Anda di halaman 1dari 15

A.

Latar Belakang
Kini Manusia bukan saja mampu melakukan penerbangan di ruang udara akan
tetapi juga diruang angkasa. Usaha – usaha tersebut merupakan hasil kemajuan ilmu
pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan teknologi penerbangan, yakni suatu ilmu tata
cara pemanfaatan angkasa.1
Di Indonesia kedua ruang ini biasa juga dinamakan juga Dirgantara dan terdiri
dari ruang udara dan Antariksa (ruang angkasa). Di dalam Konvensi Chicago 1944 pasal
1 tercantum istilah “air space”2 atau “ruang udara”. Penggunaan istilah “Air Space”
dalam Konvensi Chicago 1944 ini mencontoh suatu pengaturan Konvensi Paris 1919
yang telah disusun dalam tiga bahasa, yakni : bahasa Inggris, bahasa Perancis, dan bahasa
Itali. Masing – masing teks tersebut merupakan teks yang otentik. Dalam Konvensi Paris
1919 digunakan istilah dalam bahasa Perancis “Espace Atmospherique”, teks bahasa
Italia “Spazio Atmosferico” = Atmospheric = ruang atmosfir. Dalam teks bahasa Inggris
dipakai istilah “Air Space” = ruang udara.3 Dan yang disebut “ruang udara” ialah suatu
ruang angkasa yang terdekat pada bumi kita dimana didapati unsure – unsure gas yang
disebut “udara” dan udara ini terdapat lapisan atmosfir. Secara ilmiah lapisan – lapisan
udara itu (mulai dari bumi) adakalanya dibagi atas lapis troposfir, lapis mesosfir, lapis
termosfir dan lapis eksosfir.4 Walaupun ada pembagian lapisan – lapisan diatas, pada
akhirnya kita akan sampai kepada suatu ruang yang tidak bisa dibagi – bagi lagi karena
sifat ruangnya itu sendiri dan dalam “udara”. Istilah ruang udara dan ruang angkasa,
menunjukkan kepada suatu wilayah yang tidak diketahui batasnya dengan bertitik tolak
dari bumi dan dinamakan “angkasa”. Hukum yang mengatur segala kegiatan manusia
bersangkutan dengan angkasa. Dalam era globalisasi saat ini menjadikan dunia tanpa
batas, dan sebagian Negara terus mengembangkan ilmu pengetahuan yang ada, serta
kemajuan teknologi yang ada dinegara tersebut membantu dalam menciptakan sesuatu
yang baru. Dalam bidang ruang angkasa, wilayah udara dan ruang angkas telah menjadi
salah satu sumber daya yang penting bagi kehidupan manusia saat ini baik dibidang
politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan maupun sosial budaya.
1
Teliti buku karangan Eugene M. Emme, The Impact of Air Power, New York, 1959.
2
Pasal 1 Konvensi Chicago 1944. “Bahwa setiap Negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh (complete
and exclusive sovereignity) atas ruang udara atas wilayah kedaulatannya.
3
Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Jakarta 1972, hal. 101
4
Phillip C. Jessup and Howard J. Taubenfeld, Controls of Outerspace, New York, 1959, hal. 196

1
Sejalan dengan pendapat Priyatna Abdurrasyid bahwa: “Kini kita hidup dalam
abad angkasa (Space Age). Ilmu pengetahuan yang selamanya bergerak maju,
berkembang pesat dalam 50 tahun terakhir ini, terutama sejak Perang Dunia II. Kemajuan
teknologi khususnya teknologi penerbangan pada abad kini memberi akibat yang positif
kepada tingkat kehidupan manusia yang sekarang telah mampu melakukan penerbangan-
penerbangan ke dan di ruang angkasa”.5 Disamping hasil – hasil yang postif tadi tidak
bisa kita abaikan kenyataan – kenyataan yang telah menimbulkan masalah bagi
masyarakat Internasional. Ada beberapa Negara maju tampak berlomba – lomba dalam
penjelajahan ruang angkasa ini, tanpa memperhatikan kepentingan Negara – Negara yang
sedang berkembang.
Penerbanganan di ruang angkasa diawali pada keberhasilan Uni Soviet (Rusia)
meluncurkan satelit Sputnik I pada tanggal 4 Oktober 1957. Keberhasilan tersebut
menimbulkan penghargaan dan pandangan terhadap Uni Soviet (Rusia) yang
membumbung tinggi, sekaligus menurunkan gengsi Amerika Serikat yang merupakan
Negara saingannya.6 Sejak saat inilah Amerika Serikat berusaha untuk mensejajarkan
atau menyaingi kedudukannya dengan pihak Uni Soviet (Rusia) dalam berbagai bidang
khususnya teknologi ruang angkasa. Pendaratan yang dilakukan Neil Amstrong berjalan
dengan mulus merupakan kejadian yang sangat menggemparkan dunia Internasional dan
membuat Amerika Serikat sebagai Negara yang astronotnya pernah mendarat di Bulan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan Teknologi berawal dari persaingan antara Uni
Soviet (Rusia) dan Amerika Serikat dibidang Antariksa yang membuka kesempatan yang
lumayan besar bagi para pihak maupun beberapa negara untuk menciptakan kegiatan
yang bisa dilakukan diruang angkasa. Penemuan di bidang Teknologi ruang angkasa yang
baru seperti satelit bumi buatan, dan penginderaan jarak jauh (remote sensing) telah
diciptakan dan merupakan contoh keberhasilan kemajuan teknologi ruang angkasa yang
member keuntungan besar bagi umat manusia. Salah satu yang sedang berkembang pesat
dalam era modern ini adalah komersialisasi ruang angkasa. Komersialisasi ruang angkasa
merupakan fenomena baru yang semakin menari perhatian. Letak ruang angkasa yang
jauh dari daratan bumi tidak menghalangi manusia untuk melakukan aktivitas yang
memberikan keuntungan berlipat ganda.
5
Priyatna Abdurrasyid, Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1967, Binacipta, Bandung 1977, Hal. 4
6
Juajir Sumardi, Hukum Ruang Angkasa (Suatu Pengantar), Pradnya Paramita, Jakarta 1996, Hal 1.

2
Aktivasi komersial ini dilakukan oleh semua pihak baik dilakukan oleh badan –
badab pemerintah ataupun swasta, nasional maupun badan internasional. Banyak juga
aktivitas – aktivitas yang dilakukan oleh badan – badan semi pemerintah yang melibatkan
perusahaan swasta atau sebagian sahamnya dimiliki swasta. Bentuk – bentuk aktivitas
yang telah atau sedang berkembang untuk di komersialkan adalah7 :
1. Komunikasi
2. Penginderaan Jauh
3. Sistem transportasi ruang angkasa
4. Pengolahan Bahan (Manufacturing)
5. Pembangkit tenaga
6. Pertambangan I(Mining)
Semua bentuk aktivitas komersial diatas khususnya wahana peluncur sangat
menentukan tingkat kemajuan dimasa yang akan dating mengingat kebutuhan akan
pemanfaatannya seperti satelit untuk keperluan telekomunikasi, penginderaan jauh,
metrology, navigasi, siaran televisi secara langsung serta kegiatan militer. Di sisi lain
aktivitas komersialisasi ruang angkasa ini memang menguntungkan dan memberikan
dampak positif bagi kehidupan namun dengan besarnya peningkatan frekuensi dan
jumlah peluncuran satelit serta penempatan benda antariksa di ruang angkasa juga dapat
menimbulkan dampak negative. Percobaan – percobaan yang berbahaya dapat
memengaruhi keberadaan umat manusia secara keseluruhan, merusak lingkungan bumi,
mencemari atmosfer dan menimbulkan gangguan berat terhadap kehidupan.
Patut disadari bahwa dengan meningkatnya benda antariksa yang diluncurkan ke
ruang angkasa, kemungkinan malfunction selalu ada. Apalagi dengan peluncuran satelit
bertenaga nuklir, dimana pada umumnya satelit jenis ini berorbit rendah sehingga satelit
tersebut mudah mengalami malfunction, dan dalam waktu yang singkat satelit beserta
muatannya dapat segera jatuh ke permukaan bumi.8 Konsep tentang pertanggungjawaban
Negara dalam hukum ruang angkasa dirumuskan dalam bentuk pembatasan terhadap
kebebasan melakukan aktivitas, termasuk untuk tujuan komersial. Bila dihunbungkan
dengan masalaha tanggung jawab Negara dalam keterkaitan aktivitasnya di ruang
angkasa, maka Negara yang melakukan kegiatan atau memanfaatkan sumber daya ruang
7
E. Saefullah Wiradipraja dkk, Hukum ANgkasa dan Perkembangannya Remadja Karya, Bandung 1988, hal 165.
8
Juajir Sumardi, Op.cit, Hal 8.

3
angkasa tidak boleh merugikan Negara lain.9 Maka dari itu, PBB (Perserikatan Bangsa –
Bangsa) menetapkan beberapa peraturan secara internasional untuk memecahkan
berbagai masalah yang ada nantinya, salah satunya ialah masalah pertanggungjawaban
sebuah Negara dalam peluncuran satelit yang merugikan Negara lain yaitu “Convention
of International Liability for Damage by Space Objects 1972”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sistem hukum di ruang angkasa dan perbatasan wilayah ruang
angkasa ?
2. Bagaimanakah pertanggungjawaban negara peluncur atas kerugian yang
ditimbulkan benda antariksa menurut Space Liability Convention 1972 ?
C. Ruang Lingkup Masalah
Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian di bidang ilmu hukum internasional,
oleh karena itu penelitian ini akan meneliti tentang ketentuan – ketentuan hukum
internasional khususnya tentang ruang angkasa serta mempertanyakan tentang
pertanggungjawaban sebuah Negara dalam peluncuran satelit antariksa.
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan – tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini yaitu :
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan proposal ini adalah :
a) Untuk mengetahui tentang system hukum di ruang angkasa dan
perbatasan wilayah ruang angkasa
b) Untuk mengetahui tentang pertanggungjawaban Negara peluncur
atas kerugian yang ditimbulkan benda antariksa menurut Space
Liability Convention 1972

2. Tujuan Khusus

9
E.Saefullah Wiradipraja dkk, Op.cit, Hal 167

4
a) Untuk mengetahui dan mengkaji pertanggungjawaban Negara
peluncur atas kerugian yang ditimbulkan benda antariksa menurut
Space Liability Convention 1972
b) Untuk mengetahui dan mengkaji tindakan – tindakan yang
sepatutnya dilakukan oleh Negara peluncur dalam meluncurkan
benda antariksa dalam mematuhi Space Liability Convention 1972
E. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kajian
di bidang hukum khususnya bagi Negara peluncur dalam
mempertanggungjawabkan benda antariksa agar sesuai dengan Space Liability
Convention 1972
2. Secara praktis, melalui penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih
pemikiran dan masukan bagi mahasiswa fakultas hukum, civitas akademika,
praktis hukum, dan masyarakat luas pada umumnya, serta meningkatkan wawasan
dalam pengembangangan pengetahuan bagi peneliti akan permasalahan yang
diteliti
F. Kajian Pustaka
1. Pengertian Hukum Angkasa
Menurut E. Suherman, Istilah Hukum Angkasa dipakai dalam arti sempit, yaitu
hanya dibidang hukum yang mengatur ruang angkasa dan pemanfaatannya,
sebagai ekuivalen dari istilah Space Law atau Outer Space Law.10
Sebagaimana halnya dengan penerbangan dan hukum udara, yang
mempunyai 3 (tiga) unsur pokok. Pada Kegiatan Ruang angkasa dan Hukum
Angkasa, terdapat pula 3 (tiga) unsur pokok, yaitu:11
1. Angkasa atau ruang angkasa
2. Pesawat angkasa dan benda – benda angkasa yang diluncurkan manusia;
dan
3. Kegiatan ruang angkasa (Space activities), misalnya peluncuran benda –
benda ke angkasa atau penerbangan ke angkasa.

10
E. Suherman, Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan (Himpunan Makalah 1961 – 1965), Penerbit: Mandar
Maju, Bandung, 2000, Halaman 347 – 349.
11
Ibid. Halaman 348.

5
Oleh karena itu, hukum angkasa dapat diberikan definisi, serupa yang
diberikan Charles de Visscher untuk hukum udara atau memberikan definisi yang
lengkap sebagai berikut. “Hukum Angkasa” adalah keseluruhan norma – norma
hukum yang berlaku khusus untuk penerbangan angkasa, pesawat angkasa, dan
benda – benda angkasa lainnya dan ruang angkasa dalam peranannya sebagai
ruang kegiatan penerbangan (angkasa).12 Pada saat ini, masalah batas terjadi
perdebatan secara teoritis, mengingat pemanfaatan antariksa semakin intensif
maka timbul kontroversi hukum yang memerlukan garis pemisah (demarcation)
antara ruang udara dan antariksa.
2. Lingkup Ruang Angkasa
Lingkup ruang atau delimitation dari ruang angkasa adalah bukan sesuatu yang
mutlak. Akan tetapi, tergantung pada titik tolak kita untuk apa pembatasan ini
diperlukan. Berikut adalah beberapa pandangan mengenai lingkup ruang
angkasa.13
1. Menurut sudut pandang COOPER bahwa yang pokok adalah “flight
instrumentalities”, maka dengan sendirinya ruang, apapun namanya, yang
dimulai dari 0 (nol) meter pada permukaan laut sampai ketinggian tak
terhingga adalah merupakan suatu ruang.
2. Dilihat dari sudut pandang bahwa ada beberapa hal yang dapat diatur
bersama bagi ruang udara dan ruang angkasa, maka pembatasan tidak
diperlukan, seperti untuk pertolongan bagi awak pesawat, baik udara
maupun angkasa, yang mengalami kecelakaan, karena konvensi yang
bersangkutan (Rescue Agreement 1968) tidak membedakan dimana
kecelakaan terjadi. Demikian pula untuk masalah tanggung jawab, bagi
pengangkut udara maupun pengangkut angkasa, baik perbaikan dan untuk
kerugian pada orang atau badan hukum di permukaan bumi, pembatasan
ini tidak relevan (Liability Convention 1972).
3. Sampai saat ini, belum ada satupun konvensi yang menegaskan dimana
perbatasan antara ruang udara dan ruang angkasa, maka pembatasan ini
dicoba untuk ditetapkan oleh para teoritis. Teori – teori yang diajukan
12
Loc.cit.
13
E. Suherman, Op.cit., halaman 311-312

6
berjumlah relative banyak dan member petunjuk bahwa mungkin tidak
dicapai kesepakatan, karena tidak mengadakan diferensiasi untuk maksud
apa pembatasan diadakan.
3. Status Ruang Angkasa
Mengenai status ruang angkasa dapat dikemukakan pendapat bahwa ruang
angkasa merupakan res extra commercium atau res omnium communis. Ruang
angkasa merupakan common heritage of mankind dan the province of all
mindkind, dan karenanya bebas untuk dieksplorasi dan pemanfaatan oleh setiap
Negara tanpa membeda – bedakan tingkat kemajuan ekonomi atau ilmu
pengetahuan mereka.14 Ruang angkasa tidak dapat dimiliki oleh Negara manapun
juga dengan alasan kedaulatan, dengan alasan kedaulatan, dengan alasan
pemakaian atau kependudukan, atau dengan cara apa pun juga. 15 Status ruang
angkasa sebagai sesuatu yang tidak dapat dimiliki oleh Negara manapun
merupakan prinsip dasar dalam kegiatan ruang angkasa dan dalam hukum yang
mengatur ruang angkasa dan dalam hukum yang mengatur ruang angkasa dan
pemanfaatannya oleh umat manusia. Status ruang angkasa ini kemudian
dikukuhkan dalam Resolusi Sidang Umum PBB No. U.N.G.A. Res. 1962 (XVIII)
“Declaration of Legal Principles Governing the Activities of States in the
Exploration and Use of Outer Space” “Treaty on Principles Governing the
Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space Including the Moon
and other Celestial Bodies(The Outer Space Treaty of 1967) Antartic Treaty
1959.16

4. Prinsip – Prinsip dalam Hukum Ruang Angkasa

14
Pasal 1 Space Treaty 1967.
15
Agus Pramono, Dasar – dasar Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Penerbit: Ghalia Indonesia, September 201,
Bogor. Halaman 71
16
E. Suherman, Op.cit, halaman 322 – 323

7
Dalam hukum angkasa terdapat prinsip, baik mengenai ruang angkasa
sendiri maupun mengenai kegiatan ruang angkasa atau pemanfaatan ruang
angkasa. Prinsip – prinsip itu adalah sebagai berikut :17
1. Prinsip tidak dapat dimiliki (non-appropriation principle). Ruang
angkasa tidak dapat dimiliki oleh siapapun atau Negara manapun dan
dengan cara apapun juga, misalnya dengan okupasi.
2. Prinsip kebebasan eksplorasi dan pemanfaatan (freedom of exploration
and use). Setiap negara tanpa memandang tingkat ekonomi atau tingkat
kemampuan teknologinya dapat mengeksplorasi dan memanfaatkan
ruang angkasa.
3. Prinsip bahwa hukum internasional umum berlaku (applicability of
general international law). Sebagai suatu bagian dari hukum
internasional secara umum berlaku pula bagi hukum angkasa.
4. Prinsip pembatasan kegiatan militer (restriction on military activities).
Membatasi kegiatan militer atau memperkecil kemungkinan terjadinya
hal – hal yang membahayakan perdamaian.
5. Status hukum ruang angkasa sebagai “res extra commercium” atau “res
omnium communis”.
6. Prinsip “common interest” dan “common heritage.
7. Prinsip kerja sama internasional “principle of international
cooperation”. Kerja sama internasional merupakan syarat mutlak
eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa untuk tujuan – tujuan damai.
8. Prinsip tanggung jawab “principle of responsibility and liability”.
Pada kegiatan ruang angkasa harus ada pihak yang bertanggung jawab
dan dapat dipertanggungjawabkan. Selama ini, yang bertanggung jawab
adalah Negara yang melakukan kegiatan ruang angkasa.18

5. Sumber – Sumber Hukum Angkasa


1. Prinsip – Prinsip Umum Hukum Internasional
17
Ibid, Hal. 350 – 351
18
Agus Pramono, Op.cit, halaman 71 – 72

8
Hukum angkasa adalah bersifat hukum internasional, sehingga prinsip
– prinsip dalam hukum internasional menjadi sumber hukum baginya.
Prinsip – prinsip itu adalah19
a. Prinsip “pacta sunt servanda” suatu perjanjian harus ditaati,
karena bila tidak demikian, maka konvensi – konvensi
internasional tidak ada gunanya.
b. Prinsip bahwa semua negara berdaulat dan sederajat. Setiap
negara bagaimanapun kecilnya atau miskin akan materi dan
teknologi berhak untuk berdiri sendiri, sama tingginya
dengan negara – negara lain atas dasar saling hormat
menghormati
c. Prinsip bahwa setiap negara berhak untuk membela dirinya
bila diserang dan berhak untuk melindungi diri demi
keselamatan dan keamanannya.
d. Prinsip bahwa setiap negara berhak atas sumber – sumber
alamnya, apabila prinsip – prinsip itu ditaati, maka baru akan
dapat dikatakan bahwa kegiatan keangkasaan benar – benar
bermanfaat bagi umat manusia.
2. Konvensi – Konvensi Internasional
Dalam waktu kurang dari 2 (dua) dekade, hukum angkasa telah
mempunyai sumber hukum positif berupa konvensi – konvensi
internasional, yaitu :20
a. Treaty of Banning Nuclear Weapon Test in the
Atmosphere, Outer Space and Underwater, 5 Agustus
1963.
b. Treaty on Principles Governing the Activities of States in
the Exploration and Use of Outer Space, Including the
Moon and Outer Calestical Bodies, 27 Januari 1967.
c. Agreement on the Rescue of Astronauts, Return of Objects
Launched into Outer Space, 22 April 1968.
19
Ibid. Halaman 351 – 352
20
Loc.cit.

9
d. Convention on International Liability for Damage Caused
by Space Objects, 28 Maret 1972
e. Convention Concerning the Registration of Objects
Launched into Outer Space for the Exploration and Use of
Space, 1975.
f. Agreement Governing the Activities of State on the Moon
and Other Celestial Bodies, 14 Desember 1979.
3. Hukum Nasional
Indonesia memahami kedudukan Traktat Antariksa 1967
sebagai induk perjanjian keantariksaan lainnya yang tidak
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, serta sejalan
dengan Konsepsi Kedirgantaraan Nasional untuk memantapkan
dukungan bagi kepastian hukum, baik secara nasional maupun
internasional. Dalam hubungan ini, Indonesia telah menerbitkan
Undang – Undang No. 16 Tahun 2002 untuk mengesahkan Treaty
on Principles Governing the Activities of States in the Exploration
and Use of Outer Space, Including the Moon and Other Celestial
Bodie, 1967 (Traktat mengenai Prinsip – Prinsip yang Mengatur
Kegiatan Negara – Negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan
Antariksa, Termasuk Bulan dan Benda – Benda Langit Lainnya,
1967).21
Dalam rangka pengaturan mengenai pemanfaatan dan
pendayagunaan antariksa telah ditetapkan perjanjian internasional,
yaitu Treaty on Principles Governing the Activities of States in The
Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and
Other Celestial Bodies, 1967 disingkat Outer Space Treaty 1967
dan selanjutnya, disebut Traktat Antariksa 1967, yang merupakan
induk dari pengaturan internasional keantariksaan. Traktat
Antariksa 1967 mulai berlaku sebagai hukum internasional sejak
10 Oktober 1967. Indonesia telah menandatangani perjanjian

21
Ibid. Halaman 353.

10
tersebut pada tanggal 27 Januari 1967 di London, Moscow, dan
Washington. Sebagai Negara yang telah aktif melaksanakan
kegiatan keantariksaan, yaitu :22
a. Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of
Astronauts and the Return of Objects Launched into Outer
Space, 1968 (Rescue Agreement, 1968), melalui Keputusan
Presiden Nomor 4 Tahun 1999, tanggal 8 januari 1999.
b. Convention on International Liability for Damage Caused
by Space Objects, 1972 (Liability Convention, 1972),
melalui Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1996,
tanggal 27 Februari 1996.
c. Convention on Registration of Objects Launched into
Outer Space, 1975 (Registration Convention, 1975),
Melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1997, tanggal
12 Maret 1997.
4. Sumber – Sumber Lain
Sebagai suatu sumber lain untuk hukum angkasa dapat
disebut International Telecommunication Union Convention (ITU
Convention. ITU merupakan organisasi internasional yang terlibat
dalam pembentukan ruang hukum angkasa internasional. ITU
memiliki tanggung jawab khusus sebagai badan berorientasi teknis,
yang berfungsi untuk membantu dalam penggunaan frekuensi
radio dan orbit geostasioner (spectrum/sumber daya orbit) secara
efisien dan ekonomis.23 ITU menjalankan peran penting dalam
peraturan komunikasi di ruang angkasa. ITU melakukan
pembagian alokasi frekuensi radio kepada tiga wilayah geografis
untuk menghindari gangguan yang berbahaya dalam siaran televise
ataupun radio. Ini penting sebagai implementasi akses yang merata
untuk penggunaan ruang angkasa sebagai sumber daya alam yang

22
Ibid. Halaman 355.
23
Carl. Q. Christol, Proceeding of The Twenty Second Collaquium on The Law of Outer Space, American Institute
of Aeronautics and Astronautics, Inc., 1979, hal. 35.

11
terbatas yang dibutuhkan umat manusia. Sesuai dengan prinsip
yang terkandung dalam Space Treaty 1967 yang menyatakan
bahwa eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa, bulan dan benda
– benda langit lainnya harus disesuaikan dengan kepentingan
semua negara tanpa memandang tingkatan ekonomi dan
perkembangan ilmu pengetahuan suatu negara, dan pelaksanaan
tersebut harus sesuai dengan hukum internasional dan Piagam
PBB.24
G. Metode Penelitian
Proposal sebagai salah satu bentuk dari penulisan karya tulis, tentunya harus dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.Untuk itu wajib diperlukan suatu penelitian dan
dalam mencari kebenaran ilmu hukum, diperlukan suatu metodologi yang tentunya
bertujuan untuk mengadakan pendekatan atau penyelidikan ilmiah yang bersahaja.
Metode secara etimologi diartikan sebagai jalan atau cara melakukan atau mengerjakan
sesuatu. Sedangkan menurut istilah metode merupakan titik awal menuju proposisi-
proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu.
Riset atau penelitian merupakan aktifitas ilmiah yang sistematis, terarah dan
bertujuan. Maka dari itu, data atau informasi yang dikumpulkan dalam penelitian harus
relevan dengan persoalan yang dihadapi. Artinya, data tersebut berkaitan, mengena dan
tepat. Jadi metode penelitian adalah jalan atau cara yang ditempuh oleh peneliti dalam
melakukan penelitian.
Metode penelitian merupakan suatu cara yang digunakan dalam mengumpulkan data
penelitian dan membandingkan dengan standar ukuran yang telah ditentukan. Dalam hal
ini peneliti menggunakan beberapa perangkat penelitian yang sesuai dalam metode
penelitian ini guna memperoleh hasil yang maksimal, antara lain sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini merupakan jenis
penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan
dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku atau diterapkan
terhadap suatu permasalahan hukum tertentu. Penelitian normatif seringkali disebut

24
Agus Pramono, Op.cit, halaman 75

12
dengan penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen
peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka. Pada proposal ini, peneliti mengkaji
tentang Tanggung Jawab Negara Peluncur Atas Kerugian Yang Ditimbulkan Benda
Antariksa Berdasarkanliability Convention 1972, dalam aspek hukum internasional
tersebut diharapkan dapat membantu masyarakat internasional yang ada di dunia untuk
mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya.
2. Jenis Pendekatan
Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan, yaitu penelitian hukum
normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan
(statue approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach)
Pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) adalah metode
penelitian dengan menelaah semua undang-undang, memahami hirarki dan asas-asas
dalam peraturan perundang-undangan. Dikatakan bahwa pendekatan perundang-
undangan berupa legislasi dan regulasi yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat
yang berwenang dan mengikat secara umum. Namun demikian, dalam penulisan
penelitian ini, penulis dalam meneliti ketentuan-ketentuan mengenai tanggung jawab
negara peluncur atas kerugian benda antariksa berdasarkan Liability Convention 1972,
dimana masih banyak yang belum memahami bagaimana peraturan apabila sebuah
negara meluncurkan benda antariksa bila mengenai benda antariksa lainnya yang
mengalami kerugian cukup besar, menganalisis instrumen-instrumen hukum
internasional dan relevansinya.
H. Sumber Bahan Hukum
1. Bahan hukum primer yaitu hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan
dasar dan peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini bahan hukum
primer bersumber dari Liability Convention 1972
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan perpustakaan yang berisikan informasi tentang
bahan hukum primer yang berupa buku-buku, hasil penelitian, karya ilmiah dari
kalangan hukum serta yang berupa hasil penelitian yang ada hubungannya dengan
proposal ini.

13
3. Bahan hukum tersier atau bahan penunjang, yakni bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang
berupa kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal ilmiah lainnnya.
I. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan adalah dengan cara menggali
kerangka normatif menggunakan bahan hukum yang membahas tentang teori-teori
hukum ruang angkasa khususnya Liability Convention 1972. Baik bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan sesuai dengan topik pembahasan yang
telah dirumuskan berdasarkan sistem kartu dan diklasifikasi menurut sumber dan
hierarkinya untuk dikaji secara kompeherensif.
J. Teknis Analisis Bahan Hukum
Teknik Analisis Bahan Hukum Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang
telah terkumpul dapat digunakan berbagai teknik analisis seperti: deskripsi, interpretasi,
konstruksi, evaluasi, argumentasi, atau sistimatisasi. Teknik deskripsi adalah teknik
dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa
adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi hukum atau non hukum. Teknik
interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti
penafsiran gramatikal, historis, sistimatis, teleologis, kontektual, dan lain-lain.Teknik
konstruksi berupa pembentukan konstruk yuridis dengan melakukan analogi dan
pembalikan proposisi (aconfrario). Teknik evaluasi adalah penilaian berupa atau tidak
tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap
suatu pandangan proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera
dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder. Teknik argumentasi tidak
bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan
yang bersifat penalaran hukum.Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak
argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.Teknik sistematisasi adalah
berupa upaya muncari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara
peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.

14
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Agus Pramono, Dasar-dasar Hukum Udara dan Ruang Angkasa, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011
Carl. Q. Christol, Proceeding of The Twenty Second Collaquium on The Law of Outer Space,
American Institute of Aeronautics and Astronautics, Inc., 1979
E. Saefullah Wiradipraja dkk, Hukum Angkasa dan Perkembanganya, (Bandung: Remadja
Karya, 1988)
E. Suherman, Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan (Himpunan Makalah 1961 – 1965),
Penerbit: Mandar Maju, Bandung, 2000
Juajir Sumardi, Hukum Ruang Angkasa (Suatu Pengantar), (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996)
Priyatna Abdurrasyid, Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1967,(Jakarta: Pusat
Penelitian Hukum Angkasa, 1972)
Phillip C. Jessup and Howard J. Taubenfeld, Controls of Outerspace, New York, 1959
Teliti buku karangan Eugene M. Emme, The Impact of Air Power, New York, 1959.

Undang-Undang :
Liability Convention 1972
Pasal 1 Konvensi Chicago 1944. “Bahwa setiap Negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan
penuh (complete and exclusive sovereignity) atas ruang udara atas wilayah kedaulatannya.

Artikel :
Zessica Waode, Tanggung Jawab Negara Peluncur Atas Kerugian Yang Ditimbulkan Benda
Antariksa Berdasarkan Liability Convention 1972, Vol. 1, No. 4 Tahun 2012.

15

Anda mungkin juga menyukai