roda-roda baja mereka berkendara
Mereka berlomba dengan surya menuju ke gerbang kota
Merebut hidup di pasar-pasar kota.
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
                siapakah mereka,
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan Turín ke kota
Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa.
Hartojo Andangjaya, 1973
1. Struktur Global
Puisi di atas termasuk puisi modern, bukan termasuk puisi lama maupun puisi baru. Hal
ini  dapat kita lihat dari struktur baris dan baitnya. Adanya tipografi yang berbeda dari puisi
lama dan puisi baru, terlihat dari penulisan baris kedua pada puisi tersebut menjorok ke
dalam. Meskipun masih termasuk tipografi yang konvensional. Kemudian terdapat
penggunaan tanda baca koma, titik, tanda tanya, dan tanda  titik dua .  Ini yang membedakan
dari puisi lama dan baru.

Puisi di atas terdiri dari tiga bait dan tiap-tiap bait terdiri atas empat  baris . Seluruh bait
dan baris  puisi  mengungkapkan  rasa kagum penyair kepada mereka yang disebutnya
sebagai ”perempuan-perempuan perkasa.”  Kata-kata, suasana yang dilukiskan penyair,
membantu mengungkapkan rasa kekaguman. Berikut ini pembahasan   bait demi bait  puisi
tersebut untuk mendapatkan totalitas maknanya.

Bait I : menceritakan perempuan-perempuan perkasa itu datang dari dari perbukitan desa,
tiap subuh mereka sudah datang ke kota menunggu kereta paling pagi, sebelum matahari
terbit untuk menjual dagangannya yang disimpan di bakul.  Nada melebih-lebihkan
perjuangan wanita ini dibuktikan dengan perkataan ”pesta kerja” yang digunakan untuk
menggambarkan kesibukan kerja mereka. Layaknya orang berpesta sangat sibuk bekerja.

Bait II : perempuan-perempuan perkasa  itu naik kereta api ke kota sebelum fajar menjual
dagangannya.. Penyair menggunakan istilah ”berlomba”  mengandung makna bahwa mereka
berjuang dengan gigih, ulet  untuk  meraih suatu kehidupan yang lebih layak dengan berbagai
cara , untuk memberi kesan bahwa perjuangannya cukup berat ,   penyair menyatakan 
”merebut hidup di pasar-pasar kota”. Mereka meninggalkan desa pergi ke kota untuk
bersaing dengan sesamanya.

Bait III : untuk menyatakan perempuan-perempuan perkasa itu merupakan perempuan


jelata tetapi menopang kehidupan masyarakat desa penyair menyatakan  ”akar-akar yang
melata dari tanah perbukitan turun ke kota” . Lalu pernyataan tersebut dijelaskan lagi melalui
bait berikutnya ” mereka : cinta kasih yang bergerak menghidupi dari desa demi desa”. 
Secara konotasi mengandung makna bahwa segala usaha mereka tempuh untuk menopang
kehidupan keluarga dengan melewati rintangan dan duka nestapa.
1. Analisis Struktur Fisik dan Struktur Batin Puisi
Bahasa puisi yang digunakan bahasa transparant, artinya penyair menggunakan bahasa
yang mudah dipahami, meskipun ada beberapa bagian puisi menggunakan makna kias, akan
tetapi masih dapat ditangkap maknanya oleh pembaca tanpa harus berfikir secara
mendalam.    Kata ”perempuan-perempuan ”  dan ”bakul”  digunakan secara berulang oleh
penyair dari bait ke I sampai ke III. Ini memudahkan pembaca untuk menangkap maknanya.

Diksi yang digunakan penyair adalah kata-kata yang bernada perjuangan meraih
kehidupan . Diksi tersebut tertuang pada kata ; ” sebelum peluit kereta api terjaga”, ”sebelum
hari bermula dalam pesta kerja”, ” berlomba dengan surya”,” merebut hidup di pasa-pasar
kota” , ”akar-akar yang melata”.  Kata ”bakul” (tenggok/Jawa)  suatu tempat yang dibuat dari
anyaman bambu yang digunakan sebagai tempat sayuran, buah-buahan, dan palawija. Bakul
biasanya digendong di bawa ke pasar. Bakul secara konotasi berhubungan dengan pedagang
kecil dari desa menjual hasil pertaniannya yang secara otomatis berpenghasilan rendah dan
miskin.  Diksi ” bakul” menandai masyarakat desa dengan tingkat ekonomi yang rendah dan
miskin. Kata ”perempuan-perempuan” digunakan penyair untuk membedakan dengan kata
wanita yang berkonotasi negatif. Secara etimologi kata perempuan mempunyai nilai rasa
positif dibandingkan  dengan kata wanita.

Puisi mampu menghidupkan imajinasi pembaca , kata konkret dipilih secara tepati tidak
memperkabur makna yang hendak disampaikan. Suasana kegigihan untuk meraih kehidupan
yang lebih layak ditampilkan secara konkret melalui kata-kata ;   pagi buta, berlomba,
merebut, menghidupi. Kata-kata yang dipilih mensugesti pembaca  merasakan perjuangan
hidup. Penggunaan ungkapan ”perempuan-perempuan perkasa,” semakin menandai
kekaguman penyair. Struktur sintaktik tiap-tiap bait mudah ditelaah. Kesatuan gagasan pada
tiap bait itu dibentuk oleh kesatuan baris yang membentuk struktur sintaksis. Bait pertama
melukiskan  perempuan-perempuan perkasa, yang berangkat dari desa di pagi buta. Aktivitas
kerja belum dimulai, sehingga berangkatnya para perempuan perkasa digambarkan sangat
pagi. Pagi yang sangat gelap dan sepi. Bait kedua melukiskan  perempuan-perempuan
perkasa tersebut, berangkat menggunakan kereta hendak berlomba dengan matahari pagi
menuju ke gerbang kota untuk memperoleh kehidupan di pasar Hemdak kemana mereka ?
tergambar pada bait ketiga yang menjelaskan keberangkatan mereka menuju ke kota untuk
memperjuangkan kehidupannya. Merekalah yang memperjuangkan kehidupan di desa-desa.
Aspek bunyi vokal a sangat menonjol, terlihat dari bait pertama sampai bait ketiga 
pemunculannya sangat intensif, vokal a menguasai hampir seluruh bait puisi. Bahasa figuratif
yang dipergunakan cukup memperjelas pemahaman makna, seperti penggunaan kata
”perkasa” menandai kekuatan mereka dalam memperjuangkan kehidupan, kata  ”akar-akar
yang melata” menandai bahwa mereka itu perempuan jelata tetapi menopang kehidupan
masyarakat desa. Nada puisi ini adalah nada kekaguman. Penyair secara berulang
mengungkapkan kata perempuan-perempuan perkasa untuk menandai kekagumannya secara
berlebihan. Amanat puisi dapat ditafsirkan : perempuan-perempuan perkasa itu adalah
perempuan-perempuan  yang berasal dari rakyat jelata , perempuan teladan, mereka berjuang
mencari nafkah tanpa mengenal lelah, mereka menjadi tumpuan hidup penduduk desa
perbukitan, bahkan sampai ke kota-kota sekitarnya.

1. Sintesis dan Interpretasi


Dari uraian tentang  puisi ”Perempuan-perempuan Perkasa” tersebut di atas, dapat
diungkapkan penyair merasakan kekaguman yang mendalam.  . Adanya pertautan antara
struktur bahasa dan struktur batin yang selaras, ini terlihat dari pemilihan diksi yang
digunakan dengan rasa  kekaguman yang diungkapkan penyair.  Harmoni antara struktur
bahasa dan struktur batin tersebut  membantu pembaca menafsirkan keseluruhan isi  puisi
tersebut. Makna konotasi puisi menyebabkan puisi dapat dengan mudah dipahami  tanpa
menghilangkan unsur estetikanya. Penyair berhasil mensugesti pembaca merasakan
kekaguman yang mendalam terhapad  perjuangan para perempuan   perkasa.

BAB III

PENUTUP
A. Simpulan

Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang bersifat penafsiran


pengarang terhadap kehidupan nyata, karena sebuah karya sastra tidak hanya menyampaikan
apa yang didengar, dilihat, atau dirasakan oleh pengarang. Melalui karya sastra, pengarang
dapat menyampaikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi pembacanya serta keindahan yang ada
terkandung didalamnya. Keindahan itu dapat diperoleh manusia dengan cara berpikir luas
tanpa ada batasan dan dapat berkarya secara bebas sesuai dengan khayalan manusia itu
sendiri. Jadi, karya sastra merupakan sebuah seni yang dituangkan melalui bahasa. karya
sastra terdiri dari beragam bentuk, yaitu, puisi, prosa maupun drama.

Penelitian dilakukan secara berurutan, begitu juga penelitian sastra, umumnya terdapat
tiga kegiatan utama yang dilakukan, yakni kegiatan pengumpulan data, penganalisisan data,
dan penyajian hasil. Ketiga kegiatan itu menjadi hal utama dan pasti dikerjakan dalam
sebuah penelitian. Pendekatan dalam penelitian sastra hadir sebagai cara pandang, landasan
berpikir, maupun kerangka (desain) dalam penelitian. Dalam hal ini pendekatan dalam
penelitian sastra diperlukan kehadirannya dan kesesuaian dengan sumber data penelitian
(karya sastra) dalam penelitian yang dimaksud serta teori (metode) yang akan digunakan.
Jadi, pendekatan karya sastra adalah pendekatan yang membahas semua hal tentang sastra. 

B. Saran

Penulis menyadari masih perlu pengembangan materi khususnyapendekatan sastra yang


lainnya jadi masih butuh eksplorasi materi lebih lanjut lagi
DAFTAR PUSTAKA

A, Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka
Jaya

Saryono. (2009). Pengantar Apresiasi Sastra. Malang: Universitas Negeri Malang

Sugihastuti, 2007. Teori Apresiasi sastra. Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Abrams, M.H. 1981. Teori Pengantar Fiksi. Yogyakarta: Hanindita.

Jerome R. Ravertz, 2007, Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam (sejarah dan ruang lingkup
bahasan), Pustaka Pelajar : Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai