Anda di halaman 1dari 6

1.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sekarang, tidak ada aturan
yang secara eksplisit yang menyebutkan dan mengatur mengenai sebuah Badan
Hukum atau Korporasi dapat disebut subjek hukum dalam Hukum Pidana dan
dibebankan pertanggungjawaban pidana atas tindakan pidana yang telah
dilakukannya. Hal ini berbeda dengan Hukum Perdata yang mengatur bahwa
selain manusia sebagai subjek hukum, sebuah Badan Hukum atau Korporasi
dianggap sebagai subjek hukum juga sehingga bisa dituntut secara perdata.
Dalam konsepsi Hukum Pidana, hal tersebut berbeda. Dalam KUHP Pasal
59 yang berbunyi “Dala hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana
terhadap pengurus anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris,
maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisari yang ternyata tidak ikut
campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.” Berdasarkan bunyi pasal
tersebut, KUHP menempatkan kesalahan dan pembebanan pidana pada orang
perorangan kalaupun sebuah anggota badan hukum atau korporasi melakukan
pelanggaran dan tindak pidana. Kemudian, dalam Memorie van Toelichting Pasal
51 Ned.WvS dinyatakan bahwa “Suatu strafbaarfeit hanya dapat diwujudkan oleh
manusia dan finggi tentang badan hukum tidak berlaku di bidang hukum pidana.”
Dasar diberlakukannya peraturan seperti ini ketika itu karena doktrin yang
mewarnai KUHP saat itu adalah asas socieatas/universitas delinquere non potes.
Meskipun demikian, bukan berarti Tata Hukum di Indonesia melepaskan
Korporasi dan Badan Hukum begitu saja terkait tindakan pidana yang ia lakukan.
Dalam perundang-undangan lainnya (Lex Specialist), Undang-Undang Indonesia
menempatkan Korporasi atau Badan Hukum sebagai subjek hukum pidana yang
dapat dibebankan pertanggungjawaban Pidana. Perundang-undangan yang
menempatkan Badan Hukum dan atau Korporasi sebagai subjek hukum pidana
bis akita lihat di UU Darurat No 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan
dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi; UU No 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Peraturan
Mahkamah Agung No 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara
Tindak Pidana oleh Korporasi yang secara eksplisit aturan ini secara tegas
mengatur mengenai tindak pidana dan posisi Badan Hukum dan Korporasi
sebagai subjek hukum publik atau pidana.
Selain itu, dalam naskah akademik dan perancangan RUU KUHP terbaru,
pengaturan formal mengenai posisi Badan Hukum atau Korporasi dalam Hukum
Pidana mulai diperjelas dengan adanya pasal 45 sampai 50 RUU KUHP
September 2019. Apa yang disiapkan oleh RUU KUHP terbaru ini mengenai
ketentuan dan posisi Badan Hukum juga Korporasi dalam Hukum Pidana adalah
perpanjangan dan penegasan dari implementasi strict liability dan vicarious
liability. Asas atau Doktrin Strict Liability berpandangan bahwa
pertanggungjawaban pidana tanpa keharusan membuktikan adanya kesalahan
dimungkinkan. Sedangkan Vicarious Liability berpandangan bahwa suatu
pertanggungjawaban pidana bisa dibebankan atas perbuatan orang lain. Asas-asas
ini berhubungan erat dengan konsepsi bahwa Korporasi atau Badan Hukum
berlaku juga sebagai subjek hukum pidana dan dapat dipidana karena suatu
kesalahan berdasar asas dan doktrin tersebut.
2. Definisi Hak itu sendiri memiliki berbagai interpretasi dan implementasi yang
berbeda-beda. Merujuk kepada LegalDictionary, Hak atau Right adalah an
entitlement to something, whether to concepts like justice and due process or to
ownership of property or some interest in property, real oer personal. Definisi ini
diperjelas dengan definisi lain bahwa Hak atau Right adalah it is that quality in a
person by which he can do certain actions, or possess certain things which
belong to him by virtue of some title. Dari sepenggal definisi ini kita bisa
berasumsi bahwa Hak merupakan sebuah kekuasaan seseorang terhadap objek
dari hak tersebut.
Dalam Hukum Perdata, kita bisa menyimpulkan bahwa Hak adalah
kekuasaan bagi setiap individu yang karena aktivitas hukum melahirkan akibat
hukum berupa munculnya hak dan kewajiban antara dua orang atau lebih. Hak
sebagai kekuasaan dalam konsepsi Hukum Perdata bisa dilihat dari hubungan
hukum antara Debitur dan Kreditur dimana Kreditur berhak dan berkuasa atas apa
yang dijaminkan oleh Debitur atau dijaminkan oleh Undang-Undang dan
pengadilan selama kondisinnya memenuhi. Ini konsepsi utama Hukum Perikatan
dalam Hukum Perdata Indonesia.
Namun, seperti yang sudah dijelaskan diawal bahwa definisi dan
implementasi dari hak berbeda-beda, maka kita tidak bisa menyimpulkan bahwa
hak hanyalah berupa kekuasaan bagi seseorang terhadap objek dan subjek hukum
tertentu. Dalam Konstitusi kita, UUD 1945 yang telah diamandemen, dalam Bab
XA mengenai Hak Asasi Manusia dari Pasal 28 diatur mengenai berbagai hak
setiap warga negara yang sifatnya konstitusional dan bahkan merupakan hak
dasar yang tak bisa diganggu gugat oleh siapapun termasuk Negara. Memang ada
beberapa hak yang bisa dibatasi karena berbagai keadaan mendesak, namun untuk
hak-hak dasar setiap manusia dan bersifat universalitas, hak tersebut tidak bisa
diganggu atau dihilangkan oleh Negara sekalipun. Dari apa yang saya temukan
ini, saya berpendapat selain Hak sebagai kekuasaan bagi seseorang subjek hukum
terhadap objek dan subjek hukum lainnya dalam sebuah aktivitas hukum, hak
juga berupa kepentingan bagi masing-masing individu. Konsepsi hak-hak dasar
yang diatur dalam UDHR dan UUD 1945 adalah sebuah kepentingan dan
kebutuhan mendasar yang harus dihormati dan dilindungi oleh subjek hukum
lainnya.
Sehingga berdasarkan hal tersebut, saya berkesimpulan bahwa hak itu
sendiri memiliki definisi yang interpretative dan implementasinya berbeda-beda.
Di satu sisi, hak merupakan kekuasaan bagi seseorang subjek hukum dalam
sebuah hubungan hukum apabila konteksnya adalah Perikatan antara Debitur dan
Kreditur dalam Hukum Perdata, namun apabila memandang Hak sebagai Hak
Konstitusional dan Hak Dasar setiap manusia yang sifatnya universal, Hak bis
akita definisikan sebagai kepentingan atau sebuah kebutuhan yang perlu
dilindungi dan dihormati. Karena adanya Hak biasanya diikuti oleh Kewajiban.
Adanya Hak dasar yang perlu dihormati, adanya pula kewajiban bagi pemegang
hak untuk menghormati dan melindungi hak orang lain.
3. Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman
Berbicara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pasal 1
mengenai Ketentuan umum dijelaskan bahwa Wewenang Pejabat Administrasi
Negara adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pada Pasal 1 mengenai
Ketentuan umum ayat ke (6) menjelaskan bahwa Kewenangan Pemerintahan
yang selanjutnya kewenangan adalah kekuasaan badan dan/atau pejabat
pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah
hukum publik.
Berdasarkan ketentuan umum yang diatur oleh kedua peraturan perundang-
undangan diatas, kesimpulannya adalah bahwa wewenang adalah kekuasaan yang
mengikuti seorang pejabat adminstrasi negara/tata usaha negara dalam
menjalankan tugas dan fungsinya untuk negara. Wewenang tersebut dilimpahkan
untuk menyelenggarakan roda pemerintah dan tidak seharusnya wewenang
tersebut tidak disalahgunakan. Hal ini secara tegas menjadi larangan yang diatur
sendiri dalam Bagian Ketujuh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Negara, dimana pada Pasal 17 ayat (1) menegaskan bahwa Badan
dan/atau pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang, ayat (2)
selanjutnya memperjelas yang dimaksud penyalahgunaan wewenang meliputi; (1)
larangan melampuai wewenang; (2) larangan mencampuradukan wewenan dan;
(3) larangan bertindak sewenang-wenang. Tentu saja penyalahgunaan wewenang
ini perlu dilakukan pembuktian dan berdasarkan keputusan pengadilan tata usaha
negara yang sah, maka bisa dikatakan kemudian seseorang atau sebuah badan
pemerintahan telah menyalahgunakan wewenangnya. Sebelum perkara di bahas
di pengadilan, aka nada pengawasan terhadap dugaan tersebut oleh apparat
pengawasan intern pemerintah yang nanti hasilnya antara lain:
a) Tidak terdapat kesalahan;
b) Terdapat kesalahan administrative; dan/atau
c) Terdapat kesalahan administrative yang menimbulkan kerugian
keuangan negara.

Berdasarkan pengawasan tersebut, apabila hasilnya adalah terdapat


kesalahan administrative, maka dilakukan tindak lanjut dalam bentuk
penyempurnaan administrasi sesuai ketentuan perundang-undangan. Kemudian
apabila ditemukan kesalahan administrative yang menimbulkan kerugian uang
negara, maka diharuskan pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 10
hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil pengawasan. Dalam
hukum acara tata usaha negara, ikhwal penilaian dan pembuktian tindakan yang
menyalahgunakan wewenang, alat bukti yang sah adalah (1) Surat atau tulisan;
(2) Keterangan saksi; (3) Keterangan ahli; (4) Pengakuan Pemohon; (5)
Pengetahuan Hakim; dan (6) alat bukti lain berupa informasi elektronik atau
dokumen elektronik.

Berdasarkan hal tersebut, simpulannya adalah bahwa pembuktian terhadap


penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Administrasi Negara
dilakukan pengawasan terlebih dulu oleh Aparat Pengaasan Intern Pemerintah
(APIP). Hasil pengawasan tersebut bisa berupa fakta bahwa pejabat tersebut tidak
bersalah; bersalah secara administrative saja dan bahkan bersalah secara
administrative dan menimbulkan kerugian bagi keuangan negara. Kemudian atas
dasar alat bukti yang sah dan proses pengadilan yang adil, pejabat yang
sewenang-wenang dalam menggunakan keputusannya berdasarkan putusan
pengadilan tata usaha negara, bisa dibebani sanksi administrasi dan apabila
merugikan keuangan negara disanksi dengan ganti rugi dan sanksi administasi.
Meskipun begitu, apabila tindakan menggunakan wewenang dengan cara yang
salah tersebut mengarah kepada delik yang diatur oleh UU No 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah oleh Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pada pasal 1
mengenai Ketentuan umum ayat (2) jelas-jelas menyebut dan mengatur mengenai
Pegawai Negeri sebagai salah satu subjek dalam undang-undang tindak pidana
korupsi. Kemudian dalam Pasal 8 UUU Nomor 20 Tahun 211 tentang Tipikor
yang mengatur bahwa seorang pejabat negara yang karena jabatannya
menggelapkan uang dan surat berharga, maka diancam dengan Pidana.

Dari pengaturan tersebut, selain seorang pejabat negara bisa dikenakan


sanksi administrasi dikarenakan penyalahgunaan wewenangnya dan dikenai juga
ganti rugi apabila tindakannya merugikan keuangan negara, seseorang tersebut
bisa diancam delik tindak pidana korupsi apabila deliknya sudah memenuhi.

4. Sebelum menjelaskan mengenai cara terjadinya dan lenyapnya hak seseorang


subjek hukum, perlu diketahui terlebih dahulu yang dimaksud dengan Peristiwa
Hukum, Hubungan Hukum, Perbuatan Hukum dan bukan Perbuatan hukum, serta
akibat hukum.
Peristiwa hukum menurut Satjipto Rahardjo (Ilmu Hukum) adalah sesuatu yang
bisa menggerakan peraturan hukum sehingga ia secara efektif menunjukan
potensinya untuk mengatur. Contoh peristiwa hukum adalah kematian seseorang
pewaris yang berencana mewariskan harta kekayaannya secara perdata ke anak-
anaknya. Karena kematiannya tersebut maka telah menggerakan peraturan
perundang-undangan.
Hubungan hukum sendiri menurut Soeroso adalah hubungan antara dua
atau lebih pihak subjek hukum. Dalam hubungan hukum, hak dan kewajiban
pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak lain. Dalam
hubungan hukum akan selalu ada dua sisi yakni Kewenangan dengan hak dan
kewajiban. Contohnya dalam peristiwa hukum jual beli atau pelepasan hak milik
rumah seseorang ke orang lainnnya, tercipta hubungan musuh saat itu juga
dimana si penjual wajib memberikan secara legal dan penuh sertifikat hak milik
rumah tersebut kepada di pembeli dan begitupun pembeli harus memenuhi
pembayaran yang telah disepakati.
Perbuatan hukum sendiri menurut Soeroso (Pengantar Ilmu Hukum) adalah
setiap perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan hak
dan kewajiban. Contoh perbuatan hukum adalah perjanjian sewa-menyewa dan
lain-lain. Sedangkan Akibat hukum berdasarkan Soeroso adalah akibat suatu
tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh
pelaku dan yang diatur oleh hukum. Pada intinya, akibat hukum adalah hal yang
muncul dari tindakan hukum lain.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, lahirnya hak pada seseorang
didapatkan karena adanya tindakan dan peristiwa hukum yang menggerakan
hukum untuk mengakomodasi hak tersebut. Contohnya adalah seseorang yang
berusia 21 tahun merupakan peristiwa hukum yang berakibat hukum berupa
lenyapnya keadaan hukum dimana orang tersebut bukan lagi dibawah
pengampuan atau perwalian orang tuanya sehingga di satu sisi memiliki
kecakapan untuk melakukan tindakan hukum lainnya, dan di sisi lainnya bisa
dipidana dan lepas dari perwalian orang tuanya.
Contoh lainnya adalah Peristiwa hukum pewarisan. Seorang pewaris yang
karena meninggalnya merupakan peristiwa hukum telah menggerakan Undang-
Undang KUHPerdata untuk mengatur terkait pembagian warisan kepada para ahli
waris yang telah disetujui. Akibat hukumnya adalah munculnya hak kepada
masing-masing ahli waris untuk menerima harta warisnya sesuai yang sudah
dibagi sebelumnya, dan akibat lainnya adalah saat ahli waris berencana menerima
harta waris, ahli waris pun berkewajiban untuk membayar hutang pewaris
tersebut apabila ada.
Sehingga simpulannya adalah bahwa sebagai seorang subjek hukum, hak
dan kewajiban akan muncul dari sebuah tindakan hukum atau peristiwa hukum
tertentu dan tergantung peristiwanya, akan dibebankan kewajiban dan diberikan
hak kepada individua tau subjek hukum tersebut.

Anda mungkin juga menyukai