Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN REFARAT


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR Agustus 2021

KEJANG DENGAN DEMAM

OLEH

Rizki Safitri

105101106320

PEMBIMBING

dr. Merlyn Meta Astari, Sp.A

Dibawakan Dalam Rangka Kepanitraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak

FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Rizki Safitri

NIM : 1051011 063 20

Institusi : Universitas Muhamammadiyah Makassar

Judul Referat : Kejan dengan Demam

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Agustus 2021

Pembimbing,

dr. Merlyn Meta Astari, Sp.A

iii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang senantiasa tercurahkan

atas segala limpahan rahmat dan nikmat-Nya. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan

kepada Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wassallam, karena beliaulah sebagai

suritauladan yang membimbing manusia menuju surga. Alhamdulillah berkat hidayah dan

pertolongan-Nya sehingga dapat menyelesaikan Referat dengan judul “Kejang dengan Anak”.

Referat ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian

Ilmu Kesehatan Anak. Secara khusus penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih

yang mendalam kepada dr. Merlyn Meta Astari, Sp.A selaku pembimbing yang telah banyak

meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan

koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai. Penulis menyadari bahwa

penyusunan referat ini belum sempurna adanya dan memiliki keterbatasan tetapi berkat

bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik moral maupun material sehingga dapat

berjalan dengan baik. Akhir kata, penulis berharap agar referat ini dapat memberi manfaat

kepada semua orang.

Makassar, Juli 2021

Penulis

iv
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................................ii


KATA PENGANTAR .............................................................................................................iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................iv
BAB I .........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1

BAB II......................................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................................5
A. Definisi...........................................................................................................................5
B. Prevalensi........................................................................................................................5
C. Etiologi............................................................................................................................6
D. Faktor Risiko..................................................................................................................6
E. Klasifikasi........................................................................................................................7
F. Patofisiologi ....................................................................................................................8
G. Diagnosis .....................................................................................................................10
H. Penatalaksanaan............................................................................................................11
I. Prognosis .......................................................................................................................13
G. Edukasi ........................................................................................................................13

BAB III..................................................................................................................................36
PENUTUP.............................................................................................................................36
Kesimpulan .......................................................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................3

v
BAB I
PENDAHULUAN

Kejang adalah kejadian sementara dari tanda dan/atau gejala akibat aktivitas neuronal

berlebihan di otak.1 Manifestasi klinis dari setiap aktivitas kejang ditentukan oleh lokasi

anatomis di otak yang terlibat. Tanda-tanda aktivitas kejang di otak dapat berkisar dari tidak

ada (kejang subklinis) hingga kehilangan kesadaran total dan kejang seluruh tubuh. 2

Klasifikasi kejang berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE) dibagi menjadi

empat kategori berdasarkan mode onset kejang yang diduga yaitu kejang fokal atau parsial ,

umum, onset tidak diketahui, dan tidak terklasifikasi. 1


Kejang Parsial atau disebut juga kejang fokal menggambarkan kejang dengan perubahan

klinis atau EEG pertama menunjukkan aktivitas awal terbatas hanya pada 1 bagian belahan

otak.2 Kejang Parsial ini dibagi menjadi dua yaitu kejang Parsial kompleks dan kejang Parsial

berkembang menjadi kejang tonik-klonik umum. Perbedaan antara kejang parsial sederhana

dan kompleks adalah berdasarkan penurunan kesadaan selama serangan, karena adanya

keterlibatan jaringan luas yang mengakibatkan hilangnya kesadaran maka hal ini lebih

mungkin menyebar ke kejang umum. 2 Pada Kejang parsial sederhana tanda-tanda motorik

paling sering, termasuk gerakan klonik (menyentak), kontraksi tonik (pengerasan), atau

perubahan atonik (kehilangan nada) pada kelompok otot,. Pada sensorik manifestasi juga

dapat terjadi seperti kesemutan atau nyeri di daerah tubuh, halusinasi pendengaran atau

penciuman, atau melihat bentuk berwarna cerah. Temuan otonom seperti berkeringat,

palpitasi, kemerahan, air liur berlebih, atau inkontinensia dapat menyertai kejang. Psikis

seperti pengalaman perasaan takut, déjà vu. 2 Mayoritas kejang parsial berhubungan dengan

penurunan respon dan dengan demikian diklasifikasikan sebagai Kejang parsial kompleks.

Selama kejang parsial kompleks, pasien mungkin tampak terjaga tetapi tidak responsif (atau

hanya sebagian responsif) terhadap rangsangan. Jarang sekali pasien tampak benar-benar

kehilangan kesadaran selama. Kejang parsial kompleks dapat timbul dari lobus otak manapun

namun lobus temporal mungkin merupakan tempat asalnya yang paling umum. Kejang lobus

1
temporal secara klasik bermanifestasi dengan menatap dan tidak responsif dan cenderung

memiliki otomatisme terkait.2 Kejang dapat dimulai secara fokal dan kemudian menyebar ke

seluruh area otak (generalisasi), contoh klasik dari kejang parsial yang menyebar yaitu kejang

yang dimulai dengan aktivitas klonik pada salah satu ekstremitas atau wajah dan secara

berurutan menyebar ke seluruh hemibody yang terlibat, akhirnya melibatkan kedua sisi tubuh

dengan gerakan bilateral. kejang sinkron. Perkembangan klinis ini dicerminkan oleh evolusi

pelepasan EEG dari subset motor strip ke seluruh 1 hemisfer, diikuti oleh keterlibatan umum

kedua hemisfer.2
Kategori kejang umum meliputi kejang absans, kejang mioklonik, kejang klonik, kejang

tonik, kejang GTC, dan kejang atonik (astatik). 2 Kejang tonik, klonik, dan tonik-klonik bifasik

dapat terjadi tersendiri maupun dalam kaitan dengan tipe kejang lain. Biasanya kejang

dimulai secara mendadak namun terkadang didahului beberapa hentakan mioklonik. Selama

kejang tonik-klonik berlangsung, pasien kehilangan kesadaran dan kontrol postur, diikuti

kekakuan tonik dan deviasi mata ke atas. Sekresi yang berlebihan, dilatasi pupil, diopharesis

dan hipertensi sering dijumpai. Fase tonik disusul dengan gerakan klonik (‘kelejotan’). Pada

fase pasca-iktal, anak mungkin tampak hipotonik. Saat anak sadar kembali, sering kali

terdapat iritabilitas dan sakit kepala. 1 Kejang Absans adalah kejang dengan manifestasi utama

bengong dapat merupakan suatu absans (kejang umum) atau kejang fokal. Ciri klinis kejang

absans adalah kehilangan kesadaran yang singkat (<15 detik) disertai kelopak mata bergetas

atau automatisme sederhana, mislanya gerkana jari tangan dan mengecap-ngeap. Kejang

absans biasanya dimulai pada usia 4-6 tahun. Mungkin sulit untuk membedakan absans

dengan kejang fokal dengan perubahan kesadaran, namun hal ini penting untuk evaluasi dan

tata laksana yang tepat. Perbedaan keduanya dapat dilihat pada tabel 1.1

2
Kejang Fokal dengan
Ciri Absans
Perubahan Kesadaran
Durasi Beberapa detik Beberapa menit
Manuver Provokasi Hiperventilasi stimulasi fotik Bervariasi, tapi sering kali tidak ada
Fase Pascaiktal Tidak ada (segera kembali ke Bingung, mengantuk

kondisi awal)
Jumlah serangan Banyak dalam sehari Jarang (jarang lebih dari 1 kali

sehari)
Gambaran EEG Interiktal : normal kecuali Interiktal : perlambatan fokal,

letupan gelombang paku- gelombang tajam, atau gelombang

ombak umum dan terkadang paku

aktivitas delta ritmik Iktal : lepasan fokal )dengan atau

intermiten oksipital tanpa penyebaran ke daerah sekitar

Iktal : gelombang paku- atau hemisfer kontralateral)

ombak 3-Hz umum


Pemeriksaan
Normal Normal, atau defisit fokal
Neurologis
Pencitraan Otak Normal Normal atau abnormalitas fikal

(sklerosis mesial temporal, displasia

korteks fokal, neoplasma,

ensefalomalasia)
Terapi Lini Pertama Ethosuksimid atau Asam Okskarbazepin

Valproat

Tabel 1. Perbedaan Kejang Absans dan Kejang Fokal dengan Perubahan Kesadaran
(sumber : Younger, E. G. (1887). Nelson. Notes and Queries, s7-IV(100), hal727. )

Kejang yang terjadi pada keadaan demam dapat disebabkan infeksi susunan saraf pusat

(meningitis, ensefalitis, abses otak), epilepsi belum teridagnosis yang dipicu demam, atau

kejang demam. Kejang demam merupakan penyebab kejang tersering pada anak usia antara 6

3
bulan sampai 6 tahun dan dialami oleh 4 % anak. Berdasarkan definisinya, kejang demam

terjadi saat terdapat demam dan dibedakan menjadi dua yaitu kejang demam sederhana dan

kejang demam komplikata atau kompleks.1 Bangkitan kejang demam terjadi pada kenaikan

suhu tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Penyebab

kejang demam hingga kini belum di ketahui dengan pasti. Kejang demam tidak selalu timbul

pada suhu yang tinggi, kadang kadang demam tidak terlalu tinggi dapat menyebabkan kejang 3
Angka kejadian kejang demam di Asia dilaporkan sekitar 8,3-9,9%. Angka kejadian

kejang demam di Indonesia pada tahun 2012-2013 berjumlah 3-4% pada anak yang berusia 6

bulan-5 tahun.4 Beberapa rumah sakit telah melaporkan jumlah temuan kasus kejang demam,

seperti di Rumah Sakit Umum (RSU) Bangli dari Januari-Desember 2007 sebanyak 47 kasus

kejang demam, Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr. Kariadi Semarang pada Januari 2008-

Maret 2009 mendapatkan 82 kasus, dan di Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan

Kita Jakarta dari tahun 2008- 2010 sebanyak 86 kasus. 5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

4
A. Definisi
Kejang demam merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering

dijumpai pada masa anak-anak, terutama pada usia 6 bulan sampai 5 tahun. Kejang

demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal

diatas 38oC).4 Kejang demam merupakan kejang yang paling sering terjadi pada anak.

Sebanyak 2% sampai 5% anak yang berumur kurang dari 5 tahun pernah mengalami

kejang disertai demam dan kejadian terbanyak adalah pada usia 17-23 bulan. 3 Bila ada

riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang demam.

Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang

sekali.7

B. Prevalensi
Angka kejadian kejang demam di Indonesia mencapai 2% sampai 4% dari tahun 2005

sampai 2006. Berdasarkan fenomena yang banyak terjadi di Indonesia sering terjadi saat

demam tidak di tangani dengan baik oleh orang tua, seperti tidak segera memberikan

kompres pada anak ketika terjadi demam, tidak memberikan obat penurunan demam,

dan sebagai orang tua justru membawa anaknya ke dukun sehingga sering terjadi

keterlambatan bagi petugas dalam menangani yang berlanjut pada kejang demam.3

Angka kejadian kejang demam di Indonesia pada tahun 2012-2013 berjumlah 3-4%

pada anak yang berusia 6 bulan-5 tahun.4


Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan di RSIA Budhi Mulia, kejadian

kejang demam pada tahun 2015 menempati urutan kedua setelah HRB (Hiper

Reaktivitas Bronkus) dari sepuluh penyakit terbesar pada balita yaitu jumlah kasus

kejadian kejang demam sebanyak 115 kasus dengan proporsi kasus yaitu 27,71%

sedangkan pada tahun 2016 kejadian kejang demam menempati urutan pertama dan

mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu dengan jumlah

kasus kejadian kejang demam sebanyak 204 kasus dengan proporsi kasus yaitu 49,04%. 3
Hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya diperoleh sebagian besar jenis

kelamin anak responden yang mengalami kejang demam adalah laki-laki yaitu 35 dari

5
56 anak (67,3%). Kejang demam lebih banyak terjadi pada anak laki-laki. Hal ini

dikarenakan bahwa kematangan otak terjadi lebih dahulu pada anak perempuan dari

pada anak laki-laki. Anak laki-laki lebih sering menderita kejang demam dengan

insidensi sekitar dua kali lipat lebih sering dibandingkan anak perempuan, dan terdapat

peningkatan kerentanan dalam keluarga yang menunjukkan kemungkinan adanya

predisposisi genetik.4

C. Etiologi
Kejang terjadi apabila demam disebabkan oleh infeksi yang mengenai jaringan

ekstrakranial seperti tonsilitis, otitis media akut dan brokitis. 4 Selain itu kejang demam

juga dapat disebabkan karena pengaruh obat-obatan, ketidakseimbangan kimiawi seperti

hiperkalemia, hipoglikemia dan asidosis, demam. Selain penyebab kejang demam

diantara infeksi saluran pernapasan atas adapun penyakit yang menyertainya kejang

demam. Menurut data profil kesehatan indonesia tahun 2012 yaitu didapatkan 10

penyakit-penyakit yang sering rawat inap di rumah sakit diantaranya diare dan penyakit

gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu, demam berdarah dengue, demam tifoid

dan paratifoid, penyulit kehamilan, dispepsia, infeksi saluran pernafasan atas (ISPA),

pneumonia, dan biasanya penyakit yang menyertai kejang demam memiliki manifestasi

klinis demam. dengan peningkatan suhu yang akan dapat mengakibatkan bangkitan

kejang.3

D. Faktor Risiko
Faktor yang penting pada kejang demam ialah demam, usia, genetik. Demam sering

disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan

infeksi saluran kemih. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wegman dan Millichap

menggunakan hewan coba disimpulkan bahwa suhu tinggi dapat menyebabkan

terjadinya kejang.6 Derajat demam pada kejang demam yakni 75 % dari anak dengan

demam ≥ 39o C, dari anak dengan demam > 40o C sebanyak 25 %. 7

Terjadinya bangkitan kejang demam bergantung kepada usia, tinggi serta cepatnya

suhu meningkat.6 Usia kejang demam umumnya terjadi pada usia 6 bulan - 5 tahun,

6
puncak tertinggi pada usia 17-23 bulan. Kejang demam sebelum usia 5-6 bulan mungkin

disebabkan oleh infeksi SSP dan kejang demam diatas usia 6 tahun perlu

dipertimbangkan febrile seizure plus (FS+).7


Selain itu jenis kelamin juga berpengaruh pada risiko terjadinya kejang demam yaitu

laki-laki lebih berisiko daripada perempuan. Selain itu riwayat penyakit yang mendasari

infeksi saluran pernapasan akut, tipe kejang demam kompleks, status gizi normal,

riwayat berat badan lahir normal, serta riwayat jenis persalinan normal. 6
Gen dalam kejang demam juga berperan penting dimana risiko meningkat 2-3 kali

bila saudara sekandung mengalami kejang demam, risiko meningkat 5% bila orang tua

mengalami kejang demam.7


Faktor risiko kejang demam menjadi epilepsi di kemudian hari adalah:
a. Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang

demam pertama
b. Kejang demam kompleks
c. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung
d. Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu tahun.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-

6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan kemungkinan epilepsi

menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian

obat rumatan pada kejang demam.8

E. Klasifikasi
Secara umum terdapat dua jenis kejang demam, yaitu kejang demam sederhana

(KDS), yang mencakup hampir 80% kasus dan kejang demam kompleks (KDK).5

Kejang demam sederhana merupakan kejang umum yang durasi kejangnya kurang dari

15 menit, dah hanya terjadi satu kali dalam periode 24 jam pada anak yang normal

secara neurologis maupun perkembangan. Jika kejang menunjukan ciri-ciri fokal,

berlangsung lebih dari 15 menit dan berulang dalam 24 jam atau anak memiliki kelainan

neurologis sebelumnya, maka kejang disebut kejang demam kompleks. 1


Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang

7
berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama

terjadi pada 8% kejang demam dan Kejang berulang terjadi pada 16% anak yang

mengalami kejang demam.7

F. Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu

energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang

terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan

dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalu sistem

kardiovaskuler. Jadi seumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi

dipecah menjadi CO2 dan air.9


Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid

dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat

dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium

(Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam

sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat

keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar

sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron.

Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan

enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. 9


Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya :
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik

dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan. 9
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme

basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20 %. Pada seorang anak

berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan

orang dewasa yang hanya 15 %. jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi

perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi

8
difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium membran tadi, dengan akibat terjadinya

lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas

ke seluruh sel mapun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut

neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang

berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita

kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak ambang kejang yang rendah, kejang telah

terjadi pada suhu 38oC sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang

baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa

terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah

sehungga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa

penderita kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umunnya tidak berbahaya dan tidak

menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (>15 menit)

biasanya disertai terjadinya apnea. Meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk

kontraksi otot skelet yang akhirnya terhadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat

disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang

tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya aktifitas otot

dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas

adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya

kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan

hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler timbul edema otak yang

mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.9


Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang

yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi

serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat

menybabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi. 9

G. Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan utama adalah kejang. Anamnesis dimulai dari riwayat perjalanan

9
penyakit sampai terjadinya kejang. Perlu dideskripsi kejang seperti tipe kejang,

kemudian mencari kemungkinan adanya faktor pencetur atau penyebab kejang.

Umumnya kejang demam terjadi pada anak dan berlangsung pada permulaain

demam akut. Sebagian besar berpa serangan kejang klonik umum atau tonik

klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda neurologi post iktal. 7


Penting pula ditanyakan untuk riwayat kejang sebelumnya, kondisi medis yang

berhubungan, onat-obatan, trauma, geala infeksi, keluhan neurologis, nyeri atau

cedera akibat kejang. Riwayat kejang demam dalam keluarga juga perlu

ditanyakan.7
2. Pemeriksaan Fisik
Dimulai dengan tanda-tanda vital dan kesadaran. Pada kejang demam tidak

ditemukan penurunan kesadaran. Pemeriksaan umum ditujukan untuk mencari

tanda-tanda infeksi penyebab demam. Pemeriksaan neurologi meliputi kepala,

ubun-ubun besar, tanda rangsang meningeal, pupil, saraf kranial, motorik, tonus

otot, refleks fisiologis dan patologis.7


3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang lebih ditujukan untuk mencari penyebab demam,

pemeriksaan yang dapat dilakukan :


a. Pemeriksaan hematologi rutin dan urin rutin
b. Pemeriksaan lain atas indikasi seperti glukosa, elektrolit, punksi lumbal. 7
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau

menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini

pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia <12

bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum baik.
Indikasi pungsi lumbal :
a) Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
b) Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan klinis
c) Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya

telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan

10
tanda dan gejala meningitis.8

4. Indikasi EEG dan Pencitraan (CT-scan/MRI)


Tidak terdapat indikasi pemeriksaan EEG pada kejang demam, kecuali jika

ditemukan keraguan apakah ada demam sebelum kejang. 7 EEG hanya dilakukan

pada kejang fokal untuk menentukan adanya fokus kejang di otak yang

membutuhkan evaluasi lebih lanjut.8


Sedangkan pemeriksaan pencitraan hanya dilakukan hika terdapat kejang

demam yang bersifat fokal atau ditemukan defisit neurologi pada pemeriksaan

fisik.7 Defisit neurologis yang ditemukan misalnya hemiparesis atau paresis nervus

kranialis.8

H. Penatalaksanaan
Kejang demam merupakan kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan

pertama. Setiap kejang yang lama (lebih dari 5 menit) berdampak membahayakan

karena dapat menyebabkan kerusakan sel-sel otak akibat kekurangan oksigen, semakin

lama dan semakin sering kejang maka sel-sel otak yang rusak akan semakin banyak.4
Pada penanganan kejang demam, keluarga pasien diberikan informasi selengkapnya

mengenai kejang demam dan prognosisnya. 7 Farmakoterapi ditujukan untuk tatalaksana

kejang akut dan tatalaksana profilaksis untuk mencegah kejang berulang.


1. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya

kejang demam . Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat

bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah

10-15 mg/kgBB/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4

kali sehari.8

2. Antikonvulsan intermitten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan

yang diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang

11
demam dengan salah satu faktor risiko di bawah ini:
a. Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
b. Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
c. Usia <6 bulan
d. Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
e. Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan

cepat.
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5

mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg),

sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam

intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada

orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia,

iritabilitas, serta sedasi.8


3. Antikonvulsan rumatan
Penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka

pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek

Indikasi pengobatan rumat:


a. Kejang fokal
b. Kejang lama >15 menit
c. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya

palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.


Perlu diketahui bahwa kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan

perkembangan, bukan merupakan indikasi pengobatan rumat, Kejang fokal atau fokal

menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik yang bersifat

fokal dan Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk

pemberian terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak berhasil/orangtua

khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumat. 8


Jenis obat yang digunakan pada rumatan ialah pemberian obat fenobarbital atau

asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang.

Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan

12
kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada

sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat

dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat adalah 15-40

mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis. 8
Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk kejang

demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak tidak

sedang demam.8

I. Prognosis
Prognosis anak dengan kejang demam sederhana sangat baik. Walaupun kejang

demam berulang pada 30-50% anak, kemampuan intelektual tetap normal. Risiko

epilepsi di kemudian hari tidak lebih besar secara bermakna dibandingkan populasi

umum. Faktor yang meningkatkan epilepsi antara lain pemeriksaan neurologis atau

perkembangan yang abnormal, riwayat epilepsi dalam keluarga dan kejang demam

kompleks.1 Selain itu Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kejadian berulangnya

kejang demam pada anak berhubungan pula dengan usia saat kejang demam pertama,

suhu rendah saat kejang demam pertama, dan jarak antara munculnya kejang dengan

onset demam.5
Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Angka kematian

pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana dengan perkembangan

normal dilaporkan sama dengan populasi umum.8

J. Edukasi
Saat kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal.

Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya:


1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang efektif,

tetapi harus diingat adanya efek samping obat.8

13
Ada beberapa hal yang harus dikerjakan bila anak mengalami kejang :
a. Tetap tenang dan tidak panik.
b. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
c. Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah, bersihkan

muntahan atau lendir di mulut atau hidung.


d. Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah tergigit,

jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.


e. Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.
f. Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.
g. Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit. Jangan

berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya boleh diberikan satu kali

oleh orangtua.
h. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih, suhu

tubuh lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti dengan diazepam rektal,

kejang fokal, setelah kejang anak tidak sadar, atau terdapat kelumpuhan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kejang demam merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering

dijumpai pada masa anak-anak, terutama pada usia 6 bulan sampai 5 tahun. Kejang

demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal

14
diatas 38oC). Angka kejadian kejang demam di Indonesia pada tahun 2012-2013

berjumlah 3-4% pada anak yang berusia 6 bulan-5 tahun.


Kejang terjadi apabila demam disebabkan oleh infeksi yang mengenai jaringan

ekstrakranial Selain itu kejang demam juga dapat disebabkan karena pengaruh obat-

obatan, ketidakseimbangan kimiawi seperti hiperkalemia, hipoglikemia dan asidosis,

demam, patologis otak. Faktor yang penting pada kejang demam ialah demam, usia,

genetik, prenatal dan perinatal.


Secara umum terdapat dua jenis kejang demam, yaitu kejang demam sederhana

(KDS), yang mencakup hampir 80% kasus dan kejang demam kompleks (KDK). Pada

kejang demam tidak ditemukan penurunan kesadaran. Pemeriksaan umum ditujukan

untuk mencari tanda-tanda infeksi penyebab demam dan pemeriksaan penunjang lebih

ditujukan untuk mencari penyebab demam, Tidak terdapat indikasi pemeriksaan EEG

pada kejang demam, kecuali jika ditemukan keraguan apakah ada demam sebelum

kejang, sedangkan pemeriksaan pencitraan hanya dilakukan hika terdapat kejang demam

yang bersifat fokal atau ditemukan defisit neurologi pada pemeriksaan fisik.
Kejang demam merupakan kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan

pertama. Setiap kejang yang lama (lebih dari 5 menit) berdampak membahayakan

karena dapat menyebabkan kerusakan sel-sel otak akibat kekurangan oksigen, semakin

lama dan semakin sering kejang maka sel-sel otak yang rusak akan semakin banyak.

DAFTAR PUSTAKA

1. Younger, E. G. (1887). Nelson. Notes and Queries, s7-IV(100), hal727.


https://doi.org/10.1093/nq/s7-IV.100.434-f

15
2. RudolphW Kline, M. (2018). RUDOLPH’S PEDIATRIC. In S. Blaney, D.
Penny, G. Schutze, A. Giardioani, J. Orange, & L. Shekerdemian (Eds.) (20th
ed.23, pp. 8492–8496). Mc GRaw Hill.

3. Rasyid, Z., Kusuma, D., Vita, C., & Purba, G. (2019). Determinan Kejadian
Kejang Demam pada Balita di Rumah Sakit Ibu dan Anak Budhi Mulia
Pekanbaru Determinants of Fever Events in Toddlers Budhi Mulia Pekanbaru
Mother and Child Hospital, 3(1), 1–6.

4. Indonesia, J. N. (2020). Gambaran penanganan pertama kejang demam yang


dilakukan ibu pada balita, 10(2).

5. Medika, E., April, V. O. L. N. O., Berhubungan, F. Y., & Kejadian, D. (2019).


Made Sebastian Dwi Putra Hardika 1 , Dewi Sutriani Mahalini 2 Program
Studi Pendidikan Dokter , Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bagian /
SMF Ilmu Kesehatan Anak , Fakultas Kedokteran Universitas Udayana /
RSUP Sanglah Denpasar Email : putra_hardika@hotmail.com, 8(4).

6. Kejang, K., Pada, D., Usia, A., & Tahun, B. (2017). FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN DENGAN PENANGANAN PERTAMA DI
PUSKESMAS ( Related Factors With The First Handling Of Febrile
Convulsion In Female Children 6 Months - 5 Years In The Health Center ),
1(1), 32–40.

7. IDI. (2017). Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan


Kesehatan Primer. Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 162, 364.

8. Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2016). Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang


Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia,

9. Poorwo, Sumarmo S. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI

16

Anda mungkin juga menyukai