Anda di halaman 1dari 3

Sebuah Mimpi

Karya: Mohamad Agus Setiono

Anak Bawang

Malam itu, saat umurku masih 6 tahun, aku sedang bercengkerama dengan salah satu anak
buah TI Bapak. Kata TI adalah istilah aktivitas pertambangan timah di Bangak Belitung. Aku
pura-pura bahagia saat itu, padahal detak jantungku seperti orang habis keliling lapangan,
sangat kencang berdetak. Besok adalah hari pertama masuk sekolah dasar. Sebenarnya aku
hanya ikut-ikut abang sepupu saja, bukan mau sekolah beneran. Karena pada saat itu umurku
baru menginjak 6 tahun, sedangkan untuk masuk sekolah dasar itu minimal 7 tahun. Kebetulan
hari ini ada pasar malam di kampungku, aku mengajak Bang Beni untuk belanja kaset audio
atau video dan sekadar melihat-lihat, memang begitu kerjaanku setiap ada pasar malam. Aku
pergi ke pasar malam supaya tidak terlalu mengingat bahwa besok akan masuk sekolah.

“Bang, yoh kita ke obral,” ajakku dengan sedikit logat kampung.

“Yohh, dilak lok ku ngamiek duit” jawab bang Beni dengan bahasa jeringnya yang sangat
kental.

Kami berangkat ke pasar malam, seperti biasa yang dilakukan bang Beni saat ke pasar malam,
ia selalu membeli bumbu-bumbu dapur untuk membantu ketersediaan di rumahnya.
Sedangkan aku target utama saat ke pasar malam adalah membeli kaset, kebiasaanku jika ada
waktu senggang pasti langsung diputar sampai lupa waktu. Setelah membeli, kami berjalan
bolak-balik untuk sekadar melihat-melihat siapa tau ada barang yang menarik. Hari sudah
menunjukkan pukul 9 malam, sebentar lagi kami akan pulang. Sebelum pulang aku membeli
martabak untuk disantap bersama keluarga di rumah. Tumben-tumbenan saja mereka tidak
ikut ke pasar malam, biasanya selalu ikut. Melihat aku membeli martabak, Abang sepupuku itu
ikut membeli, tetapi ia membeli gorengan. “Mas, gorengan ok due puloh ribu” ucap ia pada
tukang gorengan itu. Setelah itu kami langsung pulang.

Aku terus kepikiran untuk sekolah besok, meskipun umurku belum cukup, tetapi entah
kenapa rasanya aku ingin sekali ikut sekolah, yaa walaupun masih gugup. Aku tetap ikut sekolah
ditemani mamak dan bukde bersama anaknya yang juga mendaftar sekolah.

“Tidak apa-apa lah jadi anak bawang yang masih lugu, belum tau banyak tentang sekolah, toh
nanti juga pasti diajari bu guru,” aku bicara dalam hati. Pertama kali menginjakkan kakiku di
sekolah itu, SDN 1 Simpang Teritip, di Desa Mayang, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten
Bangka Barat. Di hari pertama sekolah, sudah tentu pasti harus perkenalan dulu. Tiba giliranku
untuk perkenalan, bu guru memanggilku, menatap ke mata ini dengan begitu dalam, seperti
mencoba meyakinkan diriku untuk perkenalan diri di depan kelas, dihadapan teman-temanku
yang lain. Majulah aku ke depan dan memperkenalkan diri. Aku merasa ada yang aneh,
ternyata kakiku sangat gemetar dengan perkenalan ini. Sampai-sampai teman satu kelas
mentertawan tingkahku yang gemetar itu. Padahal menurutku wajar saja jika anak umur 6
tahun disuruh maju ke depan terus dia grogi, itu bukan hal baru. Apalagi aku memang pemalu
anaknya. “Hahaha lucu sekali rasanya jika mengingat kejadian itu, belum lagi kejadian setelah
itu yang sangat menjengkelkan” aku berbicara sendiri, mengingat kejadian-kejadian aneh itu.
Perkenalan di hari pertama pun telah usai, semua murid kembali ke rumah masing-masing. Saat
itu aku masih dijemput jika pulang sekolah, namun lama-kelamaan aku sudah jalan kaki saja
pulang ke rumah. Padahal jarak sekolah ke rumah itu lumayan jauh lho, tapi tak jarang pula aku
pulang sendirian. Sesampainya di rumah, aku istirahat makan dan lain-lain. Seperti biasanya,
aku dan sepupu-sepupuku lebih sering pergi ke TI untuk mencari timah demi uang jajan,
kegiatan ini yang aku sesali hingga sekarang.

”Yohh Yan ke TI” ajak bang Rendi, kakak dari bang Beni.

“Okee bang, nek lah ik” sahutku.

Tidak banyak timah yang kami dapat, kadang hanya dapat satu kilo, kadang bisa lebih dari itu.
Jika tidak pergi ke TI, biasanya aku malah sibuk main, bukan malah belajar mempersiapkan
untuk pelajaran besok. Lingkungan pada saat itu sangat asyik untuk anak-anak, tetapi juga
menjerumuskan diriku. Aku sampai tak habis pikir, kenapa saat itu aku begitu mudah
terpengaruh dengan lingkungan di sana. Coba saja jika saat itu lingkungannya baik, pasti aku
akan ikut baik. Tapi justru malah sebaliknya, aku menjadi anak bawang yang gagal.

Pagi itu, di sekolah semua anak tengah mempersiapkan diri untuk maju ke depan, praktek
membaca. Syukurnya saat maju ke depan itu bersama teman sebangku masing-masing. Aku
yang saat itu belum lancar membaca hanya komat-kamit di bibir saja, sesekali sedikit
mengeluarkan suara, suara temanku membaca sangat lantang, sedangkan aku masih terbata-
bata, sedih sekali jika mengingatnya. Setiap kali masuk pelajaran bahasa indonesia, aku selalu
disuruh maju ke depan untuk belajar membaca. Sedikit demi sedikit aku mulai lancar membaca.
Tetapi hal tersebut tidak mengubah keputusan saat rapat kenaikan kelas tiba. Aku tak ingat ada
berapa anak yang tidak naik kelas pada waktu itu, mungkin tidak ada. Yang aku ingat hanya
rapot kecil yang diambilkan oleh mamakku, isinya membuat hati mamak hancur, tetapi dari
ceritanya kepadaku, aku adalah satu-satunya anak yang tidak sedih sama sekali dengan hasil
rapotku yang tidak naik kelas itu. Hasilnya aku harus mengulang lagi, sedangkan teman-
temanku sudah naik satu tingkatan di atasku. Sampai sekarang aku masih bingung, hal aneh
seperti itu rupanya pernah terjadi padaku. Bukan masalah tidak naik kelasnya, tetapi tidak ada
rasa sedih ketika tidak naik kelas. Tentu ini bukan untuk ditiru, anak seperti saya pada saat itu
sama sekali tidak baik untuk ditiru. Banyak sekali kekurangan yang kini jadi penyesalan bagiku.

Waktu SD bisa dibilang menjadi waktu petualangan sekolah bagiku, karena saat masih sekolah
dasar, aku selalu pindah-pindah sekolah karena faktor kedua orang tuaku. Saat aku beranjak
kelas dua, aku masih saja belum bisa langsung naik ke kelas tiga, maka harus mengulang lagi.
Dan setelah kelas tiga, aku sudah sekolah di tiga sekolah yang berbeda, saat itu aku langsung
naik ke kelas empat, bahkan bisa dapat peringkat tiga di kelas. Ini jadi kebanggaan bagiku,
akhirnya aku bisa bangkit dari hasil buruk selama dua tahun tidak naik kelas. Di kelas empat aku
kembali sekolah dengan desa yang berbeda, yaitu di Desa Tebing, Kecamatan Kelapa,
Kabupaten Bangka Barat. Saat itu aku mampu menyesuaikan diri dengan baik di sekolah
baruku. aku bisa langsung naik ke kelas lima, tetapi saat kelas lima aku kembali ke sekolah
lamaku, yaitu SD 16 Simpang Teritip, sekolah ketiga yang aku tempati dan sampai tamat di sana.

Anda mungkin juga menyukai